Minggu, 05 Desember 2010

MAGNIFICAT ANAK DARA MARIA

Oleh: Pandu Jakasurya

Revolusioner! Begitulah kiranya kesan kita ketika membaca Magnificat Anak Dara Maria. Betapa tidak! Simak saja:

Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya
dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya
dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar,
dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa

”Orang-orang yang takut akan Dia”, ”orang-orang yang rendah”, dan ”orang yang lapar” ada di pihak yang satu; sedangkan ”orang-orang yang congkak hatinya”, ”orang-orang yang berkuasa”, dan ”orang yang kaya” ada di pihak yang lain. Keduanya berseberangan, berhadap-hadapan. Allah berdiri di pihak yang pertama; Dia berdiri sebagai lawan pihak yang kedua. Sebuah revolusi sosial, dengan aspek-aspeknya yang teologis, politik, dan ekonomik. Barangkali sebuah revolusi Marxis dengan theistic point of reference; atau setidak-tidaknya praksis aspirasional dari theology of liberation.

Sangat menarik. Secara naratif kidungan revolusioner ini dinyanyikan oleh Anak-Dara Maria. Biasanya kita membayangkan sang anak-dara sebagai seorang gadis polos lugu nan lemah-lembut, penuh kesalehan yang serba pasrah kepada Yang Mahakuasa. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu,” begitu katanya kepada Gabriel sang pesuruh sorgawi. Tapi, demikian Narasi Lukas, Maria yang taat-beriman adalah Maria yang sama dengan Anak-Dara yang revolusioner.

Keduanya, yakni sikap taat-beriman dan watak-revolusioner tidaklah bertentangan. Bahkan justru karena sikap taat-berimanlah kiranya Sang Anak-Dara menjadi revolusioner. Persoalannya terletak pada siapa dan/atau apa yang diimani dan ditaati. Bila yang diimani dan ditaati adalah sosok ilahiah tetiron macam Mamon (simbol tatanan-ekonomik yang eksploitatif), Kaisar (simbol tatanan-politik yang represif), dan Kenisah (simbol tatanan-agamawi yang eksklusif, diskriminatif, memarjinalkan, dan menghamba kepada Mamon dan Kaisar), watak-revolusioner merupakan suatu kekejian. Tapi bila yang diimani dan ditaati adalah Allah-nya kaum yang miskin-tertindas, seperti Allahnya Maria Sang Anak-Dara, maka watak-revolusioner merupakan merupakan watak yang lahir-terbentuk dari ilham ilahi sejati dan yang diarahkan-Nya untuk mengekspresikan diri dalam praksis keadilan yang historis: Pembebasan kaum miskin-tertindas.

Di sini kita perlu berhenti sejenak untuk bertanya kepada diri sendiri: sosok ilahiah manakah yang kita imani dan taati? Sinful Trinity Mamon-Kaisar-Kenisah (yang merupakan proyeksi dari sinful trinity Hartawan-Penguasa-Agamawan yang dikutuk habis-habisan oleh Nabi-nabi Perjanjian Lama) atau Allah-nya kaum miskin-tertindas alias kaum paupertariat, atau minjung dalit anawim? Nama boleh sama (misalnya: Yahweh, Allah, Yesus Kristus dan sebagainya). Tapi watak berbeda sangat. Seratus delapan puluh derajat. Yang satu melegitimasi, menjustifikasi, dan melestarikan tatanan yang tidak adil. Yang lain subversif, menolak tatanan yang tidak adil, memproklamirkan tatanan-baru yang adil-manusiawi (”Kerajaan Allah”), dan berinkarnasi dalam praksis keadilan atau pembebasan. Yang satu adalah bangunan-atas yang merupakan proyeksi dari basis hubungan-hubungan produksi sosial yang tidak adil; yang lain adalah bangunan-atas yang persis terbalik, yang lahir dari jeritan kaum tertindas dan menjadi kontra-proyeksi dari basis hubungan-hubungan produksi yang tidak adil. Jadi ada Yahweh, Allah, atau Yesus Kristus yang berpihak pada kaum penindas dan membenarkan penindasan; dan di sisi lain ada Yahweh, Allah, atau Yesus yang berpihak pada kaum tertindas dan memvindikasi praksis keadilan. Sekali lagi, sosok ilahiah mana yang kita imani dan taati?

Bagi Anak-Dara Maria, jawabannya sangat jelas. Sosok-ilahiah yang diimani dan ditaatinya adalah Allahnya kaum miskin-tertindas. Allah yang subversif; Allah yang revolusioner; Allah yang Kiri, the Leftist God. Tak heran bila Anak-Dara Maria berwatak revolusioner, sebagaimana terungkap dalam kidungannya. Ia mengaku dirinya sebagai “hamba Tuhan” (1.38, 48). Dalam pada itu ia juga mengakui Israel sebagai hamba Tuhan (lihat 1.54). Dengan jalan itu ia mengidentifikasikan dirinya dengan Israel. Tapi Israel yang mana? Istilah-istilah yang tersaji dengan paralelisme-sinonim dan paralelisme-antitesis menolong kita untuk memahami siapakah Israel yang dengannya Sang Anak-Dara mengidentifikasikan diri. Ada tiga pasang paralelisme-antitesis:

”Orang-orang yang takut akan Dia”       vs  ”orang-orang yang congkak hatinya”
”Orang-orang yang rendah”                  vs  ”orang-orang yang berkuasa”
”Orang yang lapar”                               vs  ”orang yang kaya”

Dari paralelisme ini jelaslah: Israel tidak didefinisikan dengan “orang-orang yang congkak hatinya”, “orang-orang yang berkuasa”, dan “orang kaya”. Congkak, berkuasa, dan kaya, itu bukan Israel. Sebaliknya, Israel didefinisikan dengan “orang-orang yang takut akan Dia”, “orang-orang yang rendah”, dan “orang yang lapar.” Itulah Israel. Itulah anawim, kaum miskin-tertindas yang hanya berharap kepada Allah dan mengandalkan rahmat-Nya semata-mata. Mereka sangat miskin, melarat, sampai-sampai kelaparan. Mereka rendah, hina, dan tak berdaya, karena mereka tidak mempunyai kuasa baik ekonomik maupun politik. Tapi sosok ilahi yang sejati mempedulikan mereka, hidup di dalam mereka, menderita bersama dengan mereka, dan berjuang-dan-menang bersama mereka pula.

Dengan mengidentifikasikan dirinya dengan anawim, Anak-Dara Maria memaknai pengalamannya sebagai bagian dari rencana-aksi pembebasan ilahi atas kaum miskin-tertindas. Melalui sang pesuruh sorgawi Allahnya kaum miskin-tertindas melibatkannya dalam karya menghadirkan Sang Mesias ke dunia. Taat-beriman, ia bersedia. Elizabet sepupunya memberikan konfirmasi; dengan kuasa Roh Kudus ia berseru dengan suara nyaring demi mendengar salam Sang Anak-Dara:

”Diberkatilah engkau di antara semua perempuan
dan diberkatilah buah rahimmu.
Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?
Sebab sesungguhnya,
ketika salammu sampai kepada telingaku,
anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
Dan berbahagialah ia, yang telah percaya,
sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (1.42-45)

Maka Maria pun mengidungkan:

”Jiwaku memuliakan Tuhan,
dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku,
sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya.
Sesungguhnya, mulai dari sekarang
segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,
karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus” (1.46-49).
Tapi ia menyusul baris-baris syair itu dengan

“Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya
dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya
dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar,
dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa” (1.50-53)

Seakan ia berkata: Tuhan telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya, yakni aku. Itu dilakukannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku. Aku terhisab dalam ”Israel”, anawim, yakni orang yang takut akan Dia, orang-orang yang rendah, dan orang yang lapar. Sama halnya dengan aku, yang mengalami kepedulian dan perbuatan-perbuatan besar Tuhan, demikian pulalah mereka. Lihat saja. Rahmat-Nya turun-temurun atas anawim; Ia meninggikan anawim; Ia melimpahkan segala yang baik kepada anawim. Sebaliknya, Ia malah menceraiberaikan kaum-kuasa, menggulingkan mereka dari tampuk kekuasaan, dan menyuruh mereka pergi dengan tangan hampa. Mesias yang akan kulahirkan akan menjadi meterai praksis keadilan sebagai tindakan Allah yang paling menentukan: membebaskan anawim dan menghukum kaum-kuasa. Karena itu pengalamanku menjadi ibu Sang Mesias merupakan bagian dari praksis keadilan, karya pembebasan.

Dalam pandangan Sang Anak-Dara, praksis keadilan itu merupakan penggenapan janji Allah kepada Abraham dan keturunannya: ”Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya” (1.54-55). Janji apa? Janji bahwa mereka akan menjadi berkat bagi segala bangsa (Kej 12.3; 22.18;26.4;28.14). Ya, segala kaum dan bangsa yang tertindas, yang menjadi korban exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation.

Refleksi

Pertama, apa makna Magnificat bagi Gereja? Mendengar pertanyaan ini diajukan, sementara orang terdorong untuk melanjutkannya dengan pertanyaan: “Gereja yang mana yang Saudara maksudkan?” Sekilas “pertanyaan lanjutan” ini konyol. Tapi justru karena kekonyolannya, pertanyaan ini menjadi krusial. Sebagaimana Antonio Gramsci, Marxis Italia, membedakan antara Katolisisme elit dan Katolisisme populis, demikianlah kiranya ada Yahweh-Allah-Yesus tetiron jelmaan sinful-trinity Mamon-Kaisar-Kenisah di sisi Kanan dan ada Yahweh-Allah-Yesus sejati yang berkomitmen kepada kaum miskin-tertindas di sisi Kiri. Dihadapkan pada dua sosok ilahi dengan nama yang sama, respons Gereja akan memperlihatkan jati-dirinya yang sesungguhnya. Magnificat adalah salah satu batu-ujinya.

Bila Gereja ”mengharamkan” Magnificat (entah dengan mengabaikannya sebagai bagian dari Narasi Nativitas entah dengan menolaknya karena bisa menyinggung para tuan-nyonya yang terhormat) atau ”menafsirkannya secara rohani”, jelaslah jati-dirinya. Itulah Gereja Kanan, penyembah lembu emas bernama Yahweh-Allah-Yesus jelmaan sinful trinity. Bila Gereja menjadikan Magnificat sebagai inspirasi sekaligus dorongan untuk berkomitmen pada kaum miskin-tertindas bahkan mengimplementasikannya dalam revolusi sosial sampai titik-darah yang penghabisan, jelas pulalah jati-dirinya. Itulah Gereja Kiri, pengabdi Allah sejati dan Kerajaan-Nya. Tapi barangkali, menurut diferensiasi klas yang ada di dalamnya, Gereja terbelah di antara anggota-anggota jemaatnya yang berposisi Kiri dan yang berposisi Kanan dalam menanggapi Magnificat Anak-Dara Maria. Jadi di dalam satu Gereja yang ”sama” orang-orangnya menjadi Gereja-gereja yang berbeda, yang masing-masing menyembah atau mengabdi kepada Tuhan-tuhan yang berbeda meski dengan nama yang sama. Padahal kata Yesus dari Nazaret: ”Kamu tidak dapat melayani Allah sekaligus melayani Mamon.” Maka bila kita memparafrasekan kata-kata Frei Beto: ”Yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya bukanlah agamanya, tetapi di sisi mana mereka berdiri, di sisi penindas atau di sisi kaum tertindas.”

Kedua, dalam perspektif Magnificat Anak-Dara yang revolusioner itu, masa-masa jelang Natal secara khusus merupakan test case bagi Gereja dan orang-orang yang mengenakan Kristus sebagai identitas keagamaannya:

  • Kristus manakah yang dipuja bila Gereja dan orang-orang Kristen larut dalam extravaganza?
  • Kristus manakah yang disanjung bila ”Dia” kelu dalam mengajukan tuntutan ”bunuh-diri klas” seperti yang dipatuhi oleh Barnabas dan dilakukan kaum burjuis-kecil yang mengkomitmenkan hidup mereka pada praksis keadilan seperti Che Guevara, Rama Camilo Torres, Nestor Paz, Rama Rutilo Grande, Uskup Agung Oscar Romero, dan lain-lainnya?
  • Kristus macam mana yang nyaman bermahkota emas dan disemayamkan di dalam gedung gereja yang mewah gemerlap sementara pada saat yang sama Ia sanggup bertemu dengan kaum paupertariat yang berdesak-desakan di pemukiman kumuh di sekitar ”istana pualam” (baca: penjara mewah) bersalib besar?
  • Kristus macam mana yang mengatakan bahwa orang miskin selalu ada di antara para pengikut-Nya tanpa bermaksud menggugat tatanan ekonomi-politik-religius yang justru menjadi sumber sekaligus pelestari segala kemelaratan?

Ketiga, ”bunuh-diri klas”, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Mario Cabral, adalah harapan satu-satunya bagi kaum-kuasa sebelum mereka terjungkal oleh revolusi sosial yang digerakkan Allah. Para teolog pembebasan menyebutnya evangelical poverty, yang secara hakiki berarti preferential option for the poor (and the oppressed). Kita mendengar gaung bunuh-diri klas dari kidungan Magnificat yang mengontraskan anawim dengan kaum-kuasa.

Kaum burjuis jauh dari kelaparan, dan pada mereka ada kekuasaan ekonomi dan politik. Kaum burjuis-kecil mungkin tidak mengalami kelaparan, meski mereka tidak memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Tapi bila benar mereka takut akan Tuhan, Allah-nya kaum miskin-tertindas, Allahnya Maria Sang Anak Dara, adakah konsistensi-etis lain kecuali melakukan bunuh-diri klas? Dengan kata lain, adakah jalan lain kecuali terlibat dalam praksis keadilan alias perjuangan pembebasan bersama dengan kaum tertindas? (Dan itu menuntut: demokratisasi kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal!).

Dengan ”bunuh-diri klas” kaum burjuis dan burjuis-kecil, ya, kita, akan terhisab ke dalam anawim. Kita pun menjadi kaum revolusioner, seperti Anak-Dara Maria. Dalam perjuangan bersama dengan kaum paupertariat, kita akan membidik revolusi sosial; revolusi yang digerakkan Allah, yang tidak akan menjungkalkan kita untuk mencium debu dan menjadi debu, melainkan mengarahkan kita untuk membangun tatanan baru ekonomik, politik, dan agamawi yang adil-manusiawi sebagai replika Kerajaan Allah. ***

Semarang, Minggu II Adven 2010