Rabu, 22 Juni 2011

RUYATI: KORBAN DUA REZIM

Oleh: Pandu Jakasurya





Wanita paruh baya itu bernama Ruyati. Ia adalah salah seorang perempuan Indonesia yang menjadi buruh migran di Saudi Arabia. Sabtu, 18 Juni 2011 yang lalu ia dihukum pancung. Ia dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh majikannya, seorang warga Saudi, Khairiya Hamid binti Mijlid. Perihal kekerasan fisik dan mental yang dialami Ruyati dari majikannya, yang melatarbelakangi pembunuhan yang dilakukannya, tidak diperhitungkan. Nyawa ganti nyawa. Qishash.

Ketika berita tentang pemancungan terhadap Ruyati merebak di media massa, reaksi yang timbul berkisar pada kecaman dan pembelaan diri. Di satu sisi kecaman keras datang dari masyarakat, termasuk LSM Migrant Care, para moralis intelektual, dan tokoh-tokoh oposisi. Tak ketinggalan salah satu media yang menjadi corong sebuah ormas burjuis terkemuka di negeri ini. Pemerintah dinilai abai atau lamban bertindak, dan harus bertanggungjawab. Keluarga almarhumah juga menuntut Presiden SBY bertanggungjawab, termasuk memulangkan jenazah Ruyati. Muncul pula seruan-seruan untuk menarik seluruh TKW dari Saudi Arabia dan menghentikan pengiriman TKW ke negeri itu.

Di sisi lain pembelaan datang dari jajaran pemerintah, dari Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Juru Bicara Kemenakertrans Suhartono Sail, dan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat. Isi pembelaan mereka beragam. Kemenakertrans menampik disebut kecolongan, sedangkan Kepala BNP2TKI merasa kecolongan. Patrialis sesumbar negosiasi pihaknya dengan pemerintah Saudi berhasil, hanya saja hasil akhir ditentukan oleh keluarga alm. Khairiya, yang menolak memaafkan Ruyati. Sementara itu Marty Natalegawa mengeluhkan pihak Saudi yang sering tidak ngomong-ngomong kalau ingin mengeksekusi warganegara orang lain… Lantas pemerintah RI menyatakan akan mengirimkan nota protes terhadap Saudi Arabia…

Bagaimana kita selaku kaum sosio-demokratik revolusioner menyikapinya?

Pemancungan terhadap Ruyati telah menambah panjang deretan para buruh migran Indonesia yang menjadi korban di mancanegara, khususnya di Timur Tengah. Gaji yang tidak dibayar, pemerkosaan, penyiksaan, bahkan pembunuhan sudah terlalu sering terjadi melanda kaum buruh perempuan migran kita. Para pelaku yang notabene majikan atau keluarga majikan bisa melenggang tanpa hukuman. Pasalnya, pengadilan Saudi siap memvonis mati dan mengeksekusi kaum buruh perempuan yang bangkit berlawan untuk mempertahankan harkat-martabat bahkan nyawanya dari rudapaksa dan kebiadaban para tuan/nyonya majikan, tapi menutup mata dan telinga terhadap kekejian para tuan/nyonya penindas yang notabene warganegara mereka sendiri. Pada saat yang sama, pemerintah Republik Indonesia nampak tidak peduli (kecuali sesudah kecaman masyarakat merebak di mana-mana) terhadap kaum buruh migran perempuannya, pula tidak pernah serius mencari upaya untuk mengakhiri kekejian tersebut. Mengapa?

Saudi Arabia adalah sebuah negeri yang dikendalikan oleh rezim diktator monarkis yang berkelit-kelindan dengan suatu bangunan keagamaan dalam bentuknya yang fundamentalistik dan paling reaksioner. Rezim dan bangunan keagamaan yang lazim dikenal sebagai Wahabi itu hidup dalam simbiosis mutualisme. Wahabi memberikan legitimasi dan justifikasi teologis bagi kekuasaan rezim, sedangkan rezim membuat Wahabi menjadi ortodoksi resmi dan menopang perkembangannya. Dalam kenyataannya, rezim diktator monarkis menggunakan bangunan agama (lengkap dengan perangkat hukumnya) baik sebagai mesin pengontrol yang bersifat totalitarian terhadap rakyat, maupun sebagai instrumen kekuasaan hegemonik yang memastikan cara berpikir dan nilai-nilai apa yang harus tertanam di dalam kesadaran mereka.

Dengan penalaran ini kita dapat mencandra bahwa perlakuan keji yang dialami Ruyati, Darsem, Sumiyati, dan sekian banyak buruh migran perempuan kita lainnya ada di dalam matriks ekonomi-politik sebagai basis dan religio-politik sebagai bangunan atasnya. Kekuasaan ekonomi politik Keluarga Saud memerlukan Wahabi untuk melegitimasi dan menjustifikasi kekuasaannya, memaksakan ketaatan mutlak rakyat kepadanya, dan membentuk nilai-nilai mereka. Dalam konteks ini, para buruh migran perempuan Indonesia (dan yang berasal dari negeri-negeri lainnya) adalah korban dari suatu sistem ekonomi-politik dan religio-politik rezim diktator monarkis Saudi Arabia. Betapa tidak! Dengan menutup mata terhadap kekejaman para majikan yang notabene warganegara Saudi di satu sisi dan bertindak keras terhadap para buruh migran perempuan yang melakukan perlawanan di sisi lain, rezim setidaknya melakukan dua hal. Pertama, rezim melestarikan cara pandang tertentu terhadap para buruh migran perempuan (bahwa mereka tidak lebih dari para budak yang boleh diperlakukan semaunya dan tidak boleh melakukan perlawanan terhadap tuan/nyonya majikan mereka); dan kedua, rezim menjamin loyalitas rakyat terutama kaum tuan/nyonya majikan kepada dirinya.

Bagaimana dengan pemerintah Republik Indonesia? Kita semua sudah mafhum bahwa rezim SBY adalah sebuah rezim “demokratis” yang sangat korup, suka berbohong, dan kapitalis yang berwatak komprador. Bagi rezim ini, pengiriman buruh migran perempuan (dalam jumlah besar!) adalah jalan keluar dari keharusan menciptakan lapangan kerja sekaligus cara mudah untuk meraup keuntungan. Bertali-temali dengan perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja, rezim mengeksploitasi para buruh migran perempuan dengan mengambil dari hasil jerih payah yang mereka dapatkan dengan merisikokan harkat dan martabat bahkan nyawa mereka sendiri. Pada saat yang sama, rezim burjuis kleptokratik ini tidak tahu berterimakasih terhadap para “pahlawan devisa”. Rezim abai terhadap pemenuhan hak-hak para buruh migran perempuan. Rezim juga tampil tidak bermartabat di hadapan negara yang telah melakukan pencideraan terhadap para pahlawan devisanya. Sulit untuk menghindar dari kesan bahwa rezim tidak memandang kaum buruh migran perempuan sebagai komoditas semata. Ditilik dari Mukadimah UUD 1945, yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap rakyat Indonesia, rezim pendusta ini gagal total. Alih-alih, rezim ini seakan malah mengukuhkan tesis sosio-demokratik revolusioner bahwa negara ada bukan untuk kepentingan seluruh rakyat, tetapi untuk kepentingan klas yang berkuasa. Buktinya, setelah sesumbar pada Sidang ILO di Jenewa tentang kemajuan Indonesia dalam perlindungan terhadap buruh, SBY dan rezimnya malah menuai ironi yang memuakkan dengan menelan penghinaan untuk kesekian kalinya dari sebuah negara yang berhasil mengawinkan politik dan bangunan keagamaan yang sama-sama ultra-reaksioner – di atas jenazah buruh migran perempuan, Ruyati.

Lalu bagaimana?

Masalahnya terletak pada watak klas penguasa di masing-masing negara. Baik Saudi Arabia maupun Republik Indonesia sama-sama memandang rendah kaum buruh migran perempuan Indonesia. Yang satu memperlakukannya sebagai budak demi melestarikan kekuasaan otokratiknya, dan yang satu memperlakukannya sebagai komoditas yang nilai jualnya dapat mengisi pundi-pundi devisa negara. Yang satu jumawa, sedangkan yang lain tidak merasa memiliki harkat dan martabat. Tapi jelas, betapapun beda, keduanya adalah rezim-rezim yang hidup berdasarkan penindasan dan penghisapan.

Menghadapi kedua rezim penindas ini, tentu tidak salah bila kaum sosio-demokratik revolusioner terjun bersama-sama dengan masyarakat yang masih berhatinurani mengecam keras rezim “demokratis” kleptokratik, pembohong, dan kapitalis komprador SBY serta mengutuk rezim diktator monarkis Saudi Arabia. Tidak salah pula bila kita menuntut keadilan bagi alm. Ruyati dan kaum buruh migran perempuan lainnya yang telah menjadi korban, dan menggalang dukungan bagi Darsem dan kaum buruh migran perempuan lainnya yang saat ini terancam nyawa dan kehormatannya. Kaum sosio-demokratik revolusioner jelas berada di pihak kaum buruh migran perempuan. Kaum sosio-demokratik revolusioner tidak bisa menerima pencideraan terhadap klas buruh, yang tak lain merupakan klas pencipta riil kekayaan masyarakat.

Tapi, justru karena keberpihakan dan komitmennya kepada klas buruh termasuk kaum buruh migran perempuan Indonesia, kaum sosio-demokratik revolusioner harus melangkah lebih jauh. Kerja-kerja menggugah kesadaran kritis (agitasi dan edukasi) klas buruh dan mengorganisirnya menjadi kekuatan sejati yang membuat klas buruh bergerak sebagai subyek sejarah untuk membebaskan dirinya sendiri melalui revolusi sosio-demokratik (Marx: “class for itself”) semakin mendesak untuk diperdalam dan diperluas. Tragedi Ruyati dan kaum buruh migran perempuan Indonesia lainnya memanggil kita, kaum sosio-demokratik revolusioner, untuk bekerja lebih giat lagi. Ya! Mengerjakan agitasi, edukasi, dan organisasi lebih militan lagi.

Rezim “demokratis” pencuri, pembohong, dan komprador, menurut wataknya, tidak mungkin bisa “diperbaharui”. Demikian pula rezim diktator monarkis. Jatah yang tepat untuk mereka adalah revolusi, bukan reformasi. Seperti dikatakan Kautsky, revolusi akan menggulingkan klas penguasa dan menggantikannya dengan klas yang semula tertindas, sedangkan reformasi sekadar mengadakan perubahan sana-sani sementara klas penguasa yang sama tetap bercokol. Ya, bercokol untuk terus melanjutkan penindasan dan penghisapan terhadap massa-rakyat! Sementara badai krisis-krisis dalam kapitalisme cepat atau lambat akan melanda rezim-rezim ini, kita siapkah faktor subyektif yang mahadahsyat menurut prinsip sosio-demokratik revolusioner: self-emancipation of the workers!


Hidup Ruyati!
Hidup kaum buruh migran perempuan Indonesia!
Kaum buruh sedunia, bersatulah!


21-22 Juni 2011





















Tidak ada komentar: