Minggu, 05 Desember 2010

MAGNIFICAT ANAK DARA MARIA

Oleh: Pandu Jakasurya

Revolusioner! Begitulah kiranya kesan kita ketika membaca Magnificat Anak Dara Maria. Betapa tidak! Simak saja:

Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya
dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya
dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar,
dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa

”Orang-orang yang takut akan Dia”, ”orang-orang yang rendah”, dan ”orang yang lapar” ada di pihak yang satu; sedangkan ”orang-orang yang congkak hatinya”, ”orang-orang yang berkuasa”, dan ”orang yang kaya” ada di pihak yang lain. Keduanya berseberangan, berhadap-hadapan. Allah berdiri di pihak yang pertama; Dia berdiri sebagai lawan pihak yang kedua. Sebuah revolusi sosial, dengan aspek-aspeknya yang teologis, politik, dan ekonomik. Barangkali sebuah revolusi Marxis dengan theistic point of reference; atau setidak-tidaknya praksis aspirasional dari theology of liberation.

Sangat menarik. Secara naratif kidungan revolusioner ini dinyanyikan oleh Anak-Dara Maria. Biasanya kita membayangkan sang anak-dara sebagai seorang gadis polos lugu nan lemah-lembut, penuh kesalehan yang serba pasrah kepada Yang Mahakuasa. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu,” begitu katanya kepada Gabriel sang pesuruh sorgawi. Tapi, demikian Narasi Lukas, Maria yang taat-beriman adalah Maria yang sama dengan Anak-Dara yang revolusioner.

Keduanya, yakni sikap taat-beriman dan watak-revolusioner tidaklah bertentangan. Bahkan justru karena sikap taat-berimanlah kiranya Sang Anak-Dara menjadi revolusioner. Persoalannya terletak pada siapa dan/atau apa yang diimani dan ditaati. Bila yang diimani dan ditaati adalah sosok ilahiah tetiron macam Mamon (simbol tatanan-ekonomik yang eksploitatif), Kaisar (simbol tatanan-politik yang represif), dan Kenisah (simbol tatanan-agamawi yang eksklusif, diskriminatif, memarjinalkan, dan menghamba kepada Mamon dan Kaisar), watak-revolusioner merupakan suatu kekejian. Tapi bila yang diimani dan ditaati adalah Allah-nya kaum yang miskin-tertindas, seperti Allahnya Maria Sang Anak-Dara, maka watak-revolusioner merupakan merupakan watak yang lahir-terbentuk dari ilham ilahi sejati dan yang diarahkan-Nya untuk mengekspresikan diri dalam praksis keadilan yang historis: Pembebasan kaum miskin-tertindas.

Di sini kita perlu berhenti sejenak untuk bertanya kepada diri sendiri: sosok ilahiah manakah yang kita imani dan taati? Sinful Trinity Mamon-Kaisar-Kenisah (yang merupakan proyeksi dari sinful trinity Hartawan-Penguasa-Agamawan yang dikutuk habis-habisan oleh Nabi-nabi Perjanjian Lama) atau Allah-nya kaum miskin-tertindas alias kaum paupertariat, atau minjung dalit anawim? Nama boleh sama (misalnya: Yahweh, Allah, Yesus Kristus dan sebagainya). Tapi watak berbeda sangat. Seratus delapan puluh derajat. Yang satu melegitimasi, menjustifikasi, dan melestarikan tatanan yang tidak adil. Yang lain subversif, menolak tatanan yang tidak adil, memproklamirkan tatanan-baru yang adil-manusiawi (”Kerajaan Allah”), dan berinkarnasi dalam praksis keadilan atau pembebasan. Yang satu adalah bangunan-atas yang merupakan proyeksi dari basis hubungan-hubungan produksi sosial yang tidak adil; yang lain adalah bangunan-atas yang persis terbalik, yang lahir dari jeritan kaum tertindas dan menjadi kontra-proyeksi dari basis hubungan-hubungan produksi yang tidak adil. Jadi ada Yahweh, Allah, atau Yesus Kristus yang berpihak pada kaum penindas dan membenarkan penindasan; dan di sisi lain ada Yahweh, Allah, atau Yesus yang berpihak pada kaum tertindas dan memvindikasi praksis keadilan. Sekali lagi, sosok ilahiah mana yang kita imani dan taati?

Bagi Anak-Dara Maria, jawabannya sangat jelas. Sosok-ilahiah yang diimani dan ditaatinya adalah Allahnya kaum miskin-tertindas. Allah yang subversif; Allah yang revolusioner; Allah yang Kiri, the Leftist God. Tak heran bila Anak-Dara Maria berwatak revolusioner, sebagaimana terungkap dalam kidungannya. Ia mengaku dirinya sebagai “hamba Tuhan” (1.38, 48). Dalam pada itu ia juga mengakui Israel sebagai hamba Tuhan (lihat 1.54). Dengan jalan itu ia mengidentifikasikan dirinya dengan Israel. Tapi Israel yang mana? Istilah-istilah yang tersaji dengan paralelisme-sinonim dan paralelisme-antitesis menolong kita untuk memahami siapakah Israel yang dengannya Sang Anak-Dara mengidentifikasikan diri. Ada tiga pasang paralelisme-antitesis:

”Orang-orang yang takut akan Dia”       vs  ”orang-orang yang congkak hatinya”
”Orang-orang yang rendah”                  vs  ”orang-orang yang berkuasa”
”Orang yang lapar”                               vs  ”orang yang kaya”

Dari paralelisme ini jelaslah: Israel tidak didefinisikan dengan “orang-orang yang congkak hatinya”, “orang-orang yang berkuasa”, dan “orang kaya”. Congkak, berkuasa, dan kaya, itu bukan Israel. Sebaliknya, Israel didefinisikan dengan “orang-orang yang takut akan Dia”, “orang-orang yang rendah”, dan “orang yang lapar.” Itulah Israel. Itulah anawim, kaum miskin-tertindas yang hanya berharap kepada Allah dan mengandalkan rahmat-Nya semata-mata. Mereka sangat miskin, melarat, sampai-sampai kelaparan. Mereka rendah, hina, dan tak berdaya, karena mereka tidak mempunyai kuasa baik ekonomik maupun politik. Tapi sosok ilahi yang sejati mempedulikan mereka, hidup di dalam mereka, menderita bersama dengan mereka, dan berjuang-dan-menang bersama mereka pula.

Dengan mengidentifikasikan dirinya dengan anawim, Anak-Dara Maria memaknai pengalamannya sebagai bagian dari rencana-aksi pembebasan ilahi atas kaum miskin-tertindas. Melalui sang pesuruh sorgawi Allahnya kaum miskin-tertindas melibatkannya dalam karya menghadirkan Sang Mesias ke dunia. Taat-beriman, ia bersedia. Elizabet sepupunya memberikan konfirmasi; dengan kuasa Roh Kudus ia berseru dengan suara nyaring demi mendengar salam Sang Anak-Dara:

”Diberkatilah engkau di antara semua perempuan
dan diberkatilah buah rahimmu.
Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?
Sebab sesungguhnya,
ketika salammu sampai kepada telingaku,
anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
Dan berbahagialah ia, yang telah percaya,
sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (1.42-45)

Maka Maria pun mengidungkan:

”Jiwaku memuliakan Tuhan,
dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku,
sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.
Sesungguhnya, mulai dari sekarang
segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,
karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus” (1.46-49).
Tapi ia menyusul baris-baris syair itu dengan

“Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya
dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya
dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar,
dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa” (1.50-53)

Seakan ia berkata: Tuhan telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya, yakni aku. Itu dilakukannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku. Aku terhisab dalam ”Israel”, anawim, yakni orang yang takut akan Dia, orang-orang yang rendah, dan orang yang lapar. Sama halnya dengan aku, yang mengalami kepedulian dan perbuatan-perbuatan besar Tuhan, demikian pulalah mereka. Lihat saja. Rahmat-Nya turun-temurun atas anawim; Ia meninggikan anawim; Ia melimpahkan segala yang baik kepada anawim. Sebaliknya, Ia malah menceraiberaikan kaum-kuasa, menggulingkan mereka dari tampuk kekuasaan, dan menyuruh mereka pergi dengan tangan hampa. Mesias yang akan kulahirkan akan menjadi meterai praksis keadilan sebagai tindakan Allah yang paling menentukan: membebaskan anawim dan menghukum kaum-kuasa. Karena itu pengalamanku menjadi ibu Sang Mesias merupakan bagian dari praksis keadilan, karya pembebasan.

Dalam pandangan Sang Anak-Dara, praksis keadilan itu merupakan penggenapan janji Allah kepada Abraham dan keturunannya: ”Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya” (1.54-55). Janji apa? Janji bahwa mereka akan menjadi berkat bagi segala bangsa (Kej 12.3; 22.18;26.4;28.14). Ya, segala kaum dan bangsa yang tertindas, yang menjadi korban exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation.

Refleksi

Pertama, apa makna Magnificat bagi Gereja? Mendengar pertanyaan ini diajukan, sementara orang terdorong untuk melanjutkannya dengan pertanyaan: “Gereja yang mana yang Saudara maksudkan?” Sekilas “pertanyaan lanjutan” ini konyol. Tapi justru karena kekonyolannya, pertanyaan ini menjadi krusial. Sebagaimana Antonio Gramsci, Marxis Italia, membedakan antara Katolisisme elit dan Katolisisme populis, demikianlah kiranya ada Yahweh-Allah-Yesus tetiron jelmaan sinful-trinity Mamon-Kaisar-Kenisah di sisi Kanan dan ada Yahweh-Allah-Yesus sejati yang berkomitmen kepada kaum miskin-tertindas di sisi Kiri. Dihadapkan pada dua sosok ilahi dengan nama yang sama, respons Gereja akan memperlihatkan jati-dirinya yang sesungguhnya. Magnificat adalah salah satu batu-ujinya.

Bila Gereja ”mengharamkan” Magnificat (entah dengan mengabaikannya sebagai bagian dari Narasi Nativitas entah dengan menolaknya karena bisa menyinggung para tuan-nyonya yang terhormat) atau ”menafsirkannya secara rohani”, jelaslah jati-dirinya. Itulah Gereja Kanan, penyembah lembu emas bernama Yahweh-Allah-Yesus jelmaan sinful trinity. Bila Gereja menjadikan Magnificat sebagai inspirasi sekaligus dorongan untuk berkomitmen pada kaum miskin-tertindas bahkan mengimplementasikannya dalam revolusi sosial sampai titik-darah yang penghabisan, jelas pulalah jati-dirinya. Itulah Gereja Kiri, pengabdi Allah sejati dan Kerajaan-Nya. Tapi barangkali, menurut diferensiasi klas yang ada di dalamnya, Gereja terbelah di antara anggota-anggota jemaatnya yang berposisi Kiri dan yang berposisi Kanan dalam menanggapi Magnificat Anak-Dara Maria. Jadi di dalam satu Gereja yang ”sama” orang-orangnya menjadi Gereja-gereja yang berbeda, yang masing-masing menyembah atau mengabdi kepada Tuhan-tuhan yang berbeda meski dengan nama yang sama. Padahal kata Yesus dari Nazaret: ”Kamu tidak dapat melayani Allah sekaligus melayani Mamon.” Maka bila kita memparafrasekan kata-kata Frei Beto: ”Yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya bukanlah agamanya, tetapi di sisi mana mereka berdiri, di sisi penindas atau di sisi kaum tertindas.”

Kedua, dalam perspektif Magnificat Anak-Dara yang revolusioner itu, masa-masa jelang Natal secara khusus merupakan test case bagi Gereja dan orang-orang yang mengenakan Kristus sebagai identitas keagamaannya:

  • Kristus manakah yang dipuja bila Gereja dan orang-orang Kristen larut dalam extravaganza?
  • Kristus manakah yang disanjung bila ”Dia” kelu dalam mengajukan tuntutan ”bunuh-diri klas” seperti yang dipatuhi oleh Barnabas dan dilakukan kaum burjuis-kecil yang mengkomitmenkan hidup mereka pada praksis keadilan seperti Che Guevara, Rama Camilo Torres, Nestor Paz, Rama Rutilo Grande, Uskup Agung Oscar Romero, dan lain-lainnya?
  • Kristus macam mana yang nyaman bermahkota emas dan disemayamkan di dalam gedung gereja yang mewah gemerlap sementara pada saat yang sama Ia sanggup bertemu dengan kaum paupertariat yang berdesak-desakan di pemukiman kumuh di sekitar ”istana pualam” (baca: penjara mewah) bersalib besar?
  • Kristus macam mana yang mengatakan bahwa orang miskin selalu ada di antara para pengikut-Nya tanpa bermaksud menggugat tatanan ekonomi-politik-religius yang justru menjadi sumber sekaligus pelestari segala kemelaratan?

Ketiga, ”bunuh-diri klas”, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Mario Cabral, adalah harapan satu-satunya bagi kaum-kuasa sebelum mereka terjungkal oleh revolusi sosial yang digerakkan Allah. Para teolog pembebasan menyebutnya evangelical poverty, yang secara hakiki berarti preferential option for the poor (and the oppressed). Kita mendengar gaung bunuh-diri klas dari kidungan Magnificat yang mengontraskan anawim dengan kaum-kuasa.

Kaum burjuis jauh dari kelaparan, dan pada mereka ada kekuasaan ekonomi dan politik. Kaum burjuis-kecil mungkin tidak mengalami kelaparan, meski mereka tidak memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Tapi bila benar mereka takut akan Tuhan, Allah-nya kaum miskin-tertindas, Allahnya Maria Sang Anak Dara, adakah konsistensi-etis lain kecuali melakukan bunuh-diri klas? Dengan kata lain, adakah jalan lain kecuali terlibat dalam praksis keadilan alias perjuangan pembebasan bersama dengan kaum tertindas? (Dan itu menuntut: demokratisasi kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal!).

Dengan ”bunuh-diri klas” kaum burjuis dan burjuis-kecil, ya, kita, akan terhisab ke dalam anawim. Kita pun menjadi kaum revolusioner, seperti Anak-Dara Maria. Dalam perjuangan bersama dengan kaum paupertariat, kita akan membidik revolusi sosial; revolusi yang digerakkan Allah, yang tidak akan menjungkalkan kita untuk mencium debu dan menjadi debu, melainkan mengarahkan kita untuk membangun tatanan baru ekonomik, politik, dan agamawi yang adil-manusiawi sebagai replika Kerajaan Allah. ***

Semarang, Minggu II Adven 2010

Kamis, 04 November 2010

BUKAN BONAPARTISME APALAGI FASISME, TETAPI SOSIALISME!

Oleh: Pandu Jakasurya

Pak Kwik Kian Gie menulis artikel yang sangat menarik-menggelitik di Kompas.com. Judulnya, "Aku Bermimpi Jadi Presiden" (http://m.kompas.com/news/read/data/2010.11.03.08431944). Yang dibidik jelas, orang nomor satu di negeri ini yang dari ke hari semakin kelihatan pandir terbelit imperialisme, feodalisme, dan politik transaksional ("politik dagang-sapi"). Bila SBY mau meluangkan waktu membaca dan merenungkan tulisan Pak Kwik, tentulah besar faedahnya untuk ber-otokritik. Suara atau tulisan Pak Kwik patut didengar. Bukan hanya karena beliau cerdas, tetapi juga seorang yang berkomitmen kebangsaan yang jelas serta berintegritas tinggi.

Dalam pada itu, sebagai seorang sosio-demokratik, saya melihat ada bahaya dalam "impian" Pak Kwik. Saya mempersilakan Kawan-kawan menyimak lebih dulu tulisan Pak Kwik, setelah itu menimbang "kekhawatiran" dan usul saya. Monggo...

Bukan Bonapartisme Apalagi Fasisme, Tetapi Sosialisme!

"Impian" Pak Kwik untuk SBY bila menjadi kenyataan akan menggiring Indonesia ke jalan "bonapartisme populis" dan akhirnya fasisme. Lagi-lagi seorang presiden dengan kekuasaan yang nyaris mutlak. Lagi-lagi dukungan Angkatan Bersenjata. Lagi-lagi back to the original text of UUD 1945 yang cenderung bisa dijadikan apa saja untuk membenarkan penguasa.

Saya sangat menghargai Pak Kwik. Komitmen kebangsaan dan integritas moralnya tak terbantahkan. Namun cara berpikirnya merepresentasikan burjuasi-nasional yang frustrasi dengan kebobrokan klas-nya sendiri. Orang-orang dari burjuasi-nasional yang masih berharap bahwa "demokrasi ala Abang Sam" bisa membereskan negeri ini, tentu sedang berilusi. Istilah-istilah dan konsep-konsep yang mentereng pun digulirkan: "good governance", "accountability", "fit and proper test", "feasibility", "check and balance", "civil society", dsb. Tapi kaum optimists itu lupa, sengaja lupa, atau tidak mengerti bahwa itu semua ada dalam tataran "struktur-atas" dari sebuah masyarakat yang "bangunan-bawah"-nya sudah mengalami revolusi burjuis-demokratik yang tuntas. Inggris, Prancis, Amerika Serikat, disusul negeri-negeri "kapitalis-maju" lainnya. Sedangkan Indonesia? Negeri atau bangsa kita belum pernah mengalami revolusi burjuis-demokratis secara tuntas.

Proyek "revolusi nasional"-nya Bung Karno pada hakikatnya mengarah ke sana, sebagai tahapan awal sebelum tiba pada revolusi sosialis. Tapi konsepsi Menshevik (dan Stalinis) yang secara kreatif diolah oleh BK (dg bekal persatuan Nasakom) gagal total karena dikhianati bangsane dhewek. Apa yang secara riil terjadi, yakni gagalnya proyek-historis revolusi nasional BK, mengafirmasi analisis Trotskyist-Marxism bahwa sebagai klas, burjuasi di negeri-negeri yang terlambat memasuki fase kapitalisme (karena di negeri-negeri kapitalis maju kapitalismenya telah menjelma menjadi imperialisme) tidak akan mampu menuntaskan "revolusi burjuis-demokratik" atau "revolusi nasional." Pasalnya, sebagai sebuah klas, burjuasi terlalu terikat bahkan terbelenggu oleh feodalisme dan imperialisme. BK tentu saja progresif, tapi klasnya tidak. Burjuasi Indonesia pada masa BK terdiri dari burjuasi-nasional (yang menginginkan kemerdekaan bangsa dengan kedaulatan sepenuhnya), burjuasi-komprador (kaki-tangan imperialis), dan kapitalis-birokrat (burjuasi semu berwatak feodal yang menikmati kemewahan ala burjuis melalui mesin-birokratik). Bung Karno gagal total, karena klasnya (burjuasi) pecah, dan segmen klasnya (burjuasi-nasional) dihancurkan oleh segmen-segmen klas lainnya (burjuasi-komprador dan kapitalis-birokrat). Pasca Bung Karno, burjuasi-komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni mendominasi Indonesia. Burjuasi-nasional lenyap.

Sampai saat ini, lebih dari satu dekade setelah Soeharto lengser, Indonesia nampaknya tidak punya segmen-klas burjuasi-nasional. Yang ada hanyalah pseudo burjuasi-nasional macam Surya Paloh (yang tampilannya sangat nasionalistis namun ya tetap komprador; tentu kita ingat iklan Exxon Mobil yang muncul saban sekian menit di Metro TV), misalnya. Pak Kwik bisalah kita golongkan ke dalam burjuasi-nasional. Tapi sebagai segmen klas yang mempunyai kekuatan signifikan, agaknya kita memang tidak punya lagi burjuasi-nasional. Sebagian terbesar terang-terangan komprador, kapbir, dan kapitalis-kroni. 

Lalu akankah Indonesia mengalami revolusi burjuis-demokratis secara tuntas? Bila diserahkan kepada burjuasi, saya kira tidak akan pernah. Pasalnya jelas, mereka terikat-kuat dalam tali-temali dengan imperialisme dan feodalisme. Impian para forza optimissima jelas-jelas ilusi.

Lantas, apakah “mimpi” Pak Kwik bisa menjadi alternatif? Dari kacamata Marxian jawabnya: ya! Persoalannya adalah alternatif macam mana. Bagi klas burjuasi, menyelamatkan sebuah bangsa yang terkurung dalam paradigma kapitalisme pada hakikatnya menyelamatkan kapitalisme itu sendiri. Ini berangkat dari asumsi bahwa kapitalisme adalah tatanan yang paling baik meski tidak sempurna. Bila dilakukan perbaikan di sana-sini, termasuk putting the right men on the right places, kapitalisme akan memberi faedah yang besar kepada semua lapisan rakyat (kendati prinsipnya tetap sama, trickle down effect). Tapi bagaimana bila “dari kepala sampai ekor” semuanya kudisan, seperti negeri kita tercinta? Usul Pak Kwik: presiden dengan kekuasaan nyaris mutlak, yang didukung Angkatan Bersenjata, dan tegaknya kembali UUD 1945. Jadilah bonapartisme (kendati populis) yang akan bertransformasi menjadi fasisme. Meminjam ungkapan Prof Steuermann (yang sering dikutip Bung Karno), Fasisme adalah upaya terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme.

Lalu bagaimana?

Menurut pendapat saya, sudah terlalu terlambat bagi Indonesia untuk mengalami revolusi burjuis-demokratis. Alasannya jelas: kla burjuasinya terikat kuat pada feodalisme (birokratik) dan imperialisme (sekarang dlm wujud neoliberalisme). Hasil-hasil Reformasi 1998 adalah konsolidasi komprador, kapbir, dan kapitalis kroni. Kecuali demokrasi-konstitusional yang serba prosedural (“teladan” Abang Sam) dan negeri yang babak-bundas habis dijarah-rayah oleh imperialisme neo-liberal dan para komprador-kapbir-kapitalis kroni, Reformasi 1998 tidak berdampak apa-apa. Malahan sekarang negeri ini makin jadi incaran Islam Transnasional, baik yang bergaya Taliban macam HTI maupun yang bergaya Irannya Ahmadinedjad dan Turki-yang-sekarang macam PKS.

Kondisi-kondisi obyektif baik di tataran internasional (krisis ekonomi yang berkepanjangan) maupun di tataran nasional (makin carut-marutnya negeri dalam pemerintahan SBY Jilid II) sudah matang, bahkan mungkin hampir membusuk. Indonesia, selaku matarantai terlemah kapitalisme Asia Tenggara, sebenarnya di ambang revolusi. Tapi revolusi tidak hanya membutuhkan kondisi obyektif untuk meledakkannya. Revolusi juga memerlukan faktor subyektif, yakni kesadaran revolusioner dari klas dan kaum yang paling disengsarakan selama ini. Mereka adalah laki-laki dan perempuan dari klas buruh, kaum tani (peasants, not farmers), dan kaum miskin kota. Mereka perlu menyingkap dan menyingkirkan tabir kesadaran palsu (termasuk yang dibikin oleh agama, tentang takdir, ketaatan kepada pemerintah, dsb), mengorganisir diri, dan bermobilisasi. Tapi kesadaran itu tidak jatuh begitu saja dari langit atau secara otomatis dari kondisi-kondisi obyektif. Kesadaran, organisasi, dan mobilisasi itu baru bisa terjadi bila ada sebuah partai-kader yang memainkan peran sebagai partai-pelopor (vanguard party). Terdiri dari para pejuang yang memiliki kesadaran revolusioner yang paling maju, komitmen preferential option for the poor and the oppressed, dan berdisplin baja, vanguard party harus melancarkan perjuangan kontra-hegemoni, memampukan massa rakyat-pekerja untuk membuang selubung ideologis kesadaran palsu mereka, menginjeksikan kesadaran revolusioner, solidaritas, dan internasionalisme, mengorganisir mereka dalam dewan-dewan rakyat-pekerja, serta memobilisir mereka dalam momentum yang tepat untuk mengakhiri rezim dan tatanan masa kini serta menggantikannya dengan tatanan baru, yang demokratik baik secara politik maupun secara ekonomik.

Partai-kader yang memainkan peran kepeloporan ini harus mempunyai garis-massa. Partai ini harus selalu memiliki kontak dengan massa rakyat-pekerja. Partai ini menjadikan demokrasi-partisipatoris (sebagai kerangka dari demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi) sebagai demokrasinya massa rakyat-pekerja dengan praktik di dalam dewan-dewan rakyat-pekerja. Dalam konteks demokrasi-partisipatoris, partai-pelopor menggunakan sentralisme-demokratik sebagai mekanisme kesatuan gerak-aksi untuk bermobilisasi dan memenangkan revolusi. Tentu, revolusi sosialis, atau revolusi sosio-demokratik, yakni revolusi yang menumbangkan tatanan masa kini yang kapitalistis dan membangun tatanan masa depan yang demokratik secara ekonomik dan politik.

Mimpi Pak Kwik mungkin lahir dari keluhuran budi. Namun bukan bonapartisme yang dibutuhkan Indonesia, bahkan bonapartisme-populis (seperti Bung Karno) sekalipun. Bukan pula fasisme dan ultranasionalisme. Indonesia membutuhkan Sosialisme. Sebab, di penghujung jalan kapitalisme, umat manusia, termasuk bangsa Indonesia akan diperhadapkan pada dua pilihan: Sosialisme atau Barbarisme. Demi umat manusia, dan dengan demikian demi hormat saya kepada Pencipta dan Pembebas Agung, saya memilih: Sosialisme! ***

  
PJS_Nov2010


Senin, 18 Oktober 2010

Tolak Pengangkatan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional!

Tolak Pengangkatan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional!
Oleh: Rudolfus Antonius

Kepala Sub Direktorat Kepahlawanan Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Kementrian Sosial, Hartono Laras, menyebut nama Soeharto disamping 19 calon pahlawan nasional lainnya, seperti mantan Presiden Abdulrahman Wahid dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Menteri sosial Salim Jufri Al Segaf menyatakan bahwa seluruh nama-nama itu merupakan hasil seleksi yang cukup panjang. Nantinya, ke-19 nama hasil seleksi tersebut akan diserahkan kepada Presiden, untuk selanjutnya ditetapkan dan diumumkan pada saat hari pahlawan. Tim seleksi yang terdiri dari 13 orang, adalah gabungan dari unsur sejarahwan, kearsipan, dan sejarah TNI yang ditetapkan oleh Mensos. Keseluruhan calon ini dinilai kiprah perjuangannya untuk bangsa dan negara, selain syarat-syarat normatif seperti warga negara Indonesia (WNI), berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa.


Demikian kata berita.

Terenyuh rasanya hati ini menyimak berita ini. Soeharto, diktator yang selama lebih dari 30 tahun mengangkangi Indonesia, akan diangkat menjadi pahlawan nasional. Entah di mana akal sehat dan nurani para birokrat negeri ini. Tapi barangkali kita tidak perlu terlalu heran. Sebab bukankah wajar bila para penjahat mengagung-agungkan pimpinan mereka (yang telah mengajari mereka kejahatan dan menciptrati mereka "rezeki" yang tak halal) dan memuja-mujanya sebagai pahlawan (sembari lebih taktis dalam mengikuti jejaknya)? Kriteria atau syarat-syarat, bahkan yang normatif, bisa dibuat. Misalnya, "warga negara Indonesia (WNI), berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa." Bila yang dicalonkan tidak memenuhi kriteria-normatif, toh kriteria bisa disesuaikan, dengan diperluas dan diperdalam cakupan dan maknanya.

Coba simak. Oke, Soeharto warga negara Indonesia. Tapi benarkah ia "berjasa terhadap bangsa dan negara"? Orang bisa menunjuk Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Soeharto sendiri mengklaim bahwa ia adalah inisiator SO. Tapi kita toh tahu, inisiator sesungguhnya adalah Sri Sultan HB IX. Soeharto hanya pelaksana. Itu pun bukan dia yang mati-matian bertempur. Simak kesaksian almarhum Kol Latief. Sebagai anak buah Soeharto, ia (waktu itu kapten) dan kawan-kawannya mati-matian berusaha menahan serangan balasan Belanda, dan akhirnya terpukul mundur dengan sejumlah korban jiwa. Tatkala menghadap Soeharto, Abdul Latief mendapati sang Letkol Soeharto sedang asyik menikmati soto-ayam. Benarkah Soeharto inisiator SO? Tidak? Benarkah Soeharto bertempur dalam SO? Tidak. Soeharto berjasa? Mitos yang sengaja diciptakan Soeharto, melalui para sejarawan-sejawaran bayaran a.k.a. para intelektual tetiron, memang menempatkan Soeharto sebagai hero SO yang konon berdampak internasional itu. Tapi barangsiapa mencamkan adagium pascamodern "kekuasaan adalah pengetahuan", tak bisa silap mata, akal, dan nuraninya, oleh sejarah bikinan rezim semi fasistik Soeharto yang bernama Orde Baru.

Mari bicara tentang jasa lain: menyelamatkan Republik Indonesia dan Pancasila dari upaya Partai Komunis Indonesia, yang ingin menjadikan Komunisme sebagai ideologi negara. Ini pun mitos. Tidak ada bukti bahwa PKI selaku partai atau organisasi terlibat apalagi mendalangi Gerakan 30 September. Tidak ada bukti bahwa PKI ingin menggantikan Pancasila dengan Komunisme. Bahkan, enam tahun sebelumnya dalam sidang-sidang Konstituante, PKI gigih mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara vis a vis tuntutan partai-partai Islamis (yang menginginkan Agama Islam sebagai ideologi RI). Terlepas dari ketidaksetujuan saya selaku seorang sosio-demokratik (yang berdiri dalam tradisi Marx-Engels-Luxemburg-Lenin-Trotsky-Gramsci) terhadap revisionisme Aidit dan kawan-kawannya (yang berayun di antara Kebijakan Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis Tiongkok dalam rangka menemukan strategi Komunis yang cocok untuk konteks Indonesia yang masih semi-feodal dan semi-kolonial), tuduhan bahwa PKI mendalangi G30S dan bermaksud menggantikan Pancasila dengan Komunisme, adalah mitos bikinan Soeharto dan Orde Baru-nya. Seharusnya malah Soeharto diseret ke pengadilan karena meski ia sudah mengetahui adanya rencana penculikan terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat (informasi Kol. Latief, tanggal 29 dan tanggal 30 September 1965), ia tidak bertindak apa-apa sampai sesudah penculikan itu terjadi. Bahkan sampai dua kali ia melakukan kebohongan publik (dalam wawancara dengan Der Spiegel dan otobiografinya Soeharto: Pikiran, Perkataan, dan Tindakan Saya) perihal pertemuannya dengan Kol. Latief pada 30 September malam itu. Saya tidak menuduh Soeharto dalang G30S (sehingga formulanya menjadi G30S/Soeharto), tetapi saya berpendapat bahwa Soeharto adalah oportunis yang pandai mengail ikan di air keruh. Sungguh "berjasa terhadap bangsa dan negara."

Jasa lain? O, pembangunan nasional, bahkan sampai sekian banyak Pelita. Berjuluk "Bapak Pembangunan" dia. Tapi bukankah "Pembangunan" itu dibeayai utang luar negeri (yang sebagian dikorupsinya bersama keluarga dan kanca-kancanya) dengan memberikan kekayaan negeri ini menjadi "hadiah terbesar" bagi kaum imperialis? UU Penanaman Modal Asing 1967 terbit setelah para mafia Berkeley bertatap muka dengan kaum imperialis Barat dan Jepang untuk mengkapling-kapling potongan sorga yang bernama Nusantara di antara perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sungguh besar "jasa Soeharto", yang membelokkan cita-cita sosialistik sang penggali Pancasila menjadi pembangunan kapitalis dengan menyerahkan Indonesia ke dalam cengkeraman imperialisme.

Bagaimana dengan "kelakuan baik"? Kita yang berakal sehat dan bernurani, tentu bisa menjawabnya sendiri. Kelakuan baik Soeharto adalah senyumnya, sehingga ia berjuluk the Smiling General. Tapi di balik senyumnya, bersemayamlah kekejaman tiada tara. Vengeance by Smile, kata Majalah Time. Tengoklah berapa banyak orang Komunis, nasionalis-Kiri, atau sekadar kaum buruh, tani, dan wong cilik lainnya sebagai tumbal bertakhtanya Soeharto dan berdirinya rezim semi-fasistik Orde Baru. Tengoklah lebih dari 10 ribu orang yang di-tapol-kan (1969-1979), semberi mengingat betapa menjijikkannya perilaku opsir-opsir AD yang "Pancasialis" terhadap para tapol! Nyanyi Sunyi Seorang Bisu-nya Pak Pram, Diburu di Buru-nya Pak Hersri Setiawan, dan sekian banyak kesaksian yang lain terlaku sukar untuk diabaikan sehingga kita merasa boleh menyangkal bahwa Soeharto dan Orde Baru berlumuran darah sejak semula.

Ingat pula ini: Pembunuhan misterius ("Petrus") tahun 1980-an, kasus Tanjung Priok, Talangsari Lampung, kasus 27 Juli 1996, Penculikan aktivis 1997-1998, dan pelanggaran HAM 1998. Belum lagi operasi militer yang terjadi di Aceh, Papua, dan Timor-Leste (yang ketika dijajah RI-nya Soeharto dan Orba menyandang nama "Timor Timur").

Bagaimana perihal "setia dan tidak mengkhianati bangsa"? Tanpa perlu berpanjang kata, jelaslah sudah bahwa Soeharto telah menjual Indonesia kepada imperialisme dan membuat "sebuah bangsa" yang tinggal "di sana, antara benua Asia dan benua Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia" kembali menjadi "een natie van koelies, en een koelie onder de naties". Negerinya dijarah rayah oleh kaum imperialis, bangsanya diperbudak menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa. Sungguh "setia" dan "tidak mengkhianati bangsa" Soeharto ini.

Dan sekarang, komprador, master of creeping coup d'etat, penjagal manusia, dan koruptor ini akan diangkat oleh anak-anak asuhnya menjadi pahlawan nasional. Bila itu terjadi, sejarah akan menghukum bangsa ini.

Sikap Saya

Saya berdiri pada posisi ini: Menolak pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional. Dasarnya jelas: Satu, Soeharto pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat; Dua, Soeharto koruptor besar; Tiga, Soeharto telah menjual negeri dan bangsa Indonesia kepada kaum imperialis; Empat, Soeharto seorang pendusta besar. Dengan demikian, kriteria-normatif pun tidak terpenuhi oleh si jenderal besar ini.

Dalam pada itu, perlulah kita perhatikan beberapa hal. Rezim yang didirikan Soeharto, yakni Orde Baru, adalah rezim komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni. Rezim-rezim pasca-Reformasi (termasuk rezim SBY) sama saja, hanya tampil dengan kedok demokrasi (yang formalistik-prosedural dan sarat dengan korupsi yang makin berbiak). Tidak ada perubahan hakiki. Itu memang sesuai dengan keinginan para blandis alias para reformis-tetiron jelmaan anak-anak asuh Soeharto. Bila sekarang anak-anak asuh atau anak-anak ideologis itu bermaksud mengangkatnya menjadi pahlawan nasional, maka sebenarnya kita berhadapan dengan persoalan yang bukan hanya menyangkut Soeharto, tetapi menyangkut rezim yang ada saat ini. Rezim komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni tidak layak memimpin bangsa ini. Lagi-lagi kita mendapati indikasi bahwa bangsa ini memerlukan revolusi yang sejati: Revolusi demokratik yang segera berkembang menjadi revolusi sosialis. Atau dengan kata lain: Revolusi Permanen!

Tolak pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional!

Tolak rezim komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni!

Revolusi Permanen!

Demi Indonesia yang sosio-demokratik!



Minggu 17 Oktober 2010





Selasa, 01 Juni 2010

Serial “Sosialisme dari Bawah” (7)

TUJUH: PERLAWANAN LEON TROTSKY

DALAM KURUN WAKTU 1920-an sampai 1940-an yang mengerikan, manakala Josef Stalin melakukan kejahatan-kejahatan yang luar biasa atas nama “sosialisme”, Leon Trotsky berupaya mempertahankan Sosialisme dari Bawah. Stalin telah tiba pada sejenis ideologi yang sejalan dengan sosialisme pra-Marxis yang bercorak otoriter. Di tangannya, lenyaplah esensi demokratik dari Sosialisme. “Marxisme”-nya Stalin adalah sebuah varian dari Sosialisme dari Atas. Suatu elit birokratik menjadi mandor yang mengawasi jalannya transformasi Rusia dari sebuah negeri yang miskin dan terbelakang menjadi sebuah kekuatan modern. Demi transformasi itu, Stalin dan birokrasinya mengorbankan nyawa sekian banyak rakyat-pekerja. Bila kemudian perspektif tersebut dikenal luas sebagai “Sosialisme”, “Marxisme”, atau “Komunisme”, sesungguhnya itu merupakan lelucon keji tentang sebuah karikatur dari Marxisme-nya Marx, Engels, Luxemburg, dan Lenin.

Dalam perlawanannya terhadap Stalin, Trotsky menandaskan bahwa Sosialisme yang sejati berakar dalam komitmen perjuangan demi pembebasan manusia. Ia juga menentang gagasan Stalin tentang Sosialisme di Satu Negeri, suatu gagasan yang di kemudian hari menjadi akar perpecahan dalam Gerakan Komunis Internasional (Partai Komunis Tiongkok pimpinan Mao Tse-tung kontra Partai Komunis Uni Soviet pimpinan Nikita Khruschev). Trotsky menegaskan bahwa Sosialisme hanya bisa diwujudkan dalam skala dunia. Dengan jalan itu ia mempertahankan Internasionalisme Marx, Engels, Luxemburg, dan Lenin.

Sampai saat kematiannya di tangan Ramon Mercader (seorang agen Stalin) pada 1940, Trotsky berupaya keras membangun sebuah gerakan sosialis revolusioner yang berdasarkan prinsip-prinsip Marx dan Lenin. Sungguh, ini bukan tugas yang ringan, mengingat pada waktu itu badai penghancuran terhadap gerakan-gerakan kaum buruh sedang berkecamuk: Stalin dan birokrasinya sedang “membentuk-ulang” Rusia, sementara fasisme Hitler dan Mussolini sedang melanda seluruh Eropa. Trotsky yang mencetuskan Teori Revolusi Permanen, bahu-membahu dengan Lenin dalam Revolusi Bolshevik 1917, dan membangun Tentara Merah, kini berupaya menjaga agar api Sosialisme tetap menyala. Kendati Stalin dan birokrasi-birokrasi Stalinis mengutuknya sebagai bid’ah, Trotsky akan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Sosialisme dari Bawah yang demokratis, internasionalistis, dan revolusioner.

Meski demikian, Trotsky juga tak luput dari kondisi-kondisi pada 1930-an. Masa keemasan Marxisme ada dalam kurun waktu manakala kaum Sosialis revolusioner terlibat secara aktif dan terikat-erat dengan gerakan-gerakan massa rakyat-pekerja. Kekuatan Marxisme selalu bergantung pada kesatuan teori dan praktik. Bagi Marx dan Engels, kurun waktu tersebut adalah gelombang revolusioner yang melanda Eropa pada 1848 serta Komune Paris 1871. Ketika Revolusi Rusia 1905 mengalami kegagalan, perspektif Marxis justru dipertajam dan diperkaya oleh orang-orang seperti Luxemburg, Lenin, dan Trotsky. Kurun waktu emas berikutnya adalah 1917-1921. Kala itu, kaum revolusioner seperti Luxemburg, Lenin, Trotsky, dan Antonio Gramsci (seorang Komunis Italia), memainkan peran sentral dalam gerakan revolusioner klas buruh. Dalam tiap-tiap kurun waktu emas, teori Marxis dipertajam dan diperkaya berdasarkan pengalaman yang hidup dari gerakan klas buruh.

Dalam kurun waktu 1930-an, Trotsky yang hidup dalam pengasingan sama sekali terputus dari gerakan buruh yang riil. Di seluruh Eropa, klas buruh mengalami kekalahan demi kekalahan. Gerakan Sosialis dan Komunis berjuang mati-matian mempertahankan diri dari hantaman fasisme, sementara Stalin menggunakan Komintern sebagai alat untuk mengamankan transformasi Rusia seturut dengan gagasan Sosialisme di dalam Satu Negeri. Analisis-analisis Trotsky tentang berbagai peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tersebut, meskipun brilian, ternyata tidak mampu mengilhami kaum buruh dalam jumlah yang signifikan untuk beraksi. Gerakan Komunis Internasional yang didirikannya (Internasionale IV) terbatas pada sejumlah kaum intelektual yang radikal. Keterpisahan dari perjuangan-perjuangan massa rakyat-pekerja, bahkan dari pengalaman keseharian mereka, pada akhirnya mendistorsi teori dan praktik “Trotskyisme.”

Gerakan Trotskyis harus membayar sangat mahal karena keterpisahannya dari massa rakyat-pekerja. Di banyak negeri, gerakan ini nyaris tidak ada bedanya dengan klub debat bagi para intelektual yang tidak pernah mengalami perjuangan klas buruh. Trotsky memang mencela para intelektual yang merasa cakap untuk membuat keputusan tentang strategi umum dan taktik-taktik revolusi di setiap sudut dunia, sementara mereka gagal mendasarkan diri pada gerakan buruh di negeri mereka sendiri! Meski demikian, Trotsky toh tidak dapat memasok koreksi yang paling penting: kebutuhan mutlak bagi kaum Sosialis revolusioner untuk terlibat dalam pendidikan dan perjuangan massa rakyat-pekerja!

Di samping itu, Trotsky melakukan kesalahan analitis yang terbilang serius. Kurun waktu itu ditandai oleh kontra-revolusi Stalinis yang semakin menjadi-jadi. Para militan Komunis (yang berjuang dalam Revolusi Bolshevik 1917) dieksekusi, kaum tani dibantai, dan demokrasi buruh dihapuskan. Ini mencuatkan pertanyaan tentang watak Negara Rusia. Menjawab pertanyaan tersebut, dengan konsisten Trotsky berargumen bahwa Rusia-nya Stalin tetap merupakan sebuah negara buruh, kendati negara buruh yang merosot. Trotsky mengakui bahwa soviet-soviet (dewan-dewan pekerja) Rusia telah dihancurkan oleh birokrasi Stalinis. Ia juga mengakui bahwa Partai Bolshevik yang pernah dipimpinnya bersama dengan mendiang Lenin telah dilucuti karakter revolusionernya. Bahkan kadang-kadang ia membandingkan rezim Stalinis di Rusia dengan rezim fasis Jerman. Tapi, Trotksy tetap menandaskan bahwa Rusia adalah sebuah negara buruh. Itu dilakukannya berdasarkan satu kriteria, yakni bahwa di Rusia properti tidak beralih kembali menjadi milik pribadi, tetapi tetap berada di dalam tangan negara. Menurut Trotsky ini membuktikan pencapaian abadi Revolusi Bolshevik 1917. Stalin tidak memulihkan properti pribadi. Ia tetap memberlakukan kolektivikasi dan perencanaan dalam perekonomian Rusia.

Secara deskriptif, apa yang dikatakan Trotsky benar. Stalin memang tidak berniat memulihkan kapitalisme “pribadi” (private capitalism) di Rusia. Tapi terlalu sukar untuk menilai bahwa Stalin mempertahankan Rusia sebagai sebuah negara buruh. Menurut Marx dan Engels, sebuah negara buruh didasarkan pada kekuasaan kaum buruh dalam masyarakat. Negara buruh bergantung pada keberadaan organisasi demokratik yang dapat mengoperasikan kekuasaan dari bawah. Dengan kata lain, sebuah negara buruh memposisikan kaum buruh sebagai yang menjalankan negara. Karena itu, negara buruh meniscayakan kekuasaan buruh dan demokrasi buruh.

Bentuk tertentu dari kepemilikan properti adalah satu hal. Tapi watak hakiki dari suatu masyarakat atau sebuah negara adalah satu hal lainnya. Untuk memahaminya kita harus menelaah hubungan-hubungan sosial yang mencirikan masyarakat atau negara. Itu berarti kita harus menelaah siapa yang mengontrol struktur produksi ekonomik dan siapa yang mengendalikan aparatus kekuasaan negara. Tentu saja benar bahwa nasionalisasi properti dan perencanaan ekonomi ada di Rusia-nya Stalin. Tapi pertanyaannya, siapa yang mengontrol properti yang dinasionalisasikan itu? Siapa yang melakukan perencanaan ekonomi? Bila jawabannya “negaralah yang mengontrol properti dan melakukan perencanaan ekonomi”, itu bukan jawaban yang memadai. Persoalannya, siapakah yang menjalankan negara? Klas buruh? Atau …? Bila yang menjalankan negara adalah sebuah birokrasi yang memiliki privilese (hak istimewa), apakah negara tersebut merupakan negara buruh? Apalagi birokrasi tersebut menggunakan kontrolnya terhadap negara (dan dengan demikian terhadap perekonomian dan tenaga kerja) dalam rangka mengarahkan produksi dan akumulasi untuk bersaing secara industrial dan militer dengan raksasa-raksasa kapitalis! Terlalu sukarlah bagi kita untuk mengatakan bahwa Rusia yang Stalinis itu merupakan sebuah negara buruh. Alih-alih negara buruh, Rusia yang Stalinis adalah sebuah kapitalisme negara (state capitalism), sebuah sistem yang di dalamnya Kapital dikontrol secara kolektif oleh sebuah birokrasi yang memiliki privilese untuk menjalankan negara.

Dengan menjadikan bentuk tertentu dari kepemilikan properti sebagai kriteria negara buruh, Trotsky melakukan kesalahan yang secara serius menyebabkan gerakan Trotskyis kehilangan orientasi di kemudian hari. Sebab, secara tidak sengajar Trotsky telah menyimpang dari pokok-pokok yang paling mendasar dari Sosialisme dari Bawah. Ini tidak segera kelihatan dengan jelas semasa Trotsky hidup. Tapi pada akhir Perang Dunia II, akibat yang fatal dari kesalahan ini segera menyeruak. Pada waktu itu pasukan-pasukan Stalin bergerak ke sebagian besar Eropa Timur dan menciptakan rezim-rezim boneka di Polandia, Hungaria, Bulgaria, dll. Mula-mula kaum Trotskyis menegaskan bahwa negeri-negeri tersebut tetap merupakan negeri-negeri yang dikuasai oleh rezim-rezim kapitalis. Meski demikian, revolusi-revolusi buruh terjadi. Namun lambat-laun realisasi yang lain terjadi. Di bawah instruksi-instruksi Moskow, pemerintahan-pemerintahan boneka ini menciptakan struktur-struktur internal menurut model Rusia: industri dan keuangan dinasionalisasikan; suatu negara birokratik dengan partai-negaranya diciptakan; upaya-upaya perencanaan ekonomi diintrodusir. Menurut kriteria mendiang Trotsky, rezim-rezim Eropa Timur yang baru ini adalah negara-negara buruh. Inilah kesimpulan yang diambil oleh gerakan Trotskyis. Tapi dengan jalan itu mereka telah jatuh ke dalam klaim yang justru tidak diperbolehkan bagi kaum Sosialis revolusioner: bahwa negara-negara buruh dapat diciptakan tanpa intervensi aktif dari klas buruh. Negara-negara buruh tanpa revolusi-revolusi buruh adalah pelanggaran yang sangat mencolok terhadap prinsip-prinsip Sosialisme dari Bawah-nya Marx dan Lenin. Bahkan yang lebih aneh, tentara Stalin sekarang digambarkan sebagai instrumen pembebasan manusia, yang menciptakan negara-negara buruh di ujung laras senjata mereka! Gerakan Trotskyis telah menjadi korban ideologi Sosialisme dari Atas.

Trotsky telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi Sosialisme yang demokratis, revolusioner, dan internasionalis. Tapi kita tidak boleh menutup mata terhadap kekeliruan serius yang telah dibuatnya. Tanpa sengaja ia telah jatuh ke dalam Sosialisme dari Atas, suatu kesalahan yang kemudian diikuti oleh sejumlah pengikutnya. Meski demikian, komitmen dasariahnya kepada demokrasi buruh, revolusi buruh, dan internasionalisme buruh membuat namanya tetap terpatri pada barisan para pejuang Sosialisme dari Bawah, bersama dengan Marx, Engels, Luxemburg, Lenin, dan Gramsci. *** (Bersambung)

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm

Senin, 08 Maret 2010

Living in the Midst of Wilderness


LIVING IN THE MIDST OF WILDERNESS:
AN EXPERIENCE OF OPPRESSION AND LIBERATION
Psalm 124

By: Rudolfus Antonius

Brothers and Sisters,

I thank God for giving me opportunity to convey my reflection on Psalm 124. May God bless this occasion with His Spirit and Word.

Psalm 124 (NRSV)

1 A Song of Ascents. Of David.
If it had not been the LORD who was on our side-- let Israel now say--
2 if it had not been the LORD who was on our side, when our enemies attacked us,
3 then they would have swallowed us up alive, when their anger was kindled against us;
4 then the flood would have swept us away, the torrent would have gone over us;
5 then over us would have gone the raging waters.
6 Blessed be the LORD, who has not given us as prey to their teeth.
7 We have escaped like a bird from the snare of the fowlers; the snare is broken, and we have escaped.
8 Our help is in the name of the LORD, who made heaven and earth.

Brothers and Sisters,

If we want to be honest to reality, we will find that as a social reality religion is ambivalent. On the one hand, religion as expression of the living faith shows sympathy even support for the order of life that is just and humane. The poor, the oppressed, and the outcasts are embraced. They come together and have fellowship with the rich and the strong in egalitarian spirit based on divine love. But on the other hand, religion does support or at least allows attitudes and praxis which contradict the ideals of a just and humane order of life. It will happen especially when an authoritative religious institution joins hand with the ruling class. It is inevitably a “mutual symbiosis”. The ruling class gets legitimacy from religion, and religion gets protection and access to various facilities.

Brothers and Sisters,

When the ambivalence sharpens, it becomes two kinds of religious living. What does this mean? This means that the same religion will be lived out differently at least by two different classes in society: the first is religion of the elites; and the second one is the people’s religion. Religion of the elites is run by its own priests and cultic prophets. The people’s religion is carried by the radical street prophets. The Divine Being seems to be conflicted in Itself: whether to support the strong who is oppressive and exploitative, or to take side of the poor, the oppressed, and the exploited.

Their external expressions may be very different, too. The religion of the elites appears victorious, glorious, and luxurious: in its buildings, ceremonies, and feasts. It does talk about God’s blessings, God’s promises, God’s magnificent presence, personal salvation … But it never talks about God’s judgment to the ruling class; it never talks about their structural sins; it never talks about their injustice, violence, oppression, and exploitation!

On the contrary, the people’s religion, that is the religion of dalit, of minjung, of wong cilik, or the religion of the poor and the oppressed, expresses their weepings and cryings, their sufferings, their hurting hearts, but also their hope before the Divine in all their simplicities – or thankfully shouting in an honest and spontaneous ecstasy because they have experienced the Divine Liberator’s saving acts.

Brothers and Sisters,

Religion, therefore, may exist in the framework of certain praxis which is characterized by “the law of the jungle” – which is certainly favoured by those who are unjustly strong and mighty. But religion may also exist in the framework of praxis which is opposing the law of the jungle and liberating the poor and the oppressed – which is surely supported by the weak, the poor, and the oppressed.

Brothers and Sisters,

Now, what is your comment on Psalm 124? What kind of religion is lived out by the psalmist and his community? What kind of religiosity do they express? Not a religion of the elites, of course, but a people’s religion; not a religion of the oppressor, but a religion of the oppressed.

I think you will agree with me that the situation pictured in this psalm is a conflict caused by the law of the jungle in human life.

The psalmist and his community see themselves as the side which is weak and powerless. They must face the savagery of the powerful side whose praxis is described in dramatic and terrific way:

then they would have swallowed us up alive,
when their anger was kindled against us (v 3);
then the flood would have swept us away,
the torrent would have gone over us (v 4);
then over us would have gone the raging waters (v 5).

… their teeth (v 6);
… the snare of the fowlers (v 7)

What a praxis! This is the praxis of destruction which assumes the powerlessness of its victims! In other words: the oppressed poor and weak have to face destruction by the strong and powerful.

Brothers and Sisters,

In such a situation, what the oppressed can do? I think they will not behave fatalistically, giving up their lot and waiting for some heaven which is located on the other side of this life. No, my friends, in fact, they do not let themselves be treated inhumanly without struggling.

We know that the ancient Hebrew believers did not speculate about heaven and hell. They did think about sheol. They believed the existence of sheol. But sheol was the world of the dead, which was as bad for the pious as for the wicked. Because of that, the suffering believers, the psalmist and his comrades, must struggle between life and death facing the terrific demonic force of the powerful.

It is interesting to see that they find God as the inspiration for their struggle. In fact, as our psalmist testifies, they are saved from destruction! Furthermore, we have a strong indication that the oppressor is overcome: verse 7 part b: “the snare is broken”.

Bothers and Sisters,

God, who made heavens and earth (verse 8), is stronger than the powerful oppressors. God is believed to be taking the side of the oppressed. Belief in God’s powerfulness and willingness to take the side of the oppressed is followed by conviction that He will help them. Engaged in suffering and struggle, they stand against the cruel giants, the staunch followers of the way of violence, the worshippers of the law of the jungle. This a people’s religion.

My friends,

The faith of the psalmist and his community is an inspiration for great struggle to challenge the thesis that religion is opium for the people! A people’s religion is not an opium of the people, a truly people’s religion is a liberating religion!

When victory is successfully achieved, our psalmist and his comrades thank God, expressing their confession of faith as it has been sung in their traditional liturgical-formula: (which might be originated in religion of the elites): “Our help is in the name of the LORD, who made heaven and earth” (verse 8).

As human beings are living in the midst of wilderness which is characterized by the law of the jungle, God comes as the One who takes the side of those who are defeated by that unjust and inhumane rule of the game. God chooses to be with them, committing to suffer together with them, struggling together with them, and being victorious together with them. God’s aspirations seem to be simple: an egalitarian society which is not framed by the spirit of the law of the jungle, not laissez-faire, not survival of the fittest not homo homini lupus – but a just and humane society. Human beings are created to carry the image and likeness of their Creator. Therefore, it is not the law of the jungle, but divine and humane values which have to be manifested or realized in our life in this world.

Connected to the praxis of liberation, may we become God’s partners in transforming our society and its structures, in order to realize a more just and humane order of life. Ad maioram Dei gloriam. Amen. ***

Delivered at Yogyakarta International Congregation (YIC) Sunday Service, April 26th 2009. The Bible version used is New Revised Standard Version (NRSV), 1989. Rudolfus Antonius is a Mennonite clergyman of GKMI. He is studying now in Post Graduate Theological Programme-Duta Wacana Christian University, Yogyakarta.

Jumat, 05 Maret 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (6)

ENAM: REVOLUSI YANG DIKHIANATI

KELAHIRAN NEGARA-BURUH RUSIA disambut dengan invasi 17 pasukan dari 14 negara kapitalis. Sendirian, terisolasi, dan terkepung, negara-buruh yang baru lahir itu harus berjuang mempertahankan dirinya. Di bawah pimpinan Leon Trotsky, terbentuklah Tentara Merah. Itulah angkatan perang negara-buruh yang terdiri dari kaum buruh revolusioner. Selama tiga tahun Tentara Merah malang-melintang bertempur melawan sisa-sisa kekuatan Tsaris dan pasukan gembong-gembong kapitalisme dunia. Pada akhirnya Tentara Merah memang menang. Tapi kemenangan itu harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Sekitar 350 ribu prajurit Tentara Merah gugur di medan laga. Negara-buruh itu seperti kehabisan darah. Industrinya jatuh. Ia tidak lagi dapat memberi makan penduduknya. Dengan keruntuhan ekonomik dan sosial datanglah pembusukan politik. Ketika demokrasi-buruh mengalami disintegrasi, sebuah birokrasi yang baru tampil mengambilalih kekuasaan.

Masalah yang dialami negara-buruh Rusia benar-benar berat. Pada tahun 1920, produksi industrial telah jatuh menjadi 13 prosen dari level produksi tahun 1913. Kelaparan melanda kawasan pedesaan. Bahkan menurut laporan Trotsky kanibalisme terjadi di beberapa provinsi. Karena sangat sukar untuk memperoleh makanan, terjadi perpindahan besar-besaran dari kota-kota ke desa-desa. Penduduk Petrograd, kota industrial utama, jatuh dari dua setengah juta jiwa pada tahun 1917 menjadi 574 ribu jiwa pada bulan Agustus 1920. Bahkan kaum buruh yang berusaha tetap tinggal di kota-kota seringkali terlalu lemah (karena sakit dan kelaparan) untuk bekerja. Mangkir kerja mencapai 30 prosen. Wabah penyakit melanda seluruh negeri. Dalam tahun-tahun 1918-1920, 1,6 juta orang mati karena tipes, disentri, dan kolera. Lainnya, yakni 350 ribu orang, gugur di medan perang.

Pada tahun 1920-an, wajah negara-buruh Rusia telah berubah. Demokrasi-buruh berangsur lenyap, karena sebagian terbesar kaum buruh gugur dalam pertempuran atau undur ke pedesaan. Banyak pemilihan umum untuk soviet-soviet berhenti. Partai Bolshevik sendirian di tampuk kekuasaan yang sedang menghadapi sebuah negeri yang sekarat. Pada awal 1920-an partai yang berkuasa ini terbagi ke dalam berbagai faksi. Tiap-tiap faksi memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana memimpin masyarakat dan membangun sosialisme. Kendati banyak kader partai berpindah ke sana ke mari di antara faksi-faksi yang bertikai, tak lama sesudah kematian Lenin pada tahun 1924 (yang jatuh sakit dan mengalami kemunduran yang sangat drastis sejak tahun 1922) ada dua pandang utama.

Joseph Stalin (1879-1953) dan orang-orang yang berkumpul di sekitarnya membentuk kekuatan yang merepresentasikan birokrasi Soviet yang sedang muncul. Kelompok Stalin berargumen bahwa Pemerintah Rusia harus melaksanakan tugas membangun “Sosialisme di dalam Satu Negeri”. Bagi mereka, “sosialisme” tidak terkait dengan demokrasi-buruh, soviet-soviet (dewan-dewan buruh), perekonomian internasional yang berkelimpahan, serta revolusi sedunia. Mereka mengaitkan sosialisme dengan monopoli kekuasaan negara di tangan birokrasi Partai Komunis. Karena itu tidak ada tempat bagi organ-organ demokrasi massa rakyat-pekerja. Mereka juga mendefinisikan sosialisme sebagai perekonomian yang dirancang dan dikontrol oleh Negara. Di tangan kekuasaan birokratik Partai Komunis, negara akan mengindustrialisasikan Rusia yang terbelakang.

Berseberangan dengan klik Stalin adalah Leon Trotsky dan orang-orang yang berhimpun di sekitarnya. Mereka adalah kekuatan yang dikenal sebagai “Oposisi Kiri” (Left Opposition). Atas desakan Lenin (sebelum kematiannya), Trotsky mulai menentang banyak kebijakan Stalin. Pada pertengahan 1920-an, program Oposisi Kiri mempunyai dua aspek yang fundamental. Pertama, demokrasi harus diteguhkan kembali di dalam Partai Bolshevik dan di dalam organisasi-organisasi massa seperti serikat-serikat buruh dan soviet-soviet. Kedua, Pemerintah Soviet harus menolak pandangan yang keliru (“Sosialisme di dalam Satu Negeri”) dan tetap mendukung perspektif yang revolusioner dan internasionalis, yakni bahwa keselamatan negara-buruh Rusia terletak pada penyebarluasan revolusi.

Pada tahun 1927 perdebatan berakhir. Perspektif revolusioner Trotsky ibarat gayung tak bersambut. Klas buruh yang kelaparan sudah mengalami demoralisasi. Mereka apatis terhadap seruan Oposisi Kiri untuk berhimpun dan mengadakan perlawanan terhadap Stalin dan birokrasinya. Sementara itu ratusan ribu oknum pengejar karir telah bergabung dengan Partai Bolshevik. Banyak di antara mereka adalah eks pejabat Tsar, yang sebelumnya telah melihat kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan di dalam birokrasi negara bila mereka mengumumkan diri sebagai “komunis”. Sekarang Partai Bolshevik alias Partai Komunis Rusia didominasi oleh unsur-unsur tersebut. Kita ingat, sekitar 350 ribu komunis sejati yang menjadi prajurit-prajurit Tentara Merah telah gugur dalam mempertahankan negara-buruh dari serangan para gembong feodal dan kapitalis. Kini kemenangan Stalin terjamin. Pada bulan November 1927 Trotsky dikeluarkan dari Partai Bolshevik.

Pada titik itu, Stalin membentuk ulang watak dan arah negara-buruh Rusia. “Pembentukan ulang” ini memiliki tiga aspek utama. Pertama, mengharamkan semua perbedaan pendapat. Kedua, melikuidasi semua bentuk demokrasi dan organisasi klas buruh. Ketiga, menurunkan standard-standard hidup klas buruh dan menghilangkan jutaan petani secara fisik. Tujuannya adalah untuk mengalihkan penggunaan sumber-sumber daya ekonomik: dari pemenuhan kebutuhan konsumsi manusia ke pembangunan industri dan militer raksasa guna menyaingi apa yang dilakukan oleh negara-negara kapitalis Barat.

Pengharaman terhadap perbedaan pendapat dimulai dengan pemecatan-pemecatan dari keanggotaan Partai Bolshevik pada tahun 1927. Kemudian membadailah penangkapan-penangkapan. Pada pertengahan 1930-an gelombang pengadilan sandiwara bermuara pada pembantaian terhadap tokoh-tokoh Bolshevik yang pernah memimpin massa-rakyat dalam Revolusi 1917. Penindasan yang sangat mengerikan juga terjadi di kam-kam kerja paksa. Pada tahun 1931, 2 juta orang digiring ke kam-kam tersebut. Pada tahun 1933, 5 juta orang. Pada tahun 1942, 15 juta orang.

Penghancuran sisa-sisa demokrasi-buruh berlangsung dengan cepat. Pada tahun 1928 kaum buruh dilarang melakukan pemogokan. Setelah tahun 1930 kaum buruh tidak lagi diperbolehkan untuk berganti pekerjaan tanpa izin negara. Serikat-serikat buruh dikebiri menjadi mainan birokratik yang dikontrol oleh negara. Pembaruan-pembaruan demokratik lainnya, yang dihasilkan oleh Revolusi 1917, dikuburkan. Sebuah rezim teror berjaya.

Pada tahun 1929, Rencana Lima Tahun pertama diintrodusir. Stalin mengumumkan tujuannya: “mengejar dan menyusul” Barat. Guna merebut kontrol atas produksi pangan, sekian juta petani dibunuh. Di kota-kota, upah kaum buruh dipotong separuh pada 1930-1937. Tingkat pertumbuhan sebesar 40 prosen diumumkan. Kedengarannya spektakular. Tapi itu tercapai melalui penghisapan yang kejam terhadap klas buruh – dengan memaksa kaum buruh untuk menghasilkan output yang lebih dengan upah yang semakin merosot.

Untuk seterusnya, seluruh poros perkembangan Rusia berubah. Lenyaplah komitmen terhadap demokrasi-buruh dan Sosialisme Internasional. Sebagai gantinya adalah sebuah birokrasi yang menyandang hak-hak istimewa, yang tergila-gila dengan perkembangan industrial dan militer guna membangun sebuah kekuasaan dunia. Di bawah Stalin, Uni Soviet menyesuaikan dirinya dengan dinamika Dunia Kapitalis. Tujuan mengalahkan Kapitalisme Internasional melalui revolusi-revolusi kaum buruh telah digantikan dengan tujuan membangun sebuah kompleks militer dan industrial modern. Itu terjadi dengan kecepatan yang luar biasa. Stalin mengekspresikan logikanya dengan jelas:

“Memperlambat langkah akan berarti tertinggal di belakang; dan mereka yang tertinggal di belakang adalah orang-orang yang kalah. Kita tidak ingin dikalahkan … Kita 50 atau 100 tahun di belakang negeri-negeri maju. Kita harus memperbaiki ketertinggalan ini dalam sepuluh tahun.”


Demikianlah, Stalin menggantikan Sosialisme Internasional dengan Kapitalisme-negara. Semua kehidupan ekonomik diletakkan di bawah tujuan untuk bersaing dengan kapitalisme Barat. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia bukanlah tujuan produksi. Alih-alih, produksi disesuaikan dengan ambisi untuk membangun pabrik-pabrik baja dan tank yang dapat menyaingi Barat. up bila membayar dengan harga yang sangat mahal. Tanpa henti Negara itu harus memperluasumber-sumber daya industrial dan militernya. Maka standard-standard hidup klas buruh secara kontinu diletakkan di bawah tujuan perluasan industrial dan militer tanpa akhir. Sebab adalah muskil untuk membangun lebih banyak pabrik dan memproduksi lebih banyak senjata kecuali kaum buruh terus-menerus menjadi pekerja-pekerja yang tak berupah.

Bagi birokrasi Stalinis, kompetisi terutama bercorak militer. Tapi, guna menyetarakan diri dengan Barat dalam persenjataan yang canggih, Rusia harus mampu menandingi pertumbuhan kapitalisme Barat di semua lini: baja, barang-barang elektronik, industri kimia, dan sebagainya. Tekanan kompetisi Dunia Kapitalis – baik militer maupun eknomik – membentuk struktur dan arah masyarakat Rusia. Dengan jalan itu Rusia direduksi menjadi suatu perekonomian yang dikuasai negara yang telah menyesuaikan dirinya dengan sistem kapitalis secara keseluruhan.

Karena alasan inilah “Uni Soviet”, sejak masa Stalin sampai dengan keruntuhannya pada tahun 1991, dapat digambarkan sebagai sesosok Kapitalisme-negara. Untuk mendefinisikan ciri-ciri kapitalisme kita bukan sekadar melihat para pengusaha perorangan yang berproduksi demi untuk keuntungan mereka sendiri. Alih-alih, kita melihat para pemilik “kapital” (sumber-sumber daya yang seharusnya berada dalam kepemilikan, kontrol, dan akses demokratik kaum buruh) menghisap para buruh yang dipaksa untuk menjual tenaga dan kemampuan mereka untuk mendapatkan nafkah. Dalam sistem kapitalis, penghisapan itu bertujuan untuk memperluas kekayaan dan kekuasaan sebuah korporasi atau negara supaya korporasi atau negara tersebut dapat mempertahankan keberadaan mereka di dalam sebuah sistem persiangan dunia.

Negara-buruh telah menjadi sesosok Kapitalisme-negara. Sosialisme Internasional digantikan dengan Sosialisme di dalam Satu Negeri. Sosialisme dari Bawah digantikan dengan Sosialisme dari Atas. Demokrasi-buruh dan dewan-dewan buruh digantikan dengan monopoli kekuasaan birokratik Partai "Komunis". Mengutip penilaian Trotsky, Revolusi telah dikhianati. *** (Bersambung…)

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm



Sabtu, 27 Februari 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (5)


LIMA: DARI MARX KE LENIN

DARI interaksi dan konflik di antara berbagai cara-pandang radikal yang muncul sebagai respons terhadap dampak Revolusi Prancis dan Revolusi Industri di Inggris, hanya satu cara-pandang yang memadukan (i) komitmen terhadap demokrasi-populer dan perekonomian sosialis dengan (ii) pemahaman bahwa hanya klas buruhlah yang dapat mewujudkan suatu masyarakat baru yang bebas dan berkelimpahan. Cara-pandang tersebut, yakni Sosialisme dari Bawah, dicetuskan oleh Karl Marx. Akan tetapi, dalam kurun waktu setengah abad setelah kematiannya (1883), cara pandang Marxis mengalami perubahan-perubahan dan pertentangan-pertentangan yang sangat hebat.

Sepanjang dekade 1890-an dunia kapitalis memasuki masa ekspansi ekonomik selama 20 tahun. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, sebagian besar kaum buruh mengalami perbaikan-perbaikan yang riil dalam standard-standard hidup mereka. Dalam jumlah yang sangat besar, kaum buruh ikut dalam serikat-serikat buruh dan partai-partai sosialis. Banyak di antara serikat-serikat buruh dan partai-partai sosialis itu dipengaruhi oleh idea-idea Marxis. Misalnya di Jerman. Partai Sosial-Demokratik Jerman beranggotakan satu juta orang pada tahun 1912. Bahkan dalam pemilihan umum yang digelar pada tahun yang sama, partai tersebut berhasil meraih 4 juta suara.

Dalam kurun waktu manakala nasib kaum buruh kelihatan membaik tanpa harus melakukan perjuangan yang militan atau revolusioner, timbul dan berkembanglah pandangan bahwa kehidupan secara pasti terus berkembang semakin baik. Kaum Sosialis tidak kebal terhadap pandangan tersebut. Bahkan kebanyakan kaum Sosialis di Benua Eropa tiba pada pandangan bahwa secara perlahan namun pasti Sosialisme akan tercapai. Artinya, melalui perubahan yang berangsur-angsur kapitalisme akan menjelma menjadi sejenis kapitalisme-kesejahteraan (welfare capitalism). Di dalam kapitalisme-kesejahteraan itulah kaum buruh akan menikmati kemakmuran. Karena itu, mereka menganggap pandangan Marx (bahwa sosialisme hanya dapat diwujudkan melalui transformasi revolusioner dari bawah) tidak relevan lagi. Supaya Marxisme tetap relevan, perlu diadakan revisi. Hasilnya adalah pandangan bahwa kapitalisme berangsur-angsur akan berubah menjadi sosialisme (!). Inilah revisionisme.

Eduard Bernstein (1850-1932), seorang Sosialis Jerman, adalah teoretikus revisionisme yang terkemuka. Revisionisme menginginkan sosialisme yang bercorak reformis dan top-down. Artinya, revisi terhadap Marxisme dan reformasi terhadap kapitalisme. Semua partai sosial-demokrasi Eropa yang besar pada waktu itu terpengaruh cara-pandang yang sama. Demikianlah tren yang dominan dalam pemikiran sosialis pada waktu itu adalah suatu varian dari “Sosialisme dari Atas”. Perjuangan klas buruh dalam mewujudkan masyarakat sosialis dipandang remeh. Para pejabat pemerintah dan anggota-anggota perlemen yang berasal dari partai-partai sosial-demokrasi-lah yang dipercaya. Para elit pengibar panji revisionisme itu harus mengawal peralihan yang mulus dari kapitalisme menuju sosialisme.

Tetapi Marxisme, yang berkomitmen pada Sosialisme dari Bawah, belum tamat. Meskipun cara-pandang revisionis/reformis berpengaruh luas, beberapa Marxis tetap berkomitmen pada idea tentang “Sosialisme dari Bawah.” Di antara mereka, kita perlu mencatat seorang wanita revolusioner asal Polandia: Rosa Luxemburg.

Rosa Luxemburg (1871-1919) menjadi seorang Sosialis yang revolusioner di tanah airnya Polandia pada umur 16 tahun. Dua tahun kemudian ia pergi ke Swiss untuk menghindari penangkapan oleh polisi Polandia. Setelah menempuh studi selama beberapa tahun, ia pergi ke Jerman. Di sana ia menjadi seorang pemimpin faksi sayap kiri dari Partai Sosial-Demokrasi Jerman. Dalam usia dua puluhan Luxemburg menulis beberapa karya penting yang mengeritik upaya-upaya kaum revisionis/reformis untuk menanggalkan esensi demokratik dan revolusioner Marxisme. Luxemburg berargumen bahwa kapitalisme tidak akan bisa terus berkembang untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Kapitalisme tidak dapat menghindarkan diri dari krisis periodik karena anarki-produksi yang bermuara pada over-produksi. Meski suatu ketika berhasil keluar dari krisis yang satu atau krisis yang lain, cepat atau lambat kapitalisme akan jatuh lagi ke dalam krisis yang lebih besar dan terjerumus ke dalam militerisme. Karena itu, pilihan bagi umat manusia hanyalah antara Sosialisme dan barbarism.

Prognosis atau prediksi Luxemburg menjadi kenyataan dengan pecahnya Perang Dunia pada tahun 1914. Hampir seluruh sayap revisionis dari Sosialisme Eropa menolak prinsip yang telah lama ditegakkan, yakni menentang semua perang yang berkobar di antara bangsa-bangsa kapitalis. Alih-alih, kaum revisionis/reformis itu malah berkanjang pada patriotisme dungu: setiap partai sosial-demokrasi mendukung pemerintah nasional mereka masing-masing. Bersama-sama dengan kaum revolusioner Rusia, yakni V.I. Lenin dan Leon Trotsky, Rosa Luxemburg tampil memimpin sayap internasionalis dari gerakan sosialis Eropa. Sayap internasionalis ini menentang semua Negara yang terjun dalam Perang Dunia. Sayap internasionalis juga menyerukan agar kaum buruh di Negara-negara tersebut menolak Perang Dunia dan menggulingkan pemerintahan-pemerintahan di sana. Pada akhir Perang Dunia, revolusi-revolusi klas buruh terjadi. Pertama di Rusia, kemudian di Jerman, dan belakangan di Hungaria, Austria, dan Italia.

Rosa Luxemburg memainkan peran sentral dalam Revolusi Jerman pada tahun-tahun 1918-19. Dalam perjuangan itu, dengan penuh semangat dan tegas ia mengukuhkan prinsip-prinsip fundamental dari “Sosialisme dari Bawah”. Lagi dan lagi ia berargumen bahwa klas buruh harus membangun sebuah dunia baru dari puing reruntuhan berasap, dari sebuah Eropa yang dilalap habis oleh perang, kelaparan, dan kemiskinan. Perjuangan bagi Sosialisme, katanya, bergantung pada pertarungan melawan penghisapan dan penindasan di setiap pabrik dan tempat kerja. Masyarakat-baru hanya dapat diciptakan oleh aksi-massa klas buruh. Tidak seorang pun dapat memberikan kebebasan kepada klas buruh. Sebagaimana dikatakannya saat Revolusi Jerman mencapai puncaknya:

“Perjuangan demi Sosialisme harus dilaksanakan oleh massa-rakyat, oleh massa-rakyat semata, dada dengan dada terhadap kapitalisme, di setiap pabrik, oleh setiap proletarian terhadap bosnya. Hanya dengan demikian [perjuangan, RA] itu akan menjadi sebuah Revolusi Sosialis.

... Sosialisme tidak akan dan tidak dapat diciptakan oleh dekrit-dekrit; tidak pula ia dapat didirikan oleh suatu pemerintahan, betapapun sosialisnya pemerintahan itu. Sosialisme harus diciptakan oleh massa, oleh setiap proletarian. Di mana rantai-rantai kapitalisme terbentuk, di sanalah rantai-rantai tersebut harus dipatahkan. Hanya dengan itulah Sosialisme, dan hanya jalan itulah Sosialisme dapat diciptakan.”

Tragisnya, perjuangan kaum buruh Jerman dihancurkan oleh sebuah rezim yang terdiri dari kaum revisionis/reformis. Dalam proses menindas perjuangan kaum buruh Jerman, pemerintahan “sosialis” ini mengorganisir pembunuhan terhadap Rosa Luxemburg dan kawan seperjuangannya, Karl Liebknecht (1871-1919). Sesungguhnya, “Sosialisme dari Atas” yang birokratik dan reformis itu memang tidak ada tali-temalinya dengan self-mobilization massa rakyat-pekerja, dengan perjuangan “Sosialisme dari Bawah”.

Revolusi kaum buruh kalah di Jerman. Tapi tidak di Rusia. Di sana, massa rakyat-pekerja telah berhasil merebut kekuasaan. Sejak tahun 1902 Lenin berjuang untuk membangun sebuah partai buruh revolusioner yang sejati di tengah gelombang permusuhan dari pihak para pendukung Tsar Rusia. Berbeda dengan kaum Sosialis di Eropa Barat, kaum Marxis Rusia tidak mempunyai syarat-syarat kemakmuran ekonomik dan demokrasi politik yang cukup kuat untuk meninabobokan mereka ke dalam ilusi-ilusi revisionis-reformis. Alih-alih, kaum Bolshevik memelihara cara-pandang yang revolusioner.

Krisis yang terjadi dalam gerakan Sosialis yang disebabkan oleh Perang Dunia mendorong V.I. Lenin (1870-1924) untuk mengoreksi dan mengembangkan cara-pandang kaum Bolshevik pada dua butir yang mahapenting. Pertama, ia kembali pada tulisan-tulisan Marx dan Engels tentang Komune Paris. Dari situ ia tiba pada kesimpulan (sebagaimana Rosa Luxemburg sebelumnya) bahwa para revisionis/reformis telah mendistorsi pandangan Marxis tentang Negara dan revolusi kaum buruh. Dalam risalahnya, State and Revolution, Lenin menegaskan kembali pandangan Marxis bahwa klas buruh harus menggulingkan Negara birokratik dan elitis yang dibangun oleh kapitalisme dan menggantikannya dengan Negara-buruh demokratiknya sendiri. Pembebasan klas tertindas adalah mustahil, kata Lenin, “tanpa penghancuran aparatus kekuasaan Negara yang diciptakan oleh klas penguasa.” Negara-buruh yang baru akan merupakan sebuah “negara transisional”, yang berdasarkan pada perluasan demokrasi kepada mayoritas-massif penduduk sampai “kebutuhan akan sebuah mesin-penindasan-yang-khusus [baca: Negara, RA] mulai lenyap.”

Kedua, pada tahun 1917 Lenin beralih ke pandangan-pandangan Trotsky tentang watak revolusi yang berlangsung di Rusia. Selama bertahun-tahun, semua arus utama di kalangan kaum Sosialis Rusia mempercayai bahwa sebuah revolusi burjuis-demokratik (revolusi melawan kekuasaan Tsar, bukan revolusi untuk mendirikan Sosialisme, tetapi sekadar kapitalisme-liberal) harus mendahului revolusi buruh di Rusia. Tapi pada tahun 1906, Leon Trotsky (1879-1940) mengembangkan pandangan yang sangat berbeda. Menurut Trotsky, hanya klas buruh Rusia yang bakal bersedia dan sanggup melancarkan perjuangan untuk merealisasikan pembaruan-pembaruan demokratik dan sebuah republik demokratik. Tapi mengapa, tanya Trotsky, kaum buruh diharapkan berhenti pada titik itu? Mengapa mereka tidak boleh memperluas perjuangan hak-hak demokratik mereka kepada perjuangan untuk merealisasikan kontrol buruh dan demokrasi sosialis? Menurut Trotsky, faktanya demokrasi di Rusia hanya dapat diwujudkan melalui sebuah revolusi buruh. Kalau begitu, perjuangan demi hak-hak demokratik cenderung akan beralih menjadi perjuangan bagi kekuasaan buruh.

Menjawab pandangan bahwa Rusia masih terlalu terbelakang untuk mampu membangun sebuah masyarakat sosialis (yang sebagaimana kita ketahui mengisyaratkan kondisi berkelimpahan) Trotsky berargumen bahwa meskipun Rusia masih terbelakang, Eropa secara keseluruhan tidak. Revolusi Rusia akan menjadi bagian dari sebuah konflik yang skalanya seluas Eropa. Didukung oleh gerakan-gerakan buruh progresif-revolusioner dari Eropa Tengah dan Eropa Barat, Rusia dapat melewati tahap kapitalisme-liberal dan bergerak langsung menuju pembangunan masyarakat sosialis. Trotsky menggambarkan proses ini sebagai Revolusi Permanen. Revolusi akan menjadi permanen dalam dua pengertian. Pertama, perjuangan untuk merealisasikan demokrasi akan beralih menjadi revolusi untuk merealisasikan kekuasaan buruh. Kedua, Revolusi Rusia akan menyebar dan akan menjadi bagian dari Revolusi Eropa, bahkan Revolusi Dunia.

Ketika pada bulan Maret 1917 kaum buruh perempuan di St Petersburg turun ke jalan menuntut roti dan perdamaian, sedikit saja yang menyadari bahwa Revolusi Rusia telah dimulai. Ketika demonstrasi kaum buruh perempuan tersebut memicu suatu gelombang perjuangan revolusioner terhadap kekuasaan Tsar, Lenin segera menganut perspektif Trotsky dan mengumumkan bahwa revolusi buruh merupakan panggilan yang mendesak. Pada saat yang sama, Trotsky menyadari bahwa tanpa sebuah partai politik yang terorganisir, tidak ada revolusi yang akan berhasil. Karena itu ia bergabung dengan Partai Bolshevik. Kedua orang itu barhu-membahu mendorong Partai Bolshevik untuk mengorganisir dan memimpin pemberontakan kaum buruh pada bulan November (Oktober menurut kalender Ortodoks Rusia) 1917.

Revolusi Rusia didasarkan pada sejenis organisasi sosial yang sama sekali baru: dewan-buruh atau soviet. Dewan-dewan ini, yang terdiri dari delegasi-delegasi yang dipilih dari tempat-tempat kerja dan komunitas-komunitas, menjadi badan-badan pembuatan keputusan yang baru di Rusia. Mereka adalah organ-organ demokrasi langsung yang delegasi-delegasinya (seperti dalam Komune Paris) dapat di-recall oleh para pemilihnya. Soviet-soviet merepresentasikan bentuk baru dari demokrasi-massa. Atas dasar inilah Lenin dan Trotsky mengajukan tuntutan “Semua kekuasaan untuk soviet-soviet!” Inilah semboyan sentral Revolusi Rusia. Soviet-soviet akan menjadi basis dari Negara-buruh yang baru; soviet-soviet itu akan merepresentasikan penubuhan demokrasi-buruh. Setelah pemberontakan yang dipimpin kaum Bolshevik pada bulan Oktober 1917, soviet-soviet memang menjadi fondasi Negara-buruh Rusia. Jurnalis Amerika, John Reed (1887-1920), yang berada di Rusia pada waktu itu, dengan saksama menggambarkan organisasi dari negara baru ini:

Setidaknya dua kali setahun delegasi-delegasi dipilih dari seluruh Rusia untuk Kongres Soviet-soviet Seluruh Rusia (All-Russian Congress of Soviets) ... Badan ini, yang terdiri dari sekitar dua ribu anggota, berhimpun di ibukota dalam bentuk sebuah soviet yang besar, dan merundingkan hal-hal esensial dari kebijakan nasional. Badan ini memilih suatu Komite Eksekutif Sentral, seperti Komite Sentral Soviet Petrograd, yang mengundang delegasi-delegasi dari komite sentral dari semua organisasi demokratik.

Komite Eksekutif Sentral dari Soviet-soviet Seluruh Rusia yang diperbesar ini adalah parlemen dari Republik Rusia.


Soviet-soviet, catat Reed, adalah organisasi yang luar biasa bersemangat dan aktif. Mereka mencurahkan perhatian mereka pada semua aspek kebijakan sosial. “Sebelumnya tidak pernah ada sebuah badan politik yang begitu peka dan cepat-tanggap terhadap aspirasi rakyat,” kata Reed.

Selama tahun-tahun 1917 dan 1918, soviet-soviet Rusia penuh dengan inisiatif dan antusiasme revolusioner. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jutaan buruh dan tani mendapati diri mereka mampu berpartisipasi dalam keputusan-keputusan besar yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kontrol terhadap pabrik-pabrik diambil-alih oleh kaum buruh, tanah diambil-alih oleh kaum tani miskin. Janin dari suatu bentuk masyarakat yang baru telah terbentuk.

Sayangnya, hanya sebuah janin. Karena untuk dapat bertumbuh benih sosialisme membutuhkan beberapa syarat yang mahapenting. Syarat mahapenting pertama adalah perdamaian. Negara-buruh yang baru lahir tidak dapat mendirikan sebuah demokrasi yang tumbuh-pesat apabila ia dipaksa untuk mengerahkan pasukan dan membeayai perang guna mempertahankan dirinya. Syarat mahapenting kedua adalah kelimpahan. Kecuali kebutuhan-kebutuhan material-dasariah semua orang dapat dipenuhi, adalah mustahil untuk mempertahankan hidup sebuah demokrasi-langsung-dan-aktif. Ramuan ketiga adalah penyebaran revolusi. Hanya revolusi-revolusi buruh yang berhasil di Eropa-lah yang dapat menyingkirkan ancaman perang dan menyediakan bantuan ekonomik yang sangat dibutuhkan oleh massa-rakyat Rusia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, empat bulan setelah Revolusi Buruh di Rusia, Lenin menyatakan, “Kebenaran yang mutlak adalah: tanpa sebuah revolusi di Jerman kita akan binasa.” *** (Bersambung...)

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm