Jumat, 08 Januari 2010

Negara



Sebagai realitas sosio-historis, negara (dengan “pemerintah” sebagai pengemudinya) tidak selalu ada. Ada suatu masa ketika negara dan pemerintah pernah tidak ada, dan kelak ada suatu masa ketika negara dan pemerintah tidak ada lagi. Negara dan pemerintah ada karena masyarakat terbelah ke dalam klas-klas yang memiliki kepentingan yang secara hakiki bertentangan. Ada klas yang membanting tulang bekerja untuk mempertahankan hidup, ada klas yang justru hidup dari pengambilan hasil kerja banting-tulang klas yang lain. Baik dalam masyarakat pemilik budak, feodalisme, dan sekarang kapitalisme, ini terus berlangsung. Dalam konteks ini, negara atau pemerintah adalah “institusionalisasi kepentingan klas”. Maksudnya, negara dan pemerintah ada untuk menjamin kepentingan klas penindas dan penghisap.


Penjaminan itu bermekanisme ganda. Pertama, dengan alat-alat pemaksa (polisi, tentara, satpol PP, hukum, dan lembaga peradilan). Kedua, dengan alat-alat persuasi (filsafat, ilmu pengetahuan, agama-yang-telah-dijinakkan-dan-dekaden melalui berbagai saluran kultural). Dengan yang pertama klas penguasa membikin klas tertindas takut (sehingga tidak melawan). Dengan yang kedua klas penguasa membikin klas tertindas yakin bahwa segalanya baik-baik saja. Dalam terminologi Gramscian, yang kedua disebut hegemoni.

Lalu bagaimana?

Negara dan pemerintah tidak selalu ada: pernah tidak ada dan kelak akan tidak ada. Mereka akan tidak ada bila masyarakat tidak terbelah lagi dalam klas-klas antagonistik. Dengan kata lain, bila tidak ada lagi perjuangan klas, maka berhentilah negara dan pemerintah. Dalam masyarakat tanpa klas ini, yang ada hanyalah fungsi-fungsi administratif yang ditetapkan oleh dewan-dewan rakyat pekerja. Petugas administratif itu dipilih oleh rakyat pekerja dari lingkungan dewan-dewan rakyat pekerja. Mereka digaji sama dengan rakyat pekerja, dan sewaktu-waktu bisa di-recall oleh rakyat pekerja. Di sini, demokrasi perwakilan digantikan dengan demokrasi partisipatoris, demokrasi pekerja.

Dengan perspektif Histomat (Historical-Materialism) ini, saya setuju: bukan rakyat yang butuh pemerintah/negara, tapi pemerintah/negara yang butuh rakyat. Tapi “butuh”-nya sangat ironis: butuh sokongan rakyat yang justru menjadi obyek penghisapan klas yang berkuasa. Tapi perspektif ini juga menggarisbawahi hal yang jauh lebih penting: rakyat-pekerja harus berjuang untuk membangun alternatif bagi pemerintah/negara! Dan bagi orang-orang Kristen: bagaimana visi Yesus dari Nazaret tentang Pemerintahan Allah kena-mengena dengan alternatif ini? *** (Rudolfus Antonius)


Tidak ada komentar: