Kamis, 19 Maret 2009

KEBUDAYAAN SEBAGAI KRITIK ATAS KEBUDAYAAN

Kawan-kawan! Saya sungguh berterimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk sekadar mengemukakan pemikiran mengenai kebudayaan, khususnya di bawah tajuk “Kebudayaan Sebagai Kritik Atas Kebudayaan”. Semoga presentasi saya, yang dipandang sebagai sebuah orasi kebudayaan, ada manfaatnya bagi kita sekalian.

Kawan-kawan! Pertama-tama perlulah kiranya saya mengemukakan pandangan saya bahwa kebudayaan terikat pada suatu nilai dasariah tertentu, dan karenanya bercorak moral. Hal ini berlaku baik bukan hanya pada kebudayaan sebagai ekspresi estetis yang lazim kita sebut sebagai ‘seni’. Hal ini juga berlaku pada “kebiasaan-kebiasaan, institusi-institusi, dan pencapaian-pencapaian dari suatu bangsa, rakyat, atau kelompok tertentu” yang lazim pula kita sebut sebagai kebudayaan. Bahkan, disadari atau tidak, tajuk pemikiran “Kebudayaan Sebagai Kritik Atas Kebudayaan” mengandaikan atau menyiratkan corak moral atau keterpautan kebudayaan pada suatu nilai dasariah tertentu.

Kawan-kawan! Jika kita mendekati corak moral atau keterpautan pada suatu nilai dasariah tertentu itu dengan analisis klas, maka tak luputlah kita dari natur klas dari moral atau nilai dasariah itu sendiri. Padahal kita tahu, klas-klas dalam masyarakat tidak terjadi begitu saja seolah-olah dijatuhkan dari langit. Sebaliknya, klas-klas dalam masyarakat terjadi dalam perjalanan sosio-historis masyarakat itu.

Perjalanan sosio-historis itu bersifat membelah masyarakat seiring dengan kepemilikan, akses, dan pengelolaan yang tidak demokratis atas alat-alat produksi massa. Dengan kata lain, ada pihak yang memiliki dan dapat mengakses serta menguasai alat-alat produksi massa; dan itu hanya segelintir saja. Ada pula pihak yang sebaliknya, tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga untuk dijual; dan itu membentuk sebagian terbesar masyarakat.

Pembelahan ini menghasilkan klas-klas dengan pola relasi yang tidak sepadan: klas yang satu menindas atau mengisap klas yang lain. Klas pemilik alat-alat produksi menindas atau mengisap klas yang tidak memiliki alat-alat produksi kecuali diri atau tenaga mereka sendiri. Secara sosio-historis, inilah yang terjadi baik dalam masyarakat yang mengetrapkan perbudakan, masyarakat feodal, maupun masyarakat kapitalis.

Lalu, apakah kepentingan klas penindas atau pengisap? Mempertahankan kekuasaannya, guna menjamin bahkan melipatgandakan kemakmurannya. Lantas, apakah kepentingan klas yang tertindas atau terisap? Survive di tengah penindasan atau pengisapan, bahkan membebaskan diri dari kuk atau belenggu penindasan atau pengisapan itu!

Bagaimana cara klas yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya? Jawabnya, dengan kebudayaan! Baik dalam pengertian seni maupun tata-nilai! Itulah sebabnya, analisis klas mengajak kita melihat pola relasi antarklas sebagai struktur-dasar, sedangkan kebudayaan adalah struktur-atas dalam suatu masyarakat!

Kebudayaan klas yang berkuasa mengambil bentuk-bentuk yang beragam, dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Dari agama, filsafat, seni, ilmu pengetahuan, juga negara dengan aparatus birokratis dan bersenjatanya.

Filsafat memberikan pembenaran rasional-reflektif terhadap nilai dasariah klas yang berkuasa, sedangkan agama menunjuk pada wahyu ilahi. Seni dan ilmu pengetahuan klas yang berkuasa mengklaim diri bebas, baik dari nilai dasariah maupun kepentingan kekuasaan. Negara dengan aparatus birokratisnya melegitimasi nilai dasariah itu dengan perangkat aturan dan kebijakan. Dan, dengan aparatus bersenjatanya negara melindungi klas yang berkuasa dan nilai dasariahnya dengan kekerasan.

Bagaimana dengan klas yang tertindas? Kita tahu, kebudayaan klas yang tertindas tidak terpisahkan dari kebudayaan klas yang menindas. Kadang-kadang klas yang tertindas terkooptasi secara kultural oleh klas yang, sehingga kaum yang tertindas menerima begitu saja rancang-bangun budaya dari klas yang menindas. Dengan cara itu terjinakkanlah kaum yang tertindas dan memandang kondisi riil-konkret ketertindasan mereka sebagai suratan takdir yang telah ditentukan dari Atas.

Tapi tak jarang pula kita temui, di dalam klas yang tertindas terdapat orang-orang yang memiliki kesadaran klas. Mereka inilah orang-orang yang gelisah, yang mempertanyakan nilai dasariah di balik kemegahan bangunan atas yang berlaku dalam masyarakatnya. Mereka inilah orang-orang yang tidak dapat menerima bahwa kondisi riil-konkret ketertindasan mereka sebagai suratan takdir yang telah ditentukan dari Atas. Mereka memandang ketertindasan mereka sebagai persoalan sosio-historis, dengan pola relasi berdasarkan kepemilikan, akses, dan penguasaan atas alat-alat produksi massal sebagai inti persoalannya! Itulah sebabnya mereka mengajukan suatu counter-culture, kebudayaan-tandingan, kebudayaan alternatif, yang diyakini membebaskan kaum yang tertindas, bahkan mengakhiri hegemoni kultural kaum yang berkuasa!

Kawan-kawan! Bagi mereka, kaum tertindas yang berkesadaran klas, agama yang benar bukanlah seperangkat dogma canggih dan ritus-kultus yang memancarkan ambivalensi pesona kedahsyatan yang ilahi yang terselubung misteri. Bagi mereka, agama yang benar adalah jeritan kaum tertindas, yang berteriak serak memanggil Tuhan untuk berpihak pada kaum yang tertindas dan di dalam dan melalui mereka mengadakan pembebasan sosio-historis. Jika tidak demikian, agama adalah sekadar candu yang digunakan klas yang berkuasa untuk mendomestikasikan kaum tertindas!

Bagi mereka, filsafat bukan sekadar upaya memahami dunia. Lebih jauh, filsafat adalah upaya untuk mengubah dunia. Mendekonstruksi dan menyusun kembali dunia yang berdasarkan pola relasi yang secara radikal tidak lagi berintikan kepemilikan, akses, dan penguasaan pribadi atas alat-alat produksi, melainkan pendemokratisasiannya, yang pada gilirannya merupakan dunia tanpa penindasan dan pengisapan. Jika tidak demikian, filsafat hanyalah sekadar topik diskusi tingkat tinggi yang tidak ada kena-mengenanya dengan masa depan yang lebih baik, kecuali pembenaran tata-nilai yang secara subtil sangat represif.

Bagi mereka, seni yang sejati adalah seni yang membebaskan. Baik pembebasan ekspresi dari hasrat pemberontakan terhadap penindasan, maupun pembebasan yang mengilhami dan mencerahkan kaum tertindas akan kehakikian harkat dan martabat mereka sebagai bagian dari segenap umat manusia! Jika tidak demikian, seni adalah ‘seni untuk seni’, entah yang tampil sebagai seni tinggi (fine arts) menara gading lengkap dengan pakem patennya, yang hanya dapat dinikmati oleh kaum terpelajar, entah seni yang sensitif pasar, yang laku jual dan pada gilirannya menjadi sarana masturbasi mental rakyat yang tertindas!

Bagi mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat pembebasan, baik dari ketertindasan maupun dari keterbelakangan dan kemelaratan. Jika tidak, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi alat rekayasa sosial di tangan kaum penguasa, yang pada gilirannya hanya memunculkan ekses-ekses yang membahayakan umat manusia.

Bagi mereka, negara adalah sarana peralihan menuju penghapusan klas yang menyeluruh. Birokratisme dan militerisme harus digantikan dengan administrasi kerja yang pembagiannya meliputi setiap anggota dalam masyarakat. Jika tidak, negara selamanya menjadi leviathan bagi kaum yang tertindas.

Kawan-kawan! Bagi kaum tertindas, kebudayaan yang dikembangkannya adalah suatu kritik terhadap kebudayaan sebagai bangunan-atas dalam masyarakat. Sebagai kritik, kebudayaan kaum tertindas bersifat kiri, atau progresif. Sebab kritiknya bukanlah krititisme yang dingin bebas nilai, namun mengandung kegelisahan sekaligus kerinduan bahkan cita-cita akan datangnya tatanan yang baru, yang lebih adil, yang tidak mengenal penindasan atau pengisapan, tetapi justru kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan karena perubahan radikal pola relasi yang ada di dalam masyarakat berdasarkan demokratisasi kepemilikan, akses, dan kontrol atau alat-alat produksi massal!Sebagai kritik, kebudayaan kaum tertindas bersifat revolusioner, atau radikal, yakni tanpa tedeng aling-aling mengonceki, memblejeti bungkus dan isi bangunan atas masyarakat, sembari menyerukan jerit-pekik kebudayaan baru sekaligus masyarakat yang baru.

Demikianlah pandangan saya mengenai kebudayaan sebagai kritik atas kebudayaan. Semoga bermanfaat. Sekian, terimakasih! *** (Rudolfus Antonius_110307)
(Disampaikan sebagai orasi kebudayaan dalam peringatan ulang tahun ke-9 Teater Samar, Kudus, Minggu 11 Maret 2007)












Rabu, 11 Maret 2009

Mengapa Pendeta Harus Lebih Mencintai Orang Miskin?


“Biasanya,” kata temanku, “para pendeta lebih dekat dengan anggota jemaatnya yang kaya daripada dengan yang miskin.” Aku mengerutkan dahi.

“Coba pikir,” lanjut temanku, “siapa yang lebih sering di-bezoek pendeta: orang kaya atau orang miskin? Siapa yang lebih mudah menerima senyum ramah, tatapan mata simpatik, dan jabat-tangan hangat darinya: orang kaya atau orang miskin? Lantas siapa yang lebih berpeluang luput dari siasat (disiplin) gereja kalau bertindak asusila: orang kaya atau orang miskin?”

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mengaku: ya, orang kaya. Meski dengan agak tersinggung, tentunya.

“Kau pasti sudah dapat menduganya! Kau ‘kan pendeta, Kawan!” katanya sambil menudingku.

Aku tersenyum, agak dipaksakan. Tapi coba kutahan diriku untuk tidak buru-buru berkomentar. Bukankah Yakobus berpesan agar “para guru” (baca: para pendeta) cepat mendengar namun lambat bicara? Artinya, tanggap menyimak sehingga mengerti betul suatu duduk perkara, pula jangan sembrono alias asal bicara.

“Tentu ini bukan tanpa sebab,” lagi temanku, “dan sepertinya itu sangat manusiawi.”

Maksudnya?

“Bukankah pada umumnya anggota jemaat yang kaya-lah yang paling berkontribusi bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan operasional gereja? Pendeta, sebagai orang yang konon mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, ‘harus’ hidup dari sokongan jemaat. ‘Janganlah memberangus lembu yang mengirik,’ kata Rasul Paulus; ‘setiap pekerja layak memperoleh upahnya,’ begitu lanjutnya. Tapi apa yang dapat diberikan anggota jemaat yang miskin selain uang persembahan yang sedikit dan berbagai keluhan yang tak jarang ujung-ujungnya bermuara pada minta bantuan kepada pendeta atau gereja? Tapi lihat orang kaya. Kendati kadang masalahnya pelik, misalnya minta gereja untuk segera menikahkan anak putrinya yang sudah hamil guna mengurangi aib keluarga, toh besar pula sumbangsih material-finansialnya bagi gereja dan pendeta. Bukan hanya persembahan mingguan, perpuluhan … tapi juga berbagai bonus Natal dan Tahun Baru serta persembahan –persembahan syukur …”

“Nah, kalau pendeta lebih peduli kepada orang kaya, sangat wajar bukan? Manusiawi! Ada mekanisme utang budi di sana …”

“Tapi benarkah demikian, maksudnya, benarkah sikap pendeta yang seperti itu manusiawi? Benarkan ada mekanisme utang budi di sana?”

“Sepintas manusiawi,” ujar temanku. “Tapi, sekali lagi, se-pin-tas. Dengan kata lain: sesungguhnya sangat tidak manusiawi. Kok bisa? Sebentar, insya Allah akan kujelaskan. Soal mekanisme utang budi, memang ya. Tapi pihak-pihak mana saja yang sebenarnya terlibat dalam mekanisme tersebut?”

“Baik, akan saya dengarkan,” kataku dengan agak getir. Betapa tidak, ia mau me-ngonceki sikap pendeta! Padahal, aku juga pendeta …

“Soal manusiawi tidak manusiawi dan soal utang budi. Betulkah orang kaya lebih besar berkontribusi kepada gereja dan pendeta daripada orang miskin? Secara ‘kasat mata’ ya.”

Kok pakai istilah ‘kasat mata’?

“Ini ungkapan ironis, Bung. Bukankah dari tangan orang kayalah gereja menerima persembahan, baik perpuluhan, syukuran, maupun minggun? Bukankah dari tangan orang kaya pendeta menerima uang dan berbagai bingkisan berlabel rohani? Tapi dari tangan tidak sama dengan sumber atau asal-muasal dari pemberian itu. Ya, dari tangan berarti dengan perantaraan. Dengan kata lain, orang kaya hanyalah pengantara, bukan pemberi sesungguhnya.”

Lalu, siapa pemberi sesungguhnya? Tuhan atau Allah Bapa kita dalam Yesus Kristus.

“Jawaban yang benar. Tapi benar tidak sama dengan benar. Padahal jawaban yang benar tapi tidak sama dengan benar adalah jawaban klise, bahkan ideologis dan munafik. Kok bisa? Ya, Tuhan dibawa-bawa untuk membenarkan eksploitasi alias penghisapan. Coba pikirkan dari mana orang kaya mendapatkan kekayaannya. Dari bekerja keras? Mungkin. Tapi apa bisa ia menghasilkan kekayaan dengan cucuran keringatnya sendiri? Bahkan andaikata ia memiliki mesin-mesin manufaktur yang tercanggih, ia tetap membutuhkan manusia-manusia yang lain untuk mengoperasikannya. Andaikata ia memiliki sekian banyak unit bus super-mewah, ia masih membutuhkan sopir dan kondektur untuk menjalankannya. Tanpa itu bisakah orang kaya mendapatkan uang dengan mesin-mesin canggih dan bus-bus mewahnya? Tentu saja tidak! Kalau begitu, bukankah keuntungan yang didapat orang kaya dari mesin-mesin canggih atau bus-bus mewahnya berasal dari kerja manusia-manusia lain, yakni buruh atau sopir-kondektur yang dipekerjakannya?”

“Tapi … bukankah ia telah mengeluarkan modal untuk mengadakan mesin-mesin dan bus-bus itu? Bukankah ia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk beaya perawatan dan perbaikan bahkan penggantian terhadap mesin-mesin dan bus-bus itu? Bukankah ia harus mengeluarkan beaya untuk membeli bahan bakar, bukankah ia harus membayar pajak kepada pemerintah, bukankah ia harus membayar uang keamanan baik kepada para preman berseragam maupun kepada preman-preman lainnya? Lagipula … bukankah ia juga harus membayar gaji kepada para buruh atau sopir-kondekturnya?” kini giliranku nyerocos memberondong temanku yang makin memojokkan orang kaya di hadapanku. Aku tidak terima, karena sebenarnya aku juga merasa terpojok. Sebab …

“Itu semua benar, Bung!” kilah temanku, “tapi perhatikan: dari mana dana untuk menutup semua beaya itu?”

“Dari kerja para buruh atau sopir-kondektur! Dengan kata lain, hasil kerja para buruh atau sopir-kondektur dipergunakan oleh orang kaya, majikan mereka itu, untuk menutup semua beaya itu dan juga … memberikan keuntungan bagi orang kaya tersebut.”

“Pikiran gila!” seruku, tertahan, “tapi … itu benar.” Aku terhenyak tak berdaya. Temanku menatapku dalam-dalam. Ia tersenyum, tapi bukan senyum kemenangan. Senyum getir kesedihan.

“Kau mengerti sekarang? Para buruh atau sopir-kondektur bekerja bagi orang kaya. Mereka sendiri mendapatkan sebagian kecil dari hasil kerja mereka. Kita menyebutnya upah atau gaji atau honorarium. Hasil selebihnya diambil untuk membeayai berbagai kebutuhan dan mengisi pundit-pundi si majikan, orang kaya itu, sebagai keuntungan. Bagian hasil yang tidak dibayarkan si majikan kepada para buruh atau sopir-kondektur itu adalah surplus-value atau nilai-lebih, Kawanku.”

“Padahal … dari keuntungan yang masuk ke dalam pundi-pundi orang kaya itulah aku mendapatkan ‘persembahan kasih’ berupaya uang berbagai bingkisan …” kataku dengan lemah.

“Dengan kata lain, kau menerima manisnya uang dan nikmatnya bingkisan dari hasil kerja para buruh atau sopir-kondektur.”

“Ya, aku mendapatkan ini-itu dari orang kaya dari hasil penghisapan. Logikanya, aku berpartisipasi dalam penghisapan orang kaya terhadap para buruh atau sopir-kondektur, meski mungkin tidak secara langsung,” kataku kian lemah.

“Kalau begitu, kepada siapakah sebenarnya kau dan para pendeta lainnya berutang budi? Kepada orang kaya yang memberimu uang dan berbagai bingkisan?”

“Bukan, bukan kepada orang kaya. Sesungguhnya dari tangan mereka aku menerima uang dan bingkisan, tapi sebenarnya aku memperoleh semuanya itu dari kaum buruh atau sopir-kondektur. Ya, aku berutang kepada kaum buruh atau sopir-kondektur.”

“Jika kau berutang budi kepada kaum buruh dan sopir-kondektur, bahkan andaikata mereka bukan orang Kristen sekalipun, manusiawikah kau dan para pendeta lainnya bila kau lebih peduli kepada orang kaya, yang hidup dari penghisapan, daripada kepada mereka?”

“Tentu kian besarlah dosaku jika aku yang menikmati hasil penghisapan terhadap kaum buruh atau sopir-kondektur malah lebih mempedulikan penghisap-penghisap mereka daripada mereka yang terhisap.”

“Padahal utang budi dibawa mati. Sudah seharusnya kau dan para pendeta lainnya lebih mencintai kaum buruh atau sopir-kondektur. Kau harus berpihak kepada mereka. Sedapat mungkin, belalah mereka, perjuangkanlah hak-hak mereka. Seperti halnya dirimu dan orang kaya, mereka berhak atas kehidupan yang manusiawi. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa nilai kemanusiaan sangat tinggi karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah?”

Dia benar. Aku setuju. Tapi bagaimana dengan orang miskin yang menjadi anggota jemaatku tapi tidak menjadi buruh atau sopir-kondektur orang kaya yang jadi anggota jemaatku?

“Kalau orang miskin itu buruh atau sopir-kondektur dari orang kaya lain yang bukan anggota jemaatmu, toh ia tetap terhisap. Ia dihisap oleh boss mereka. Ia hanya dapat sisa, sebagian kecil dari hasil kerjanya. Ia belanjakan itu untuk mempertahankan hidupnya. Tapi kau tahu bukan, orang miskin itu memberikan persembahan? Memang sedikit, tidak sebanding dengan pemberian orang kaya. Tapi toh ia memberi … memberi dari kekurangannya. Betapa tidak: ia mendapatkan kurang, bahkan sangat kurang, dari keseluruhan yang dihasilkannya. Tapi ia masih atau tetap memberi. Betapa terkutuknya dirimu jika meremehkan atau mengabaikan hal itu. Padahal kau pun hidup dari pemberiannya!”

“Kau benar. Kami para pendeta benar-benar hidup dari penghisapan. Dalam kasus pertama, sehubungan dengan orang kaya, kami mendapat bagian yang lumayan besar dari hasil penghisapan para boss dari para buruh atau sopir-direkturnya (meski mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan yang masuk ke dalam pundi-pundi para boss). Dalam kasus yang kedua, sehubungan dengan orang miskin, kami mendapatkan bagian dari sebagian kecil hasi kerjanya. Dalam kasus pertama aku menerima bagian dari hasil penghisapan, sedangkan dalam kasus kedua aku menghisap dari bagian yang disisihkan para boss sebagai upah atau gaji orang miskin. Bila kami, para pendeta, tidak solider dengan orang miskin, betapa celakanya kami di hadapan Allah.”

“Lalu bagaimana dengan orang miskin yang tidak dihisap oleh majikan manapun, tapi warungan atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga misalnya? Sehubungan dengan orang miskin yang buka warung, bukankah sangat jelas kau menerima bagian dari pendapatannya berjualan? Berkenaan dengan para pembantu rumah tangga, siapa bilang ia tidak dihisap? Kelihatannya memang tidak, toh pekerjaannya bukan pekerjaan produktif, wealth-creating works?”

“Tapi coba pikir, si tuan atau si nyonya majikan bisa melakukan ini-itu karena ada pembantu rumah tangga. Si nyonya dan si tuan bisa mencari uang. Bukankah itu karena waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas domestik sudah ditangani oleh pembantu rumah tangga? Jika tidak, bagaimana jadinya? Bila pemasukan atau pendapatan mereka bertambah, bukankah itu karena ada orang-orang yang “menyelamatkan” waktu-waktu mereka dari tugas-tugas mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, mengasuh anak … yang sebenarnya merupakan tugas-tugas dari si tuan dan si nyonya, suami-istri itu?”

“Bahkan, andaikata kita tidak bicara tentang pemasukan dalam pengertian mendapatkan uang lebih banyak pun, tuan dan nyonya (juga anak-anak mereka) berutang waktu luang kepada pembantu rumah tangga. Nyonya-nyonya dan tuan-tuan dapat bersantai, arisan, aerobik, mengembangkan diri, “melayani Tuhan” di gereja karena waktu luang mereka diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga.”

“Tapi bukankah untuk itu tuan dan nyonya membayar atau mengupah para pembantu rumah tangga mereka? Itu benar. Tapi adil-manusiawikah upah atau bayaran atau gaji itu? Seberapa besar dari jumlah yang didapatkan si tuan dan si nyonya? Dalam besaran uang, semakin besar upah, semakin kecil penghisapan; demikian juga sebaliknya, semakin kecil upah, semakin besar penghisapan. Keduanya berbanding lurus dengan jumlah waktu yang diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga. Waktu yang produktif bagi tuan-tuan dan nyonya adalah waktu yang diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga melalui pekerjaa domestik mereka.”

“Di samping itu, toh adil-manusiawi bukan hanya soal upah materiil. Apakah tuan-tuan dan nyonya-nyonya itu memperlakukan para pembantu rumah tangga secara manusiawi? Apakah para majikan itu memberi peluang, bantuan dana, dan dorongan bagi para pembantu rumah tangga, sehingga para pembantu rumah tangga itu dapat mengisi waktu luang mereka sendiri untuk mengembangkan diri, beraktualisasi, dan menikmati kehidupan yang manusiawi? Terpikirkah kau, Pak Pendeta, untuk mendorong orang-orang kaya yang menjadi anggota-anggota jemaatmu agar mereka menyekolahkan para pembantu rumah tangga mereka? Tidak semestinya kau berpikir ‘pembantu rumah tangga’ sebagai pekerjaan seumur hidup. Kau tidak percaya nasib atau takdir bukan? Mereka yang kini menjadi pembantu rumah tangga berhak atas masa depan yang lebih berkembang daripada yang sekarang. Bukan supaya mereka kelak menghisap orang lain, tapi berdasarkan keberpihakanmu kepada mereka dan kesadaran tuan-tuan dan nyonya-nyonya mereka, mereka bisa juga memperlakukan siapa saja secara manusiawi.”

Aku terpekur. Teringat olehku para pembantu rumah tangga yang menjadi anggota-anggota jemaatku. Setiap peser uang yang mereka persembahkan membayangkan penghisapan atas mereka. Bila aku tidak berpihak kepada mereka, tidak pantaskah aku terkutuk sebagai orang yang tak tahu berterimakasih? Misteri ilahi, gumamku, Tuhan memelihara hamba-hamba-Nya melalui mekanisme penghisapan. Tentu bukan tanpa tujuan: yakni supaya aku solider, bersetiakawan dengan mereka. Turut hadir dalam penderitaan dan sukacita mereka. Membela mereka, berjuang bersama dengan mereka – demi suatu masa depan yang lebih baik, lebih manusiawi. Sebuah masa depan dengan struktur masyarakat yang demokratis, baik secara politis maupun ekonomis. Suatu masa depan tanpa exploitation de l'homme par l’homme, tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia.

Tiba-tiba kata-kata Yesus bergema di dalam hatiku, bergema dengan suatu pengertian yang baru:

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya (Mrk 12.43-44).”

Mengapa para pendeta, termasuk aku, harus lebih mencintai orang miskin? Karena mereka berutang budi kepada orang miskin. Utang budi dibawa mati. Itulah yang manusiawi. *** (Rudolfus Antonius_Yk060609)

Senin, 16 Februari 2009

KONTRADIKSI DALAM GEREJA PERDANA

KONTRADIKSI DALAM GEREJA PERDANA
Pandu Jakasurya

Praksis terawal dari paguyuban-paguyuban yang dikenal sebagai Gereja Perdana memiliki asas-asas yang boleh kita namakan kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan. Di sana berlaku kesetaraan gender. Di sana orang-orang yang berasal dari ras-ras yang berbeda bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Di sana klas-klas dalam masyarakat berakhir, tiada tuan tiada pula hamba. Semuanya saudara, putra-putri dari Allah, yang berkenan menjadi Bapa mereka dalam Yesus Kristus. Semuanya telah ditebus oleh Yesus Kristus dan mengalami kehadiran dari Roh-Nya yang memerdekakan. Mereka adalah umat manusia yang baru (Ef 2.15). Dalam kata-kata Rasul Paulus,

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (Gal 3.26-28).

Juga,

Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh (1Kor 12.12-13).

Jika asas-asasnya demikian, rasanya tidak terlalu sukar untuk menerima kisah yang diriwayatkan Lukas tentang cara hidup paguyuban-paguyuban tersebut (meski barangkali itu lebih merupakan proyeksi asas-asas ideal tersebut ke dalam hari-hari terawal sejak kelahiran Gereja):

Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis 2.41-47).

Juga:
Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya (Kis 4.32-39).

Dari setiap orang menurut kemampuannya, bagi setiap orang menurut kebutuhannya! Dalam kata-kata Mas Marco Kartodikromo, “sama rata sama rasa.” Sukar rasanya untuk menyangkali bahwa paguyuban-paguyuban terawal dari Gereja Perdana untuk menghidupi sejenis komunisme, yakni community of goods. Tentu komunisme seperti ini sama sekali berbeda dengan komunisme yang dicita-citakan oleh para penganut sosialisme-ilmiah. Community of goods adalah pencapaian sosialistik terbaik yang barangkali dapat dicapai dalam masyarakat yang tersusun atas hubungan-hubungan produksi yang bertumpu pada perbudakan. Komunisme seperti ini memiliki daya tarik yang kuat. Tak heran bila banyak orang yang menggabungkan diri dengan paguyuban-paguyuban tersebut.

Pada saat yang sama, komunisme seperti ini adalah kelemahan yang terbesar dari Gereja Perdana. Community of goods adalah community of consumption, komunitas konsumsi. Sama sekali bukan community of production, komunitas produksi. Perhatikan, orang-orang yang “mampu” menjual kepunyaan mereka. Dalam koordinasi para rasul, hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan paguyuban. Memang tidak ada seorang pun yang berkekurangan. Tapi sampai kapan? Konsumsi hanya menghabiskan. Tak heran bila praktik yang menjadi gambaran tentang penubuhan idea-idea kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan itu tidak dapat bertahan.

Mengapa komunisme Gereja Perdana tidak dapat melampaui dari sekadar community of goods? Mengapa paguyuban-paguyuban itu tidak mempraktikkan community of production? Dalam komunitas produksi, alat-alat produksi adalah milik bersama. Bayangkanlah bila seorang yang ber-“punya” tidak menjual tanahnya untuk kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan paguyuban, tapi justru diserahkan kepada paguyuban untuk menjadi milik bersama – yang dikelola, dikontrol, dan diakses secara demokratis … Tapi, sekali lagi, mengapa tidak demikian?

Para pengikut Yesus yang mula-mula adalah para penganut millenarianisme. Meyakini Yesus sebagai Mesias (“Tuhan dan Kristus”, Kis 2.37), mereka menantikan kedatangan-Nya kembali untuk sepenuhnya mengakhiri tatanan yang lama dan menghadirkan tatanan yang baru di muka bumi – pertama-tama untuk Israel (Kis 1.6-8). Berkenaan dengan itu, menarik pula untuk diperhatikan bahwa paguyuban-paguyuban terawal dari Gereja Perdana terdiri dari orang-orang Yahudi, baik yang berdomisili di Palestina, maupun yang tinggal di Diaspora. Milenarianisme menaruh pengharapan pada realisasi masa depan yang relatif dekat: sebentar lagi, tak lama lagi Sang Mesias datang. Karena itu sangat gencar rasul-rasul mewartakan Yesus kepada orang-orang sebangsa mereka di Yerusalem dan menganjurkan mereka untuk percaya kepada-Nya dan menggabungkan diri dengan Gereja-Nya (lihat Kis 3.19-21).

Apa hubungan keyakinan millenarianistik itu dengan pilihan jenis komunisme Gereja Perdana? Barangkali kurang tepat bicara tentang “pilihan”, karena bagi para millenarian kesudahan zaman yang lama dan datangnya zaman yang baru sudah sangat dekat bahkan mendesak. Kedekatan dan kemendesakan itu membuat mereka tidak memandang berarti harta-benda, termasuk alat-alat produksi, yang selama ini dimiliki. Pengharapan millenarian tidak akan pernah mentransformasi fungsi sosio-ekonomik alat-alat produksi dari milik pribadi menjadi milik bersama. Pengharapan millenarian hanya bisa membuat alat-alat produksi dari milik pribadi menjadi obyek konsumsi bersama. Dalam millenarianisme semua milik pribadi mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi sarana penunjang kedudukan orang-orang yang semula memilikinya di dalam kerajaan mesianik yang akan segera datang. Barangkali tindakan “bunuh diri klas” sebagaimana dilakukan oleh Barnabas (Kis 4.35-37) tidak dapat dilepaskan dari mindset millenarian ini.

Bagaimana bila pengharapan millenarian itu “gagal”, tidak kunjung menjadi kenyataan? Seperti kita ketahui, inilah masalah serius yang harus digumuli oleh Gereja Perdana. Meski keanggotaan paguyuban-paguyuban Gereja Perdana sudah mengikutsertakan orang-orang bukan Yahudi, pengharapan millenarian masih tergolong mantap. Dalam surat-surat seperti 1Tesalonika dan 1Korintus, misalnya, Rasul Paulus mengekspresikan keyakinannya akan kedekatan dan kemendesakan parousia. Tapi setelah angkatan-angkatan pertama Kekristenan Perdana, termasuk para rasul, berlalu, dan pengharapan millenarian tak kunjung menjadi kenyataan, Gereja Perdana harus bergumul lebih lanjut paling sedikit dalam tiga perkara.

Perkara pertama adalah bagaimana menjelaskan cognitive dissonance, ketidakselarasan kognitif, yakni kesenjangan antara pengharapan dengan kenyataan. Dengan kata lain, menjelaskan mengapa “kok Tuhan nggak datang-datang, katanya …” Gereja harus dapat memberikan penjelasan yang memadai agar kepercayaan dan loyalitas umat tidak goyah apalagi beralih. Surat 2Petrus memperlihatkan salah satu contoh upaya tersebut:

Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2Pet 3.8-10).

Perkara kedua adalah bagaimana mengisi “masa interim yang diperpanjang”. Di satu sisi, Gereja ingin agar para penganut Kristus tetap menaruh pengharapan mereka pada parousia. Di sisi lain, Gereja merasa bertanggungjawab untuk membekali atau memperlengkapi diri dan umat untuk menjalani “masa interim yang diperpanjang.” Dengan kata lain: “Apa yang harus dilakukan untuk menjalani masa penantian yang mungkin masih sangat panjang ini?” Para pemimpin terbaik Gereja pun berusaha merelevankan ajaran Yesus dari Nazaret dan rasul-rasul (generasi pertama) untuk diterapkan dalam situasi mereka. Para pemimpin itu juga membuat regulasi-regulasi, termasuk organisasi, yang memungkinkan Gereja bertahan dalam waktu lama di dalam dunia. Gejala ini terutama kita lihat dalam Surat-surat Deutero-Paulinis.

Perkara ketiga adalah bagaimana mengatasi kegagalan community of goods atau community of consumption yang hanya cocok bagi situasi “gawat darurat” menjelang parousia yang mendesak – dan sama sekali tidak dapat bertahan ketika masa interim itu diperpanjang dalam batas waktu yang tidak dapat ditentukan? Alih-alih mentransformasi community of goods menjadi community of the means of production, Gereja malah meninggalkan watak atau karakter komunisnya. Bagaimana ini bisa terjadi?

Barangkali kita dapat menjelaskannya sebagai berikut: surutnya antusiasme millenarian diikuti dengan berkembangnya upaya untuk membuat Kabar Baik dari Yesus dari Nazaret dan rasul-rasul-Nya relevan bagi semakin banyak orang – terutama orang-orang non-Yahudi. Karakter eskatologis memang masih dipertahankan, ajaran tentang parousia justru beroleh posisi penting dalam dogma Gereja Perdana. Tapi jelas Kabar Baik itu perlu mengalami reaktualisasi secara menyeluruh agar Kekristenan Perdana tidak tetap tinggal sebagai sebuah sekte Agama Yahudi (“Nasrani”) yang lambat-laun akan mati ditelan sejarah. Upaya hebat itu menuai hasil yang signifikan, banyak orang non-Yahudi menerima Injil. Termasuk orang-orang kaya, yakni para tuan pemilik budak, baik pejabat-pejabat Romawi maupun tuan-tuan tanah. Sementara parousia mengalami pengunduran dan Kabar Baik mengalami reaktualisasi, tidak ada kemendesakan bagi orang-orang kaya ini untuk menjual harta benda mereka, termasuk alat-alat produksi, untuk menjadi konsumsi bersama.

Tiadanya kemendesakan membuat alat-alat produksi tetap ada di tangan mereka. Tapi tentu bukan tanpa kompensasi: mereka harus menyediakan diri menjadi penopang sosio-ekonomik paguyuban-paguyuban tersebut. Konkretnya, sebagai contoh, mereka menyediakan rumah mereka (yang umumnya besar-besar) untuk menjadi tempat pertemuan ibadah. Sementara itu rumah tersebut tetap milik mereka sendiri, para tuan itu. Contoh lain, mereka harus menyerahkan sumbangan-sumbangan (persembahan kasih) kepada paguyuban untuk kemudian dikelola untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota yang berkekurangan. Sumbangan-sumbangan itu sendiri asal-muasalnya adalah jerih-payah budak-budak tuan-tuan itu, yakni budak-budak yang mengoperasikan alat-alat produksi para majikan Kristen mereka. Dengan demikian, community of goods atau lenyap, digantikan dengan derma atau amal. Diakonia, yang mula-mula merupakan sarana untuk mengaplikasikan community of goods kepada para janda, sekarang merupakan salah satu seksi di dalam paguyuban untuk menyumbang anggota-anggota yang miskin. Dengan kata lain, sarana anggota-anggota yang kaya membagikan sekian dari keuntungan yang diraihnya dari penghisapan terhadap budak-budak mereka kepada anggota-anggota yang menjadi beban paguyuban mereka. Untuk itu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang melakukan perbuatan kasih.

Ketiga perkara yang kita kenal sebagai gejala-gejala yang mendahului lahirnya Katolisisme alias early Catholicism ini berdampak luas terhadap struktur Gereja Perdana. Pertama, Gereja tidak lagi merupakan “masyarakat tanpa klas”. Mulai sekarang, Gereja adalah masyarakat klas: ada para tuan, ada pula para budak. Kedua, patriarki (yang sejak semula ada melalui kepemimpinan rasul-rasul yang notabene laki-laki semua) menguat. Mula-mula, kendati bercorak patriarkis, paguyuban-paguyuban terawal Gereja Perdana mengizinkan kepemimpinan perempuan sampai tataran tertentu. Ada perempuan-perempuan yang menjadi pengajar atau pemberita Injil. Namun terintrodusirnya masyarakat klas memperkuat pula patriarki – bahkan androsentrisme dan misogini – di dalam Gereja. Simaklah misalnya penuturan 1Tim 2.11-14:

Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.

Syukurnya, berkenaan dengan ras, Gereja Perdana belum sampai tergelincir ke dalam rasisme. Meski demikian, pertentangan yang melelahkan dengan orang Yahudi sehubungan dengan Yesus Kristus dan Kabar Baik-Nya lambat-laun mengendapkan rasa permusuhan terhadap orang Yahudi. Pengendapan ini pada gilirannya akan menjadi sikap anti-semitis di abad-abad selanjutnya.

Ketiga, terbentuk pemisahan antara asas-asas asli (kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan) dengan ajaran dan praktik Katolisisme Dini dalam Gereja Perdana. Bila semua asas-asas itu dimaknai secara konkret dalam tindakan “bunuh diri klas” dan kesetaraan gender, sekarang itu semua dipahami secara rohani. Dengan kata lain: kedudukan-kedudukan yang berdasarkan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat yang bertumpu pada perbudakan tidak terhapuskan di dalam Gereja. Tapi mengalami penghalusan: tuan-tuan Kristen tidak perlu membebaskan budak-budaknya, tapi cukup memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai saudara. Demikian juga, kaum perempuan diakui kemanusiawian penuhnya, tapi tidak dapat menjadi pemimpin Gereja. Alih-alih terus membangun struktur baru yang sepenuhnya egaliter dan dengan demikian menantang struktur-struktur masyarakat di luarnya, Gereja mengakomodir struktur-struktur klas tersebut.

Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam Gereja Perdana, yang membentuk Gereja menjadi masyarakat klas, patriarkis, dan kadang memiliki sentimen rasial, menemukan bentuk-bentuknya yang baru hingga sekarang. Feodalisme dan kapitalisme, yang merupakan sistem-sistem sosio-ekonomik yang mengisyarakatkan masyarakat klas menguatkan tendensi dari pergeseran-pergeseran tersebut. Alih-alih menantang masyarakatnya klas, Gereja justru menjadi cermin dari masyarakat klas. Secara sosio-ekonomik tentulah ini menguntungkan Gereja. Para klerus menikmati kekayaan finansial – yang sesungguhnya merupakan hasil dari penghisapan kerja yang tidak dibayarkan dari para tuan tanah Kristen (terhadap hamba-sahaya mereka) atau dari para kapitalis Kristen (terhadap buruh mereka). Sementara itu para tuan beroleh penghiburan sorgawi dan pembenaran teologis sehubungan dengan praktik-praktik penghisapan mereka. Pada saat yang sama mereka juga mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi bahkan menentukan kebijakan-kebijakan Gereja. Hasilnya jelas, muskil bagi Gereja untuk menjadi “umat manusia yang baru” yang bercirikan kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan yang sejati. Gereja pun gagal untuk menjadi komunitas yang memerdekakan. Cita-cita Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu pun sepertinya kandas.

PJS_160209Yk

Rabu, 04 Februari 2009

Orang Kristen dan Pemilu 2009

Orang Kristen dan Pemilu 2009
Pandu Jakasurya

Indonesia adalah negeri semi-kolonial. Ungkapan ini bersisi dua. Pertama, negeri kita belum sempat menyelesaikan revolusi nasional burjuis-demokratisnya. Revolusi Agustus 1945, yang diharapkan berfungsi sebagai revolusi nasional burjuis-demokratis, telanjur terkooptasi oleh kepentingan imperialis, yang bermuara pada berkuasanya rezim fasis militer bernama Orde Baru. Padahal, revolusi nasional burjuis-demokratis merupakan tahap yang mutlak diperlukan untuk mengakhiri feodalisme dan menegakkan kapitalisme. Akibatnya, di satu sisi bangsa kita belum mempunyai klas burjuis yang progresif dalam jumlah yang berarti. Alih-alih, kita banyak mempunyai kaum burjuis kroni, baik bumiputera maupun non-bumiputera, yang sangat bergantung pada penguasa politik. Kebergantungan patron-klien, tentu.

Kedua, sementara revolusi nasional burjuis-demokratis gagal, negeri kita harus hidup dalam perekonomian kapitalis. Melalui revolusi-revolusi nasionalis burjuis-demokratis (misalnya Perang Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Prancis), bangsa-bangsa Barat kukuh-mantap menjalankan perekonomian kapitalis. Sejarah menunjukkan, hanya klas burjuis yang progresif yang mampu menjalankan perekonomian kapitalis sekaligus menghidupi demokrasi (liberal). Bagi mereka feodalisme tidak lagi menjadi bagian struktur mental yang menentukan kinerja ekonomiko-politik. Tak heran bila rakyat-rakyat di negeri-negeri mereka dapat mengambil posisi sebagai pemilih yang bukan hanya well-informed, tetapi juga etis.

Tapi bagaimana dengan negeri-negeri yang terpaksa hidup dalam perekonomian kapitalis dan menjalankan demokrasi liberal padahal feodalisme belum berakhir dan klas burjuisnya tidak progresif? Kita bisa menyaksikan sendiri di negeri kita. Alih-alih cakap bersaing dalam perekonomian kapitalistik, klas burjuis kita cenderung menjadi komprador: kaki-tangan kapital asing. Bukan hanya eksekutifnya, yang senang mengemis calon-calon investor asing untuk menanamkan kapitalnya di negeri ini. Demikian juga legislatifnya yang senang mengegolkan undang-undang yang secara ekonomi-politik menelikung rakyat sendiri, sementara negeri ini menjadi ajang penjarah-rayahan pihak kapital.

Lalu bagaimana dengan pemilu?

Dalam alam demokrasi liberal yang dihidupi oleh suatu bangsa semi-kolonial, secara logis pemilu akan membuat korupsi beranak-pinak. Betapa tidak! Secara formal, memang setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih, entah caleg entah capres-cawapres, entah melalui partai entah sebagai calon independent. Tapi yang formal tidak berbanding lurus dengan yang riil. Secara riil, hanya orang-orang yang punya banyak “sangu” yang dapat mengajukan diri sebagai caleg atau capres/cawapres. Ini, paling sedikit, menyiratkan dua hal. Pertama, sang calon adalah orang yang ber-uang, kaya-raya. Atau, yang kedua, ia mendapat sokongan kanan-kiri dari pihak-pihak yang berkepentingan. Bila konon politik merupakan seni mengelola berbagai kepentingan yang saling bersaing, analisis klas mengingatkan kita bahwa pada akhirnya setiap orang yang terpilih akan berusaha untuk memperjuangkan kepentingan klasnya. Seorang caleg atau capres-cawapres bukan sekadar individu, tetapi juga representasi dari kepentingan klasnya. Kemana perjuangannya bermuara sudah dapat diduga: burjuis birokratik (baik eksekutif maupun legislatif) akan mati-matian memperjuangkan kepentingan burjuis enterprener (yang banyak masih berwatak kroni). Kalau begitu, korupsinya bukan hanya individual (sudah ada KPK yang siap menanganinya), tetapi juga struktural.

Bagaimana sikap kita?

Uraian di atas tidak bertujuan untuk mengajak kita membenci pemilu. Itu adalah kondisi obyektif yang dialami oleh bangsa-bangsa semi-feodal. Uraian di atas juga tidak ingin mengajak kita menafikan pemerintah. Benar kata Roma 13, pemerintah adalah “pelayan Allah”. Kita tidak boleh menyangkalinya sama sekali. Sebagaimana dikemukakan Thomas Hobbes, adanya pemerintah membatasi kemungkinan khaos, bellum omnium contra omnes, dalam masyarakat. Bahkan, secara positif, sebagaimana dikemukakan oleh para teoretikus politik Calvinis, adanya pemerintah memungkinkan tercapainya bonum commune generale, kebaikan yang bersifat umum bagi kehidupan bersama.

Meski demikian, sukar disangkal bahwa Negara (lengkap dengan apparatus-aparatus eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, ketentaraan, dan sebagainya) adalah representasi dari klas tertentu dan berfungsi terutama untuk membela kepentingan klas tersebut. Tanpa menyangkali proyek-proyek kesejahteraan yang diadakan Negara untuk rakyat jelata, kita perlu realistis bahwa apparatus-apparatus Negara akan menjalankan proyek-proyek itu sejauh tidak merugikan kepentingan klas yang direpresentasikannya.

Bila sampai dirugikan, klas yang direpresentasikan akan berupaya sedemikian rupa untuk menggantikan orang-orang yang merepresentasikan mereka. Kudeta yang gagal pada tahun 2002 di Venezuela adalah salah satu contoh yang paling menyolok. Syukurlah, komitmen Presiden Hugo Chavez kepada rakyat jelata (buruh, tani, kaum miskin kota) tidak bertepuk-sebelah tangan. Meski sempat tergulingkan, hanya dalam waktu tiga hari Chavez kembali ke kursi kepresidenan. Kudeta kaum oligarkhi yang notabene burjuis enterprener dan burjuis kroni pun gagal total.

Menurut pendapat saya, sikap kita sebagai Kristen adalah loyalitas yang kritis secara etis. Loyal, karena kita bertanggungjawab terhadap bangsa dan negeri kita. Kritis dan etis, justru karena kita mengembang tanggung jawab itu. Dalam konteks ini usulan agar kita menjadi informed citizenry patutlah disambut baik. Mari kita memilih dengan pengertian: kita sedikit banyak tahu siapa dan partai apa yang kita pilih. Mari kita mengajak teman-teman kita untuk menjadi informed citizenry.

Dalam pada itu patutlah kita berawas-awas pada partai dan caleg atau capres-cawapres yang berkecenderungan fasis (yang senang bicara kejayaan bangsa, keberpihakan kepada kaum tani dan pedagang kecil, dan kemakmuran … tapi tak sedikit pun bicara tentang demokrasi, dan senang merujuk pada masa lalu sebelum Reformasi). Pemilih yang kritis dan etis tidaklah menghendaki fasisme datang lagi meski melalui cara konstitusional dalam koridor demokrasi liberal. Berawas-awas pulalah pada partai atau calon yang pandai memanfaatkan momentum untuk membohongi rakyat seakan-akan “setetes embun” jatuh karena kinerja rezimnya: turunnya harga BBM (yang sebenarnya merupakan keharusan ekonomik yang logis karena turunnya harga minyak bumi di pasaran internasional). Berawas-awas pula dengan partai oportunis dan berpura-pura populis, apalagi dengan tokoh-tokoh “besar” yang senang ber-pagi dele sore tempe.

Pilihannya makin sulit? Bagaimana bila tidak ada pilihan? Pilihan tetap ada, meski barangkali kita harus menghela nafas sembari menggumam: the best among the worst…

Saya pribadi mendambakan penuntasan revolusi nasionalis burjuis-demokratis. Untuk itu perlu adanya vanguard party yang benar-benar berwatak sosio-demokratik (bukan sosdem!). Sebuah vanguard party akan memahami dengan tepat kondisi-kondisi obyektif, dan menerjemahkan pemahaman itu untuk menggugah kesadaran rakyat dan membangunnya menjadi faktor subyektif yang tanggap. Vanguard party itu jugalah yang akan mengorgansir dan memobilisir rakyat untuk menuntaskan revolusi nasionalis burjuis-demokratisnya. Dalam kehendak Allah, saya akan mendukungnya!

PJS_Feb09

Jumat, 30 Januari 2009

Demokrasi Burjuis

DEMOKRASI BURJUIS
Pandu Jakasurya

“Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi” (Tan Malaka, Aksi Massa, 1926)

Di dalam Negara demokratis, setiap warga Negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai kepala pemerintahan. Itulah perkataan yang tidak asing lagi bagi kita sementara negeri ini riuh-rendah dengan pesta demokrasi berbeaya mahal, pilkada dan pemilu.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam perkataan itu an sich. Bahkan sudah seharusnya begitu. Persoalannya terletak pada kata-kata “hak untuk dipilih”, yang secara cetha wela-wela tampil sebagai sebuah ironi. Secara teoretis, setiap warga Negara memiliki hak. Tetapi demokrasi bukan sekadar soal teori. Demokrasi adalah juga soal kenyataan. Bila benar demikian, segeralah kita temukan bahwa dalam kenyataannya tidak setiap warga Negara memiliki hak. Bahkan, hanya segelintir warga Negara sajalah yang benar-benar memiliki hak untuk dipilih.

Kenyataan ini mengandaikan sesuatu: seseorang benar-benar berhak untuk dipilih karena sebelumnya memiliki sesuatu yang memungkinkan hak itu teraktualisasi. Apakah yang dimaksud dengan “sesuatu”? Lagi, secara teoretis, visi, kecakapan, dan integritas. Dalam kenyataannya, nampaknya ketiga hal itu tidak cukup. Sebab untuk bisa tampil sebagai calon anggota legislatif atau nyalon entah sebagai bupati-wakil bupati, gubernur-wakil gubernur, atau presiden-wakil presiden, orang perlu mempunyai modal berupa uang. Betapa tidak, baik sebagai orang partai maupun sebagai calon independen, ia butuh uang. Demokrasi itu tidak tanpa prosedur. Tiap tahap dalam prosedur itu membutuhkan uang, apalagi saat kampanye. Jumlah yang dikeluarkan tentu tidak kecil.

Kenyataan ini dapat dinalar sederhana. Pertama, belum tentu orang-orang yang bervisi, cakap, dan berintegritas tinggi bisa teraktualisasikan haknya bila tidak punya uang. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bervisi, tidak berkompentensi, dan tidak berintegritas sangat mungkin mengaktualisasikan haknya bila ia punya uang.

Kedua, tatkala uang menjadi unsur yang sangat vital dalam prosedur demokrasi, itu mengandaikan (i) klas; (ii) kolusi klas; dan (iii) korupsi. Orang yang mempunyai uang untuk “memodali dirinya” untuk tampil ke gelanggang politik adalah orang yang terhisab ke dalam klas yang memegang kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal. Dengan kata lain, klas burjuis, entah burjuis pengusaha, burjuis birokrat, burjuis teknokrat, atau burjuis bersenjata. Tidak heran bila, disadari atau tidak, orang itu tampil untuk mewakili klasnya: seorang calon burjuis niscaya mewakili klas burjuis. Itu sarat dengan kepentingan: kepentingan klas. Karena itu, orang tersebut membutuhkan dukungan finansial pula dari orang-orang dari klasnya. Konkretnya, partai-partai, para caleg, dan para calon kepala pemerintahan memerlukan dukungan dari burjuis pengusaha.

Selanjutnya adalah persoalan balas budi di satu sisi dan perjuangan “mengembalikan modal” bahkan sebisanya beroleh keuntungan melalui jabatan yang telah berhasil diraih. Berkenaan dengan sisi yang pertama, rasanya tidak mengherankan bila pemerintah dan legislatif akan selalu memposisikan diri pada pihak burjuis pengusaha daripada pihak buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota. Tengok saja kebijakan-kebijakan yang dibuat bersama oleh pemerintah dan legislatif berkenaan dengan penanaman modal, hubungan antara kaum majikan dan buruh, kepentingan pemodal dengan buruh tani dan tani gurem, dan kepentingan pemodal dengan kaum miskin kota. Penanaman modal yang tidak mempedulikan hak-hak masyarakat setempat, represi terhadap aksi buruh yang menuntut upah dan jam kerja yang manusiawi, tidak adanya landreform, juga penggusuran pemukiman kumuh kaum miskin kota.

Berkenaan dengan sisi yang kedua, rasanya tidak mengherankan pula korupsi menjadi lestari. Sebab dari manakah tuan-tuan atau nyonya-nyonya yang terpilih itu mengembalikan modal finansial mereka yang tidak sedikit itu? Apakah gaji sebagai “abdi Negara” entah sebagai anggota legislatif atau sebagai kepala pemerintahan cukup untuk “balik modal”? Apalagi bila tuan-tuan atau nyonya-nyonya kita itu berpikir sebagai pedagang dalam mengemban jabatan mereka: bukan hanya balik modal tetapi juga beroleh laba. Di sinilah korupsi menjadi sulit untuk dihindari. Karena itu juga korupsi menjadi sangat sukar untuk dihabisi.

Ketiga, sulit rasanya membayangkan demokrasi seperti ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti untuk memberantas kemiskinan dan memberikan kemungkinan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk menikmati kemakmuran secara merata-berkeadilan. Preferensi para pemimpin tetap pada mereka yang berada dalam klas yang sama dengan mereka, klas burjuis. Tak heran bila kaum burjuislah yang beroleh keuntungan paling besar dalam demokrasi tersebut. Rakyat yang terhisab dalam klas proletar sekadar dimanfaatkan dalam pilkada dan pemilu. Mereka berebut “remah-remah roti” dari proses penciptaan dan distribusi kekayaan. Merekalah yang paling rentan dilanda krisis ekonomi, bencana-bencana alam, dan konflik-konflik horizontal. Sementara itu rakyat yang terhisab dalam burjuis kecil terombang-ambing antara “kebagian” kue kemakmuran dan “kena sial” saat terjadinya krisis-krisis ekonomik.

Demokrasi burjuis! Itulah demokrasi yang sedang berlangsung di negeri tercinta ini. Itulah demokrasi yang bila ditinjau dari sudut pandang kerakyatan tidak lebih baik daripada demokrasi “orang-orang merdeka” a la Athena – suatu demokrasi dari orang-orang yang menikmati kemakmuran berdasarkan nilai lebih yang diperoleh dari pengisapan terhadap kaum yang diperbudak. Suatu demokrasi yang memuja prinsip check and balance di antara lembaga-lembaga tinggi Negara – yakni legislatif-eksekutif-yudikatif – sehingga terkesan jauh dari tirani. Dalam kenyataannya, demokrasi tersebut berpihak pada kepentingan klas “berpunya”: melegitimasi, menjustifikasi, bahkan memperkuat posisi klas yang berpunya untuk tetap berkuasa, menjalankan penghisapan, dan dengan demikian memperkaya mereka at the expense of kemiskinan yang semakin parah bagi sebagian terbesar anggota masyarakat.

Lalu bagaimana?

Kita menginginkan demokrasi yang sejati, demokrasi kerakyatan. Itulah suatu demokrasi yang mengkonkretkan hak warga Negara untuk memilih dan dipilih dengan jalan demokratisasi kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal. Itulah demokrasi yang mengisyaratkan perlunya pendidikan yang mencerahkan kesadaran kritis klas proletar, memberdayakan, dan memobilisir kaum buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota menjadi suatu massa-aksi guna memperjuangkan hak-hak ekonomik, politik, dan kultural mereka. Itulah demokrasi yang memungkinkan bahkan “seorang yang terkecil di antara kamu” tampil sebagai pemimpin sekaligus pelayan rakyat.

Kita membutuhkan demokrasi yang benar-benar menjembatani “apa yang tertulis” dengan kenyataan. Demokrasi yang menghapuskan ironi dan diskrepansi teori dan praktik! Demokrasi yang tidak menghambur-hamburkan uang demi tampilnya para pelestari penghisapan dan kukuhnya penindasan! Kita membutuhkan demokrasi yang benar-benar progresif, demokrasi yang revolusioner!

Dari situ terbitlah kesadaran bahwa buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota membutuhkan sebuah partai pelopor, a vanguard party. Sebuah partai yang tidak serta-merta ingin terjun ke gelanggang pilkada atau pemilu demi membidik kursi eksekutif dan parlemen. Tapi sebuah partai yang berkomitmen untuk mendidik rakyat tertindas dengan kesadaran kritis, memberdayakan, dan memobilisir mereka untuk meraih dan mengelola kekuasaan secara demokratis, politik maupun ekonomik. Sebuah partai yang berdisiplin tinggi, yang bersih dari oportunisme, pragmatisme, dan mentalitas feodal dan burjuis. Sebuah partai yang tahu betul membaca “tanda-tanda zaman” dan bergerak bersama buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota dalam dinamika sejarah yang dialektis dengan segala romantikanya!



PJS_25Ags08

TAMPILNYA PARA JENDERAL SEBAGAI KANDIDAT RI-1


Jelang Pemilu 2009, para purnawirawan jenderal mulai menampilkan diri sebagai kandidat. Wiranto, yang berkendaraan Partai Hati Nurani (Hanura), telah bersumpah bahkan katanya mewakafkan sisa hidupnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Prabowo gencar mempromosikan dirinya melalui iklan-iklan di televisi, baik sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Ketua Umum Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (HPPSI), maupun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang menjadi kendaraan politiknya. Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sedang menjalani setahun terakhir kepresidenannya, tidak mau ketinggalan. Bersama partainya, Partai Demokrat, ia “mengingatkan” rakyat akan pengabdian yang telah dilakukannya bagi kesejahteraan mereka. Sutiyoso, mantan gubernur DKI Jakarta, juga tampil. Putri almarhum Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri, menyatakan bahwa partainya, PNI Marhaenis, akan menggandeng Bang Yos dan mencalonkannya sebagai presiden.

Belakangan, Kivlan Zein tidak mau ketinggalan. Dalam acara The Candidate (yang ditayangkan Metro TV, Kamis, 25 September 2008), ia menyatakan telah mendapatkan dukungan moral dari Amien Rais (yang disebutnya “motor Reformasi”), dukungan partai-partai tertentu, bahkan jaringan keuangan dari luar negeri (berkenaan dengan keduanya ia enggan menyebutkan namanya). Bahkan ia sesumbar akan mengkombinasikan gaya Bung Karno dan Soeharto: seperti Bung Karno yang oratorik dalam berpidato, dan seperti Soeharto dalam pengelolaan administrasi Negara.

Bagaimana kita harus menilai dan menyikapi tampilnya para purnawiran jenderal ke kancah persaingan menuju RI-1?

Dari lima jenderal yang barusan kita sebutkan nama-namanya, SBY-lah yang paling menampakkan ciri burjuis-demokratis. Paling sedikit itu telah diperlihatkannya sejak ia mengepalai pemerintahan sampai saat ini. Mengapa saya katakan demikian? SBY nampak sangat menghormati trias politica. Lihatlah, sepertinya legislatif dan yudikatif bekerja independen, tanpa intervensi eksekutif. Dalam pada itu, SBY juga terkesan peragu mengomandani eksekutif. Nampaknya ia memang benar-benar harus berbagi kekuasaan dengan Jusuf Kalla, si wakil presiden yang pentolan Partai Golkar. Semboyan SBY “Bersama Kita Bisa”, meski kedengaran indah, toh mengandaikan persatuan yang mantap di satu sisi dan kepemimpinan yang kuat di sisi lain. Itu belum juga nampak.

Keempat jenderal lainnya dalam kadar yang berbeda-beda menampakkan ciri burjuis-fasis. Wiranto barangkali yang kurang fasis di antara mereka. Selanjutnya Sutiyoso. Bisa jadi, mereka nampak kurang fasis karena mereka belum banyak bicara di media massa. Dalam hal ini, pepatah bijak nyaris benar: diam itu emas. Prabowo Subianto dan Kivlan Zein menampakkan ciri fasis yang sangat mencolok. Simaklah iklan-iklan politiknya, baik atas nama HKTI, HPPSI, dan Gerindra. Menjadikan dirinya sebagai jurubicara kaum tani dan pedagang pasar, retorikanya terdengar sangat berpihak kepada mereka. Ya, ia berbicara tentang keterpurukan kaum tani dan pedagang pasar di satu sisi dan mengajak bangsa Indonesia untuk mempedulikan mereka. Bagaimana dengan iklannya bersama Gerindra? Ia menginginkan Indonesia Raya kembali jaya, dan sang garuda kembali mengangkasa. Di sinilah persoalannya. Bicara tentang kaum tani dan pedagang pasar, Prabowo membandingkan masa kini dengan masa lalu, yang tak lain adalah masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, ayah mertuanya. Dengan kata lain, kaum tani dan pedagang pasar akan kembali makmur bila Negara menempuh lagi jalan Orde Baru. Demikian pulalah kiranya dengan kejayaan Indonesia. Apa yang tersirat? Kesejahteraan kaum tani dan pedagang pasar serta berjayanya kembali Indonesia, agaknya sukar tercapai bila negeri ini menempuh jalur demokrasi liberal seperti sekarang ini. Ada jalan pintas, yakni fasisme.

Kivlan Zein tidak tampil sebagai sosok yang cerdas di acara The Candidate. Orang ini menampilkan dirinya sebagai hero yang, dengan pernyataannya tentang komitmen terhadap kebenaran dan klaim akan kemampuannya menyejahterakan rakyat Indonesia, mengundang gelak tawa hadirin di studio. Seorang pemirsa, yang bekerja di sebuah lembaga penegakan HAM dan advokasi perempuan, mempertanyakan bagaimana ia menyikapi pemerkosaan terhadap perempuan yang terjadi dalam Peristiwa Mei 1998. Dengan enteng sang jenderal menjawab bahwa kasus-kasus pemerkosaan itu tidak ada buktinya. Suatu jawaban yang tidak patut mengundang gelak tawa, tapi kemarahan dari setiap orang yang masih empunya hati nurani yang belum terdistorsi. Dari pernyataan-pernyataannya, Zein coba menampilkan dirinya sebagai seorang pencinta kebenaran, sekaligus memposisikan dirinya – bila kelak menjadi presiden – sebagai pemberi komando tertinggi. Persoalan-persoalan di masa pemerintahan SBY yang mulur-mungkret penyelesaiannya karena konsekuensi demokrasi liberal yang coba diterapkan di Indonesia yang masih semi-feodal, dijawabnya dengan tandas: mudah, saya akan dengan cepat menyelesaikannya; saya akan berikan perintah … Kivlan Zein juga bicara tentang akan mudahnya investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Apakah karena ia akan menjamin ketertiban dan keamanan a la Soeharto? Ia juga menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang unggul. Tanpa sempat menjelaskan lebih lanjut, ia buru-buru berkilah: Indonesia menjadi bangsa yang ramah-tamah dan bukan marah-marah … Dalam kritik ideologi, apa yang tidak terucap agaknya lebih merupakan hal yang sebenarnya daripada apa yang dikatakan. Bagi saya, orang ini akan membawa Indonesia ke jalan fasisme.

Bila kita renungkan sejarah fasisme baik di Italia (Mussolini) maupun di Jerman (Hitler), kita menemukan dua cara yang agak berbeda yang ditempuh oleh kaum fasis dalam mencapai kekuasaan. Tapi konteks sosio-historis mereka sama: keterpurukan ekonomik dan kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam situasi tersebut, demokrasi liberal dan para pemimpin burjuis-demokratis tidak dapat berbuat banyak. Berbagai pihak sibuk bertengkar demi kepentingan partainya, sementara pihak eksekutif berusaha mati-matian mempertahankan keseimbangan kekuatan. Bila dalam situasi seperti ini klas pekerja benar-benar matang, yakni tercerahkan dan terorganisir, mereka dapat memimpin klas-klas yang miskin-tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan melalui revolusi sosio-demokratis dan mendirikan Diktatur-proletariat. Tapi bila tidak, para (ultra-) nasionalislah yang akan bertindak. Mussolini, dengan milisi fasisnya yang menakutkan, mem-fait accomplii Raja dan rakyat untuk meminggirkan parlemen dan menaruh kekuasaan eksekutif ke dalam tangannya. Kemudian Hitler, yang melalui Partai Nazi-nya merebut kemenangan demi kemenangan dan pemilihan umum, sebelum mem-fait accomplii Presiden Hindenberg untuk menjadikan dirinya Kanselir, dan pada akhirnya membubarkan Republik Weimar dan mendirikan Negara Ketiga. Cara Mussolini dan Hitler agak berbeda, tapi selanjutnya sama: merekalah yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah bagi segenap warga Negara.

Di Indonesia, Soeharto mendirikan fasisme melalui kudeta merangkak terhadap Presiden Soekarno. Itu dilakukannya pasca Gerakan Tiga Puluh September dengan perburuan besar-besaran daging kaum kiri atau merah di seluruh Indonesia, menangkapi para pendukung Soekarno, kemudian menggunakan MPRS untuk memecat sang proklamatir, dan mendudukkan dirinya di kursi kekuasaan. Selanjutnya sama, dialah yang menentukan benar dan salah. Beda dengan Mussolini dan Hitler, fasisme Soeharto sangat mesra dengan Negara-negara kapitalis raksasa macam Amerika dan Inggris ini. Negara-negara “demokrasi” itu pun merasa nyaman dengan Soeharto meski tak terbilang pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pasalnya, kepentingan ekonomi-politik mereka terjamin di Indonesia berkat the Smiling General. Dengan resep pembangunan ekonomi kapitalis yang bernama Developmentalisme, kemelaratan di zaman Soekarno berhasil diatasi.

Bagaimana dengan para jenderal dan Indonesia masa kini? Prabowo dan Zein telah menampilkan dirinya dengan jelas sebagai fasis. Kekuasaan militer dapat dipastikan akan kembali ditegakkan. Hanya itulah jalan bagi tegaknya keamanan dan ketertiban, sebagai syarat pembangunan untuk membuat rakyat kecil kebagian remah-remah roti. Itu pula yang akan membuat Indonesia kembali kelihatan sangar di Asia Tenggara. Wiranto juga jelas bicara tentang kemiskinan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sutiyoso masih belum jelas. Bagaimana dengan SBY? Bila SBY maju lagi ke kancah pemilihan RI-1, bukan tidak mungkin ia sudah berencana untuk mengubah orientasi politiknya. Posisi sebagai pemimpin yang bercorak burjuis-demokratis sangat melelahkan dengan hasil yang sangat bergantung pada permainan untuk mengakomodir berbagai kepentingan burjuis. Beayanya, dari berbagai segi, bisa teramat mahal. Karena itu, bisa jadi, bila terpilih lagi menjadi RI-1, SBY akan banting stir, menempuh jalan fasis pula.

Dalam konteks Indonesia, demokrasi liberal mengantar pada ketidakpastian yang sangat mencemaskan bagi rakyat. Di sana tibalah bangsa ini pada dua pilihan. Pilihan pertama adalah barbarisme, yang akan diakomodir oleh fasisme. Pilihan kedua adalah sosialisme, yang berintikan demokratisasi kekuasaan politik dan demokratisasi kekuasaan ekonomik.*** (Pandu Jakasurya_250908)


Minggu, 18 Januari 2009

BUKAN FUNDAMENTALIS ISLAM, BUKAN ZIONIS KRISTEN

BUKAN FUNDAMENTALIS ISLAM, BUKAN ZIONIS KRISTEN
Oleh: Rudolfus Antonius


Kebencian Endemik

Mengecam, memprotes, dan mengutuk agresi Israel ke Gaza sama sekali tidak sama dengan menyetujui apalagi mendukung kebencian kaum fundamentalis Islam terhadap bangsa Yahudi. Mengapa? Ini menyangkut isu pokok. Kita berbeda dengan kaum fundamentalis Islam perihal isu pokok yang mendasari reaksi terhadap agresi Isrel ke Gaza.

Sebagai manusia yang berhatinurani kita sama sekali tidak dapat membenarkan perlakuan sewenang-wenang dari satu pihak, yang lebih kuat, terhadap pihak lain, yang lebih lemah. Perlakuan sewenang-wenang bisa terjadi dalam semua lapisan hubungan sosial. Itu bisa melibatkan individu, golongan, bahkan Negara atau Negara-negara. Dalam agresi Israel ke Gaza, Israel yang lebih kuat berlaku sewenang-wenang terhadap Palestina yang lebih lemah. Apalagi tindak kesewenang-wenangan itu menelan korban nyawa dari kalangan sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Sangat jelas, hati nurani kita menolak hukum rimba dan setiap praktik yang didasarkan padanya.

Di lain pihak, apakah isu pokok kaum fundamentalis Islam dalam menyatakan sikap mereka terhadap Israel? Paling sedikit kita bisa menimbang kebencian kaum fundamentalis Islam terhadap orang Yahudi.

Kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Kebencian ini berkarakter agamawi: berdasarkan pernyataan-pernyataan tertentu di dalam pustaka-pustaka suci mereka, baik Al-Quran maupun Al-Hadis. Secara historis tentu pernyataan-pernyataan itu tidak lahir di ruang hampa. Pernyataan-pernyataan itu lahir dalam konteks hubungan yang tidak sedap yang terjalin antara Nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi. Di sini saya tidak ingin memasuki telaah tentang persoalan-persoalan yang pernah terjadi di antara mereka. Meski demikian, segeralah kita dapat meraba bahwa pernyataan-pernyataan yang berkonteks sosio-historis itu kemudian menyandang status sebagai pernyataan-pernyataan normatif. Selanjutnya pernyataan-pernyataan tersebut diturunalihkan kepada generasi-generasi selanjutnya dan membentuk roh kebencian kepada orang Yahudi.

Kaum fundamentalis Islam tentu saja tidak mengkritisi pernyataan-pernyataan tersebut. Ini sesuai dengan premis nilai yang dianut. Mereka justru menghidupi dan menghidupkan kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Sebagaimana kita lihat sendiri dalam sebuah acara debat di TV One baru-baru ini, salah satu kelompok dari dua pihak yang berdebat (yang sebenarnya sama-sama menentang agresi Israel ke Gaza), terus merujuk pernyataan-pernyataan pustaka-pustaka suci tentang orang Yahudi. Dari situ mereka menyimpulkan tentang watak orang Yahudi: buruk di zaman Nabi Muhammad, buruk pula untuk seterusnya.

Penilaian yang bernafaskan kebencian endemik ini tentu saja terdengar rasis. Kedengarannya mengejutkan, meski tidak harus demikian, bila pustaka-pustaka suci keagamaan menjadi sumber yang menginspirasikan sikap rasis. Tidak mengherankan juga bila kebencian endemik berbasis pustaka-pustaka agamawi itu tidak membedakan antara orang Yahudi dengan Negara Israel. Padahal, tidak semua orang Yahudi merupakan warga Negara Israel. Tidak semua orang Yahudi pula mendukung agresi Negara Israel ke Gaza, bahkan mereka yang menyandang status sebagai warga Negara Israel. Dalam kenyataannya, di Negara Israel sendiri berlangsung demo-demo warga Negara Israel sendiri menentang agresi Israel ke Gaza. Contoh lain adalah Dekel Avshalom, seorang jurnalis Yahudi berhaluan sosio-demokratik, yang menulis dari Israel untuk situs In Defence of Marxism. Dia seorang Yahudi, warga Negara Israel pula. Tapi ia sangat menentang agresi Israel ke Gaza. Apakah kaum fundamentalis Islam peduli tentang hal ini sehingga tidak gebyah uyah karena prasangka rasial-religiusnya? Dalam kata-kata Ulil Abshar Abdalla:

“… masalah Israel di mata umat Islam bukan sekedar masalah geografi dan perluasan wilayah. Masalah sebenarnya ada di luar itu, yakni konstruksi keyahudian di benak umat Islam sendiri yang dibentuk melalui ajaran agama dan tafsirnya yang sudah berkembang sejak berabad-abad.”[1]

Anti-Semitisme

Dalam pada itu, patut pula kita, sebagai orang Kristen, menimbang sikap orang Kristen terhadap orang Yahudi dan agresi Israel ke Palestina.

Kita tentu mafhum Dunia Kristen (Christendom, corpus christianum) pernah terjangkiti kebencian yang sangat mendalam terhadap orang Yahudi. Kebencian ini juga beroleh pendasaran pada pustaka suci Kristen, Perjanjian Baru. Membaca Perjanjian Baru dengan sadar konteks, yakni mempertimbangkan dengan serius konteks sosio-historis yang melatarbelakangi peristiwa Yesus-historis dan pergumulan Jemaat-jemaat Perdana, kita dapat melacak adanya kepahitan dalam hubungan antara Kekristenan dengan Yudaisme di dalam teks-teks Perjanjian Baru. Kepahitan tersebut terbentuk melalui hubungan dialektis antara peristiwa Yesus-historis dengan hubungan antara Jemaat-jemaat perdana (yang terdiri dari orang-orang percaya yang berlakang Yahudi dan non-Yahudi) dengan penguasa Romawi di satu sisi dan orang-orang Yahudi (yang tidak percaya kepada Yesus).

Peristiwa penderitaan dan kematian Yesus-historis sendiri tidak (atau belum) mengandung isu kepahitan Kekristenan terhadap Yudaisme. Peristiwa itu parallel dengan peristiwa Nabi Yeremia yang hidup sekitar enam abad sebelumnya. Menyampaikan firman Allah yang kedengaran sangat minor kepada rakyat Yehuda dan para pemimpinnya, sang nabi dimusuhi para pemimpin politik dan agama serta mengalami berbagai penderitaan. Kesejajaran ini memperlihatkan isu yang sebenarnya: bukan Yesus versus orang Yahudi, tetapi hamba Allah versus para pemimpin yang tidak mau mendengarkan suara Tuhan.

Ketika Jemaat-jemaat Perdana merenungkan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus-historis, mereka menemukan beragam makna teologis dari peristiwa itu. Misalnya, Yesus adalah Anak Manusia dan Hamba Yahweh par excellence. Allah bukan hanya memvindikasi Yesus melalui kebangkitan-Nya, tetapi juga menjadikan penderitaan dan kematian-Nya sebagai pokok keselamatan segenap umat-Nya. Dia adalah Sang Mesias, yang masuk ke dalam kemuliaan-Nya setelah melalui penderitaan dan kematian. Juga, Dia adalah Pengantara Perjanjian yang Baru, yang dengan penderitaan dan kematian-Nya memperdamaikan dan mempersekutukan kembali Allah dan umat-Nya. Kita melihat bahwa dalam refleksi-refleksi ini kepahitan tidak menjadi isu pokok. Isu pokoknya adalah makna penderitaan dan kematian Yesus bagi keberadaan paguyuban-paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang menjadi pengikut-pengikut-Nya.

Ketika hubungan antara Jemaat-jemat Perdana dengan penguasa Romawi dan para pemuka Yahudi memburuk, mereka menjadikan penderitaan dan kematian Yesus sebagai naratif untuk memaknai kondisi mereka. Penguasa Romawi mulai menghambat Jemaat-jemaat Perdana, sementara para pemuka Yahudi memusuhi bahkan memicu kebencian terhadap mereka. Jemaat-jemaat Perdana ini kemudian memahami kondisi mereka dalam paradigma penderitaan dan kematian Yesus: mereka menderita sebagaimana halnya Junjungan mereka di tangan para pemuka Yahudi dan penguasa Romawi. Mereka merefleksikannya dalam Kisah Sengsara dalam Kitab-kitab Injil Sinoptik, misalnya.

Selanjutnya, sementara perpisahan “sekte” para pengikut Yesus dengan formative Judaism mengkristal menyusul kebijakan-kebijakan para rabbi pasca-Perang Yahudi (66-70 M), Jemaat-jemaat Perdana pun merenungkan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus untuk memaknai posisi mereka selanjutnya. Di satu sisi keruntuhan Yerusalem dalam Perang Yahudi dipahami sebagai hukuman Allah kepada Bangsa Yahudi. Di sisi lain, otoritas formative Judaism pasca Perang Yahudi, dalam rangka mengkonsolidasi Bangsa Yahudi yang terserak-serak, menempatkan orang-orang Yahudi pengikut Yesus di luar Yudaisme. Pada gilirannya orang-orang ini membentuk paguyuban-paguyuban yang terpisah. Misalnya paguyuban yang melahirkan Injil Yohanes. Jemaat-jemaat Perdana pun sekarang memandang diri mereka dan Bangsa Yahudi sebagai dua entitas yang terpisah. Sikap para pemuka Yahudi terhadap para pengikut Yesus pun dipahami sebagai sikap bangsa Yahudi. Orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus, yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada orang-orang non-Yahudi yang percaya, enggan pula menyebut diri mereka Yahudi. Mereka adalah Kristen, seperti halnya orang-orang non Yahudi yang menjadi pengikut Yesus. Di pihak lain, di kalangan orang Yahudi pun muncul legenda-legenda yang menampilkan Yesus sebagai seorang tukang sihir jahat dan seorang anak “haram” dari seorang perempuan zinah.

Kepahitan hubungan antara Jemaat-jemaat Perdana dengan otoritas Yahudi sebagaimana terekam dalam Perjanjian Baru, pada gilirannya bertranformasi menjadi benih-benih Anti-Semitik, yakni prasangka dan kebencian kepada orang Yahudi secara keseluruhan.

Buah-buahnya mulai bermunculan ketika Kekristenan menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi dan Gereja mempunyai kekuasaan politik. Dunia Kristen pun menzalimi orang Yahudi selama berabad-abad lamanya, baik dari pihak Gereja maupun dari pihak pemerintah Kristen. Karl Marx adalah salah seorang yang mengalaminya. Puncaknya adalah holocaust yang dilakukan Nazi pada masa Perang Dunia II. Dalam kata-kata almarhum Rama Raymond Brown, pakar Alkitab Katolik yang termashyur itu,

Manakala Kaisar Konstantinus menjadi Kristen pada awal Abad IV, dan orang-orang Kristen mulai beroleh kekuasaan politik, efek dari sentiment-sentimen permusuhan menjadi berat sebelah. Inilah awal dari sebuah sejarah yang tragis yang akan menyaksikan penindasan dan penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi berlanjut selama berabad-abad, yang mencapai puncaknya yang sangat mengerikan dalam abad kita sendiri.

Bahkan meski Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Reformasi arus utama telah mengaku bersalah dan berupaya membangun hubungan yang baik dengan orang Yahudi, masih ada bagian-bagian dari Dunia Kristen yang menganut Anti-Semitisme. Sebutlah misalnya orang-orang dari kelompok Christian Identity, yang memandang diri Ras Arya sebagai “Israel yang Sejati”.

Zionisme Kristen

Di pihak lain ada juga orang-orang Kristen yang menamakan diri mereka Zionis Kristen. yang sekarang ini mendukung Zionisme dan kebijakan-kebijakan Negara Israel.[2] Mendefinisikan Zionisme Kristen sebagai “sebuah posisi teologis yang melihat suatu keniscayaan masa depan bagi Israel di tanah bapa-bapa leluhur mereka”[3], para penganutnya “bersiap dengan cara doa, penghiburan, dan keterlibatan praktis untuk menjamin kelanggengan dan kejayaan Israel.”[4]

Mempostulasikan pergulatan kosmik antara terang dan kegelapan, Pdt. Malcolm Hedding, salah seorang tokoh Zionis Kristen, menandaskan bahwa Israel akan berada di pusat pergulatan itu. Sebab, Allah akan mendirikan pemerintahan keadilan-Nya atas seluruh dunia dari Israel.[5] Karena itu tidak mengherankan bila “kekuatan-kekuatan kegelapan akan selalu menentang pemerintahan itu dan mereka akan melakukannya terutama dengan berupaya menghancurkan Israel.”[6] Para Zionis Kristen “pasti akan berada di garis depan dari pergulatan ini.[7] Merujuk pada ribuan orang yang akhir-akhir ini menggabungkan diri dengan Zionisme Kristen, Pdt. Hedding menganggapnya sebagai bukti “bahwa Allah sedang mempersiapkan suatu pasukan rohani bagi ‘showdown’ (konfrontasi terakhir) yang akan datang ini.”

Suatu pasukan rohani! Apakah itu berarti mereka tidak akan mengangkat senjata untuk membantu Israel? Anggaplah mereka memang tidak melakukannya. Tapi apa artinya “keterlibatan praktis” di samping doa dan penghiburan?

Kaum Zionis Kristen, melalui kerja sukarela, dukungan politis, dan dukungan finansial mereka kepada Israel dan kausa-kausa Yahudi, telah memperlihatkan bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Israel yang terpercaya. Mereka telah mendonasikan sejumlah besar uang untuk mendukung Israel, termasuk amalan-amalan yang untuk membeayai upaya membawa orang-orang Yahudi dari bekas Uni Soviet dan Ethiopia ke Israel. Sebagai contoh, Pastor John Hagee telah menghimpun lebih dari 4,7 juta dollar untuk United Jewish Communities. Christian Broadcasting Network-nya Pat Robertson telah mendonasikan ratusan ribu dollar untuk menolong orang-orang miskin Yahudi di seluruh dunia untuk pindah ke Israel.[8]

Bahkan,

Manakala industri wisata Israel mencapai suatu titik rendah antara tahun 2000 dan 2003 karena Perang Palestina dan terorisme, para wisatawan Kristen mengunjungi Israel dalam jumlah yang kadang-kadang lebih besar daripada jumlah komunitas Yahudi. Para penginjil televisi seperti Pat Robertson dan Benny Hinn telah mengunjungi Israel dalam kurun waktu ini dan menggunakan siaran-siaran mereka untuk memberitahukan kepada jutaan pemirsa mereka bahwa amanlah untuk mengunjungi Israel. Kelompok pro-Israel lainnya, yakni Christians’ Israel Public Action Campaign, mensponsori empat misi ke Israel. Orang-orang Kristen juga menolong industri wisata dan perekonomian Israel dengan mendatangi pekan “Shop Israel” di mana para pedagang Israel datang ke Amerika dan menjual produk-produk mereka.[9]

Tentu saja tindakan filantropis adalah tindakan yang sangat terpuji. Tetapi membela orang Yahudi dan Negara Israel sembari mengabaikan kesewenang-wenangan Israel bahkan menafikan penderitaan rakyat Palestina adalah suatu kekonyolan tragis yang sama buruknya dengan Anti-Semitisme. Dalam kata-kata Pdt. Alex Awad,

Tidak seperti nabi-nabi Perjanjian Lama, kaum Zionis Kristen tidak mempunyai kata-kata nubuatan untuk menempelak Negara Israel manakala Negara Yahudi itu dengan sewenang-wenang melakukan penindasan. Para Zionis Kristen tidak menyerukan Negara Israel untuk melakukan keadilan. Israel mengambilalih tanah Palestina, menggusur rumah-rumah orang miskin, menghancurkan tanah pertanian mereka dan mengalihkan aliran sumber-sumber air m ereka, sementara banyak orang Kristen Zionis terus memberkati Israel dan mengidungkan puji-pujian mereka.[10]

Tak heran bila Charles E. Colson dari We Hold These Truths mengeluhkan:

Kaum Zionis Kristen, bukan para politisi yang korup, adalah penghalang terbesar bagi perdamaian di AS. Amerika mempunyai jumlah gereja-gereja yang nyaris tak terhitung yang berhimpun secara teratur, tetapi kebanyakan tidak memenuhi peran yang telah diberikan Kristus kepada mereka, yakni untuk berdiri demi moralitas.[11]

Lalu Bagaimana?

Kaum fundamentalis Islam bukanlah sahabat sejati rakyat Palestina. Makian, kutukan, dan ancaman mereka terhadap Israel lahir dari kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Bukan karena solidaritas kepada rakyat Palestina. Bahkan, sementara media massa di Indonesia (terutama televisi) sama sekali tidak menaruh tanda tanya kepada Hamas, perlu juga kita mempertanyakan apakah Hamas benar-benar sahabat sejati rakyat Palestina. Pasalnya, sebagaimana dikemukakan Pandu Jakasurya, aksi-aksi terorisme individual khas fundamentalis Islam yang dilakukan Hamas terhadap Israel sama sekali tidak berguna. Aksi-aksi itu malah membuat warga Israel, termasuk mereka yang terhisab dalam klas pekerja, mendukung pemerintah Israel guna mendapatkan perlindungan. Dalam pada itu, rakyat Palestina kian menderita karena serangan balasan Israel. Patut pula kita menaruh tanda tanya besar perihal motivasi Hamas di balik perlawanan “Daud vs Goliat” terhadap Israel, sementara di depan mata mereka sendiri rakyat Palestina menjadi korban. Israel sewenang-wenang, tapi Hamas mungkin juga patut dituntut pertanggungjawaban bila menjadikan korban warga sipil sebagai strategi memenangkan perang secara politis terhadap Israel.

Kaum Zionisme-Kristen pun bukan sobat sejati rakyat Israel. Dukungan yang mereka berikan dengan berbagai cara justru makin mendorong pemerintah Israel untuk bertingkah adigang-adigung-adiguna terhadap Palestina. Pada gilirannya, rakyat Israel sendirilah yang menderita – serangan-serangan terorisme individual orang-orang Palestina. Dengan jalan itu klas yang berkuasa di Israel pun merasa beroleh pembenaran untuk terus mengganyang Palestina. Demikian seterusnya spiral kesewenang-wenangan berlanjut.

Kalau begitu siapkah sahabat sejati rakyat Palestina dan rakyat Israel? Gereja-gereja Kristen yang berkomitmen pada kasih, kebenaran dan keadilan, serta perdamaian? Itu betul. Tapi, dalam pada itu, Gereja-gereja harus berhati-hati agar kiprah mereka tidak terkooptasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalam tata-dunia yang terkungkung imperialisme ini. Gereja-gereja tetap harus mendampingi rakyat Palestina dan menggugah nurani rakyat Israel. Gereja-gereja harus terus menyerukan perdamaian yang berkeadilan dan keadilan yang memperdamaikan baik kepada Hamas maupun kepada Israel.

Dalam pada itu perlu juga Gereja-gereja melirik mereka yang sebenarnya bisa menjadi rekan seperjuangan demi menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian. Mereka adalah kaum sosio-demokratik yang bekerja mendampingi, mencerahkan, mengorganisir, dan memobilisir massa rakyat pekerja untuk memerdekakan diri dari tatanan yang represif dan eksploitatif – baik di Palestina maupun di Israel, bahkan Mesir, Yordania, Syria, Lebanon, dan Iran. Bila massa rakyat pekerja di negeri-negeri itu bisa mengadakan aksi-massa untuk mendemokratiskan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik di negeri mereka masing-masing, serta dengan semangat Internasionale mendirikan Federasi Sosio-Demokratik di kawasan itu, maka akan selamatlah Palestina dan Israel baik dari ancaman fundamentalisme Islam maupun Zionisme Kristen. Alangkah baiknya bila para pengikut Yesus Kristus yang dititahkan-Nya untuk memperjuangan perdamaian turut serta dalam perjuangan yang bermuara pada pemerdekaan seluruh umat manusia ini!




RA_180109
[1] Ulil Abshar Abdalla, “Sejumlah Pertanyaan Sederhana Sekitar Masalah Palestina-Israel”

[2] Menganut pandangan eskatologis yang dikenal dengan nama Dispensasionalisme, kaum Kristen Zionis meyakini bahwa Yesus Kristus akan mendirikan Kerajaan Seribu Tahun dalam kedatangan-Nya kembali kelak. Kerajaan itu diperuntukkan-Nya bagi Bangsa Yahudi. Adapun Kerajaan itu sedianya sudah berdiri dalam kedatangan-Nya yang pertama, tapi batal karena Bangsa Yahudi menolak Dia. Dalam Kerajaan Seribu Tahun kelak, Bangsa Yahudi percaya kepada Yesus Kristus. Kok bisa? Begini, eskalasi suhu politik di Timur Tengah pada akhirnya akan memuncak dalam terbentuknya koalisi seluruh dunia untuk melawan Negara Israel. Namun Negara Israel tertolong karena bantuan Antikristus yang konon datang dari Uni Eropa. Sesudah itu Antikristus berbalik akan menganiaya orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang setengah-setengah imannya. Pada saat itu orang-orang Kristen yang saleh sudah diangkat. Mereka telah mengalami “pertemuan di udara” dengan Yesus. Dalam masa penganiayaan itu, Bangsa Yahudi bertobat, percaya kepada Yesus Kristus. Kemudian Yesus Kristus pun turun ke muka bumi. Ia membinasakan Antikristus dan mendirikan Kerajaan Seribu Tahun bagi Bangsa Israel. Berdasarkan konsepsi eskatologis mereka, kaum Kristen Zionis mendukung Negara Israel dan membela orang Yahudi – betapapun kejinya kebijakan Negara Israel.

[3] Rebecca Brimmer, Ray Sanders, & Malcolm Hedding, “Joint Response to ‘The Jerusalem Declaration of Christian Zionism’”, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[4] Malcolm Hedding, “The Christian Zionist Movement”, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] David Krusch, “Christian Zionism – Defined”, Jewish Virtual Library, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[9] Ibid.
[10] Alex Awad, “Christian Zionism: Their Theology, Our Nightmare!”, dalam Christian Zionism and Peace in the Holy Land, Peace Office Newsletter, Mennonite Central Committee (July–September 2005) Vol 35, No 3, http://mcc.org/peace/pon/PON_2005-03.pdf

[11] Charles E. Carlson, “The Lie That Justifies Mass Murder: ‘Hamas Hit Us First’”, We Hold These Truths, 1 Jan 2008, http://www.whtt.org/

Selasa, 13 Januari 2009

HARAPAN BAGI GAZA

HARAPAN BAGI GAZA
Oleh: Pandu Jakasurya
Hati nurani siapakah yang tidak terusik dengan serbuan militer Israel ke Jalur Gaza? Serangan yang dimulai di penghujung tahun baru dan terus berlanjut sampai saat ini bukan hanya telah memporakporandakan Gaza, tetapi juga menelan ratusan korban jiwa dan mencederai ribuan orang. Delapan ratus lebih orang Palestina tewas, ribuan lainnya cedera. Mereka bukan hanya dari kalangan Hamas, faksi yang berkuasa di Gaza, tapi juga penduduk biasa. Bahkan, jumlah penduduk biasa yang jadi korban lebih banyak daripada mereka yang sudah terbiasa menyandang senjata. Sangat miris. Selama setengah tahun mereka sangat menderita karena blokade Israel pasca-perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas, sekarang mereka benar-benar berjalan di lembah bayang-bayang maut di tanah tumpah darah mereka sendiri.

Komunitas internasional bereaksi. Protes, kecaman, dan kutukan terhadap Israel membahana; baik dari berbagai Negara, maupun kelompok-kelompok masyarakat. Tak terkecuali, Indonesia. Bahkan beberapa kelompok fundamentalis Islam di negeri menyerukan jihad dan siap mengirimkan jihadis ke Jalur Gaza untuk membela kehormatan Islam, membela umat Islam (karena berlogika Palestina = Arab = Islam), dan membinasakan orang Yahudi. Dewan Keamanan PBB, minus AS yang nota bene merupakan sekutu terdekat Israel, sudah mengeluarkan resolusi: Israel harus menghentikan agresinya. Tapi Israel masih terus melanjutkan serangannya, baik dari udara, laut, maupun darat.

Pihak Israel membenarkan serangan mereka terhadap Gaza dengan mengemukakan pelanggaran gencatan senjata yang dilakukan Hamas. Dari Gaza Hamas telah meluncurkan roket-roket ke wilayah Israel. Dua warga Israel tewas. Dengan dalih melindungi negeri dan warganya, Israel membalas – dengan serangan yang jauh lebih dahsyat dan jumlah korban yang jauh lebih besar. Israel pun menuntut Hamas untuk tidak meluncurkan roket-roket lagi ke wilayahnya. Jika tidak, serangan Israel akan terus berlanjut. Dalam pada itu, Israel juga menuduh Hamas berlindung di balik penduduk biasa Gaza dan dengan demikian bertanggungjawab atas korban sipil yang sedemikian banyak.

Sebaliknya, pihak Hamas justru menyatakan bahwa Israel-lah yang sebenarnya telah melanggar gencatan senjata. Sebagaimana dikatakan Khalid Mish'al, seorang ketua Biro Politik Hamas,

“Selama enam bulan, kami Hamas menaati gencatan senjata. Israel melanggarnya berulang kali sejak dari awal. Israel diharuskan membuka perlintasan ke Gaza dan memperluas gencatan senjata ke Tepi Barat. Ia berlanjut dengan mengencangkan pengepungan mematikannya di Gaza, berulang kali memutus aliran listrik dan persediaan air. Hukuman kolektif ini tidak berhenti, melainkan semakin meningkat lajunya – begitu pun dengan pembunuhan dan pembantaian. Tiga puluh warga Gaza dibunuh oleh tembakan Israel dan ratusan pasien meninggal karena dampak langsung pengepungan selama apa yang disebut dengan gencatan senjata itu. Israel menikmati periode tenang. Rakyat saya tidak.”[1]

Bagaimana kita harus menilai dan menyikapinya?

Pertama perlu dikemukakan bahwa serangan Israel ke Gaza tidak dapat dipahami dan disikapi lepas dari konteks sosio-historis dan geopolitik yang lebih luas, baik secara diakronik maupun sinkronik. Tentu saja akan terlalu panjang untuk menjabarkan hal ini, bahkan sekadar memperbincangkan Deklarasi Balfour dan berdirinya Negara Israel sekalipun. Untuk saat ini cukuplah kiranya bila kita mengatakan bahwa dalam analisis terakhir konflik Israel-Palestina berlangsung dalam bingkai imperialisme Barat di Timur Tengah di satu sisi, dan kegagalan nasionalisme Arab yang dikomandani klas burjuisnya serta kebangkrutan fundamentalisme Islam di pihak lain.

Kaum imperialis Barat (Amerika Serikat dan Uni Eropa) terus berusaha memperkuat pengaruhnya di antara Negara-negara Arab guna kepentingan ekonomi dan politik mereka. Kaum imperialis berhasil menjinakkan klas burjuis nasional yang semula mengibarkan bendera nasionalisme serta memanfaatkan mereka untuk menegakkan pemerintahan yang “demokratis” dan untuk menghadapi elemen-elemen radikal yang membahayakan kepentingan kaum imperialis. Dalam kasus Palestina, tentulah faksi Fatah, dengan Mahmoud Abbas sebagai presiden Palestina. Dalam kasus lain, misalnya Mesir.

Bagaimana kaum imperialis dapat mengkooptasi kaum burjuis nasional? Dalam perjuangan merebut kemerdekaan nasional, kaum burjuis nasional sepertinya memainkan peran progresif. Lazimnya mereka tampil di depan guna memimpin pembebasan nasional. Dalam hal ini mereka memang berhadap-hadapan dengan kaum imperialis. Tapi pada satu titik mereka harus mempertimbangkan dua pihak, yang satu kaum imperialis (yang ingin terus menguasai negeri mereka), yang lain klas pekerja (yang menuntut pembebasan dan menginginkan Negara sosio-demokratik).

Di sinilah watak kelas akan sangat menentukan. Baik kaum burjuis nasional maupun kaum imperialis sama-sama terhisab ke dalam klas burjuis. Sama-sama menghendaki kepemilikan, kontrol, dan akses terhadap alat-alat produksi massal, mereka sama-sama memiliki musuh bersama. Musuh mereka adalah klas pekerja, yang menghendaki agar alat-alat produksi massal tersebut dimiliki, dikontrol, dan diakses secara demokratis. Alih-alih “memaksakan” kemerdekaan nasional tapi harus menyerahkan kepemilikan, kontrol, dan akses itu kepada klas pekerja, kaum burjuis nasional memilih “berdamai” dengan kaum imperialis. Demikian juga sebaliknya. Kaum imperialis tidak rela bila negeri yang biasa atau bisa dieksploitasinya jatuh ke tangan klas pekerja. Karena itu mereka pun memilih “berdamai” dengan kaum burjuis nasional.

Tentu “perdamaian” ini ada harganya: di satu pihak kaum imperialis memberikan “kemerdekaan” dan mendukung kekuasaan kaum burjuis nasional; dan di pihak lain kaum burjuis nasional membuka negerinya bagi modal kaum imperialis, menjalankan kekuasaan menurut tatanan yang ditetapkan kaum imperialis, serta merepresi elemen-elemen radikal yang bisa membahayakan kepentingan kaum imperialis.

Selain hubungan antara kaum imperialis dengan kaum burjuis nasional, perlu juga diperhatikan kaum fundamentalis Islam. Para pemimpin fundamentalis Islam berasal dari klas feudal dan klas burjuis. Tentu mereka berbeda dengan kaum burjuis nasional. Sementara kaum burjuis nasional cenderung sekuler dan bersikap akomodatif terhadap kaum imperialis, para pemimpin fundamentalis adalah sebaliknya. Tapi seperti halnya kaum burjuis nasional, mereka juga ingin berkuasa. Kekuasaan mereka adalah kekuasaan yang berdasarkan agama. Karena itu Negara yang diidam-idamkan adalah Negara totaliter berbasiskan agama. Dalam Negara totaliter itu, klas feudal dan klas burjuis sama-sama mendapatkan pembenaran agama atas kekuasaan mereka. Dalam pada itu patut pula dikaji: bila kedua klas itu sama-sama berbagi kekuasaan di dalam sebuah Negara totaliter, apakah mereka bisa menjalani hidup bersama secara damai (peaceful coexistence)? Rasanya tidak, sebagai menurut watak kelasnya, kedua klas itu sebenarnya sangat bertentangan.

Apa hubungan kaum fundamentalis Islam dengan kaum burjuis nasional dan kaum imperialis? Karena kaum imperialis dan kaum burjuis nasional mengetahui bahwa kaum fundamentalis Islam menghasrati kekuasaan, maka kedua belah pihak itu ingin melumpuhkan mereka. Dalam hal ini kaum imperialis dan kaum burjuis nasional beroleh pembenaran dalam aksi-aksi terorisme individual yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan fundamentalis Islam. Tentu saja kaum fundamentalis Islam tidak tinggal diam menghadapi upaya kaum imperialis dan kaum burjuis nasional. Mereka mengadakan perlawanan. Mereka terus melancarkan gerakan untuk menyebarkan idea-idea tentang khilafah. Mereka juga “menunjukkan gigi” dengan melakukan aksi-aksi terror individual. Di Palestina, Hamas nampaknya menjadi sebuah kendaraan bagi kaum fundamentalis (meski kita tidak dapat mengatakan bahwa semua personil Hamas adalah muslim apalagi fundamentalis).

Kedua, melalui analisis klas terhadap konteks sosio-historis dan geopolitik konflik Israel-Palestina, agaknya kita dapat memahami mengapa konflik itu terus berlangsung dan mengapa perlawanan Palestina sekian lama tidak juga mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya.

Aksi-aksi teror individual, yang pernah dilakukan puluhan tahun oleh PLO-nya Yasser Arafat, terbukti gagal mengalahkan Israel dan memerdekakan rakyat Palestina. Kenyataannya, teror-teror individual di satu sisi malah membuat solid klas penguasa Israel. Pasalnya, menjadi sasaran teror-teror itu, rakyat Israel semakin mendukung pemerintahnya. Demikian juga klas pekerja di sana. Di sisi lain, teror-teror individual justru memperparah penderitaan rakyat Palestina. Pasalnya, karena teror-teror itu Israel merasa beroleh pembenaran untuk mengadakan pembalasan, “menghukum” rakyat Palestina. Bisa jadi Hamas lupa atau malah mengabaikan pelajaran-pelajaran pahit ini. Dengan teror-teror individual yang dilakukannya, termasuk meluncurkan roket-roket yang toh tidak melumpuhkan instalasi militer Israel tapi justru menambah sengsara kehidupan rakyat pekerja di sana, Hamas memperkuat posisi klas penguasa Israel dan memperparah kesengsaraan rakyat Palestina.

Di lain pihak, perjuangan kaum burjuis nasional yang sudah sama sekali kehilangan élan progresifnya juga tidak lebih baik. Meja-meja perundingan kaum burjuis nasional dengan Israel dan kaum imperialis (yang berpretensi memperlihatkan jasa baik demi hak asasi, demokrasi, kapitalisme, dan perdamaian dunia), sesungguhnya merupakan kapitulasi. Kapitulasi itu secara hakiki (i) tidak memerdekakan rakyat Palestina; (ii) memberikan peluang seluas-luasnya kepada Israel untuk memanipulir perjanjian-perjanjian damai demi kepentingannya sendiri; (iii) menguntungkan kaum imperialis (karena memantapkan pengaruhnya atas pemerintahan boneka burjuis nasional); dan (iv) memberikan sepotong kekuasaan kepada birokrasi burjuis nasional atas negeri dan rakyat Palestina.

Sikap bangsa-bangsa yang tergabung dalam Liga Arab dan Organisasi Negara-negara Islam Dunia pun tidak dapat diharapkan. Solidaritas mereka baru sampai pada tahap memprotes, mengecam, atau mengutuk Israel. Kata seorang analis, ngomong doang. Contoh yang paling mencolok adalah Mesir. Ketika pasukan Israel mengebom Gaza, Pemerintah Mesir malah menutup perbatasannya untuk mencegah eksodus rakyat Gaza yang ingin menyelamatkan dirinya dari serangan misil Israel. Menurut laporan BBC London,

“ketika pesawat-pesawat jet yang membombardir Gaza Selatan, ratusan rakyat Gaza berlari menuju pagar perbatasan Gaza-Mesir, tetapi pasukan keamanan Mesir menembaki mereka untuk mencegah mereka masuk ke Mesir.”[2]

Hal-ihwalnya tak sukar diraba, rezim burjuis nasional atau penguasa feudal mereka sama-sama memiliki kepentingan-kepentingan ekonomiko-politik yang tak terpisahkan dari hegemoni kaum imperialis – baik Amerika Serikat maupun Uni Eropa.

Lalu bagaimana?

Seorang rekan pernah mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini, Hamas mempunyai empat kemungkinan bertindak. Pertama, meneruskan cara berperang seperti sekarang, yakni terus-menerus melancarkan balasan dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel dan melakukan perang kota dengan menjadikan warga sipil sebagai perisai. Dalam skenario ini, perang akan berlangsung lama – dan korban pun kian banyak. Kedua, menghadapi Israel secara terbuka tanpa melibatkan rakyat Gaza. Dalam skenario ini, kata teman saya, Hamas bersikap ksatria. Perang pun akan berakhir dalam waktu singkat, dengan kekalahan total hampir pasti di pihak Hamas. Ketiga, Hamas menyerah. Tentu saja ini mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi, baik dari kalangan penduduk biasa maupun Hamas sendiri. Tapi ini menyangkut harga diri para pejuang militan itu. Keempat, Hamas (dengan bantuan Iran dan Syria) mempersenjatai segenap penduduk sipil untuk mengadakan “perang rakyat” melawan Israel. Skenario ini akan memperpanjang perang. Mungkin Israel akan gagal menaklukkan Hamas dan Gaza. Tapi ini akan menelan korban sangat besar, baik di pihak Gaza, juga Israel. Lagipula patut diragukan apakah rakyat sipil Gaza siap memanggul senjata.

Tanpa bermaksud menjadikan tragika rakyat Gaza obyek analisis semata, saya cenderung pada perlawanan klas pekerja. Perlawanan ini sama sekali bukan terorisme individual, tetapi aksi-massa revolusioner yang terorganisir di bawah kepemimpinan suatu vanguard party yang benar-benar berwatak klas pekerja. Aksi-massa ini bukan hanya melibatkan klas pekerja Palestina, tetapi juga klas pekerja Israel, Mesir, Libanon, Syria, dan Yordania (yang sama-sama sangat menderita karena krisis keuangan Amerika Serikat yang telah bermetamorfosis menjadi krisis ekonomi global). Dalam solidaritas internasionalisme yang bercorak sosio-demokratik (bukan sosdem!), klas pekerja di Negara-negara ini dapat mengadakan pemogokan yang akan melumpuhkan rezim-rezim reaksioner, mendirikan pemerintahan-pemerintahan sosio-demokratik, mengakhiri penjajahan Israel, dan membangun federasi sosio-demokratik di kawasan tersebut.

Situasi di Timur-Tengah akan menjadi semakin revolusioner seiring dengan kebankrutan klas burjuis nasional dan fundamentalisme Islam, kian merajalelanya kaum imperialis, dan semakin parahnya penderitaan rakyat pekerja. Yang diperlukan adalah peran kepeloporan kaum sosio-demokratik untuk membangkitkan kesadaran pada rakyat pekerja, peasant (buruh tani dan tani gurem), dan kaum miskin kota sebagai subyek sejarah, serta mengorganisir dan memobilisir mereka.

Sebagai seorang Kristen Indonesia yang berhaluan sosio-demokratik, saya menyerukan agar serikat-serikat buruh (yang sejati, bukan yang kuning) mengorganisir massa pekerja untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Saya menyerukan kepada kaum sosio-demokratik internasional, juga partai-partai sosio-demokratik yang benar-benar ber-garis massa di Palestina, Israel, Syria, Yordania, Lebanon, Mesir, bahkan Iran, untuk bergerak. Saya juga menyerukan agar gereja-gereja di Indonesia untuk menyatakan solidaritas kepada rakyat Palestina. Tentu, kita tidak mendukung kaum burjuis nasional dan/atau kaum fundamentalis yang nota bene telah menjerumuskan rakyat Palestina ke dalam penderitaan yang semakin parah – tapi rakyat Palestina, yang membutuhkan kepeloporan partai-partai yang konsekuen dengan komitmen pemerdekaan yang sejati demi tatanan sosio-demokratis sedunia!

Long live the Palestinians!

[1] Khalid Mish’al, “Kebrutalan Ini Tidak Akan Pernah Mematahkan Tekad Kami Untuk Merdeka”, dalam NEFOS, http://www.nefos.org/?q=node/60

[2] Sebagaimana dikutip Ted Sprague, “Solusi Sosialis untuk Masalah Israel-Palestina”, dalam In Defence of Marxism, 9 January 2009, http://www.marxist.com/solusi-sosialis-untuk-masalah-israel-palestina.htm