Senin, 07 Maret 2016

Lent/Masa Pra-Paska 2016 (IV)

James & John with Jesus
http://www.4catholiceducators.com
LENT IV:
6-12 Maret 2016

KEMULIAAN SALIB
Markus 10.35-45

Rudolfus Antonius

Tiga kali sudah Yesus menuturkan sasmita samsara (Markus 8.31; 9.31; 10.33-34). Makin lama makin jelas. Intinya: Ia harus menempuh jalan salib sebelum dimuliakan dalam kebangkitan. Jalan salib, jalan kemuliaan.

Tiga kali Yesus bersasmita, tiga kali pula para murid menanggapinya. Sayang, tanggapan-tanggapan itu ibarat jauh panggang dari api. Sasmita pertama ditanggapi Petrus dengan “menarik Yesus ke samping dan menegor Dia” (Markus 8.32). Sasmita kedua ditanggapi dengan pertengkaran murid-murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka (Markus 9.34). Sasmita ketiga ditanggapi oleh Yakobus dan Yohanes, yang meminta Yesus untuk memberi mereka dua tempat utama di dalam kemuliaan-Nya (Markus 10.37). Gagal tanggap ing sasmita, murid-murid sibuk dengan “apa yang dipikirkan manusia” (Markus 8.33).

Mengetahui lobby pribadi Yakobus dan Yohanes, bangkitlah kemarahan kawan-kawannya (Markus 10.41). Sepertinya itu bukan karena mereka lebih tanggap ing sasmita. Mereka memiliki ambisi yang sama dengan keduanya, meski takut atau sungkan unnntuk mengemukakannya. Mereka semua marah kepada Yakobus dan Yohanes karena mendapat saingan berat, yang bahkan lebih dulu menggelar lobby untuk meraih kekuasaan. Sebelas-duabelas, setali tiga uang. 

Membaca situasi itu, Yesus memanggil mereka. Kata-Nya,

Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kekuasaannya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Markus 10.42-44).

Yesus tahu, semua murid ingin menjadi besar dan terkemuka. Ya, semuanya ingin berkuasa. “Kehendak untuk berkuasa” membuncah di hati mereka. Yesus tidak menentang hal itu. Tapi Ia berusaha memberi jiwa dan arah yang baru.

Yesus mengajak murid-murid-Nya mengamati bagaimana pemerintah bangsa-bangsa dan pembesar-pembesarnya berkuasa. Bukankah mereka memerintah rakyat dengan tangan besi? Bukankah mereka menjalankan kekuasaan dengan keras atas rakyat? Kekuasaan mereka adalah kekuasaan dengan pemaksaan, kekuasaan dengan kekerasan. Kekuasaan yang semena-mena! Berkuasa dengan “membawahkan” orang lain, itukah yang diinginkan Yakobus, Yohanes, dan kawan-kawan mereka?

“Tidaklah demikian di antara kamu,” kata Yesus. Maksud-Nya jelas: kekuasaan yang berlaku di antara murid-murid Yesus memiliki watak yang sangat berbeda dengan kekuasaan yang berlaku di antara bangsa-bangsa. Ingin menjadi besar, orang harus menjadi pelayan (diakonos). Ingin menjadi yang terkemuka, orang harus menjadi hamba (doulos). Menjadi besar dengan melayani, menjadi terkemuka dengan menghamba. Berkuasa karena mengutamakan kepentingan umat  ketimbang kepentingan sendiri, sangatlah berbeda dengan “memerintah rakyat dengan tangan besi.” Berkuasa karena dengan rendah hati menempatkan diri sebagai hamba umat, sangatlah berlainan dengan “menjalankan kekuasaan dengan keras atas rakyat.” Kekuasaan yang melayani kepentingan umat dan menghamba kepada umat, itulah yang seharusnya yang diinginkan Yakobus, Yohanes, dan kawan-kawan mereka.

Yesus sendiri rupanya menghayati “filosofi kekuasaan” itu. Ia sudah dan sedang menghidupinya. Kata-Nya,

Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Markus 10.45).    

Bukan dilayani, melainkan melayani. Sejak baptisan yang menahbiskan diri-Nya sebagai Raja dan Hamba (Markus 1.11), jalan hidup sebagai Pelayan dan Hamba-lah yang ditempuh Yesus. Melalui Injil yang diberitakan-Nya dengan perkataan dan perbuatan, Yesus melayani dan menghamba. Puncak dari jalan hidup itu adalah “menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Dengan jalan itulah Ia menjadi Raja.

Pada titik ini Yesus tidak saja memberi diri sebagai Teladan bagi murid-murid-Nya mengenai “kehendak untuk berkuasa.” Ia juga memberi bingkai bagi tiga sasmita samsara-Nya. Penderitaan dan kematian-Nya adalah puncak atau mahkota dari jalan hidup-Nya sebagai Pelayan dan Hamba, yang mendatangkan keselamatan bagi banyak (=semua) orang dan mengantar-Nya kepada kemuliaan yang sesungguhnya.

Bila salib adalah penderitaan dan kematian, maka melalui salib itu Yesus (1) memahkotai pelayanan dan penghambaan-Nya, (2) mendatangkan keselamatan bagi banyak orang, dan (3) mengantar-Nya kepada kemuliaan yang sesungguhnya. Itulah kemuliaan salib. ***

Terpujilah Allah!

2 komentar:

Rinto Pangaribuan mengatakan...

Keren....

Unknown mengatakan...

Sangat menyentuh. Minta ijin berbagi Pak Rudy