Senin, 22 Februari 2016

Lent/Masa Pra-Paska 2016 (II)

Sumber:
journeyswiththemessiah.org
Lent II
21-27 Februari 2016

MENEMPUH JALAN PENDERITAAN
Markus 8.27-38

Rudolfus Antonius

Petrus tak habis pikir, apa maunya Yesus. Dengan gaya-Nya yang khas, baru saja Yesus mengiyakan pernyataan Petrus bahwa Ia adalah Mesias (Markus 8.29-30). Sungguh, tanggapan itu menjawab teka-teki besar yang menggelayuti pikiran mereka pasca peristiwa “taufan di tengah telaga”: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?” (Markus 4.41).

Bahwa Yesus adalah Mesias, itu melambungkan harapan mereka. Betapa tidak. Bukankah Mesias adalah Raja orang Yahudi, yang akan memulihkan Israel? Bukankah sebagai pengikut-pengikut Mesias, Petrus dan kawan-kawannya akan beroleh bagian dalam kemuliaan-Nya kelak?

Tapi dengar. Baru saja harapan itu tinggi membumbung, seketika itu juga jatuh terhempas. Tidak saja Yesus tegas meminta mereka untuk tidak memberitahukan jati diri mesianis-Nya kepada siapapun; dengan terus terang Ia malah mengatakan bahwa Anak Manusia – sebutan Yesus untuk diri-Nya sendiri – “harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Markus 8. 31).

Menanggung banyak penderitaan? Suatu keharusan? Berhadapan dengan elit politik dan keagamaan? Tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat? Ditolak dan dibunuh? Mesias macam mana? Lantas, “bangkit sesudah tiga hari”? Bah, apa bedanya? Bukankah semua orang mati akan dibangkitkan “sesudah tiga hari”, yakni saat Kiamat alias Akhir Zaman? Masih lama! Begitukah nasib Mesias?

Petrus tidak terima. Ia menarik Yesus ke samping dan menegor-Nya. Mosok omong begitu! Baru saja harapan mulai bersemi, seketika itu juga me-layu lagi. Primen sih! 

Dalam beberapa jurus waktu, Petrus dan kawan-kawannya dibuat kaget berkali-kali. Tengok reaksi Yesus. Menoleh dan memandang mereka, Yesus memarahi Petrus, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Markus 8.33).

Bukan main. Petrus disebut “Iblis”, Satan (bahasa Yunani: satan). Miris! Sepanjang kebersamaannya dengan Yesus, dua kali ia mendengar Yesus berkata-kata tentang Satan. Pertama, saat dituding mengusir roh-roh jahat dengan kuasa Beelzebul penghulu roh-roh jahat, Yesus menangkis dengan pertanyaan, “Bagaimana Satan mengusir Satan?” (Markus 3.23) dan pernyataan, “... kalau Satan berontak melawan dirinya sendiri, ia tidak dapat bertahan” (Markus 3.25). Kedua, saat menjelaskan perumpamaan tentang benih yang ditaburkan, Yesus menyebutkan bahwa Satan datang dan “mengambil firman yang baru ditaburkan” (Markus 4.15). Dalam kedua kasus itu, Satan adalah sosok yang jahat!

Lantas, apakah sekarang Yesus memandang Petrus sebagai Iblis, si sosok jahat. Tidak juga. Pengertian dasar “Satan” adalah “merintangi” atau “berdiri sebagai lawan.” Ingat cerita tentang Malaikat TUHAN yang menjumpai Bileam yang menunggang seekor keledai guna menemui Balak, raja Moab. Murka karena Bileam memenuhi undangan Balak untuk mengutuki bangsa Israel, “berdirilah Malaikat TUHAN di jalan sebagai lawannya” (Bilangan 22.22, lihat juga ayat 32). Dalam bahasa Ibrani, kata kerja satan berarti berdiri sebagai lawan!

Sekarang, dengan “menarik  Yesus ke samping dan menegor-Nya,” sesungguhnya Petrus “memikirkan apa yang dipikirkan manusia”, bukan “memikirkan apa yang dipikirkan Allah” (Markus 8.33). Apa yang dipikirkan manusia: Mesias yang jaya, tanpa penderitaan, demikian pula para pengikut-Nya. Itulah yang ada dalam benak Petrus dan kawan-kawannya. Apa yang dipikirkan Allah: Mesias yang dimuliakan (bangkit) sesudah menempuh jalan penderitaan. Itulah yang tidak ada dalam benak Petrus dan kawan-kawannya.

Tindakan Petrus terhadap Yesus seturut dengan apa yang ada dalam benaknya (apa yang dipikirkan manusia) dan apa yang tidak ada dalam benaknya (apa yang dipikirkan Allah). Dengan jalan itu, ia “berdiri di hadapan Yesus sebagai lawan.” Petrus menginginkan Yesus sebagai Mesias yang jaya tanpa penderitaan, demikian pula para pengikut-Nya. Petrus tidak menginginkan Yesus sebagai Mesias yang dimuliakan setelah penderitaan. Ia menolak “apa yang dipikirkan Allah” dan berupaya mewujudkan “apa yang dipikirkan manusia.” Dalam arti inilah sebutan Iblis bagi Petrus.

“Enyahlah,” kata Yesus kepada Petrus yang berdiri di hadapannya sebagai lawan. Dalam teks Yunaninya, kita menemukan kata-kata hupage opisô mou, yang bila diterjemahkan secara harafiah berbunyi, “Pergilah ke belakangku!” Perhatikanlah kontras ini: “berdiri sebagai lawan” dan “pergilah ke belakangku.” Jelas bagi kita maksud Yesus. Seakan Ia berkata kepada Petrus, “Hai Petrus, daripada berdiri di hadapan-Ku sebagai lawan, merintangi jalan-Ku untuk memenuhi apa yang dipikirkan Allah, sebaiknya engkau pergi ke belakang-Ku, mengikut Aku.”

Yesus adalah Mesias yang harus menempuh jalan penderitaan sebelum dimuliakan. Orang yang telah menjadi pengikut-Nya hendaknya tidak merintangi perjalanan-Nya. Alih-alih, mereka diajak untuk mengikut-Nya. Sebagaimana Mesias menempuh jalan penderitaan sebelum dimuliakan, begitulah kiranya para pengikut-Nya. Tak ada salib, tak ada kebangkitan. Tak ada penderitaan, tak ada kemuliaan. Jalan penderitaan adalah jalan kemuliaan. Itulah “apa yang dipikirkan Allah.”

Tandas Yesus bersabda, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Markus 8.34).

Mengikut Dia? 

Ya! Tidak saja “mempersilakan” Yesus melaksanakan “apa yang dipikirkan Allah”, yakni menempuh jalan penderitaan, tetapi juga mengikut Yesus menempuh jalan itu! Simaklah sabda-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mrk 8.34). Sebagaimana Mesias menempuh jalan penderitaan karena taat-setia kepada Allah, demikianlah para pengikut Mesias menempuh jalan penderitaan karena taat-setia kepada-Nya.

Menyangkal diri: bukan lagi kehendakku, melainkan kehendak Mesias, Junjunganku. Memikul salib: membayar harga demi melakukan kehendak Mesias. Mengikut Aku: mengiring Mesias di mana saja dan kapan saja – termasuk dalam api penderitaan dan di depan gerbang kematian. 

Yesus setia kepada Allah. Ia bertekad melaksanakan kehendak Allah. Ia bersiteguh mengesampingkan “apa yang dipikirkan manusia” dan mewujudnyatakan “apa yang dipikirkan Allah.” Ia taat. Itu berarti menempuh jalan salib sebagai jalan kemuliaan.

Setia dan taat kepada Yesus, kita dipanggil untuk menempuh jalan yang sama. Pesan ini bergema lagi di Minggu II Pra-Paska ini. 

Terpujilah Allah! 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Minta ijin berbagi Pak Rudy