Senin, 16 Februari 2009

KONTRADIKSI DALAM GEREJA PERDANA

KONTRADIKSI DALAM GEREJA PERDANA
Pandu Jakasurya

Praksis terawal dari paguyuban-paguyuban yang dikenal sebagai Gereja Perdana memiliki asas-asas yang boleh kita namakan kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan. Di sana berlaku kesetaraan gender. Di sana orang-orang yang berasal dari ras-ras yang berbeda bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Di sana klas-klas dalam masyarakat berakhir, tiada tuan tiada pula hamba. Semuanya saudara, putra-putri dari Allah, yang berkenan menjadi Bapa mereka dalam Yesus Kristus. Semuanya telah ditebus oleh Yesus Kristus dan mengalami kehadiran dari Roh-Nya yang memerdekakan. Mereka adalah umat manusia yang baru (Ef 2.15). Dalam kata-kata Rasul Paulus,

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (Gal 3.26-28).

Juga,

Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh (1Kor 12.12-13).

Jika asas-asasnya demikian, rasanya tidak terlalu sukar untuk menerima kisah yang diriwayatkan Lukas tentang cara hidup paguyuban-paguyuban tersebut (meski barangkali itu lebih merupakan proyeksi asas-asas ideal tersebut ke dalam hari-hari terawal sejak kelahiran Gereja):

Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis 2.41-47).

Juga:
Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya (Kis 4.32-39).

Dari setiap orang menurut kemampuannya, bagi setiap orang menurut kebutuhannya! Dalam kata-kata Mas Marco Kartodikromo, “sama rata sama rasa.” Sukar rasanya untuk menyangkali bahwa paguyuban-paguyuban terawal dari Gereja Perdana untuk menghidupi sejenis komunisme, yakni community of goods. Tentu komunisme seperti ini sama sekali berbeda dengan komunisme yang dicita-citakan oleh para penganut sosialisme-ilmiah. Community of goods adalah pencapaian sosialistik terbaik yang barangkali dapat dicapai dalam masyarakat yang tersusun atas hubungan-hubungan produksi yang bertumpu pada perbudakan. Komunisme seperti ini memiliki daya tarik yang kuat. Tak heran bila banyak orang yang menggabungkan diri dengan paguyuban-paguyuban tersebut.

Pada saat yang sama, komunisme seperti ini adalah kelemahan yang terbesar dari Gereja Perdana. Community of goods adalah community of consumption, komunitas konsumsi. Sama sekali bukan community of production, komunitas produksi. Perhatikan, orang-orang yang “mampu” menjual kepunyaan mereka. Dalam koordinasi para rasul, hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan paguyuban. Memang tidak ada seorang pun yang berkekurangan. Tapi sampai kapan? Konsumsi hanya menghabiskan. Tak heran bila praktik yang menjadi gambaran tentang penubuhan idea-idea kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan itu tidak dapat bertahan.

Mengapa komunisme Gereja Perdana tidak dapat melampaui dari sekadar community of goods? Mengapa paguyuban-paguyuban itu tidak mempraktikkan community of production? Dalam komunitas produksi, alat-alat produksi adalah milik bersama. Bayangkanlah bila seorang yang ber-“punya” tidak menjual tanahnya untuk kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan paguyuban, tapi justru diserahkan kepada paguyuban untuk menjadi milik bersama – yang dikelola, dikontrol, dan diakses secara demokratis … Tapi, sekali lagi, mengapa tidak demikian?

Para pengikut Yesus yang mula-mula adalah para penganut millenarianisme. Meyakini Yesus sebagai Mesias (“Tuhan dan Kristus”, Kis 2.37), mereka menantikan kedatangan-Nya kembali untuk sepenuhnya mengakhiri tatanan yang lama dan menghadirkan tatanan yang baru di muka bumi – pertama-tama untuk Israel (Kis 1.6-8). Berkenaan dengan itu, menarik pula untuk diperhatikan bahwa paguyuban-paguyuban terawal dari Gereja Perdana terdiri dari orang-orang Yahudi, baik yang berdomisili di Palestina, maupun yang tinggal di Diaspora. Milenarianisme menaruh pengharapan pada realisasi masa depan yang relatif dekat: sebentar lagi, tak lama lagi Sang Mesias datang. Karena itu sangat gencar rasul-rasul mewartakan Yesus kepada orang-orang sebangsa mereka di Yerusalem dan menganjurkan mereka untuk percaya kepada-Nya dan menggabungkan diri dengan Gereja-Nya (lihat Kis 3.19-21).

Apa hubungan keyakinan millenarianistik itu dengan pilihan jenis komunisme Gereja Perdana? Barangkali kurang tepat bicara tentang “pilihan”, karena bagi para millenarian kesudahan zaman yang lama dan datangnya zaman yang baru sudah sangat dekat bahkan mendesak. Kedekatan dan kemendesakan itu membuat mereka tidak memandang berarti harta-benda, termasuk alat-alat produksi, yang selama ini dimiliki. Pengharapan millenarian tidak akan pernah mentransformasi fungsi sosio-ekonomik alat-alat produksi dari milik pribadi menjadi milik bersama. Pengharapan millenarian hanya bisa membuat alat-alat produksi dari milik pribadi menjadi obyek konsumsi bersama. Dalam millenarianisme semua milik pribadi mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi sarana penunjang kedudukan orang-orang yang semula memilikinya di dalam kerajaan mesianik yang akan segera datang. Barangkali tindakan “bunuh diri klas” sebagaimana dilakukan oleh Barnabas (Kis 4.35-37) tidak dapat dilepaskan dari mindset millenarian ini.

Bagaimana bila pengharapan millenarian itu “gagal”, tidak kunjung menjadi kenyataan? Seperti kita ketahui, inilah masalah serius yang harus digumuli oleh Gereja Perdana. Meski keanggotaan paguyuban-paguyuban Gereja Perdana sudah mengikutsertakan orang-orang bukan Yahudi, pengharapan millenarian masih tergolong mantap. Dalam surat-surat seperti 1Tesalonika dan 1Korintus, misalnya, Rasul Paulus mengekspresikan keyakinannya akan kedekatan dan kemendesakan parousia. Tapi setelah angkatan-angkatan pertama Kekristenan Perdana, termasuk para rasul, berlalu, dan pengharapan millenarian tak kunjung menjadi kenyataan, Gereja Perdana harus bergumul lebih lanjut paling sedikit dalam tiga perkara.

Perkara pertama adalah bagaimana menjelaskan cognitive dissonance, ketidakselarasan kognitif, yakni kesenjangan antara pengharapan dengan kenyataan. Dengan kata lain, menjelaskan mengapa “kok Tuhan nggak datang-datang, katanya …” Gereja harus dapat memberikan penjelasan yang memadai agar kepercayaan dan loyalitas umat tidak goyah apalagi beralih. Surat 2Petrus memperlihatkan salah satu contoh upaya tersebut:

Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2Pet 3.8-10).

Perkara kedua adalah bagaimana mengisi “masa interim yang diperpanjang”. Di satu sisi, Gereja ingin agar para penganut Kristus tetap menaruh pengharapan mereka pada parousia. Di sisi lain, Gereja merasa bertanggungjawab untuk membekali atau memperlengkapi diri dan umat untuk menjalani “masa interim yang diperpanjang.” Dengan kata lain: “Apa yang harus dilakukan untuk menjalani masa penantian yang mungkin masih sangat panjang ini?” Para pemimpin terbaik Gereja pun berusaha merelevankan ajaran Yesus dari Nazaret dan rasul-rasul (generasi pertama) untuk diterapkan dalam situasi mereka. Para pemimpin itu juga membuat regulasi-regulasi, termasuk organisasi, yang memungkinkan Gereja bertahan dalam waktu lama di dalam dunia. Gejala ini terutama kita lihat dalam Surat-surat Deutero-Paulinis.

Perkara ketiga adalah bagaimana mengatasi kegagalan community of goods atau community of consumption yang hanya cocok bagi situasi “gawat darurat” menjelang parousia yang mendesak – dan sama sekali tidak dapat bertahan ketika masa interim itu diperpanjang dalam batas waktu yang tidak dapat ditentukan? Alih-alih mentransformasi community of goods menjadi community of the means of production, Gereja malah meninggalkan watak atau karakter komunisnya. Bagaimana ini bisa terjadi?

Barangkali kita dapat menjelaskannya sebagai berikut: surutnya antusiasme millenarian diikuti dengan berkembangnya upaya untuk membuat Kabar Baik dari Yesus dari Nazaret dan rasul-rasul-Nya relevan bagi semakin banyak orang – terutama orang-orang non-Yahudi. Karakter eskatologis memang masih dipertahankan, ajaran tentang parousia justru beroleh posisi penting dalam dogma Gereja Perdana. Tapi jelas Kabar Baik itu perlu mengalami reaktualisasi secara menyeluruh agar Kekristenan Perdana tidak tetap tinggal sebagai sebuah sekte Agama Yahudi (“Nasrani”) yang lambat-laun akan mati ditelan sejarah. Upaya hebat itu menuai hasil yang signifikan, banyak orang non-Yahudi menerima Injil. Termasuk orang-orang kaya, yakni para tuan pemilik budak, baik pejabat-pejabat Romawi maupun tuan-tuan tanah. Sementara parousia mengalami pengunduran dan Kabar Baik mengalami reaktualisasi, tidak ada kemendesakan bagi orang-orang kaya ini untuk menjual harta benda mereka, termasuk alat-alat produksi, untuk menjadi konsumsi bersama.

Tiadanya kemendesakan membuat alat-alat produksi tetap ada di tangan mereka. Tapi tentu bukan tanpa kompensasi: mereka harus menyediakan diri menjadi penopang sosio-ekonomik paguyuban-paguyuban tersebut. Konkretnya, sebagai contoh, mereka menyediakan rumah mereka (yang umumnya besar-besar) untuk menjadi tempat pertemuan ibadah. Sementara itu rumah tersebut tetap milik mereka sendiri, para tuan itu. Contoh lain, mereka harus menyerahkan sumbangan-sumbangan (persembahan kasih) kepada paguyuban untuk kemudian dikelola untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota yang berkekurangan. Sumbangan-sumbangan itu sendiri asal-muasalnya adalah jerih-payah budak-budak tuan-tuan itu, yakni budak-budak yang mengoperasikan alat-alat produksi para majikan Kristen mereka. Dengan demikian, community of goods atau lenyap, digantikan dengan derma atau amal. Diakonia, yang mula-mula merupakan sarana untuk mengaplikasikan community of goods kepada para janda, sekarang merupakan salah satu seksi di dalam paguyuban untuk menyumbang anggota-anggota yang miskin. Dengan kata lain, sarana anggota-anggota yang kaya membagikan sekian dari keuntungan yang diraihnya dari penghisapan terhadap budak-budak mereka kepada anggota-anggota yang menjadi beban paguyuban mereka. Untuk itu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang melakukan perbuatan kasih.

Ketiga perkara yang kita kenal sebagai gejala-gejala yang mendahului lahirnya Katolisisme alias early Catholicism ini berdampak luas terhadap struktur Gereja Perdana. Pertama, Gereja tidak lagi merupakan “masyarakat tanpa klas”. Mulai sekarang, Gereja adalah masyarakat klas: ada para tuan, ada pula para budak. Kedua, patriarki (yang sejak semula ada melalui kepemimpinan rasul-rasul yang notabene laki-laki semua) menguat. Mula-mula, kendati bercorak patriarkis, paguyuban-paguyuban terawal Gereja Perdana mengizinkan kepemimpinan perempuan sampai tataran tertentu. Ada perempuan-perempuan yang menjadi pengajar atau pemberita Injil. Namun terintrodusirnya masyarakat klas memperkuat pula patriarki – bahkan androsentrisme dan misogini – di dalam Gereja. Simaklah misalnya penuturan 1Tim 2.11-14:

Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.

Syukurnya, berkenaan dengan ras, Gereja Perdana belum sampai tergelincir ke dalam rasisme. Meski demikian, pertentangan yang melelahkan dengan orang Yahudi sehubungan dengan Yesus Kristus dan Kabar Baik-Nya lambat-laun mengendapkan rasa permusuhan terhadap orang Yahudi. Pengendapan ini pada gilirannya akan menjadi sikap anti-semitis di abad-abad selanjutnya.

Ketiga, terbentuk pemisahan antara asas-asas asli (kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan) dengan ajaran dan praktik Katolisisme Dini dalam Gereja Perdana. Bila semua asas-asas itu dimaknai secara konkret dalam tindakan “bunuh diri klas” dan kesetaraan gender, sekarang itu semua dipahami secara rohani. Dengan kata lain: kedudukan-kedudukan yang berdasarkan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat yang bertumpu pada perbudakan tidak terhapuskan di dalam Gereja. Tapi mengalami penghalusan: tuan-tuan Kristen tidak perlu membebaskan budak-budaknya, tapi cukup memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai saudara. Demikian juga, kaum perempuan diakui kemanusiawian penuhnya, tapi tidak dapat menjadi pemimpin Gereja. Alih-alih terus membangun struktur baru yang sepenuhnya egaliter dan dengan demikian menantang struktur-struktur masyarakat di luarnya, Gereja mengakomodir struktur-struktur klas tersebut.

Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam Gereja Perdana, yang membentuk Gereja menjadi masyarakat klas, patriarkis, dan kadang memiliki sentimen rasial, menemukan bentuk-bentuknya yang baru hingga sekarang. Feodalisme dan kapitalisme, yang merupakan sistem-sistem sosio-ekonomik yang mengisyarakatkan masyarakat klas menguatkan tendensi dari pergeseran-pergeseran tersebut. Alih-alih menantang masyarakatnya klas, Gereja justru menjadi cermin dari masyarakat klas. Secara sosio-ekonomik tentulah ini menguntungkan Gereja. Para klerus menikmati kekayaan finansial – yang sesungguhnya merupakan hasil dari penghisapan kerja yang tidak dibayarkan dari para tuan tanah Kristen (terhadap hamba-sahaya mereka) atau dari para kapitalis Kristen (terhadap buruh mereka). Sementara itu para tuan beroleh penghiburan sorgawi dan pembenaran teologis sehubungan dengan praktik-praktik penghisapan mereka. Pada saat yang sama mereka juga mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi bahkan menentukan kebijakan-kebijakan Gereja. Hasilnya jelas, muskil bagi Gereja untuk menjadi “umat manusia yang baru” yang bercirikan kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan yang sejati. Gereja pun gagal untuk menjadi komunitas yang memerdekakan. Cita-cita Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu pun sepertinya kandas.

PJS_160209Yk

Rabu, 04 Februari 2009

Orang Kristen dan Pemilu 2009

Orang Kristen dan Pemilu 2009
Pandu Jakasurya

Indonesia adalah negeri semi-kolonial. Ungkapan ini bersisi dua. Pertama, negeri kita belum sempat menyelesaikan revolusi nasional burjuis-demokratisnya. Revolusi Agustus 1945, yang diharapkan berfungsi sebagai revolusi nasional burjuis-demokratis, telanjur terkooptasi oleh kepentingan imperialis, yang bermuara pada berkuasanya rezim fasis militer bernama Orde Baru. Padahal, revolusi nasional burjuis-demokratis merupakan tahap yang mutlak diperlukan untuk mengakhiri feodalisme dan menegakkan kapitalisme. Akibatnya, di satu sisi bangsa kita belum mempunyai klas burjuis yang progresif dalam jumlah yang berarti. Alih-alih, kita banyak mempunyai kaum burjuis kroni, baik bumiputera maupun non-bumiputera, yang sangat bergantung pada penguasa politik. Kebergantungan patron-klien, tentu.

Kedua, sementara revolusi nasional burjuis-demokratis gagal, negeri kita harus hidup dalam perekonomian kapitalis. Melalui revolusi-revolusi nasionalis burjuis-demokratis (misalnya Perang Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Prancis), bangsa-bangsa Barat kukuh-mantap menjalankan perekonomian kapitalis. Sejarah menunjukkan, hanya klas burjuis yang progresif yang mampu menjalankan perekonomian kapitalis sekaligus menghidupi demokrasi (liberal). Bagi mereka feodalisme tidak lagi menjadi bagian struktur mental yang menentukan kinerja ekonomiko-politik. Tak heran bila rakyat-rakyat di negeri-negeri mereka dapat mengambil posisi sebagai pemilih yang bukan hanya well-informed, tetapi juga etis.

Tapi bagaimana dengan negeri-negeri yang terpaksa hidup dalam perekonomian kapitalis dan menjalankan demokrasi liberal padahal feodalisme belum berakhir dan klas burjuisnya tidak progresif? Kita bisa menyaksikan sendiri di negeri kita. Alih-alih cakap bersaing dalam perekonomian kapitalistik, klas burjuis kita cenderung menjadi komprador: kaki-tangan kapital asing. Bukan hanya eksekutifnya, yang senang mengemis calon-calon investor asing untuk menanamkan kapitalnya di negeri ini. Demikian juga legislatifnya yang senang mengegolkan undang-undang yang secara ekonomi-politik menelikung rakyat sendiri, sementara negeri ini menjadi ajang penjarah-rayahan pihak kapital.

Lalu bagaimana dengan pemilu?

Dalam alam demokrasi liberal yang dihidupi oleh suatu bangsa semi-kolonial, secara logis pemilu akan membuat korupsi beranak-pinak. Betapa tidak! Secara formal, memang setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih, entah caleg entah capres-cawapres, entah melalui partai entah sebagai calon independent. Tapi yang formal tidak berbanding lurus dengan yang riil. Secara riil, hanya orang-orang yang punya banyak “sangu” yang dapat mengajukan diri sebagai caleg atau capres/cawapres. Ini, paling sedikit, menyiratkan dua hal. Pertama, sang calon adalah orang yang ber-uang, kaya-raya. Atau, yang kedua, ia mendapat sokongan kanan-kiri dari pihak-pihak yang berkepentingan. Bila konon politik merupakan seni mengelola berbagai kepentingan yang saling bersaing, analisis klas mengingatkan kita bahwa pada akhirnya setiap orang yang terpilih akan berusaha untuk memperjuangkan kepentingan klasnya. Seorang caleg atau capres-cawapres bukan sekadar individu, tetapi juga representasi dari kepentingan klasnya. Kemana perjuangannya bermuara sudah dapat diduga: burjuis birokratik (baik eksekutif maupun legislatif) akan mati-matian memperjuangkan kepentingan burjuis enterprener (yang banyak masih berwatak kroni). Kalau begitu, korupsinya bukan hanya individual (sudah ada KPK yang siap menanganinya), tetapi juga struktural.

Bagaimana sikap kita?

Uraian di atas tidak bertujuan untuk mengajak kita membenci pemilu. Itu adalah kondisi obyektif yang dialami oleh bangsa-bangsa semi-feodal. Uraian di atas juga tidak ingin mengajak kita menafikan pemerintah. Benar kata Roma 13, pemerintah adalah “pelayan Allah”. Kita tidak boleh menyangkalinya sama sekali. Sebagaimana dikemukakan Thomas Hobbes, adanya pemerintah membatasi kemungkinan khaos, bellum omnium contra omnes, dalam masyarakat. Bahkan, secara positif, sebagaimana dikemukakan oleh para teoretikus politik Calvinis, adanya pemerintah memungkinkan tercapainya bonum commune generale, kebaikan yang bersifat umum bagi kehidupan bersama.

Meski demikian, sukar disangkal bahwa Negara (lengkap dengan apparatus-aparatus eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, ketentaraan, dan sebagainya) adalah representasi dari klas tertentu dan berfungsi terutama untuk membela kepentingan klas tersebut. Tanpa menyangkali proyek-proyek kesejahteraan yang diadakan Negara untuk rakyat jelata, kita perlu realistis bahwa apparatus-apparatus Negara akan menjalankan proyek-proyek itu sejauh tidak merugikan kepentingan klas yang direpresentasikannya.

Bila sampai dirugikan, klas yang direpresentasikan akan berupaya sedemikian rupa untuk menggantikan orang-orang yang merepresentasikan mereka. Kudeta yang gagal pada tahun 2002 di Venezuela adalah salah satu contoh yang paling menyolok. Syukurlah, komitmen Presiden Hugo Chavez kepada rakyat jelata (buruh, tani, kaum miskin kota) tidak bertepuk-sebelah tangan. Meski sempat tergulingkan, hanya dalam waktu tiga hari Chavez kembali ke kursi kepresidenan. Kudeta kaum oligarkhi yang notabene burjuis enterprener dan burjuis kroni pun gagal total.

Menurut pendapat saya, sikap kita sebagai Kristen adalah loyalitas yang kritis secara etis. Loyal, karena kita bertanggungjawab terhadap bangsa dan negeri kita. Kritis dan etis, justru karena kita mengembang tanggung jawab itu. Dalam konteks ini usulan agar kita menjadi informed citizenry patutlah disambut baik. Mari kita memilih dengan pengertian: kita sedikit banyak tahu siapa dan partai apa yang kita pilih. Mari kita mengajak teman-teman kita untuk menjadi informed citizenry.

Dalam pada itu patutlah kita berawas-awas pada partai dan caleg atau capres-cawapres yang berkecenderungan fasis (yang senang bicara kejayaan bangsa, keberpihakan kepada kaum tani dan pedagang kecil, dan kemakmuran … tapi tak sedikit pun bicara tentang demokrasi, dan senang merujuk pada masa lalu sebelum Reformasi). Pemilih yang kritis dan etis tidaklah menghendaki fasisme datang lagi meski melalui cara konstitusional dalam koridor demokrasi liberal. Berawas-awas pulalah pada partai atau calon yang pandai memanfaatkan momentum untuk membohongi rakyat seakan-akan “setetes embun” jatuh karena kinerja rezimnya: turunnya harga BBM (yang sebenarnya merupakan keharusan ekonomik yang logis karena turunnya harga minyak bumi di pasaran internasional). Berawas-awas pula dengan partai oportunis dan berpura-pura populis, apalagi dengan tokoh-tokoh “besar” yang senang ber-pagi dele sore tempe.

Pilihannya makin sulit? Bagaimana bila tidak ada pilihan? Pilihan tetap ada, meski barangkali kita harus menghela nafas sembari menggumam: the best among the worst…

Saya pribadi mendambakan penuntasan revolusi nasionalis burjuis-demokratis. Untuk itu perlu adanya vanguard party yang benar-benar berwatak sosio-demokratik (bukan sosdem!). Sebuah vanguard party akan memahami dengan tepat kondisi-kondisi obyektif, dan menerjemahkan pemahaman itu untuk menggugah kesadaran rakyat dan membangunnya menjadi faktor subyektif yang tanggap. Vanguard party itu jugalah yang akan mengorgansir dan memobilisir rakyat untuk menuntaskan revolusi nasionalis burjuis-demokratisnya. Dalam kehendak Allah, saya akan mendukungnya!

PJS_Feb09