Senin, 11 Januari 2010

KOMUNISTOFOBIA


“A spectre is haunting Europe – the spectre of Communism,” begitu tulis Karl Marx dan Friedrich Engels di prolog Communist Manifesto (1848). Sesosok hantu sedang menghantui Eropa – hantu Komunisme.

Betapa tidak, sebagai sebuah gerakan, komunisme adalah penerjemahan filsafat oleh massa pekerja ke dalam aksi. Filsafat yang dimaksud adalah materialisme-historis, yang berlogikakan materialisme-dialektis, bertulangpunggungkan perjuangan klas, dan terimplementasi dalam revolusi massa pekerja guna demokratisasi alat-alat produksi massal demi sebuah dunia tanpa klas, tanpa pengisapan manusia oleh manusia.

Bila filsafat itu, yakni materialisme-historis, tetap tinggal sebagai filsafat, taruhlah sebagai mental exercise, atau paling banter guna memahami dunia, barangkali tidak akan pernah ada komunisme, dan dengan demikian tidak akan menghantui Eropa, bahkan seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tetapi bukankah Marx sendiri pernah mengatakan dalam Tesis-tesis tentang Feuerbach (1845), “Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya.”

Padahal dunia yang akan diubah oleh komunisme bukanlah dunia tak bertuan. Ada banyak tuan, dan mereka berkuasa dalam menurut sistem-sistem yang dapat dijabarkan dalam hubungan-hubungan produksi: feodalisme dan kapitalisme. Sistem-sistem itu mengisyaratkan pembagian klas. Ada klas yang mengharuskan orang-orang yang terhisab di dalamnya untuk membanting-tulang dan memeras keringat untuk menyambung kehidupan mereka sekaligus memakmurkan orang-orang dari klas yang lain. Itulah klas pekerja, yang dari zaman ke zaman berturut-turut terdiri dari kaum budak, petani-penggarap, dan kaum buruh. Sementara pada saat yang sama ada klas yang memberikan keleluasan bagi orang-orang yang terhisab di dalamnya untuk menikmati hidup dengan sokongan dari orang-orang yang dengan susah payah mencari rezeki seumur hidupnya mereka. Itulah klas berkuasa, pemilik alat-alat produksi, yang terdiri dari para pemilik budak, kaum bangsawan, dan kaum burjuis alias kapitalis. Merekalah para tuan atas dunia ini.

Bila komunisme bermaksud mengubah dunia, jelas mereka berhadap-hadapan dengan para tuan atas dunia ini. Padahal, tidak ada klas yang mau melepaskan posisi istimewanya secara sukarela. Sebab itu, dengan memperhatikan momentum saat terjadinya krisis-krisis dalam masyarakat yang sebenarnya berakar di dalam hubungan-hubungan produksi yang berlaku, langkah pertama mengubah dunia dilakukan melalui revolusi. Baik revolusi demokratis, maupun revolusi sosialis. Revolusi kaum buruh yang bermuara pada pembentukan Komune Paris (1871) dan Revolusi Rusia, Februari dan Oktober 1917, adalah contohnya. Langkah berikutnya adalah pemerintahan buruh melalui Diktatur Proletariat, yang beranggotakan utusan-utusan dari dewan-dewan buruh. Diktatur Proletariat merupakan pemerintahan transisi yang bertujuan melenyapkan kontradiksi-kontradiksi yang tersisa dari feodalisme dan atau kapitalisme, dan menciptakan kondisi-kondisi untuk mengakhiri negara klas – hingga tercapainya masyarakat komunis, masyarakat tanpa klas, masyarakat tanpa pengisapan, di mana setiap orang bekerja menurut talentanya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya.

Bagi klas yang berkuasa, jelas, komunisme merupakan hantu yang menakutkan. Itulah sebabnya, kata Marx dan Engels, “Semua kekuasaan Eropa Kuna telah masuk ke dalam sebuah aliansi suci untuk mengusir hantu ini: Paus dan Tsar, Metternich dan Guizot, kaum Radikal Prancis dan polisi-mata-mata Jerman.” Tapi bagaimana dengan klas yang tertindas dan terhisap?

Kasus Indonesia

Di negeri kita Indonesia, komunisme dianggap sebagai hantu yang menakutkan biasanya karena Peristiwa Madiun (1948) dan Gerakan 30 September (1965). Dalam kedua peristiwa itu hantu komunisme bergentayangan. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang berideologi komunis, dituduh berupaya melakukan kudeta, merebut kekuasaan yang sah. Karena itu PKI dikatakan telah duakali mengkhianati Republik Indonesia.

Pertanyaan yang mengganjal adalah: apakah benar demikian? Untuk Peristiwa Madiun, tidak lebih bijakkah bila kita memandangnya sebagai kemuncak dari pergolakan dalam negeri pasca Persetujuan Renville (Januari 1948) di saat mulai bergulirnya Perang Dingin antara Kubu Stalinis ("Komunis") pimpinan Uni Soviet dan Kubu Kapitalis ("Demokratis") pimpinan AS? Menurut pendapat penulis, Perisiwa Madiun tidak lepas dari:

  • jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin (karena dianggap terlalu mengakomodir tuntutan Belanda dalam Perjanjian Renville);


  • komitmen Kabinet Hatta untuk melaksanakan Persetujuan Renville (yang ternyata mengikutsertakan partai-partai yang semula menentang Bung Amir dan menjatuhkan kabinetnya karena persetujuan tersebut);


  • program Kabinet Hatta, yakni Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (yang menyebabkan konflik antara TNI dan TNI-Masyarakat);


  • radikalisasi pandangan dan sikap PKI/FDR terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan (dari pro-diplomasi menjadi perang rakyat berbasis front-nasional anti-imperialis yang dipimpin oleh klas pekerja) sekembalinya Pak Musso;


  • Peristiwa Solo, yang diawali dengan mati-tertembaknya Panglima Pertempuran Panembahan Senopati Kol. Sutarto dari TNI-Masyarakat (awal Juli 1948) dan berkembang menjadi bentrok senjata antara TNI-Masyarakat yang didukung laskar Pemuda Sosialis Indonesia [Pesindo] melawan pasukan Siliwangi dari TNI yang didukung laskar Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat [GRR] (awal-pertengahan September 1948); 


  • bentrok senjata antara pasukan tak dikenal [diduga Siliwangi] dengan pasukan Brigade 29/TNI Masyarakat di Madiun pada pagi buta 18 September 1948 (yang disusul dengan dikuasainya Madiun oleh Pemerintah Front-Nasional dan kawat kepada Pemerintah RI di Yogya yang menjelaskan hal-ihwal bentrokan dan kondisi Madiun selanjutnya, serta meminta petunjuk untuk apa yang harus dilakukan selanjutnya); dan


  • pidato Bung Karno pada 19 September malam bahwa PKI-Musso telah mendirikan Soviet Republik Indonesia di Madiun pada 18 September (padahal pada hari itu Pak Musso, Bung Amir, dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya masih berada di Purwodadi dalam rangka mengkampanyekan front-nasional anti-imperialis) serta pidato balasan Musso terhadap pidato tersebut. Bung Karno mengajak rakyat menumpas PKI-Musso dengan slogan "Pilih Sukarno-Hatta atau Musso dengan PKI-nya", sedangkan Pak Musso menyatakan bahwa rakyat akan menjawab "selamanya Musso menghamba rakyat".

Untuk Gerakan Tiga Puluh September apakah tidak arif bila kita memandangnya sebagai pre-emptive strike dari sekelompok perwira Angkatan Darat (Letkol Untung Sjamsuri, Kol Abdul Latief, dan Brigjen Soepardjo) yang merasa loyal kepada Bung Karno terhadap jenderal-jenderal AD yang dicurigai akan melancarkan kup pada tanggal 5 Oktober? Mungkin beberapa pemimpin PKI "terlibat" dengan mengetahui sebelumnya dan memutuskan untuk memberikan dukungan politik apabila operasi tersebut berhasil dilaksanakan. Katakanlah ini "avonturisme Kiri". Tetapi beberapa pemimpin PKI tidak sama dengan semua pemimpin PKI. Demikian juga, beberapa pemimpin PKI tidak sama dengan PKI sebagai organisasi. Lebih-lebih, beberapa pemimpin PKI sama sekali berlainan dengan para anggota dan simpatisan PKI (yang justru jadi korban pembantaian massal Oktober-Desember 1965 dan waktu-waktu sesudahnya). Putsch 1 Oktober dinihari sama sekali bukan revolusi. Avonturisme, bahkan yang berlabel "Kiri" sekalipun tidak sama dengan revolusi. Putsch adalah kudeta militer. Avonturisme Kiri adalah petualangan yang berpretensi memenangkan proletarian cause. Tapi itu semua bukan cara Marxis atau Marxis-Leninis yang justru meyakini "kaum buruh harus berjuang membebaskan diri mereka sendiri."

Selain itu, patutlah kita pertimbangkan peruncingan "luar dan dalam" dalam politik Indonesia era Demokrasi Terpimpin. Di luar, Indonesia meradikalisir politik luar negeri yang bebas-aktif menjadi politik luar negeri anti-imperialis melalui penggalangan New Emerging Forces (Nefo). Implementasi kritisnya adalah Konfrontasi dengan British Malaysia, yang dianggap Bung Karno sebagai proyek imperialis Inggris. Pada saat yang sama, hubungan Indonesia dan AS juga mengalami peruncingan (sementara AS terus bekerjasama  dengan Angkatan Darat Indonesia). Dalam peruncingan itu, PKI memposisikan diri sebagai pendukung terkemuka politik anti-imperialis Bung Karno. Alhasil,  kubu imperialis pimpinan AS (yang sejak Perang Kemerdekaan menghendaki sirna ilangnya komunisme dari bumi Indonesia) membidik PKI dan BK sekaligus sebagai sasaran tembak. AS dan sekutunya tidak rela Indonesia jatuh ke dalam tangan komunisme, entah komunisme yang berkiblat  ke Moskow,  atau komunisme yang berkiblat ke Peking.

Di dalam, BK berusaha menjaga keseimbangan antara PKI dan pihak-pihak anti-PKI (baik sipil maupun militer). Sementara tetap mempertahankan strategi penggalangan front persatuan-nasional, sejak akhir 1963 PKI mengalami radikalisasi yang tanggung. Ini dapat dilihat dari Aksi-aksi Sefihak (Aksef), desakan untuk mengadakan Angkatan Kelima, dan kampanye-kampanye pengganyangan "7 setan desa" dan "3 setan kota". Sementara PKI tidak benar-benar mendasarkan radikalisasinya pada mobilisasi massa buruh dan tani, pihak-pihak anti-PKI kian bersatu dalam kebencian dan permusuhan mereka kepada Partai tersebut. Ini diperparah dengan "keuntungan-keuntungan" yang diperoleh PKI dari tindakan-tindakan Bung Karno yang tidak demokratis, seperti membubarkan PSI dan Masyumi (1960), Manifes Kebudayaan (1964), BPS (1964, Badan Pendukung Sukarnoisme), dan Partai Murba (1965, partai para  pengagum Tan Malaka dan mengaku diri sebagai "Komunis Nasional"). Barisan musuh-musuh PKI pun semakin besar, sementara PKI terombang-ambing dalam posisi Stalinis, yakni antara radikalisasi (a la Maois) dan akomodasi (a la Khruschevis, Partai Komunis Uni Soviet).

Peruncingan "dalam dan luar" ini pada gilirannya menempatkan PKI pada posisi ibarat telur di ujung tanduk. Sedikit saja tergeser dari titik-tumpunya, telur itu akan jatuh dan hancur berantakan. Gerakan Tiga Puluh September adalah momen pergeseran tersebut. Selanjutnya, ketika Soeharto dan kliknya menguasai Angkatan Darat dan media massa, nasib PKI sudah ditentukan. Cerita horor Lubang Buaya diciptakan. Ketika histeria melanda masyarakat, Angkatan Darat memfasilitasinya dengan mendukung pembentukan kesatuan-kesatuan aksi dan mengorganisir sipil anti-PKI di daerah-daerah. Semuanya meng-gerudug PKI. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran kantor-kantor PKI dan ormas-ormasnya. Yang lebih ngeri, terjadi pula penangkapan dan pembantaian terhadap ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI.

Kita tahu kelanjutan kisahnya. Komunisme dicap sebagai ideologi yang ateistik bahkan anti-Tuhan, karena itu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk perbuatan-perbuatan yang biadab tak berperikemanusiaan. Orang-orang PKI pun menyandang cap itu. Dengan jitu, Orde Baru mengefektifkan cap itu dengan membubarkan PKI, menetapkannya sebagai Partai terlarang, melarang ajaran Marxisme-Leninisme, menciptakan sejarah yang memposisikan PKI dengan komunismenya sebagai makhluk jahat anti-Pancasila, monster pengancam dan mengerikan, dan memberikan tanda khusus di kartu identitas orang-orang yang dianggap terlibat atau tersangkut dengan G-30-S/PKI ... termasuk anak-anak mereka.

Ironisnya, heroisme PKI yang mencetuskan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda (November 1926-Januari 1927) tidak pernah diperhitungkan. Sekian banyak orang Komunis yang gugur, dihukum mati, dipenjarakan, dan dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Hindia Belanda juga tidak pernah diperhitungkan. Padahal itulah pemberontakan nasional (bukan kedaerahan) pertama terhadap Hindia Belanda. Demikian juga pembantaian terhadap sekian ratus ribu warga bangsa yang dicap PKI yang dilakukan atas restu penguasa militer yang kelak mendirikan rezim Orde Baru, tak pernah dicarikan pertanggungan jawabnya.

Jadi ...

Komunistofobia, ketakutan yang berlebihan terhadap hantu komunisme, sebenarnya merasuki jiwa orang-orang dari klas yang berkuasa, baik feodal maupun burjuis, baik kaum pemilik alat-alat produksi, birokrat, maupun pimpinan militer. Dalam pada itu, di Indonesia rezim Orde Baru berhasil menjadikan komunistofobia sebagai momok bahkan musuh bersama bagi segenap warga bangsa. Di masa Orba, setiap perlawanan terhadap kezaliman rezim akan mendapat label bahaya laten komunis. Di masa Reformasi, upaya almarhum Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966 ditentang habis-habisan. Kongres Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) dirusuhi oleh kelompok-kelompok fundamentalis. Nama "PKI" dan kata "Komunisme" tetap menjadi istilah-istilah yang membangkitkan ketakutan di satu sisi dan kebencian di sisi lain. Kejaksaan Agung menarik buku-buku pelajaran yang tidak menyebut Peristiwa Madiun 1948 sebagai Pemberontakan Madiun dan Gerakan Tiga Puluh September sebagai G30S/PKI.

Baru-baru ini Kejaksaan Agung juga melarang di antaranya dua buku yang katanya berideologi Komunis: Lekra Tidak Membakar Buku (yang sebenarnya menguraikan sejarah perjuangan Lekra di lapangan Kebudayaan, di mana Lekra adalah organisasi yang mandiri meski sejalan dengan PKI dalam mendukung penyelesaian Revolusi Nasional pimpinan Bung Karno) dan Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan Tiga Puluh September dan Kudeta Suharto (yang sebenarnya secara akademis coba mengurai kompleksitas Peristiwa dinihari 1 Oktober dan menemukan keterlibatan beberapa tokoh PKI, juga kepiawaian Soeharto [dalam hari-hari pasca penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal] mengimplementasikan aspirasi AS dan pemimpin-pemimpin AD untuk melikuidasi PKI dan menggulingkan Bung Karno) *** (Pandu Jakasurya)



Tidak ada komentar: