Jumat, 30 Januari 2009

Demokrasi Burjuis

DEMOKRASI BURJUIS
Pandu Jakasurya

“Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi” (Tan Malaka, Aksi Massa, 1926)

Di dalam Negara demokratis, setiap warga Negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai kepala pemerintahan. Itulah perkataan yang tidak asing lagi bagi kita sementara negeri ini riuh-rendah dengan pesta demokrasi berbeaya mahal, pilkada dan pemilu.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam perkataan itu an sich. Bahkan sudah seharusnya begitu. Persoalannya terletak pada kata-kata “hak untuk dipilih”, yang secara cetha wela-wela tampil sebagai sebuah ironi. Secara teoretis, setiap warga Negara memiliki hak. Tetapi demokrasi bukan sekadar soal teori. Demokrasi adalah juga soal kenyataan. Bila benar demikian, segeralah kita temukan bahwa dalam kenyataannya tidak setiap warga Negara memiliki hak. Bahkan, hanya segelintir warga Negara sajalah yang benar-benar memiliki hak untuk dipilih.

Kenyataan ini mengandaikan sesuatu: seseorang benar-benar berhak untuk dipilih karena sebelumnya memiliki sesuatu yang memungkinkan hak itu teraktualisasi. Apakah yang dimaksud dengan “sesuatu”? Lagi, secara teoretis, visi, kecakapan, dan integritas. Dalam kenyataannya, nampaknya ketiga hal itu tidak cukup. Sebab untuk bisa tampil sebagai calon anggota legislatif atau nyalon entah sebagai bupati-wakil bupati, gubernur-wakil gubernur, atau presiden-wakil presiden, orang perlu mempunyai modal berupa uang. Betapa tidak, baik sebagai orang partai maupun sebagai calon independen, ia butuh uang. Demokrasi itu tidak tanpa prosedur. Tiap tahap dalam prosedur itu membutuhkan uang, apalagi saat kampanye. Jumlah yang dikeluarkan tentu tidak kecil.

Kenyataan ini dapat dinalar sederhana. Pertama, belum tentu orang-orang yang bervisi, cakap, dan berintegritas tinggi bisa teraktualisasikan haknya bila tidak punya uang. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bervisi, tidak berkompentensi, dan tidak berintegritas sangat mungkin mengaktualisasikan haknya bila ia punya uang.

Kedua, tatkala uang menjadi unsur yang sangat vital dalam prosedur demokrasi, itu mengandaikan (i) klas; (ii) kolusi klas; dan (iii) korupsi. Orang yang mempunyai uang untuk “memodali dirinya” untuk tampil ke gelanggang politik adalah orang yang terhisab ke dalam klas yang memegang kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal. Dengan kata lain, klas burjuis, entah burjuis pengusaha, burjuis birokrat, burjuis teknokrat, atau burjuis bersenjata. Tidak heran bila, disadari atau tidak, orang itu tampil untuk mewakili klasnya: seorang calon burjuis niscaya mewakili klas burjuis. Itu sarat dengan kepentingan: kepentingan klas. Karena itu, orang tersebut membutuhkan dukungan finansial pula dari orang-orang dari klasnya. Konkretnya, partai-partai, para caleg, dan para calon kepala pemerintahan memerlukan dukungan dari burjuis pengusaha.

Selanjutnya adalah persoalan balas budi di satu sisi dan perjuangan “mengembalikan modal” bahkan sebisanya beroleh keuntungan melalui jabatan yang telah berhasil diraih. Berkenaan dengan sisi yang pertama, rasanya tidak mengherankan bila pemerintah dan legislatif akan selalu memposisikan diri pada pihak burjuis pengusaha daripada pihak buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota. Tengok saja kebijakan-kebijakan yang dibuat bersama oleh pemerintah dan legislatif berkenaan dengan penanaman modal, hubungan antara kaum majikan dan buruh, kepentingan pemodal dengan buruh tani dan tani gurem, dan kepentingan pemodal dengan kaum miskin kota. Penanaman modal yang tidak mempedulikan hak-hak masyarakat setempat, represi terhadap aksi buruh yang menuntut upah dan jam kerja yang manusiawi, tidak adanya landreform, juga penggusuran pemukiman kumuh kaum miskin kota.

Berkenaan dengan sisi yang kedua, rasanya tidak mengherankan pula korupsi menjadi lestari. Sebab dari manakah tuan-tuan atau nyonya-nyonya yang terpilih itu mengembalikan modal finansial mereka yang tidak sedikit itu? Apakah gaji sebagai “abdi Negara” entah sebagai anggota legislatif atau sebagai kepala pemerintahan cukup untuk “balik modal”? Apalagi bila tuan-tuan atau nyonya-nyonya kita itu berpikir sebagai pedagang dalam mengemban jabatan mereka: bukan hanya balik modal tetapi juga beroleh laba. Di sinilah korupsi menjadi sulit untuk dihindari. Karena itu juga korupsi menjadi sangat sukar untuk dihabisi.

Ketiga, sulit rasanya membayangkan demokrasi seperti ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti untuk memberantas kemiskinan dan memberikan kemungkinan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk menikmati kemakmuran secara merata-berkeadilan. Preferensi para pemimpin tetap pada mereka yang berada dalam klas yang sama dengan mereka, klas burjuis. Tak heran bila kaum burjuislah yang beroleh keuntungan paling besar dalam demokrasi tersebut. Rakyat yang terhisab dalam klas proletar sekadar dimanfaatkan dalam pilkada dan pemilu. Mereka berebut “remah-remah roti” dari proses penciptaan dan distribusi kekayaan. Merekalah yang paling rentan dilanda krisis ekonomi, bencana-bencana alam, dan konflik-konflik horizontal. Sementara itu rakyat yang terhisab dalam burjuis kecil terombang-ambing antara “kebagian” kue kemakmuran dan “kena sial” saat terjadinya krisis-krisis ekonomik.

Demokrasi burjuis! Itulah demokrasi yang sedang berlangsung di negeri tercinta ini. Itulah demokrasi yang bila ditinjau dari sudut pandang kerakyatan tidak lebih baik daripada demokrasi “orang-orang merdeka” a la Athena – suatu demokrasi dari orang-orang yang menikmati kemakmuran berdasarkan nilai lebih yang diperoleh dari pengisapan terhadap kaum yang diperbudak. Suatu demokrasi yang memuja prinsip check and balance di antara lembaga-lembaga tinggi Negara – yakni legislatif-eksekutif-yudikatif – sehingga terkesan jauh dari tirani. Dalam kenyataannya, demokrasi tersebut berpihak pada kepentingan klas “berpunya”: melegitimasi, menjustifikasi, bahkan memperkuat posisi klas yang berpunya untuk tetap berkuasa, menjalankan penghisapan, dan dengan demikian memperkaya mereka at the expense of kemiskinan yang semakin parah bagi sebagian terbesar anggota masyarakat.

Lalu bagaimana?

Kita menginginkan demokrasi yang sejati, demokrasi kerakyatan. Itulah suatu demokrasi yang mengkonkretkan hak warga Negara untuk memilih dan dipilih dengan jalan demokratisasi kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal. Itulah demokrasi yang mengisyaratkan perlunya pendidikan yang mencerahkan kesadaran kritis klas proletar, memberdayakan, dan memobilisir kaum buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota menjadi suatu massa-aksi guna memperjuangkan hak-hak ekonomik, politik, dan kultural mereka. Itulah demokrasi yang memungkinkan bahkan “seorang yang terkecil di antara kamu” tampil sebagai pemimpin sekaligus pelayan rakyat.

Kita membutuhkan demokrasi yang benar-benar menjembatani “apa yang tertulis” dengan kenyataan. Demokrasi yang menghapuskan ironi dan diskrepansi teori dan praktik! Demokrasi yang tidak menghambur-hamburkan uang demi tampilnya para pelestari penghisapan dan kukuhnya penindasan! Kita membutuhkan demokrasi yang benar-benar progresif, demokrasi yang revolusioner!

Dari situ terbitlah kesadaran bahwa buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota membutuhkan sebuah partai pelopor, a vanguard party. Sebuah partai yang tidak serta-merta ingin terjun ke gelanggang pilkada atau pemilu demi membidik kursi eksekutif dan parlemen. Tapi sebuah partai yang berkomitmen untuk mendidik rakyat tertindas dengan kesadaran kritis, memberdayakan, dan memobilisir mereka untuk meraih dan mengelola kekuasaan secara demokratis, politik maupun ekonomik. Sebuah partai yang berdisiplin tinggi, yang bersih dari oportunisme, pragmatisme, dan mentalitas feodal dan burjuis. Sebuah partai yang tahu betul membaca “tanda-tanda zaman” dan bergerak bersama buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota dalam dinamika sejarah yang dialektis dengan segala romantikanya!



PJS_25Ags08

Tidak ada komentar: