Selasa, 12 Januari 2010

VISI SOSIALIS YESUS (I)


Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!" Lalu kata orang itu kepada-Nya: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku." Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya. Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: "Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah." Murid-murid-Nya tercengang mendengar perkataan-Nya itu. Tetapi Yesus menyambung lagi: "Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." Mereka makin gempar dan berkata seorang kepada yang lain: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah." (Markus 10.17-27)



Ada seorang yang banyak hartanya. Ia ingin beroleh hidup yang kekal. Artinya, "beroleh dalam kebangkitan dari antara orang mati tatkala Yahweh datang sebagai Raja." Ia datang dengan tergopoh-gopoh, berlari-lari mendapatkan Yesus. Ia bertelut di hadapan Yesus dan menyapa Laki-laki Bersandal itu “Guru yang baik.” Selanjutnya ia bertanya kepada Sang Guru, apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal.

Menarik sekali. Keinginan untuk beroleh hidup yang kekal mendorong orang yang kaya-raya ini untuk melakukan empat hal, yang barangkali dalam kasus lain akan dilakukan salah seorang budak atau buruhnya. Pertama, ia datang dengan berlari-lari untuk berjumpa Yesus; kedua, bertelut di hadapan-Nya; ketiga, memanggil-Nya dengan sapaan “Guru yang baik”; dan keempat, mohon petunjuk tentang apa harus diperbuatnya agar memperoleh hidup yang kekal.

Bukankah budak atau buruhnya akan melakukan hal yang serupa manakala menemuinya? Tentulah budak atau buruhnya merasa bahwa nafkah atau penghidupan mereka bergantung padanya. Selaku majikan, orang kaya itu adalah pihak pemberi kerja, sedang budak atau buruhnya adalah pihak penerima kerja atau yang dipekerjakan. Selaku majikan ia mengupah buruhnya atau memberi makan budaknya atas pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan jalan itu, napas hidup sang budak atau sang buruh seolah ada di tangan sang majikan. Tak terpikir oleh mereka bahwa justru karena merekalah sang majikan bisa memperkaya diri atau mempunyai waktu luang untuk menghaluskan cita-rasa seni, budaya, agama, bahkan terjun ke kancah pergaulan yang bisa membuatnya dikenal, atau malah turut bermain di dunia politik. Sang majikan bisa melakukan itu semua karena ada orang-orang yang bekerja bagi mereka, entah si budak entah si buruh. Nilai-lebih mungkin bukan hanya berbentuk nilai material yang diambil si majikan dari jerih-payah si buruh, tetapi juga waktu atau kesempatan sebagai ganti pembantingan-tulang si budak. Sebenarnya, siapa menghidupi siapa? Atau, siapa bergantung pada siapa? Bila si budak atau si buruh menemukan jawaban yang sesungguhnya, akankah mereka tergopoh-gopoh datang kepadanya, berlutut di hadapannya, menyapanya “Tuan yang baik”, dan mohon petunjuk-petunjuk atau perintah-perintahnya?

Bukan tidak mungkin, sikap orang kaya-raya itu kepada Yesus mencerminkan sikap budak atau buruhnya sehari-hari kepadanya.

“Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” tanyanya santun kepada Laki-laki Bersandal. Dialog dimulai.

Jawaban Yesus menarik. Pertama, Ia menanggapi sapaan orang kaya itu. Kedua, Ia mengkonfirmasi apa yang diketahui orang kaya itu.

Menanggapi sapaan “Guru yang baik”, Yesus malah bertanya: “Mengapa kaukatakan Aku baik?” Tersirat, Yesus tidak menolak disebut Guru. Tapi Ia mempertanyakan sebutan itu tatkala itu dihubungkan dengan kata sifat “baik”. Pasalnya, “Tak seorang pun yang baik selain daripada Allah saja.” Secara logis kemungkinannya dua. Satu, Allah saja yang baik; Aku, yang seorang guru, tidak baik; berarti aku bukan Allah. Dua, Allah saja yang baik; Aku, yang seorang guru, baik; berarti aku adalah Allah. Kemungkinan logis yang pertama tentu menjadi pilihan mereka yang menolak keilahian Yesus. Kemungkinan logis yang kedua bakal digemari oleh mereka yang secara dogmatis berusaha mempertahankan keilahian Yesus dalam apoftegma yang sedang kita diskusikan. Lalu bagaimana?

Sebagai seorang Kristen, tentulah saya mengimani keilahian Yesus. Tapi keilahian Yesus sebagaimana terformulasi dalam Kredo Nicea-Konstantinopel dan Kredo Kalsedon hendaknya jangan digunakan untuk memahami kata-kata Yesus sebagaimana itu diformulasikan oleh Penginjil Markus di sini. Fair kepada Penginjil Markus (dan Yesus yang diimaninya), sebaiknya kita mempertimbangkan Kristologi (atau Yesuologi?) Markus. Tapi saya sadar waktu dan tempat tidak memungkinkan untuk mendiskusikan salah satu aspek dari teologi (Peng-)Injil Markus. Meski demikian paling sedikit kita dapat mengatakan begini: Yesus menampilkan Yahweh in action melalui praksis-Nya selaku Hamba yang menghidupi ketaatan di jalan penderitaan. Kadang pembaca yang jeli melihat peragaan tindakan Yahweh dalam tindakan Yesus. Meredakan angin ribut di danau, misalnya. Tapi tindakan itu dilakukan dalam konteks penghayatan Yesus sebagai hamba Yahweh yang taat meski harus menderita. Karena itu, bila ditantang untuk memperagakan kuasa-Nya, Ia menolak. Tapi tak segan-segan Ia “turun-tangan” bila “orang berdosa” membutuhkan belas kasihan dan pertolongan Yahweh. Membingungkan, mungkin. Tapi inilah, menurut pendapat saya, “messianic secret” dalam Kristologi Markus.

Kembali ke cerita kita. Dengan tanggapan yang secara logis mempunyai dua cabang kemungkinan, agaknya Yesus bermaksud menampilkan lagi Yahweh in action. Kali ini, yakni in giving His (and-Her) loving commandments. Jika Allah saja yang baik, di sini Aku menampilkan Dia sebagai Yang memberikan perintah-perintah kasih-Nya.

Apakah perintah-perintah kasih Yahweh itu? Yesus menyampaikannya dengan strategi. Ia lebih dulu mengkonfirmasi pengetahuan orang kaya itu tentang perintah-perintah Allah.

“Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!”

Menarik sekali konfirmasi Yesus. Dari “segala perintah Allah” yang dikemukakannya, kita menangkap kesan bahwa Ia sedang mengemukakan perintah-perintah yang tercantum dalam bagian kedua dari Kesepuluh Firman. Kita tahu, bagian kedua dari Kesepuluh Firman berorientasi pada hubungan antarmanusia. Bila diringkaskan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ingin memperoleh hidup yang kekal, seseorang harus mengasihi sesamanya manusia.

Tapi, bila disimak lebih lanjut, dari enam perintah yang berorientasi pada hubungan antarmanusia itu, kita menemukan perintah yang berbunyi “jangan mengurangi hak orang”. Sementara “jangan membunuh”, “jangan berzinah”, “Jangan mencuri”, “jangan mengucapkan saksi dusta”, dan “hormatilah ayahmu dan ibumu” kita temukan (dengan urutan yang berbeda) ada di dalam bagian kedua dari Kesepuluh Firman, tidak demikian halnya dengan “jangan mengurangi hak orang”. Sepintas perintah ini menggantikan atau perintah “jangan mengingini milik sesamamu.” Tapi bukan tidak mungkin “jangan mengurangi hak orang” merupakan upaya Yesus mempertajam “jangan mengingini milik sesamamu” manakala itu diterapkan kepada si orang kaya. Bagaimana?

Ini adalah soal bagaimana seseorang menjadi kaya. Dalam konteks ini, orang kaya yang datang kepada Yesus. Sekadar “mengingini milik sesama” tanpa implementasi hanya membuat orang berdosa dalam hati dan pikiran. Tapi bila diimplementasikan, ada orang lain yang menjadi korban. Di sinilah, dalam rangka menjadi kaya, “mengingini milik sesama” menjadi perbuatan, yakni “mengurangi hak orang”. Ketika Yesus mengkonfirmasi “segala perintah Allah” kepada orang kaya itu, tersingkaplah hubungan produksi dengan mana orang itu memperkaya dirinya.

Terbayanglah di mata kita budak-budak dan/atau buruh-buruhnya. Dari mana orang itu beroleh kekayaan, bahkan harta-benda yang sedemikian banyak? Warisan? Mungkin? Tapi bila tidak dijalankan sebagai kapital atau alat produksi, kekayaannya bukan hanya tidak akan bertambah; kekayaan itu akan habis. Tapi bila dijalankan sebagai kapital, ia harus mempekerjakan orang lain. Orang lain atau orang-orang lain itu tidak mempunyai kapital. Mereka hanya memiliki diri mereka sendiri.

Dalam kasus budak, “diri mereka” diambilalih oleh sang tuan. Hidup-mati mereka hampir sama sekali bergantung pada kehendak sang tuan. Mereka melakukan kerja produktif dengan alat produksi sang tuan, misalnya mengerjakan ladang. Sebagian (besar) dari hasil jerih-payah mereka di ladang menjadi milik sang tuan dan dengan demikian memperkayanya. Karena kemurahan hati (atau kekejaman?) sang tuan, hidup mereka dipelihara dengan beaya yang diambilkan sang tuan dari sebagian (kecil) hasil jerih-payah mereka yang tidak digunakan untuk memperkaya dirinya.

Mungkin ada di antara para budak yang melakukan kerja non-produktif, seperti membersihkan rumah sang tuan, memasak dan mencuci untuk keluarga sang tuan, dan sebagainya. Tapi kerja non-produktif itu sangat dibutuhkan oleh sang tuan dan keluarganya. Dengan begitu sang tuan dan keluarganya dapat melakukan hal-hal yang lain: menikmati hiburan, mengapresiasi seni-budaya, mendalami agama, menjalin relasi dengan para tuan lainnya, arisan, dan terjun ke dunia politik. Dengan demikian para budak yang melakukan kerja non-produktif sebenarnya memperkaya sang tuan secara mental dan sosial. Karena kemurahan hati (lagi, atau kekejaman?) sang tuan, hidup mereka dipelihara dengan beaya yang diambilkan sang tuan dari sebagian (kecil) hasil jerih payah budak-budak yang melakukan pekerjaan produktif – yang tidak digunakan untuk memperkaya dirinya.

Dalam kasus buruh, tenaga mereka diambilalih oleh sang majikan selama jam kerja. Tenaga mereka adalah tenaga untuk kerja-produktif. Mereka menghasilkan komoditas, entah dalam bentuk barang atau jasa. Komoditas itu bernilai guna, karena itu dapat dipertukarkan dengan komoditas lain. Dalam konteks ini, uang berfungsi pengandai di satu sisi dan penanda di sisi lain. Uang mengandaikan nilai guna suatu komoditas dan menandai nilai tukarnya. Dengan kerja-produktif mereka, para buruh menghasilkan komoditas dengan bernilai-guna dan bernilai-tukar tertentu, yang pengandaian dan penandaannya ada dalam bentuk sejumlah besar uang. Logikanya, sejumlah besar uang yang diperoleh para buruh berbanding lurus dengan kerja-produktif yang menghasilkan komoditas. Tapi kenyataannya tidak demikian. Sebagian dari hasil kerja-produktif para buruh diambil oleh sang majikan. Tujuannya untuk memperkaya diri dan memupuk kapital sang majikan. Karena pertimbangan rasional-ekonomik, sang majikan membiarkan sebagian lainnya untuk menjadi milik para buruh, yakni sejauh yang dibutuhkan untuk memelihara kinerja mereka.

Kita dapat melihat bahwa pemilik kapital memperkaya diri dengan menghisap hasil-kerja baik para budak maupun para buruh. Kenyataan bahwa di satu pihak ada segelintir orang mempunyai kapital atau alat produksi dan di sisi lain ada sebagian terbesar orang tidak mempunyainya, menjadi pangkal dari penghisapan. Penghisapan itu berintikan pengambilan sebagian dari hasil jerih payah para budak atau para buruh. Tentu saja, untuk keuntungan sang tuan atau sang majikan. Dengan perkataan lain: para budak dan para buruh tidak memperoleh sepenuhnya hasil jerih payah mereka, karena sebagian daripadanya diambil oleh sang tuan dan sang majikan – yang sebenarnya tidak berjerih-payah seperti mereka. Hak mereka dikurangi. Inilah penghisapan manusia oleh manusia, exploitation de l’homme par l’homme.

Manakala Yesus mempertajam “jangan mengingini milik sesamamu” dengan “jangan mengurangi hak orang”, apakah implikasinya? Dua sisi: pertama, orang kaya itu harus menghentikan penghisapan terhadap budak-budak atau buruh-buruhnya; dan kedua, orang kaya itu harus mengembalikan bagian dari hasil jerih payah budak-budak atau buruh-buruhnya – yang telah dihisapnya untuk memperkaya dirinya – kepada mereka! Sebuah tuntutan yang radikal dari Sang Penampil Yahweh in action.

Nampaknya orang kaya itu belum tanggap ing sasmita. Ia tidak pernah membunuh, tidak pernah berzinah, tidak pernah mencuri, tidak pernah menjadi saksi dusta, tidak pernah mengingini milik orang lain, dan selalu menghormati ayah dan ibunya. Pendeknya, ia selalu “melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya” sebagaimana tercantum dalam bagian kedua Kesepuluh Firman. Karena itu, ia berkata kepada Yesus: “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku.” Kalau begitu, bukankah sudah seharusnya ia beroleh hidup yang kekal?

Respons Yesus simpatik. Ia “memandang dia dan menaruh kasih kepadanya.” Orang kaya itu belum menyadari bahwa selama ini ia hidup dari penghisapan terhadap sesamanya, yakni para budak atau buruh-buruhnya. Ini menjadi peluang bagi Yesus untuk menampilkan lebih jauh Yahweh in action dengan perintah-perintah kasih-Nya yang inklusif. Yesus pun berkatan kepada orang kaya itu: “Hanya satu lagi kekuranganmu…”

Yesus tidak menyangkal bahwa sejak muda orang kaya itu telah menuruti bagian kedua dari Kesepuluh Firman. Tapi apakah jiwa-semangat dari perintah-perintah itu kalau bukan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri? Kekurangan orang kaya itu justru terletak pada “jangan mengurangi hak orang lain”, yang tidak mungkin tidak menjadi batu-uji atas klaim tentang mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Ketika aku berkata bahwa aku mengasihi sesamaku manusia seperti diriku sendiri dan dengan demikian menuruti bagian kedua dari Kesepuluh Firman, patutlah kau bertanya kepadaku apakah aku telah hidup tanpa penghisapan kepada orang lain! Bagaimana bila ternyata aku telah dan masih hidup dari penghisapan kepada orang lain? Satu kekurangan, ya, “hanya” satu kekurangan. Tapi kekurangan yang sangat besar. Karena ini menyangkut hajat hidupku di satu sisi dan hajat hidup sesamaku di sisi lain. Karena itu tak heran bila Yesus dalam posisi-Nya sebagai Penampil Yahweh in action memerintahkan:

“pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”

Perintah Yahweh in action ini terdiri dari dua bagian yang saling terkait: “pergilah … datanglah ke mari…” Pertama, yakni “pergilah”, dengan maksud menjual apa yang dimiliki – yakni harta kekayaan – orang kaya itu dan memberikan hasilnya kepada orang-orang miskin. Siapakah “orang-orang miskin” kalau bukan mereka yang dimiskinkan karena kehilangan alat produksi – yakni tanah – yang secara tradisional diyakini sebagai pemberian-pinjaman Yahweh kepada mereka? Karena kehilangan tanah (karena berbagai-bagai sebab), kaum tani menjadi tani-penggarap, buruh-tani, budak, pekerja seks komersial, gelandangan, pengemis … Lumpenproletariat… Dengan kata lain, berikanlah hasil penghisapan itu kepada kaum miskin, yakni mereka yang menjadi korban penindasan dan penghisapan! Suatu perintah konkret yang radikal dari Sang Penampil Yahweh in action. Bagian pertama perintah yang radikal itu diiringi dengan janji: “maka engkau akan beroleh harta di sorga.” Itu berarti, “Dengan melepaskan harta hasil penghisapan, engkau akan beroleh harta di tempat Yahweh bersemayam.”

Kedua, yakni sesudah melakukan yang pertama, “datanglah ke mari” dengan tujuan mengikut Yesus. Pergi untuk melepaskan harta hasil penghisapan dan beroleh harta di tempat Yahweh bersemayam, dan datang untuk mengikut Yesus tanpa dibebani harta hasil penghisapan dan beban dosa yang memberatinya. Ya, mengikut Yesus yang ingin membangun masyarakat baru melalui pewartaan-Nya tentang Pemerintahan Allah. Sebuah masyarakat eskatologis yang akan mengambil bagian dalam “hidup yang kekal” atau “kebangkitan orang mati” manakala Pemerintahan itu terwujud sepenuhnya. Seakan Yesus berkata:

“Setelah kau tidak lagi menghisap sesamamu, ikutlah Aku. Bersama-sama kita akan membangun masyarakat baru yang akan menghidupi tatanan tanpa penindasan dan penghisapan, yakni tatanan perdamaian, damai sejahtera, dan kesejahteraan. Sebuah tatanan di mana semua orang merdeka, setara, dan bersaudara. Sebuah tatanan di mana setiap orang bekerja sesuai dengan karunia atau kemampuannya dan mendapatkan hasil sesuai dengan kebutuhannya. Itulah realitas kebangkitan yang sedang datang dengan mulai hadirnya Pemerintahan Allah. Itulah hidup yang kekal.”

Bagaimana reaksi orang kaya itu?

Kali ini ia tanggap ing sasmita. Tapi justru karena itu ia menjadi kecewa. Inikah jalan untuk memperoleh hidup yang kekal itu? Jalan evangelical poverty? Mana tahan! Hartanya banyak. Penghisapan-lah yang, “atas berkat Allah”, telah memberikannya. Sekarang baik harta hasil penghisapan maupun penghisapan itu sendiri harus ditinggalkan dan sebagai gantinya mengikuti seorang pengembara aneh dengan cita-cita-Nya yang tak masuk akal? Maka pergilah orang kaya itu dengan sedih. Lupa dia bahwa sopan-santunnya di depan menuntutnya menaati perintah Yesus seperti halnya ia mewajibkan budak-budak atau buruh-buruhnya menaati segala perintahnya.

Laki-laki Bersandal yang revolusioner itu tidak mencegah kepergian orang kaya itu. Kendati bersimpati kepada orang kaya itu, tidak sedikitpun Yesus mau mengkompromikan tuntutan-Nya. Ia malah membuat reaksi orang kaya itu menjadi bahan pengajaran bagi para pengikut-Nya. Berada di sekeliling-Nya, mereka mendengar ia berkata: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Sukar, bukan karena pintu Kerajaan [Pemerintahan] Allah tertutup bagi mereka. Sukar, karena pintu itu memprasyaratkan agar orang beruang meninggalkan hasil penghisapan dan praktek penghisapannya selama ini. Sukar, karena pintu itu menuntut orang beruang hidup dalam evangelical poverty.

Para pengikut Yesus tercengang mendengarnya. Bukankah kekayaan adalah tanda bahkan wujud keberkatan? Seorang Yahudi menjadi kaya-raya karena ia saleh dan karena itu diberkati dengan kekayaan. Tapi Sang Guru menjungkirbalikkan konsep tradisional (dan ideologis) ini.

Menyadari kekagetan (dan kebingungan) para pengikut-Nya, Yesus menyapa mereka dengan simpatik: “Anak-anak-Ku…” Ada sentuhan kebapaan atau keibuan dari seorang guru demi menyadari kebingungan murid-murid-Nya atas pelajaran baru yang sedang diberikan. Kemudian ia mengafirmasi perkataan-Nya yang barusan dengan bertamzil”

alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah
Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum
daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah

Tamzil tersebut membuat para pengikut makin gempar. Mereka bertanya seorang dengan yang lain: “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" Mereka masih berpikir dengan paradigma lama, konsep tradisional yang ideologis tentang kekayaan sebagai tanda dan wujud berkat Allah. Bila orang kaya saja sukar diselamatkan, bagaimana dengan orang-orang yang miskin-papa? Kalau begitu, siapakah yang dapat diselamatkan?

Kembali memandang murid-murid-Nya, Sang Guru berkata:

“Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.”

Sukar bahkan sangat sukar tidak sama dengan tidak mungkin. Meski sangat sukar, tetap tidak muskil-lah orang kaya diselamatkan, masuk ke dalam Pemerintahan Allah, atau beroleh hidup yang kekal. Sebab ada Allah, Yahweh in loving action. Bukan sekadar memberikan perintah, Dia juga sanggup membuat yang diperintah untuk melakukannya. Bukan pemaksaan, tentu. Tapi “di dalam, melalui, dan melampaui” keterbatasan insani dan proses-proses sosio-historis. Itu berarti bukan tidak mungkin ada orang-orang kaya yang demi Pemerintahan Allah rela meninggalkan hasil penghisapan dan praktik penghisapannya dan menjadi evangelically poor guna membangun masyarakat baru bersama Sang Penampil Yahweh in action, Yesus dari Nazaret.

Tapi kisahnya belum selesai...

*** (Rudolfus Antonius_Yk120110)


4 komentar:

Daniel Sihombing mengatakan...

luar biasa!!

ahmed shahi kusuma mengatakan...

Jelas saya tidak rugi memasang blog ini pada blogroll saya. Saya dapat insprirasi lagi dari sini.
Mas, saya mendapat penajaman juga dari Bonhoeffer....juga luar biasa.

sammyjazz mengatakan...

Powerful!

Saya menantikan part 2-nya, Bung Rudolfus!

Selamat Berjuang!

Salam.

Anonim mengatakan...

Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja." (Mark 13:32)

Ayat alkitab tidak menyata tentang Yesus tidak memberitahu soal hari kiamat, tapi jelas menyatakan dia tidak tahu . Maka persoalan timbul , apakah tiga tuhan sama darjatya? atau Sang bapa sahaja yang teragung memandang kan pengetahuan sang bapa melangkaui Yesus?

Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah (Sang bapa?) saja. (Mark 10:18)

Jelas Yesus bukan Allah dan tidak setanding Allah