Jumat, 30 Januari 2009

TAMPILNYA PARA JENDERAL SEBAGAI KANDIDAT RI-1


Jelang Pemilu 2009, para purnawirawan jenderal mulai menampilkan diri sebagai kandidat. Wiranto, yang berkendaraan Partai Hati Nurani (Hanura), telah bersumpah bahkan katanya mewakafkan sisa hidupnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Prabowo gencar mempromosikan dirinya melalui iklan-iklan di televisi, baik sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Ketua Umum Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (HPPSI), maupun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang menjadi kendaraan politiknya. Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sedang menjalani setahun terakhir kepresidenannya, tidak mau ketinggalan. Bersama partainya, Partai Demokrat, ia “mengingatkan” rakyat akan pengabdian yang telah dilakukannya bagi kesejahteraan mereka. Sutiyoso, mantan gubernur DKI Jakarta, juga tampil. Putri almarhum Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri, menyatakan bahwa partainya, PNI Marhaenis, akan menggandeng Bang Yos dan mencalonkannya sebagai presiden.

Belakangan, Kivlan Zein tidak mau ketinggalan. Dalam acara The Candidate (yang ditayangkan Metro TV, Kamis, 25 September 2008), ia menyatakan telah mendapatkan dukungan moral dari Amien Rais (yang disebutnya “motor Reformasi”), dukungan partai-partai tertentu, bahkan jaringan keuangan dari luar negeri (berkenaan dengan keduanya ia enggan menyebutkan namanya). Bahkan ia sesumbar akan mengkombinasikan gaya Bung Karno dan Soeharto: seperti Bung Karno yang oratorik dalam berpidato, dan seperti Soeharto dalam pengelolaan administrasi Negara.

Bagaimana kita harus menilai dan menyikapi tampilnya para purnawiran jenderal ke kancah persaingan menuju RI-1?

Dari lima jenderal yang barusan kita sebutkan nama-namanya, SBY-lah yang paling menampakkan ciri burjuis-demokratis. Paling sedikit itu telah diperlihatkannya sejak ia mengepalai pemerintahan sampai saat ini. Mengapa saya katakan demikian? SBY nampak sangat menghormati trias politica. Lihatlah, sepertinya legislatif dan yudikatif bekerja independen, tanpa intervensi eksekutif. Dalam pada itu, SBY juga terkesan peragu mengomandani eksekutif. Nampaknya ia memang benar-benar harus berbagi kekuasaan dengan Jusuf Kalla, si wakil presiden yang pentolan Partai Golkar. Semboyan SBY “Bersama Kita Bisa”, meski kedengaran indah, toh mengandaikan persatuan yang mantap di satu sisi dan kepemimpinan yang kuat di sisi lain. Itu belum juga nampak.

Keempat jenderal lainnya dalam kadar yang berbeda-beda menampakkan ciri burjuis-fasis. Wiranto barangkali yang kurang fasis di antara mereka. Selanjutnya Sutiyoso. Bisa jadi, mereka nampak kurang fasis karena mereka belum banyak bicara di media massa. Dalam hal ini, pepatah bijak nyaris benar: diam itu emas. Prabowo Subianto dan Kivlan Zein menampakkan ciri fasis yang sangat mencolok. Simaklah iklan-iklan politiknya, baik atas nama HKTI, HPPSI, dan Gerindra. Menjadikan dirinya sebagai jurubicara kaum tani dan pedagang pasar, retorikanya terdengar sangat berpihak kepada mereka. Ya, ia berbicara tentang keterpurukan kaum tani dan pedagang pasar di satu sisi dan mengajak bangsa Indonesia untuk mempedulikan mereka. Bagaimana dengan iklannya bersama Gerindra? Ia menginginkan Indonesia Raya kembali jaya, dan sang garuda kembali mengangkasa. Di sinilah persoalannya. Bicara tentang kaum tani dan pedagang pasar, Prabowo membandingkan masa kini dengan masa lalu, yang tak lain adalah masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, ayah mertuanya. Dengan kata lain, kaum tani dan pedagang pasar akan kembali makmur bila Negara menempuh lagi jalan Orde Baru. Demikian pulalah kiranya dengan kejayaan Indonesia. Apa yang tersirat? Kesejahteraan kaum tani dan pedagang pasar serta berjayanya kembali Indonesia, agaknya sukar tercapai bila negeri ini menempuh jalur demokrasi liberal seperti sekarang ini. Ada jalan pintas, yakni fasisme.

Kivlan Zein tidak tampil sebagai sosok yang cerdas di acara The Candidate. Orang ini menampilkan dirinya sebagai hero yang, dengan pernyataannya tentang komitmen terhadap kebenaran dan klaim akan kemampuannya menyejahterakan rakyat Indonesia, mengundang gelak tawa hadirin di studio. Seorang pemirsa, yang bekerja di sebuah lembaga penegakan HAM dan advokasi perempuan, mempertanyakan bagaimana ia menyikapi pemerkosaan terhadap perempuan yang terjadi dalam Peristiwa Mei 1998. Dengan enteng sang jenderal menjawab bahwa kasus-kasus pemerkosaan itu tidak ada buktinya. Suatu jawaban yang tidak patut mengundang gelak tawa, tapi kemarahan dari setiap orang yang masih empunya hati nurani yang belum terdistorsi. Dari pernyataan-pernyataannya, Zein coba menampilkan dirinya sebagai seorang pencinta kebenaran, sekaligus memposisikan dirinya – bila kelak menjadi presiden – sebagai pemberi komando tertinggi. Persoalan-persoalan di masa pemerintahan SBY yang mulur-mungkret penyelesaiannya karena konsekuensi demokrasi liberal yang coba diterapkan di Indonesia yang masih semi-feodal, dijawabnya dengan tandas: mudah, saya akan dengan cepat menyelesaikannya; saya akan berikan perintah … Kivlan Zein juga bicara tentang akan mudahnya investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Apakah karena ia akan menjamin ketertiban dan keamanan a la Soeharto? Ia juga menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang unggul. Tanpa sempat menjelaskan lebih lanjut, ia buru-buru berkilah: Indonesia menjadi bangsa yang ramah-tamah dan bukan marah-marah … Dalam kritik ideologi, apa yang tidak terucap agaknya lebih merupakan hal yang sebenarnya daripada apa yang dikatakan. Bagi saya, orang ini akan membawa Indonesia ke jalan fasisme.

Bila kita renungkan sejarah fasisme baik di Italia (Mussolini) maupun di Jerman (Hitler), kita menemukan dua cara yang agak berbeda yang ditempuh oleh kaum fasis dalam mencapai kekuasaan. Tapi konteks sosio-historis mereka sama: keterpurukan ekonomik dan kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam situasi tersebut, demokrasi liberal dan para pemimpin burjuis-demokratis tidak dapat berbuat banyak. Berbagai pihak sibuk bertengkar demi kepentingan partainya, sementara pihak eksekutif berusaha mati-matian mempertahankan keseimbangan kekuatan. Bila dalam situasi seperti ini klas pekerja benar-benar matang, yakni tercerahkan dan terorganisir, mereka dapat memimpin klas-klas yang miskin-tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan melalui revolusi sosio-demokratis dan mendirikan Diktatur-proletariat. Tapi bila tidak, para (ultra-) nasionalislah yang akan bertindak. Mussolini, dengan milisi fasisnya yang menakutkan, mem-fait accomplii Raja dan rakyat untuk meminggirkan parlemen dan menaruh kekuasaan eksekutif ke dalam tangannya. Kemudian Hitler, yang melalui Partai Nazi-nya merebut kemenangan demi kemenangan dan pemilihan umum, sebelum mem-fait accomplii Presiden Hindenberg untuk menjadikan dirinya Kanselir, dan pada akhirnya membubarkan Republik Weimar dan mendirikan Negara Ketiga. Cara Mussolini dan Hitler agak berbeda, tapi selanjutnya sama: merekalah yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah bagi segenap warga Negara.

Di Indonesia, Soeharto mendirikan fasisme melalui kudeta merangkak terhadap Presiden Soekarno. Itu dilakukannya pasca Gerakan Tiga Puluh September dengan perburuan besar-besaran daging kaum kiri atau merah di seluruh Indonesia, menangkapi para pendukung Soekarno, kemudian menggunakan MPRS untuk memecat sang proklamatir, dan mendudukkan dirinya di kursi kekuasaan. Selanjutnya sama, dialah yang menentukan benar dan salah. Beda dengan Mussolini dan Hitler, fasisme Soeharto sangat mesra dengan Negara-negara kapitalis raksasa macam Amerika dan Inggris ini. Negara-negara “demokrasi” itu pun merasa nyaman dengan Soeharto meski tak terbilang pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pasalnya, kepentingan ekonomi-politik mereka terjamin di Indonesia berkat the Smiling General. Dengan resep pembangunan ekonomi kapitalis yang bernama Developmentalisme, kemelaratan di zaman Soekarno berhasil diatasi.

Bagaimana dengan para jenderal dan Indonesia masa kini? Prabowo dan Zein telah menampilkan dirinya dengan jelas sebagai fasis. Kekuasaan militer dapat dipastikan akan kembali ditegakkan. Hanya itulah jalan bagi tegaknya keamanan dan ketertiban, sebagai syarat pembangunan untuk membuat rakyat kecil kebagian remah-remah roti. Itu pula yang akan membuat Indonesia kembali kelihatan sangar di Asia Tenggara. Wiranto juga jelas bicara tentang kemiskinan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sutiyoso masih belum jelas. Bagaimana dengan SBY? Bila SBY maju lagi ke kancah pemilihan RI-1, bukan tidak mungkin ia sudah berencana untuk mengubah orientasi politiknya. Posisi sebagai pemimpin yang bercorak burjuis-demokratis sangat melelahkan dengan hasil yang sangat bergantung pada permainan untuk mengakomodir berbagai kepentingan burjuis. Beayanya, dari berbagai segi, bisa teramat mahal. Karena itu, bisa jadi, bila terpilih lagi menjadi RI-1, SBY akan banting stir, menempuh jalan fasis pula.

Dalam konteks Indonesia, demokrasi liberal mengantar pada ketidakpastian yang sangat mencemaskan bagi rakyat. Di sana tibalah bangsa ini pada dua pilihan. Pilihan pertama adalah barbarisme, yang akan diakomodir oleh fasisme. Pilihan kedua adalah sosialisme, yang berintikan demokratisasi kekuasaan politik dan demokratisasi kekuasaan ekonomik.*** (Pandu Jakasurya_250908)


Tidak ada komentar: