Minggu, 20 Maret 2016

Minggu Palmarum 2016

People Worship Jesus in Jerusalem
in Palm Sunday

freecoloringpages.co.uk 
20 Maret 2016

HOSANA! BERILAH KIRANYA KESELAMATAN
Markus 11.1-11

Rudolfus Antonius 

Saat dibaptiskan, Yesus dinobatkan Allah sebagai Raja dan Hamba (Markus 1.11). Sebagai Raja atau Mesias, Yesus adalah Anak yang dikasihi Allah. Sebagai Hamba, Allah berkenan kepada-Nya. Dalam kenyataannya, Yesus menghayati jalan hidup sebagai Hamba. Ya, Hamba yang “datang untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Markus 10.45).

Yesus berusaha merahasiakan martabat rajawi-Nya dari orang banyak. Menarik, pada saat yang sama, Yesus juga berupaya membimbing murid-murid-Nya untuk tiba pada pengertian bahwa Ia adalah Raja sekaligus Hamba. Ya, seorang Raja yang melayani dan menghamba sekaligus seorang Hamba yang akan dimuliakan sebagai Raja melalui penderitaan.

Mengapa Yesus menerapkan kebijakan ganda, “menutup ke luar” dan “membuka ke dalam”?

Yesus tahu apa akibatnya bila Ia mengungkap martabat rajawi-Nya kepada orang banyak. Di tengah deraan berbagai macam sakit-penyakit dan kungkungan setan-setan (lihat misalnya Markus 1.32-34; 3.7-12; 6.53-56), ikatan-ikatan syariat agama (lihat misalnya cerita-cerita yang terpapar dari Markus 2.1-3.6), dan penindasan politik (Markus 10.42), bisa dibayangkan apa reaksi orang banyak. Mereka akan menyambut-Nya sebagai Raja atau Mesias, yang  diyakini akan memulihkan “Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud” (Markus 11.10). Bila itu terjadi, bukan tidak mungkin Ia akan berpaling dari jalan sebagai Hamba dan menempuh jalan kemesiasan yang sama sekali berbeda dengan “apa yang dipikirkan Allah” (Markus 8.31).

Yesus ingin mulai dari murid-murid-Nya, orang-orang yang terdekat dengan-Nya, yang telah dipanggil dan ditetapkan-Nya “menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Markus 3.14). Ia berharap mereka tiba pada pengertian bahwa Ia adalah Mesias yang Menghamba sekaligus Hamba yang kelak dimuliakan sebagai Mesias. Pendeknya, Ia bukan Mesias seperti yang dibayangkan oleh orang banyak, Mesias menurut “apa yang dipikirkan manusia”; Ia adalah Mesias menurut “apa yang dipikirkan Allah.” Bila murid-murid sudah tiba pada pengertian yang benar, merekalah yang akan diutus untuk memberitakan jati diri-Nya yang sesungguhnya. Saat itu, “tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap” (Markus 4.21).

Sayangnya, para murid begitu lamban untuk mengerti. Hati mereka degil (Markus 6.51-52; 8.17, 21; bdk 9.32). Simon, yang sepertinya memiliki kesadaran yang lebih maju, masih memandang Yesus sebagai Mesias seturut dengan “imajinasi sosial” orang banyak: Mesias yang jaya minus penderitaan (Markus 8.29, 32). Tiga kali sasmita Yesus tentang penderitaan dan pemuliaan Anak Manusia (Markus 8.31; 9.31; 10.33-34), ditanggapi dengan salah kaprah. Mereka bisa diibaratkan seperti orang buta yang butuh dua kali tindakan Yesus sebelum benar-benar bisa melihat (lihat Markus 8.22-26). Yang jelas, ketika mengiring Yesus dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, mereka merasa cemas, sementara orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut (Markus 10.32).

Bagi Yesus, pergi ke Yerusalem merupakan puncak dari pelayanan-Nya, yakni “menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Markus 10.45). Sang Hamba memeteraikan pelayanan-Nya dengan penderitaan dan kematian yang akan menyelamatkan banyak orang. Menyelesaikan tugas akbar “yang dipikirkan Allah” itu, Ia akan dimuliakan Allah. Ia menderita hingga mati, namun dibangkitkan “sesudah tiga hari.”

Tapi simak tanggapan orang-orang yang mengiringi Yesus memasuki Yerusalem? Baik orang-orang “yang berjalan di depan” Yesus, maupun mereka “yang mengikuti dari belakang”, berseru:

Hosana!
Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan,
Diberkatilah Kerajaan yang datang,
Kerajaan bapak kita Daud,
Hosana di tempat yang mahatinggi! (Markus 11.9-11).

Jelas, mereka merujuk Yesus sebagai “Dia yang datang dalam nama Tuhan.” Ya, mereka memandang Yesus sebagai Raja, sebagai Mesias.

Mereka berkata-kata tentang “Kerajaan yang akan datang, Kerajaan bapak kita Daud.” Jelas, mereka menganggap Yesus, Sang Mesias, akan memulihkan atau mendirikan kembali Kerajaan Daud. Yesus datang di Yerusalem, Kerajaan Daud dipulihkan kembali.

Mereka berseru, “Hosana!” Sebuah doa, yang artinya “Berilah keselamatan!" Suatu seruan kepada Allah, tentu. Suatu seruan agar melalui Mesias Yesus Allah mendirikan kembali Kerajaan Daud, Kerajaan Israel Raya.

Memang, Yesus datang untuk menyelamatkan. Tapi bukan dalam arti memulihkan Kerajaan Daud. Ia datang untuk memberikan nyawa-Nya sebagai “tebusan pengganti” (lutron anti, lihat Markus 10.45). 

Ia akan me-Raja atas “banyak orang” (=semua, sebuah gaya bahasa Ibrani/Arami) yang telah ditebus-Nya. Itu tidak sama dengan berkuasa atas sebuah negeri dan bangsa, melainkan me-Raja dalam Pemerintahan Allah – yang melampaui batas-batas kewilayahan dan kebangsaan.

Ia akan me-Raja melalui pemberitaan Injil “kepada semua bangsa” (Markus 13.10), yang akan menyambutnya dengan iman dan pertobatan (bandingkan Markus 1.15).


Demikianlah, di awal “drama Pekan Suci” menurut Injil Markus ini, kita diperhadapkan dengan dua macam pandangan tentang martabat rajawi atau kemesiasan Yesus: Mesias yang menyelamatkan melalui penderitaan dan kematian yang menebus banyak orang atau Mesias yang menyelamatkan dalam arti memulihkan satuan politik yang disebut sebagai “Kerajaan Daud.” Yang satu seturut dengan “apa yang Allah pikirkan,” dan yang satunya lagi seturut dengan “apa yang manusia pikirkan.” 

Yang manakah pandangan Saudara? ***

Terpujilah Allah!

Jumat, 18 Maret 2016

Lent/Masa Pra-Paska 2016 (V)

Blind Bartimaeus
www.lookandlearn.com
Lent V: 13-19 Maret 2016

FAIT ACCOMPLI
Markus 10.46-52

Rudolfus Antonius

Rahasia Mesias. Ditutup untuk khalayak, dibuka bagi “kalangan sendiri.” Itulah “kebijakan ganda” yang diterapkan Yesus orang Nazaret berkenaan dengan jati diri-Nya. Kepada khalayak, Ia selalu berupaya agar mereka tidak mengenali diri-Nya sebagai Mesias. Sejauh-jauhnya, publik berspekulasi bahwa Ia adalah Yohanes Pembaptis, Elia, atau salah seorang dari para nabi (Markus 8.28). Kepada “kalangan sendiri”, yakni ke-12 murid-Nya, Ia berusaha menyingkapkan kemesiasan-Nya. “Kepadamu,” kata-Nya kepada mereka, “telah diberikan rahasia Kerajaan Allah...” (Markus 4.11).

Ada dialektika yang diharapkan-Nya bekerja dalam antitesis ini. Saat rakyat jelata sarat dengan penderitaan – kerasukan setan, terjangkit berbagai sakit-penyakit, diberati beban-beban keagamaan, dan ditindas oleh pemerintah bangsa-bangsa – apatah rindu-damba mereka kecuali kedatangan Sang Pembebas, yang tak lain dari Mesias, Ratu Adil Erucakra?

Yesus tidak menafikan “jeritan makhluk tertindas” yang membahana di tengah dunia yang tak berhati. Tapi Ia meyakini agenda ilahi, “apa yang dipikirkan Allah”, yang harus dilaksanakan-Nya: bukan pertama-tama sebagai Mesias Sang Raja, tetapi sebagai Hamba, yang melayani hingga memberikan nyawa sebagai tebusan bagi banyak (=semua) orang. Melalui itu, Sang Raja mbabar jati diri.  

Pada saat yang sama, Ia berusaha membimbing Kelompok 12, murid-murid-Nya, untuk mengenali jati diri-Nya. Menetapkan mereka “untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Markus 3.14), sesungguhnya Ia sedang mempersiapkan mereka supaya bila sudah tiba waktunya mereka akan mewartakan jatidiri mesianik atau rajawi-Nya. Untuk itu Ia telah bersasmita, “[T]idak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu rahasia yang tidak akan tersingkap” (Markus 4.21-22).

Sayang disayang, Kelompok 12 terlalu lamban untuk mengerti. Petrus, yang sepertinya memiliki “kesadaran yang paling maju,” memang berhasil mengenali jati diri Yesus sebagai Mesias (Markus 8.20). Tapi, sebagaimana terlihat dalam reaksinya terhadap Sasmita Samsara yang Pertama, mesianisme Petrus bertolakbelakang dengan mesianisme Yesus. Mesianisme Petrus tidak mengizinkan seorang Mesias yang mengalami sengsara dan maut sebelum mencapai kemuliaan. Sasmita Samsara yang Kedua dan Ketiga ditanggapi dengan pertengkaran tentang siapa yang terbesar atau paling berkuasa di antara Kelompok 12. Semua sibuk dengan Will to Power alih-alih menyatukan diri dengan Sang Mesias menapaki jalan penderitaan.  

Jadi Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu seperti terjepit oleh kebijakan-Nya sendiri. Ke luar Ia bertahan dari godaan mengikuti mesianisme orang banyak, ke dalam Ia tidak kunjung dimengerti oleh murid-murid-Nya – yang juga menganut mesianisme orang banyak. Di satu sisi Ia menolak untuk memproklamirkan kemesiasan-Nya kepada orang banyak karena memperhitungkan jangan-jangan “apa yang dipikirkan Allah” terkooptasi oleh “apa yang dipikirkan manusia.” Di sisi lain kelihatannya Ia nyaris frustrasi (“berapa lama lagi Aku harus sabar terhadap kamu?”, Markus 9.19) karena murid-murid-Nya tak kunjung beranjak dari “apa yang dipikirkan manusia” ke “apa yang dipikirkan Allah.”

Hampir tak dinyana, pada satu momen di tengah perjalanan menuju Yerusalem, Yesus “dipaksa” untuk mengungkap jati diri mesianik-Nya kepada orang banyak. Saat itu, baru saja Ia dan Kelompok 12, diiringi oleh orang banyak yang berbondong-bondong, keluar dari Yerikho (Markus 10.46). Dari pinggir jalan terdengar teriakan, “Anak Daud, kasihanilah aku!” (ay 47). Teriakan subversif, yang menyuarakan kerinduan orang banyak yang mendambakan pembebasan, sekaligus menyulut kewaspadaan kaum penguasa. Anak Daud, gelar Sang Mesias.

Pengemis buta, ya pengemis buta itulah yang membuat bising udara dengan teriakan subversifnya. Ia melakukan itu karena mendapat informasi bahwa orang Nazaret yang Bersandal itulah yang sedang lewat. Ia ingin minta tolong, mohon Yesus mencelikkan matanya. Beberapa orang menegornya. Mereka berusaha membungkamnya (ay 48a). Tapi ia menolak bungkam. Alih-alih, ia makin keras berteriak: “Anak Daud, kasihanilah aku!” (ay 48b). Kian bisinglah udara, sementara aroma subversif merebak ke mana-mana.

Yesus tanggap ing sasmita. Ia tahu, diri-Nyalah yang dimaksud sang pengemis buta. Segera didapati diri-Nya tersudut. Selama ini dipegang-Nya teguh “kebijakan ganda” perihal Rahasia Mesias. Tertutup keluar, terbuka ke dalam. Kini, Ia diperhadapkan pada pilihan: tetap “tertutup keluar” demi menjaga agar “apa yang dipikirkan Allah” tidak terkooptasi oleh “apa yang dipikirkan manusia” dengan tidak mempedulikan teriakan-teriakan sang pengemis buta, ATAU, menyembuhkan sang pengemis buta dengan mengorbankan “kebijakan ganda” dengan “membuka keluar” – dan dengan demikian merisikokan “apa yang dipikirkan Allah” terkooptasi oleh “apa yang dipikirkan manusia.” FAIT ACCOMPLI!

Merasa di-fait accompli, Yesus butuh waktu untuk berpikir. Itulah sebabnya Ia tidak langsung menanggapi teriakan-teriakan sang pengemis buta (lihat ay 47-49). Tapi sekali membuat keputusan, yakni memilih untuk mempedulikan pengemis buta itu dan mengorbankan kebijakan ganda-Nya, Yesus melangkah dengan mantap. Berjumpalah Ia dengan sang pengemis buta.

Terjadilah percakapan singkat, yang menyiratkan jati diri Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu – bahwa Dia adalah Sang Mesias (ay 51).

Y  : Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?
PB: Rabuni (=Tuanku), supaya aku dapat melihat!

Terjadilah suatu mukjizat, yang memenuhi kerinduan sang pengemis buta sekaligus menggarisbawahi watak asli Sang Mesias – welas asih, penuh rahmat (ay 52a).

Y: Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!
Pada saat itu juga (kai euthus, dan seketika itu juga) melihatlah ia.

“Kebijakan ganda” gugur sudah. Sekarang Rahasia Mesianik dibuka keluar. Publik sudah tahu siapa Yesus: Sang Mesias. Lepas dari jenis mesianisme mereka, yang bertolakbelakang dengan mesianisme Yesus!

Sekarang, pengemis buta itu tak lagi buta, tak lagi mengemis pula. Ia mengikut Yesus, mengiringi-Nya dalam perjalanan yang menentukan ke Yerusalem (ay 52b). 

Entah dari mana mantan pengemis buta itu tahu bahwa Yesus adalah Anak Daud, Sang Mesias. Yang jelas, teriakan-teriakan subversifnya telah “memaksa” Yesus untuk menyatakan jati diri-Nya. Tak heran kiranya, bila kemudian namanya dikenang orang – satu-satunya pengecualian dalam penuturan Sang Narator: Bartimeus, anak Timeus, anak dari Kehormatan, anak yang terhormat. 

Sesuai dengan namanya, wong cilik ini beroleh kehormatan untuk membuat Mesias yang Tersembunyi menyatakan diri-Nya di hadapan publik yang merindudamba. Cetha wela-wela. ***




Terpujilah Allah! 

 







  











Jumat, 11 Maret 2016

DOA

Silent Prayer
Hari ini, 30 September 2012. Genap 37 tahun umurku. 

Kusadari sepenuhnya, bahwa panggilan jiwa dan keyakinanku menempatkanku di jalur Kiri. Aku seorang Anabaptis, aku juga seorang Sosialis. Bukan Sosialisme Utopian, tapi Sosialisme Ilmiah. Bukan Stalinis, tetapi Trotskyis. 

Dalam semuanya itu, aku berupaya menghayati apa maknanya mengiring Yesus Kristus, Junjunganku, serta bergumul tentang apa artinya kehadiran Kerajaan Allah di tengah suatu epos di mana kapitalisme mentransformasi diri menjadi imperialisme – sementara negeriku dikemudikan oleh para komprador, kapitalis birokrat, dan kapitalis kroni yang pada saat yang sama menghamba kepada imperialisme dan menyengsarakan rakyat pekerja serta memporakporandakan alam.

Ya, Tuhan di sisa hidupku, mampukanlah aku untuk setia kepada Junjunganku dan perkara Kerajaan-Mu; mampukan aku untuk konsisten sejalan dengan komitmen Junjunganku, preferential option for the poor and the oppressed; mampukan aku, untuk terus berjuang, bahu-membahu dengan rakyat pekerja – demi suatu perwujudan dari Kerajaan-Mu: “terciptanya tatanan masyarakat Sosialis sepenuhnya.” AMIN. ***

Senin, 07 Maret 2016

Lent/Masa Pra-Paska 2016 (IV)

James & John with Jesus
http://www.4catholiceducators.com
LENT IV:
6-12 Maret 2016

KEMULIAAN SALIB
Markus 10.35-45

Rudolfus Antonius

Tiga kali sudah Yesus menuturkan sasmita samsara (Markus 8.31; 9.31; 10.33-34). Makin lama makin jelas. Intinya: Ia harus menempuh jalan salib sebelum dimuliakan dalam kebangkitan. Jalan salib, jalan kemuliaan.

Tiga kali Yesus bersasmita, tiga kali pula para murid menanggapinya. Sayang, tanggapan-tanggapan itu ibarat jauh panggang dari api. Sasmita pertama ditanggapi Petrus dengan “menarik Yesus ke samping dan menegor Dia” (Markus 8.32). Sasmita kedua ditanggapi dengan pertengkaran murid-murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka (Markus 9.34). Sasmita ketiga ditanggapi oleh Yakobus dan Yohanes, yang meminta Yesus untuk memberi mereka dua tempat utama di dalam kemuliaan-Nya (Markus 10.37). Gagal tanggap ing sasmita, murid-murid sibuk dengan “apa yang dipikirkan manusia” (Markus 8.33).

Mengetahui lobby pribadi Yakobus dan Yohanes, bangkitlah kemarahan kawan-kawannya (Markus 10.41). Sepertinya itu bukan karena mereka lebih tanggap ing sasmita. Mereka memiliki ambisi yang sama dengan keduanya, meski takut atau sungkan unnntuk mengemukakannya. Mereka semua marah kepada Yakobus dan Yohanes karena mendapat saingan berat, yang bahkan lebih dulu menggelar lobby untuk meraih kekuasaan. Sebelas-duabelas, setali tiga uang. 

Membaca situasi itu, Yesus memanggil mereka. Kata-Nya,

Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kekuasaannya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Markus 10.42-44).

Yesus tahu, semua murid ingin menjadi besar dan terkemuka. Ya, semuanya ingin berkuasa. “Kehendak untuk berkuasa” membuncah di hati mereka. Yesus tidak menentang hal itu. Tapi Ia berusaha memberi jiwa dan arah yang baru.

Yesus mengajak murid-murid-Nya mengamati bagaimana pemerintah bangsa-bangsa dan pembesar-pembesarnya berkuasa. Bukankah mereka memerintah rakyat dengan tangan besi? Bukankah mereka menjalankan kekuasaan dengan keras atas rakyat? Kekuasaan mereka adalah kekuasaan dengan pemaksaan, kekuasaan dengan kekerasan. Kekuasaan yang semena-mena! Berkuasa dengan “membawahkan” orang lain, itukah yang diinginkan Yakobus, Yohanes, dan kawan-kawan mereka?

“Tidaklah demikian di antara kamu,” kata Yesus. Maksud-Nya jelas: kekuasaan yang berlaku di antara murid-murid Yesus memiliki watak yang sangat berbeda dengan kekuasaan yang berlaku di antara bangsa-bangsa. Ingin menjadi besar, orang harus menjadi pelayan (diakonos). Ingin menjadi yang terkemuka, orang harus menjadi hamba (doulos). Menjadi besar dengan melayani, menjadi terkemuka dengan menghamba. Berkuasa karena mengutamakan kepentingan umat  ketimbang kepentingan sendiri, sangatlah berbeda dengan “memerintah rakyat dengan tangan besi.” Berkuasa karena dengan rendah hati menempatkan diri sebagai hamba umat, sangatlah berlainan dengan “menjalankan kekuasaan dengan keras atas rakyat.” Kekuasaan yang melayani kepentingan umat dan menghamba kepada umat, itulah yang seharusnya yang diinginkan Yakobus, Yohanes, dan kawan-kawan mereka.

Yesus sendiri rupanya menghayati “filosofi kekuasaan” itu. Ia sudah dan sedang menghidupinya. Kata-Nya,

Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Markus 10.45).    

Bukan dilayani, melainkan melayani. Sejak baptisan yang menahbiskan diri-Nya sebagai Raja dan Hamba (Markus 1.11), jalan hidup sebagai Pelayan dan Hamba-lah yang ditempuh Yesus. Melalui Injil yang diberitakan-Nya dengan perkataan dan perbuatan, Yesus melayani dan menghamba. Puncak dari jalan hidup itu adalah “menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Dengan jalan itulah Ia menjadi Raja.

Pada titik ini Yesus tidak saja memberi diri sebagai Teladan bagi murid-murid-Nya mengenai “kehendak untuk berkuasa.” Ia juga memberi bingkai bagi tiga sasmita samsara-Nya. Penderitaan dan kematian-Nya adalah puncak atau mahkota dari jalan hidup-Nya sebagai Pelayan dan Hamba, yang mendatangkan keselamatan bagi banyak (=semua) orang dan mengantar-Nya kepada kemuliaan yang sesungguhnya.

Bila salib adalah penderitaan dan kematian, maka melalui salib itu Yesus (1) memahkotai pelayanan dan penghambaan-Nya, (2) mendatangkan keselamatan bagi banyak orang, dan (3) mengantar-Nya kepada kemuliaan yang sesungguhnya. Itulah kemuliaan salib. ***

Terpujilah Allah!

Jumat, 04 Maret 2016

Lent/Masa Pra-Paska 2016 (III)

LENT III:
27 Februari-5 Maret 2016

SYARAT HIDUP YANG KEKAL
Markus 10.17-27

Rudolfus Antonius

Orang itu tampak begitu serius dengan ihwal keagamaan. Tergopoh-gopoh ia menemui Yesus, orang Nazaret yang kontroversial itu. Lihat, ia sampai bertelut di hadapan-Nya. Ia ingin bertanya kepada Yesus, dengan berharap orang Nazaret itu memberikan jawaban yang sanggup meredakan kegalauan hatinya.

Kegalauan hati?

Ya. Ia mendambakan “hidup yang kekal.” Selama ini, “segala perintah Allah” telah diturutinya, bahkan sejak masa mudanya. Namun masih juga gundah hatinya, apakah ia sungguh-sungguh telah beroleh apa yang didamba.

“Guru yang baik,” begitu sapanya. “apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Kesantunan dan urgensi bergema dalam sikap dan pertanyaannya.

“Mengapa kau katakan Aku baik?” Orang Nazaret itu ganti bertanya. “Tiada yang baik kecuali Allah,” sambung-Nya, “Allah yang baik itu telah bertitah. Sudah barang tentu engkau telah mengetahui semuanya:

Jangan membunuh
Jangan berzinah
Jangan mencuri
Jangan mengucapkan saksi dusta
Jangan mengurangi hak orang
Hormatilah ayahmu dan ibumu.”

Sejurus waktu orang itu terperangah. Pertama, rasa-rasanya baru saja Yesus mengoreksi ungkapan yang ia gunakan untuk menyapa-Nya: “Guru yang baik.” Tanggap ing sasmita, ia meralat sapaannya: “Guru.” Tanpa “yang baik.”

Kedua, kedengarannya jawaban Yesus sekadar merujuk pada titah-titah Allah yang sudah diketahuinya. Tidak ada yang baru, “standard.” Manakah hal istimewa, yang diharapnya terungkap dari orang Nazaret itu?

“Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku,” sahutnya.

Yesus memandang orang itu. Ia mengasihinya (êgapêsen auton). Amboi, alangkah beruntungnya orang itu! Begitulah agaknya kesan yang ingin diberikan Narator kepada kita. Betapa tidak! Bukankah di sepanjang ceritanya hanya dalam “episode” inilah ia mengungkap secara eksplisit perihal Yesus mengasihi seseorang? Lantas bagaimana kasih itu dijabarkan?

“Hanya satu lagi kekuranganmu,” kata-Nya.

Ah! Barusan Yesus berkata-kata tentang “segala perintah Allah.” Sekarang, setelah mendengar bahwa aku telah menuruti semuanya itu sejak masa mudaku, Ia menyatakan masih ada yang kurang! Opo tumon? Begitulah mungkin orang itu bergumam.

Mari perhatikan ungkapan “yang baik,” modifier bagi sapaan “guru” (yang disematkan orang itu kepada Yesus, namun dipertanyakan-Nya dengan menyebut Allah sebagai satu-satunya “yang baik”). Bukankah Allah “yang baik” telah bertitah? Simak, titah-titah-Nya menyangkut hubungan antarmanusia. Jangan begini, jangan begitu, lakukan ini dan itu. Orang itu mengatakan bahwa ia telah menuruti semua titah itu sejak mudanya. Kalau memang demikian, bukankah ia sudah berhak atas hidup yang kekal!

Tapi “guru” yang barusan mengkritisi sapaan “yang baik” itu sekarang tampil seolah-olah Dialah Allah “yang baik” itu sendiri. Ia bertitah! Bila memenuhi titah itu, lengkaplah sudah “penurutan” orang itu pada seluruh titah Allah yang baik!

Inilah titah-Nya:

Pergilah,
juallah apa yang kau miliki
dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,
maka engkau akan beroleh harta di sorga,
kemudian datanglah ke mari,
dan ikutlah Aku.

“Kurang ajar” betul Laki-laki Bersandal dari Nazaret ini. Mengkritisi sapaan “guru yang baik,” sekarang Ia malah menempatkan diri dalam posisi “Allah yang baik” – yang bertitah!

Orang itu pun diperhadapkan pada “momen eksistensial.” Selama ini ia menuruti segala titah Allah dengan tujuan beroleh hidup yang kekal. Kenyataannya, ia memang telah menuruti segala titah itu, bahkan sejak masa mudanya. Tapi toh, ia masih gundah apakah ia benar-benar terjamin akan memperoleh hidup yang kekal. Berjumpa dengan Yesus, ia justru mendapati bahwa kegundahannya benar. Semua itu belum cukup. Masih kurang!

Lantas bagaimana cara membuatnya memadai? “Ikutlah Aku,” kata Yesus. Tapi syaratnya... alangkah beratnya! Orang itu pun menjadi kecewa. Ia pergi, dengan sedih.

Lho, kok begitu? Opo tumon? Kenapa? Ada apa dengan titah Yesus? Atau... ada apa dengan orang itu?

Dalam sejurus waktu, selaku pembaca atau pendengar kita pun mengalami penyingkapan dari Sang Narator: orang itu adalah orang yang banyak hartanya (orang yang memiliki banyak harta, ekhôn ktêmata polla, ay 22).

Jelaslah sudah. Orang kaya yang satu ini mendambakan hidup yang kekal. Karena itu, sejak muda ia berusaha menuruti titah-titah Allah. Tapi ia merasa tidak pasti. Lalu datanglah ia kepada Yesus, yang ternyata bisa memberikan kepastian tetapi menuntut suatu harga yang baginya teramat-sangat mahal: menjual apa yang dimilikinya dan memberikan hasilnya kepada orang-orang miskin.

BUNUH DIRI KELAS! Ungkapan yang kita pinjam dari almarhum Almilcar Cabral (1924-1973), revolusioner Guinea-Bissau, mungkin tetap untuk memberi nama pada titah Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu.

Ya, BUNUH DIRI KELAS: orang yang berasal dari kelas yang lebih tinggi – kelas penguasa – meninggalkan kelasnya berikut segala hak istimewa yang melekat padanya, lalu menggabungkan diri dengan kelas yang lebih rendah – kelas kaum yang miskin dan tertindas.
Beroleh hidup yang kekal dengan jalan bunuh diri kelas!

Kecewa dan pergi dengan sedih. Terungkaplah baginya, juga bagi sidang pembaca, mana yang sesungguhnya paling berharga baginya. Antara hartanya yang banyak dan hidup yang kekal, yang pertamalah yang paling berharga.

Maksud hati ingin beroleh hidup yang kekal sebagai orang kaya, nyatanya Yesus menitahkan bunuh diri kelas demi mengikut Dia. Titah yang terbit dari kasih, yang sayang-disayang tak menyentuh hati sang hartawan. Ia pun memutuskan untuk “Balik Kanan, Jalan Terus...”

“Sangat sukar orang yang beruang, orang kaya, masuk ke dalam Kerajaan Allah,” ujar Yesus di hadapan murid-murid-Nya. “Lebih mudah seekor unta melewati loban jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah,” sambungnya.

Murid-murid tercengang. Mereka paham, sanepo itu berkata-kata tentang kemusykilan orang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah, termasuk orang kaya yang barusan datang dan pergi berlalu.

“Lantas, siapakah yang dapat diselamatkan?” tanya mereka, gempar.

“Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah,” jawab Sang Guru, guru yang baik itu.

Maksud-Nya jelas. Pada dirinya sediri, muskil orang kaya melakukan bunuh diri kelas agar beroleh hidup yang kekal. Tapi apa yang muskil bagi manusia, tidaklah muskil bagi Allah. Tentulah Allah bisa membuat orang (-orang) kaya melakukan bunuh diri kelas – mempersembahkan kekayaannya untuk melayani mereka yang miskin dan tertindas – dan beroleh hidup yang kekal!


TERPUJILAH ALLAH!