Sabtu, 28 Januari 2012

LIDAH TAK BERTULANG

LIDAH TAK BERTULANG

Oleh: Pandu Jakasurya

Memang lidah tak bertulang. Barangkali itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan pernyataan Ketua Komisi III DPR, Benny K. Harman, menyusul terjadinya “kerusuhan” dan pembakaran kantor bupati di Bima. (Baca TRIBUNNEWS.COM, “Kapolri Diminta Tegas terhadap Anarkisme”, Jumat, 27 Januari 2012, http://id.berita.yahoo.com/kapolri-diminta-tegas-terhadap-anarkisme-050152635.html)

Setidaknya ada tiga hal yang dikemukakan politisi Partai Demokrat ini, Jumat, 27 Januari 2012, di gedung DPR, Jakarta.

Pertama, ia meminta Kapolri untuk tidak segan-segan dalam mengambil tindakan tegas terhadap semua tindakan anarkis yang terjadi di Indonesia. Ini dikatakannya menyusul terjadinya kerusuhan dan pembakaran kantor Bupati di Bima, NTB. Katanya, “Kami meminta Polri mengambil langkah tegas atas tindakan anarkis masyarakat. Kapolri jangan segan-segan mengambil langkah tegas dalam tindakan anarkis karena Polisi adalah penegak hukum.”

Kedua, ia memperingatkan kepada seluruh elemen masyarakat agar tidak berperilaku anarkis dalam menyampaikan aspirasi mereka. Dia bilang, "Kalau masyarakat protes silakan ke pengadilan jangan melakukan tindakan anarkis.”.

Ketiga, ia meminta masyarakat agar tidak melulu menyalahkan kepolisian. "Saya meminta masyarakat tidak mengkambing hitamkan pihak kepolisian atas kegagalan pemerintah setempat dalam pengelolaan sumber alam,"pungkasnya.

Di mana letak kebenaran pepatah “Memang lidah tak bertulang” dalam pernyataan anggota dewan “yang terhormat” ini?

Dengan pernyataan yang pertama, ia menempatkan Kapolri (dan jajarannya) dalam posisi buah simalakama. Dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu yang mati. Tindakan tegas macam apa yang bisa dilakukan aparat kepolisian kecuali represi terhadap para demonstran? Bila Benny K. Harman benar, maka pembantaian Sape, Bima, di akhir tahun yang lalu, adalah tindakan yang patut dipuji. Tapi bukankah tempo hari para anggota DPR “yang terhormat” justru ramai-ramai turut paduan suara yang menyanyikan tudingan kepada Kapolri (dan jajarannya). Bertindak tegas (a.k.a represif) salah, tidak bertindak tegas juga salah. Moga saja bila nanti aparat bertindak tegas, Benny K . Harman menjadi orang pertama yang membela Kapolri dan kepolisian.

Dengan pernyataan yang kedua, Benny K. Harman menelanjangi dirinya sebagai oknum “wakil rakyat” yang tidak bersentuhan dengan realitas. Berkali-kali kita menyaksikan bahwa cara-cara yang “tidak anarkis” dalam menyampaikan aspirasi tidak ada hasilnya sama sekali. Para petani yang menggelar demonstrasi damai di depan gedung DPR dengan menjahit mulut, misalnya. Apakah DPR dan pemerintah memperhatikan aspirasi mereka? Kawan Sondang Hutagalung menjadi martir dengan membakar dirinya sendiri demi menyuarakan keadilan. Apakah DPR dan pemerintah menghiraukannya? Kebangkrutan burjuis nasional Indonesia sudah sedemikian parahnya. Bila di zaman Orba Soeharto, setiap pemikiran kritis diberangus dengan kekerasan, maka di era pasca tergulingnya Soeharto, setiap aspirasi “damai” ibarat masuk kuping kanan keluar kuping kiri bagi para pemangku kekuasaan. Silakan ngomong apa saja, emang gue pikirin!

Silakan ke pengadilan? Bukan bermaksud pukul rata. Baik logika maupun kenyataan yang kita saksikan berkali-kali menyampaikan pesan yang sangat jelas: bila rakyat kecil berperkara di pengadilan, apalagi berhadapan dengan kaum kaya dan kuat kuasa, kekalahanlah yang menjadi bagian mereka. Benar tidak selalu sama dengan adil. Hukum positif tidak selalu memadai untuk memenuhi tuntutan keadilan rakyat. Lebih-lebih hukum dalam masyarakat klas. Tak terkecuali negara klas burjuis yang mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia. Ada banjir uang di sana, yang memungkinkan si kaya dan kuat kuasa menyewa pokrol-pokrol bambu yang ahli bersilat lidah dan mencari celah dalam hukum positif, pula saksi-saksi ahli yang siap memberikan kesaksian palsu dengan mendustai rakyat dan Tuhan (bila Dia memang ada) dengan “bukti-bukti ilmiah” seturut pesanan si kaya dan kuat kuasa. Kecuali kita mengidap amnesia, tentulah kasus Lapindo masih segar dalam ingatan kita.

Seharusnya “wakil rakyat yang terhormat” itu menyadari bahwa apa yang dilakukan sepuluh ribuan warga Bima, yakni menduduki kantor bupati dan membakarnya, merupakan indikasi yang teramat jelas bahwa cara “yang tidak anarkis” atau “jalan damai” sudah terbukti tidak ada gunanya lagi bagi mereka. Sebelum rakyat bergerak menuntut haknya dengan “cara kekerasan”, adakah pemerintah dan parlemen menanggapi dengan respek cara santun dan damai yang mereka gunakan saat mereka mengajukan aspirasi mereka?

Pernyataan ketiga, yang meminta masyarakat untuk tidak melulu menyalahkan kepolisian atas kegagalan pemerintah setempat dalam pengelolaan sumber alam, juga menunjukkan bahwa manusia yang satu ini (sebenarnya banyak) tidak berpijak pada realitas, atau sedang membohongi rakyat. Benarkah rakyat, khususnya rakyat Bima, melulu menyalahkan kepolisian? Nonsense! Rakyat Bima jelas menggugat bupatinya. Dalam demonstrasi yang digelar pada bulan Desember, bahkan rakyat berupaya berdialog dengan aparat. Rakyat Bima baru menyalahkan kepolisian (andaikata ini istilah yang tepat), setelah aparat bertindak represif dan membunuh beberapa orang demonstran.

Memang lidah tak bertulang. Itulah lidah Benny K. Harman, dan sangat tidak mustahil, lidah kebanyakan pejabat di Republik Indonesia. Kenyataan ini menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama, klas penguasa Indonesia, baik burjuis nasional maupun wakil-wakilnya di DPR dan pemerintahan, adalah para komprador, kapitalis birokrat, dan kapitalis kroni. Wataknya setali tiga uang: pandir dan culas.

Kedua, rakyat Indonesia, khususnya rakyat pekerja (buruh, tani, dan kaum miskin kota) tidak bisa berharap kepada para kaum komprador, kapbir, dan kapkron itu. Alih-alih memenuhi harapan-harapan rakyat pekerja, mereka justru merintanginya entah demi kepentingan pribadi, kepentingan klasnya sendiri, maupun kepentingan burjuis imperialis yang selalu mereka bela dengan berbagai cara. Mereka justru musuh-musuh rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya. Bila rakyat menginginkan keadilan, kemerdekaan, dan kesejahteraan, rakyat harus merebutnya dengan tangan mereka sendiri. Itu berarti, rakyat pekerja harus bersatu guna menyingkirkan mereka dari kursi-kursi kekuasaan dan menyeret mereka ke hadapan pengadilan sejarah, mengakhiri kapitalisme, yakni sistem yang selama ini menggendutkan perut mereka dengan menghisap darah rakyat pekerja, dan mendirikan negara rakyat pekerja guna membangun masyarakat sosialis sepenuhnya.


Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci nan mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terbebaskannya massa rakyat pekerja
Terciptanya tatanan masyarakat
Sosialis sepenuhnya
Marilah Kawan, mari kita pekikkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah Kawan, mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang pembebasan!

Pesanggrahan, 28 Januari 2012













Tidak ada komentar: