Selasa, 13 Januari 2009

GEREJA KIRI: SUATU PERMENUNGAN


Di sepanjang sejarahnya umat manusia senantiasa bergolak di seputar tema keadilan dan perdamaian. Tanpa bermaksud naïf simplistis, pergolakan itu segera membedakan dua barisan yang berbeda paradigma, tafsir, dan praksis soal apa dan bagaimananya keadilan dan perdamaian.

Keadilan dan Perdamaian: Pihak yang Berkuasa

Bagi pihak yang berkuasa, yang sebetulnya merupakan koalisi pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan kekuasaan politis-birokratis, militer, dan para pemilik alat-alat produksi, keadilan berarti rembesan kemakmuran ekonomis yang terkendali mirip sebuah toples bersekat-sekat dan berlubang-lubang yang di setiap biliknya ikan-ikan berenang kian kemari berupaya menyambung kehidupan. Atau, kue besar yang bagian terbesarnya dibagi-bagi di antara para pelaku simbiosis struktur atas, sedangkan remah-remahnya diperuntukkan bagi rakyat yang tidak memiliki alat-alat produksi dan hanya bermodalkan tenaganya semata. Jaringan pihak yang berkuasa alias simbiosis struktur atas tentu saja berusaha melestarikan ‘berkat-berkat istimewa’ yang telah dan sedang mereka nikmati. Hal ini mereka perbuat dalam tataran sosio-politis, yang bagi mereka merupakan kendaraan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik.

Mereka mengemudikan kendaraan itu baik secara legal-formal dengan simulacra hukum positif, maupun premanisme yang siap dan terus menggebuki rakyat yang membangkang. Mengenai pelestarian kepentingan-kepentingan ekonomi-politik secara legal-formal, pihak atau kelas yang berkuasa menggunakan demokrasi politik guna meredam kegusaran rakyat yang tidak memiliki alat-alat produksi dengan jalan meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki hak politik yang sama dengan pihak-pihak yang bersimbioses secara mutualistis di struktur atas. Pihak yang berkuasa menjinakkan rakyat yang tidak berpunya dengan demokrasi politik. Dalam mekanisme semacam itu, parlemen alias dewan perwakilan rakyat merupakan lembaga kuasi-demokratis yang diklaim sebagai penyambung aspirasi rakyat, tetapi sebenarnya berfungsi untuk meredam tuntutan-tuntutan rakyat terhadap jaringan para penguasa. Parlemen adalah alat struktur atas untuk melemahkan kekuatan rakyat secara konstitusional. Sedangkan partai-partai adalah alat-alat untuk memecah-belah suara rakyat. Demokrasi Liberal adalah permainan cantik pihak yang berkuasa. Seperti para seniman bola Brazil menari-nari di lapangan hijau, para kapitalis menari-nari girang bersama-sama dengan para pemangku kekuasaan eksekutif dan pentolan-pentolan militer di negeri yang di dalamnya berlaku pepatah miris Rhoma Irama, ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’. Sementara itu, terutama sekali di negara-negara terbelakang, bila permainan cantik nampaknya tidak akan berhasil, apalagi bila rakyat yang tidak memiliki alat-alat produksi mulai menampakkan gejala-gejala revolusioner, taktik para penguasa tentu membutuhkan piranti pembantu, atau mengalami perubahan performance secara drastic, atau bisa juga menggabungkan strategi hukum positif dengan perilaku represif berhukum rimba yang berada di luar jangkauan hukum positif. Premanisme politik, itulah barangkali penamaan yang cocok. Rezim yang fasistik dictator totaliter menggemari kuasi-demokrasi yang membuat hasil pemilihan umum sudah diketahui sebelumnya, dan yang memungkinkan tindakan represif main gebuk culik serta character assassinasin model bersih-diri bersih-lingkungan.

Bicara tentang perdamaian, bagi pihak yang berkuasa, itu berarti ‘tertib aman terkendali’. Rakyat ‘jinak’, tidak berontak walaupun diinjak, tidak lagi memiliki denyut nadi revolusioner yang kerap dicap subversive, dan nurut manut pada kebijakan penguasa meski kebijakan itu tidak pernah berpihak pada kepentingan mereka. Kepada mereka pihak yang berkuasa, melalui mulut pemangku jabatan eksekutif, mendengung-dengungkan ilusi bahwa kemakmuran atau kehidupan yang lebih layak terbuka bagi semua orang mau bekerja keras berpartisipasi dalam pembangunan. Bersamaan dengan itu para kapitalis melancarkan trik-trik untuk mengamankan sebagian terbesar dari kue kemakmuran sembari menyisakan atau menyisihkan sebagian kecilnya guna menjaga keseimbangan sosial – sementara itu rakyat jelata, ya, mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi dan tidak memiliki akses terhadap kekuasaan, memperebutkannya. Sementara itu militer berjaga-jaga melindungi para pemilik alat-alat produksi dengan memelihara keamanan dan ketertiban, serta merepresi setiap tuntutan aspiratif rakyat jelata yang menggejolak.

Keadilan dan Perdamaian: Rakyat Jelata

Lalu bagaimana rakyat jelata, ya, mereka yang terhisab dalam ‘struktur bawah’, yang tidak memiliki alat-alat produksi dan tidak mempunyai akses terhadap kekuasaan, memahami dan menghayati keadilan dan perdamaian? Sementara demokrasi politik dalam bingkai Liberalisme sesungguhnya merupakan ‘demokrasi’-nya kaum struktur atas, yakni penguasa, para kapitalis, dan militer, guna melanggengkan penguasaan mereka atas hajat hidup orang banyak – dan dengan demikian tidak memungkinkan demokrasi ekonomi. Dengan demikian, keadilan dan perdamaian dalam paradigma struktur atas sesungguhnya merupakan ketidakadilan, penindasan, penghisapan manusia atas manusia, dan perdamaian yang dipaksakan, coercive peace (suatu contradictio in terminis!).

Keadilan bagi kaum struktur bawah berarti terhapusnya struktur yang secara inheren berkelas-kelas. Keadilan bagi mereka adalah demokratisasi alat-alat produksi dan pengelolaannya. Keadilan adalah akses terhadap kekuasaan terbuka bagi semua orang dan penggunaannya secara demokratis untuk menggarap segi-segi sosio-politik, sosio-ekonomi, dan sosio-budaya (tak terkecuali sosio-lingkungan!). Keadilan adalah kemakmuran yang terdistribusi secara merata karena lenyapnya kelas-kelas dalam masyarakat, demokratisasi alat-alat produksi dan pengelolaanya, dan akses terhadap kekuasaan yang terbuka bagi semua orang. Bagi mereka perdamaian adalah hasil dari rekonsiliasi melalui revolusi yang menghantar masyarakat ke dalam harmoni. Keadilan terwujud dalam demokratisasi dan pemerataan, dan hasilnya adalah perdamaian, harmoni dalam masyarakat, atau terwujudnya masyarakat sosialis.

Posisi dan Peran Gereja

Bagaimana posisi dan peran Gereja dalam perkara keadilan dan perdamaian? Terlalu lama rasanya Gereja mereduksi perkara keadilan menjadi soal pengadilan terakhir Tuhan dengan mana Ia menghakimi dan mengganjari setiap orang dengan adil. Pendeknya, perkara keadilan menjadi soal sorga dan neraka saja. Sementara, seiring dengan itu, perdamaian merupakan perkara subjektif dan melulu pribadiah, yakni ‘kedamaian hati’, ‘kedamaian pikiran’, ‘jiwa yang limpah dengan damai sejahtera dan menikmati kepenuhannya.’ Pereduksian keadilan dan perdamaian seperti ini menumpulkan kepekaan orang-orang Kristen terhadap tanggung jawab memperjuangkan keadilan dan perdamaian di muka bumi ini. Sementara keadilan menjadi utopia, perdamaian tidak ada sangkut pautnya dengan interaksi antarmanusia, bahkan antarbangsa. Orang-orang Kristen menjadi otherworldly people dan menghadapi dunia ‘yang dikuasai si jahat’ ini dengan sikap eskapistik.

Padahal kesaksian Alkitab tentang Gereja, ya kesaksiannya tentang status dan panggilan Gereja sungguh-sungguh menempatkan Gereja sebagai penatalayan Kerajaan Allah di dunia ini! Betapa tidak, Kitab Suci menyebut Gereja sebagai ‘umat manusia yang baru’ (Ef 2.15) dan memandangnya sebagai model sekaligus strategi Kerajaan Allah. Dalam pada itu Kerajaan Allah dipahami tidak terpisahkan dari dunia ini. Kerajaan Allah adalah tatanan perikehidupan yang baru, yang di dalamnya berlakulah keselamatan yang mewujudkan perdamaian, kasih, keadilan, dan kebenaran. Apabila Gereja merupakan model Kerajaan Allah, berarti Gereja menjadi representasi yang kelihatan dari Kerajaan Allah. Manusia melihat Kerajaan Allah manakala berjumpa dengan Gereja. Apabila Gereja merupakan strategi Kerajaan Allah, itu berarti Gereja berjuang menggarami dan menerangi dunia memperluas pengaruh Kerajaan Allah yang sedang mulai hadir di muka bumi ini. Mengemban Mandat Budaya dan Titah Pemuridan, Gereja setia pada raison d’etre-nya dan bergerak demi pencapaian ultimatnya, yakni memenuhi panggilan selaku model dan strategi Kerajaan Allah.

Berkenaan dengan keadilan dan perdamaian, kita segera dapat menarik kesimpulan bagaimana posisi dan peran ‘umat manusia yang baru’ alias Gereja sesungguhnya. Memang Gereja harus memandang perkara keadilan dan perdamaian dari sudut pandang Tuhannya. Akan tetapi pasti pula bahwa Tuhan Mesias, Yesus Kristus, Kepala Gereja itu, tidak mungkin mengambil posisi kaum struktur atas alias para penguasa, kapitalis, dan militer, yakni mereka yang menguasai alat-alat produksi dan memiliki akses terhadap kekuasaan. Kita tahu, Yesus dari Nazaret alias Yesus-historis berposisi dan berperan di pihak am ha-arets, minjung, dalit, wong cilik, marhaen, atau apa saja untuk tidak menyebut proletar. Kita tahu bahwa tatanan perikehidupan yang baru alias Kerajaan Allah berintikan keselamatan, bukan hanya bagi segelintir orang, tetapi bagi setiap, ya, semua, orang yang terhisab di dalamnya.

Yesus dari Nazaret adalah Tuhan yang bangkit, Tuhan Mesias, Kepala Gereja. Posisi dan praksis-Nya kiri. Kerajaan Allah pun kiri. Kalau begitu, sudah selayaknya, bahkan seharusnya, Gereja pun berposisi kiri. Bukan kanan alias pendukung atau bagian dari jejaring kekuasaan politis-birokratis, militer, dan para pemilik alat-alat produksi.

Kekirian Gereja nyata dalam praksis misionernya. Mengemban Mandat Budaya dan Titah Pemuridan, Gereja mengejar visi menjadi model dan strategi Kerajaan Allah. Titah Pemuridan, yang terdiri dari pewartaan Kabar Baik, pembangunan komunitas trinitaris, dan pembinaan murid-murid Kristus, merupakan mobilisator dan katalisator pelaksanaan Mandat Budaya. Dalam hal ini hubungan antara Gereja dan Mandat Budaya terjadi secara tidak langsung, yakni memperlengkapi orang-orang Kristen untuk cakap terjun secara langsung melaksanakan Mandat Budaya. Sementara Mandat Budaya berbicara tentang (i) membangun masyarakat yang beradab; (ii) menjadikan bumi sebagai ranah tinggal yang nyaman bagi umat manusia; dan (iii) mengayomi kehidupan, orang-orang Kristen diperlengkapi untuk menggarap aspek-aspek sosio-politis, sosio-ekonomi, sosio-budaya, dan sosio-lingkungan dari Mandat tersebut. Sementara itu, dalam kaitan langsungnya dengan Mandat Budaya, kekirian Gereja berarti menjalankan fungsi kenabian-kritis: memperingatkan pemerintah, selaku wujud sekaligus pelaksana kontrak sosial yang berwenang, agar mengupayakan keadilan dan perdamaian yang bercorak kiri. Demikian juga terhadap para pelaku ekonomi dan militer. Hal itu sesuai dengan moral-imperatif yang dimiliki Gereja. Seperti Nabi-nabi Perjanjian Lama Gereja menjadi hati nurani masyarakat. Termasuk pula di dalamnya pembentukan opini public berkenaan dengan isu-isu keadilan dan perdamaian. Bahkan, ketika situasi menjurus revolusioner, Gereja kiri mengambil sikap progresif dan revolusioner memobilisir umat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang baru, yang lebih adil dan damai. Bukan dengan senjata tentu, tapi dengan gerakan moral.

Penutup

Sudah kirikah Gereja? Atau malah kanan? Tengah tidak mungkin. Ketidakpedulian dengan pergumulan umat manusia pun secorak dengan sikap kanan, karena menolak partisipasi emansipatif demi keadilan dan perdamaian. Kalau sudah begitu, dapatkah Gereja dikatakan tetap setia pada Injil? Dengan perkataan lain, jika Gereja tidak (lagi) kiri, masih tepatkah disebut Gereja Yesus Kristus dan memanggil Dia sebagai Tuhan? *** (Rudolfus Antonius)


TERPUJILAH ALLAH!

1 komentar:

ahmed shahi kusuma mengatakan...

Romo, saya juga kritikus telogi kemakmuran, kenapa ???
karena teologi kemakmuran melalaikan faktor obyektifitas , yakni mengukur kemegahan diri sendiri dengan karunia Allah. la kalo yg lain menderita karena dampak liberalisasi ekonomi dan feodalisme, apakah Allah meninggalkan mereka itu ????
saya pikir saya sangat menghargai ide2 Romo yg mencerdaskan ini, tapi kenapa Romo tidak menulis berita baru lagi ????