Minggu, 20 Maret 2016

Minggu Palmarum 2016

People Worship Jesus in Jerusalem
in Palm Sunday

freecoloringpages.co.uk 
20 Maret 2016

HOSANA! BERILAH KIRANYA KESELAMATAN
Markus 11.1-11

Rudolfus Antonius 

Saat dibaptiskan, Yesus dinobatkan Allah sebagai Raja dan Hamba (Markus 1.11). Sebagai Raja atau Mesias, Yesus adalah Anak yang dikasihi Allah. Sebagai Hamba, Allah berkenan kepada-Nya. Dalam kenyataannya, Yesus menghayati jalan hidup sebagai Hamba. Ya, Hamba yang “datang untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Markus 10.45).

Yesus berusaha merahasiakan martabat rajawi-Nya dari orang banyak. Menarik, pada saat yang sama, Yesus juga berupaya membimbing murid-murid-Nya untuk tiba pada pengertian bahwa Ia adalah Raja sekaligus Hamba. Ya, seorang Raja yang melayani dan menghamba sekaligus seorang Hamba yang akan dimuliakan sebagai Raja melalui penderitaan.

Mengapa Yesus menerapkan kebijakan ganda, “menutup ke luar” dan “membuka ke dalam”?

Yesus tahu apa akibatnya bila Ia mengungkap martabat rajawi-Nya kepada orang banyak. Di tengah deraan berbagai macam sakit-penyakit dan kungkungan setan-setan (lihat misalnya Markus 1.32-34; 3.7-12; 6.53-56), ikatan-ikatan syariat agama (lihat misalnya cerita-cerita yang terpapar dari Markus 2.1-3.6), dan penindasan politik (Markus 10.42), bisa dibayangkan apa reaksi orang banyak. Mereka akan menyambut-Nya sebagai Raja atau Mesias, yang  diyakini akan memulihkan “Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud” (Markus 11.10). Bila itu terjadi, bukan tidak mungkin Ia akan berpaling dari jalan sebagai Hamba dan menempuh jalan kemesiasan yang sama sekali berbeda dengan “apa yang dipikirkan Allah” (Markus 8.31).

Yesus ingin mulai dari murid-murid-Nya, orang-orang yang terdekat dengan-Nya, yang telah dipanggil dan ditetapkan-Nya “menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Markus 3.14). Ia berharap mereka tiba pada pengertian bahwa Ia adalah Mesias yang Menghamba sekaligus Hamba yang kelak dimuliakan sebagai Mesias. Pendeknya, Ia bukan Mesias seperti yang dibayangkan oleh orang banyak, Mesias menurut “apa yang dipikirkan manusia”; Ia adalah Mesias menurut “apa yang dipikirkan Allah.” Bila murid-murid sudah tiba pada pengertian yang benar, merekalah yang akan diutus untuk memberitakan jati diri-Nya yang sesungguhnya. Saat itu, “tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap” (Markus 4.21).

Sayangnya, para murid begitu lamban untuk mengerti. Hati mereka degil (Markus 6.51-52; 8.17, 21; bdk 9.32). Simon, yang sepertinya memiliki kesadaran yang lebih maju, masih memandang Yesus sebagai Mesias seturut dengan “imajinasi sosial” orang banyak: Mesias yang jaya minus penderitaan (Markus 8.29, 32). Tiga kali sasmita Yesus tentang penderitaan dan pemuliaan Anak Manusia (Markus 8.31; 9.31; 10.33-34), ditanggapi dengan salah kaprah. Mereka bisa diibaratkan seperti orang buta yang butuh dua kali tindakan Yesus sebelum benar-benar bisa melihat (lihat Markus 8.22-26). Yang jelas, ketika mengiring Yesus dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, mereka merasa cemas, sementara orang-orang yang mengikuti Dia dari belakang merasa takut (Markus 10.32).

Bagi Yesus, pergi ke Yerusalem merupakan puncak dari pelayanan-Nya, yakni “menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Markus 10.45). Sang Hamba memeteraikan pelayanan-Nya dengan penderitaan dan kematian yang akan menyelamatkan banyak orang. Menyelesaikan tugas akbar “yang dipikirkan Allah” itu, Ia akan dimuliakan Allah. Ia menderita hingga mati, namun dibangkitkan “sesudah tiga hari.”

Tapi simak tanggapan orang-orang yang mengiringi Yesus memasuki Yerusalem? Baik orang-orang “yang berjalan di depan” Yesus, maupun mereka “yang mengikuti dari belakang”, berseru:

Hosana!
Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan,
Diberkatilah Kerajaan yang datang,
Kerajaan bapak kita Daud,
Hosana di tempat yang mahatinggi! (Markus 11.9-11).

Jelas, mereka merujuk Yesus sebagai “Dia yang datang dalam nama Tuhan.” Ya, mereka memandang Yesus sebagai Raja, sebagai Mesias.

Mereka berkata-kata tentang “Kerajaan yang akan datang, Kerajaan bapak kita Daud.” Jelas, mereka menganggap Yesus, Sang Mesias, akan memulihkan atau mendirikan kembali Kerajaan Daud. Yesus datang di Yerusalem, Kerajaan Daud dipulihkan kembali.

Mereka berseru, “Hosana!” Sebuah doa, yang artinya “Berilah keselamatan!" Suatu seruan kepada Allah, tentu. Suatu seruan agar melalui Mesias Yesus Allah mendirikan kembali Kerajaan Daud, Kerajaan Israel Raya.

Memang, Yesus datang untuk menyelamatkan. Tapi bukan dalam arti memulihkan Kerajaan Daud. Ia datang untuk memberikan nyawa-Nya sebagai “tebusan pengganti” (lutron anti, lihat Markus 10.45). 

Ia akan me-Raja atas “banyak orang” (=semua, sebuah gaya bahasa Ibrani/Arami) yang telah ditebus-Nya. Itu tidak sama dengan berkuasa atas sebuah negeri dan bangsa, melainkan me-Raja dalam Pemerintahan Allah – yang melampaui batas-batas kewilayahan dan kebangsaan.

Ia akan me-Raja melalui pemberitaan Injil “kepada semua bangsa” (Markus 13.10), yang akan menyambutnya dengan iman dan pertobatan (bandingkan Markus 1.15).


Demikianlah, di awal “drama Pekan Suci” menurut Injil Markus ini, kita diperhadapkan dengan dua macam pandangan tentang martabat rajawi atau kemesiasan Yesus: Mesias yang menyelamatkan melalui penderitaan dan kematian yang menebus banyak orang atau Mesias yang menyelamatkan dalam arti memulihkan satuan politik yang disebut sebagai “Kerajaan Daud.” Yang satu seturut dengan “apa yang Allah pikirkan,” dan yang satunya lagi seturut dengan “apa yang manusia pikirkan.” 

Yang manakah pandangan Saudara? ***

Terpujilah Allah!

Tidak ada komentar: