Senin, 13 April 2020

PASKAH 2020: DARI GALILEA KE GALILEA

schoenstatt.org
Matius 28.1-10, 16-20

Rudolfus Antonius


Laki-laki dari Nazaret itu mengawali pelayanan-Nya di Galilea (Matius 4.12), wabil chusus di wilayah yang secara rasial dan keagamaan paling terpinggirkan. Itulah wilayah yang disebut oleh Nabi Yesaya dari Yerusalem sebagai “Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain” (4.15; lihat Yesaya 8.23). Setelah menamatkan riwayat Kerajaan Israel (utara), penguasa Asyur mengangkut orang-orang dari berbagai bangsa yang telah ditaklukkan ke sana, dan mereka berkawin-campur dengan penduduk Israel setempat.

Semasa Yesus, wilayah itu sudah lazim dikenal sebagai tempat kediaman kaum yang tidak murni Yahudi, kaum yang pada umumnya beragama secara abangan, bahkan biasa diberi label “orang berdosa” oleh para pemuka agama. Di sana banyak orang penyakitan; para pemuka agama menuding mereka sebagai orang-orang yang dikutuk Allah. Di sana banyak orang yang kerasukan setan; para pemuka agama memandang mereka sebagai orang-orang yang dibuang oleh Allah.

Rupanya belum cukup mereka menderita karena penindasan politik yang dilakukan oleh penjajah (Kaisar) dan para kolaboratornya (macam Herodes, raja wilayah Galilea). Belum cukup juga mereka menderita pemiskinan yang sistematis yang dilakukan penjajah dan kolaboratornya (pajak, upeti), otoritas Bait Suci (aneka persembahan), dan para tuan tanah (terhadap kaum tani gurem, penggarap, dan buruh tani). Mereka juga dimarjinalkan oleh sistem keagamaan yang  mencitrakan sosok Allah yang tak lebih dari suatu proyeksi dari sikap kelas penguasa terhadap rakyat pekerja. Walhasil, massa rakyat kaum marjinal itu “lelah dan telantar seperti domba-domba yang tidak memiliki gembala” (9.36).

Yesus, yang dibesarkan sebagai putera seorang tukang (ho tektonos huios, 13.55) di Nazaret, Galilea,  tidak asing dengan penderitaan mereka. Sesungguhnya Ia begitu merasakan penderitaan mereka; hatinya senantiasa tergerak oleh belas kasihan (splanknizomai) kepada kaum yang terpinggirkan itu (9.33; 14.14; 15.32). Ia memilih untuk mengutamakan mereka. Keterpinggiran mereka menjadi dasar bagi-Nya untuk mencari mereka, “domba-domba yang binasa dari keluarga Israel” (ta probata ta apolôta oikuo Israêl, 10.6). Binasa, dalam arti lelah dan telantar (9.36), karena tidak digembalakan oleh para pemuka agama yang justru menyisihkan mereka dari akses kepada Allah. Tapi kini, “bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang” (4.16; lihat Yesaya 9.1).

Njajah desa milang kori, Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat, mewartakan Injil, dan melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu (4.23; 9.35). Kemudian Ia juga mengutus murid-murid-Nya untuk melayani mereka (10.1, 7-8). Ia mewartakan bahwa Kerajaan Sorga (Kerajaan Allah), yakni pemerintahan ilahi yang mentransformasikan dunia melalui perwujudan kehendak Allah di dunia ini, mulai mendatangi dunia. Terutama bagi kaum marjinal itulah Kerajaan Sorga diperuntukkan. Ia mengajak mereka bertobat (4.17), mengucapkan selamat kepada mereka (5.3-12), menggarisbawahi peran mereka yang signifikan dalam transformasi dunia (menggarami bumi dan menerangi dunia, 5.13-16), serta mendorong mereka untuk menjadikan kesucian hati, keyakinan bahwa Allah adalah Bapa, dan keinginan untuk meneladani Allah sebagai titik-tolak beragama (5.17-20, 21-48).

Yesus mengajarkan bahwa Allah adalah Bapa mereka. Ia menyebut Allah “Bapamu yang di sorga” (5.16, 45, 48; 6.1, 4, 6, 8, 14, 15, 18, 26, 32; 7.11; 10.20, 29; 18.14; 23.9). Ia juga mengajar mereka untuk menyapa Dia dalam doa “Bapa kami yang di sorga” (6.9).  

Konfrontasi di Yerusalem dengan kaum penguasa Yahudi (para kolaborator dan manipulator agama) dan penjajah memuncak dalam serangkaian kekerasan yang masif di hampir di sepanjang hari raya Paskah orang Yahudi (lihat Matius 26.17-27.44). Ia divonis mati & dieksekusi atas dengan dakwaan subversif: Inilah Yesus Raja Orang Yahudi (Inilah Yesus Raja Orang Yahudi, 27.37).

Kaum perempuan di antara murid-murid awal Yesus adalah saksi-saksi mata kematian-Nya (27.55-56, 61). Sementara itu, semua murid laki-laki telah melarikan diri meninggalkan Yesus (26.56). Yang paling vokal, yakni Simon Petrus, telah menyangkal Dia sampai tiga kali (26.75). Maria Magdalena dan “Maria yang lain,” dua di antara murid-murid perempuan itu, adalah orang-orang yang pertama kali berjumpa dengan al-Masih, Gusti Yesus, yang telah bangkit dari antara orang mati (28.9).

Dalam perjumpaan itu Gusti Yesus mengutus murid-murid perempuan itu untuk mewartakan kepada murid-murid yang lain bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati dan menunggu mereka di Galilea. Dapat dibayangkan bagaimana mereka harus meyakinkan para murid laki-laki yang telah tercerai-berai itu bahwa Gusti Yesus telah bangkit dari antara orang mati dengan menggarisbawahi bahwa bila mereka ingin berjumpa pula dengan Dia, mereka harus pergi ke Galilea karena Ia telah menunggu mereka di sana. Betapa penting peran perempuan dalam Peristiwa dan Berita Paskah!

Gusti Yesus mengawali pelayanan-Nya di antara kaum marjinal di Galilea. Ia juga memanggil dan mengutus murid-murid-Nya di Galilea (4.18-22, 10.1-5). Kemudian Ia berkonfrontasi dengan elit, kaum penguasa, di Yerusalem.  Sekarang, sebagai Mesias, dengan segala kuasa atau otoritas (exousia) di dalam sorga dan di atas bumi telah dikaruniakan kepada-Nya (28.18a), Ia kembali ke Galilea. Ia juga memanggil dan mengutus murid-murid-Nya di Galilea, supaya dari sana mereka memuridkan segala bangsa bagi-Nya (28.18b-20). Mulai lagi di Galilea, di tengah kaum terpinggirkan, untuk memuridkan segala bangsa. Dari “yang terpinggirkan” untuk seluruh umat manusia!


DUNIA TELAH BERGANTI RUPA!
SELAMAT PASKAH!


Lemah Abang, 12-13 April 2020

JUMAT AGUNG 2020: ALLAH-KU ALLAH-KU, MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU?

beccajrt.blogspot.com

Matius 27.45-49

Rudolfus Antonius


Dalam satu hari, penderitaan demi penderitaan silih berganti mendera Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu. Sifatnya psikis dan fisik. Penyebabnya kelemahan karakter para murid, kepentingan para penguasa, kesewenang-wenangan aparat kekerasan, dan “mulut usil” berbagai pihak.


Murid-murid

Yudas, salah seorang murid, telah menyerahkan-Nya ke tangan para penguasa Yahudi. Petrus, Yakobus, dan Yohanes, tiga murid terdekat, gagal memberikan dukungan moril dan spiritual yang diminta-Nya saat kesedihan yang amat sangat mencekam-Nya. Di kala Ia bergumul sebelum memutuskan untuk menaati kehendak Bapa-Nya, ketiga mereka malah tertidur lelap. Tak lama kemudian, melihat Dia ditangkap tanpa perlawanan oleh “serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung” (26.47), semua murid melarikan diri meninggalkan Dia (26.56b). Akhirnya Petrus, yang pernah mengakui bahwa Yesus adalah “Mesias, Anak Allah yang Hidup,” menyangkal Dia sampai tiga kali tak jauh dari rumah Imam Besar, tempat para penguasa Yahudi mengadili Yesus (26.58, 69-74).

Para Penguasa Yahudi

Kaum penguasa Yahudi, yang terdiri dan para imam kepala dan seluruh Sanhedrin, mengadili Yesus dengan tujuan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya. Untuk itu mereka menghadirkan saksi-saksi dusta (26.3-5, 59-61). Akhirnya Sanhedrin menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya setelah Yesus menjawab secara afirmatif pertanyaan Imam Besar bahwa Ia adalah Mesias, Anak Allah, bahkan menandaskan, “Mulai dari sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit” (26.62-66). Sejumlah anggota Sanhedrin meludahi muka-Nya, meninju-Nya, dan memukul sambil menghina Dia (2.67-68).

Pilatus

Paginya, setelah sepakat tentang cara membunuh Yesus, mereka memperhadapkan-Nya dalam keadaan terbelenggu kepada Pilatus, gubernur (ho hêgemôn) Yudea. Mereka bermaksud meminjam tangan Pilatus untuk mengeksekusi Yesus. Pilatus, yang tahu bahwa para imam kepala dan tua-tua Yahudi menyerahkan Yesus kepadanya karena dengki (phthonos, karena menganggap pengaruh-Nya di antara massa rakyat mengancam status quo dan privilese mereka; lihat 21.46), menyadari tekanan dan ancaman kerusuhan dari massa yang telah dihasut oleh para penguasa Yahudi itu. Akhirnya, sembari berusaha melepaskan diri dari tanggung jawab moral atas kematian Yesus (27.24), ia memutuskan untuk mengeksekusi Yesus (27.26) atas dakwaan melakukan tindakan subversif kelas satu: “Inilah Yesus Raja Orang Yahudi” (Iêsous ho basileus tôn Iudaiôn, 27.27). “Bangsa itu” (ho laos), yang memilih seorang tawanan yang terkenal, yakni Barabas, untuk dibebaskan, dan menuntut agar Yesus disalibkan (27.20-23), menyambut tanggung jawab moral atas kematian Yesus dengan perkataan yang mendirikan bulu roma: darah-Nya atas kami dan atas anak-anak kami (to haima autou eph’ hêmas kai epi ta tekna hêmôn, 27.25).

Para Serdadu Romawi

Kemudian (27.27), seraya menggelandang (paralabontes, dari paralambanô) Yesus ke dalam praitôrion, para serdadu gubernur mengumpulkan seluruh pasukan (yang berkekuatan sekitar 600 orang, speria). Mereka melecehkan Yesus:

  1. Menelanjangi (ekdusantes, dari ekduô) Dia, mereka melilitkan (peritithêmi) jubah ungu kepada-Nya (28);
  2. Menganyam (plexantes, dari plekô) sebuah mahkota dari tetumbuhan duri (akanthês), mereka meletakkan itu di atas kepala-Nya dan buluh bamboo (kalamos) di tangan kanan-Nya (29);
  3. Dengan berlutut (gonupetêsantes, dari gonupeteô) di hadapan-Nya, mereka mengolok-olok (empaizô) Dia: “Salam, wahai Raja orang Yahudi (Chaire, basileu tôn Iudaiôn, 27.29);
  4. Meludahi-Nya (emptuasantes [dari emptuo] eis auton), mereka mengambil (lambanô) buluh bamboo itu dan memukulkan (tuptô) itu ke kepala-Nya (30).


Sesudah mengolok-olok (empaizô) Dia, mereka melepaskan (ekduô) jubah itu daripada-Nya dan memakaikan (enduô) kepada-Nya pakaian-Nya, dan menggiring (apagaô) Dia untuk disalibkan (27.31).

Sesampai di Golgota (27.33, 34), mereka memberi minum Yesus “anggur yang telah dicampur dengan empedu” (onion meta cholês memigmenon). Obat untuk membunuh rasa sakit! mengecapnya, Yesus tidak ingin meminumnya! Jelas, Ia bertekad untuk menjalani penderitaan-Nya dengan sadar! Kemudian (27.35-37) mereka menyalibkan Yesus. Di atas kepala-Nya diletakkan tulisan yang menyebut alasan mengapa Ia dieksekusi dengan penyaliban: “Inilah Yesus Raja Orang Yahudi.” Laki-laki Bersandal itu disalibkan sebagai musuh yang membahayakan negara Romawi! Setelah itu mereka membagi-bagikan pakaian Yesus dengan membuang undi. Setelah itu mereka duduk, menjaga Yesus.

Yang Lain-lain

Orang-orang yang sedang lewat (hoi paraporeuomenoi, 27.39-40) terus menghujat (eblasphêmoun, bentuk imperfect active indicative dari blasphêmeô) Dia sambil menggelengkan kepala. Kata mereka:

Hai Engkau yang mau meruntuhkan Bait Suci
dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari,
jikalau Engkau Anak Allah,
turunlah dari salib itu dan selamatkanlah diri-Mu!"

Mereka memadukan dakwaan dan kesaksian dusta (Engkau yang mau meruntuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari) dengan tantangan yang mengingatkan Yesus pada gaya Iblis saat mencobai-Nya (“jikalau Engkau Anak Allah…”).

Imam-imam kepala bersama-sama ahli-ahli Taurat dan tua-tua (27.41-43), para penguasa Yahudi itu, mengingatkan kita pada kelakuan para serdadu Pilatus terhadap Yesus bahkan perkataan Iblis. Mengolok-olok (empaizô) Dia, mereka berkata:

Orang lain Ia selamatkan,
tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!

Jika Ia Raja Israel,
baiklah Ia turun dari salib itu,
maka kami akan percaya kepada-Nya.

Ia mempercayakan diri-Nya kepada Allah:
Biarlah Allah menyelamatkan Dia sekarang,
jikalau Allah berkenan kepada-Nya!
Karena Ia telah berkata: Aku Anak Allah.

Bahkan, dua orang perampok (hoi lêstai), yang disalibkan bersama dengan Dia di sebelah kanan dan kiri-Nya (27.38), ikut terus mencela (ôneidizon, bentuk imperfect active indicative dari oneidizô) Dia (27.44).

Ditinggalkan Allah

Laki-laki Bersandal itu mendapati diri-Nya benar-benar sendirian saat didera oleh kekerasan demi kekerasan yang datang bertubi-tubi. Ketika badai kekerasan itu mereda saat “kegelapan meliputi seluruh daerah itu,” Ia sudah terluka sangat parah. Dari jam dua belas siang (waktu orang Yahudi: jam enam [ektê hôra], terhitung dari fajar sebagai paruh kedua dalam satu hari) sampai jam tiga sore (waktu orang Yahudi: jam sembilan [hora enatê]), Yesus mendapati diri-Nya tersalib di dalam kegelapan.

Kita tahu, sehari penuh sejak senja kemarin hingga senja berikutnya adalah Paskah bagi orang Yahudi. Gerhana matahari, yang mendatangkan kegelapan, tidak pernah jatuh di hari Paskah. Tapi kendati tidak ada gerhana matahari, tengah hari di paruh kedua hari itu kegelapan datang.
Dulu, menjelang Peristiwa Keluaran, Yahweh pernah menulahi Mesir dengan kegelapan. Tapi berabad-abad kemudian melalui Nabi Amos Yahweh berfirman akan mendatangkan kegelapan yang akan disusul dengan perkabungan di antara umat-Nya (Amos 8.9-10).

Dulu di Mesir kegelapan adalah tanda penghakiman Yahweh atas Mesir karena menindas orang Israel dan menolak untuk membiarkan mereka pergi. Sedangkan menurut Nabi Amos kegelapan justru merupakan tanda penghakiman Yahweh atas Israel, umat-Nya. Sekarang, saat Yesus tersalib, kegelapan itu datang lagi. Apakah maksudnya? Apakah Allah sedang menyatakan bahwa Ia murka kepada semua pihak yang telah menzalimi Yesus?

Sekitar jam tiga sore (atau jam sembilan menurut waktu orang Yahudi), saat kegelapan berangsur pergi, Yesus menjeritkan, "Eli, Eli, lema sabakhtani?" Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Kita pernah membaca perkataan itu dalam Mazmur 22.22a, yang mengawali sebuah mazmur permohonan, suatu rangkaian doa dari seorang beriman yang teraniaya dan dinistakan. Terucap sebagai jeritan Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu, perkataan ini membuat kita berpikir tentang hubungan antara Yesus dan Allah.

Kita tahu betapa akrabnya Yesus dengan Allah. Bukankah sekurang-kurangnya dua kali Allah menyebut Dia sebagai Anak? (Matius 3.17; 17.5)? Bukankah Yesus biasa menyebut Allah dengan sebutan “Bapa-Ku” (7:21; 10:32; 10:33; 12:50; 15:13; 16:17; 18:10, 19, 35; 20.23; 25:34; 26:29)? Begitu erat hubungan Yesus dengan Allah, sehingga Ia bisa berkata, “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (11.27). Bahkan saat mengalami pergulatan batin di Getsemani dan ditangkap oleh para kaki-tangan kaum penguasa Yahudi, Ia masih menyebut Allah dengan sapaan itu (26.39, 53).

Tapi kali ini, Yesus tidak menyebut menyebut Allah dengan sapaan “Bapa-Ku.” Menjeritkan Mazmur 22.22a, Ia menyebut “Allah-Ku, Allah-Ku…” Sebutan itu masih mengungkapkan adanya hubungan, tapi bukan lagi antara seorang anak dan ayahnya, melainkan seorang penyembah dengan ilahnya. Mengapa demikian? Ini, “… Engkau meninggalkan aku.” Kita bisa memahami: Laki-laki Bersandal itu merasa ditinggalkan Allah. Kita bisa meraba, mungkin Ia merasakan hal itu selama mengalami kekerasan verbal dan non-verbal serta penderitaan psikis dan fisik yang diakibatkannya. Tapi kita tidak boleh mengabaikan kegelapan yang kemudian datang. Itulah puncak dari pengalaman ditinggalkan oleh Allah, yang bagi-Nya tak lain dari puncak penderitaan yang tiada tara. Untuk sejurus waktu, Allah bukan lagi Bapa-Ku, tapi “sekadar” Allah-Ku. Meski demikian, toh Ia tidak berpaling dari Allah. Yesus “masih” menyebut-Nya Allah-Ku. Secara paradoksikal: Sekalipun Engkau telah meninggalkan aku, membiarkan-Ku dianiaya dan dinista habis-habisan, Aku akan tetap menyembah-Mu, tetap mengabdi kepada-Mu. Saat yang sepekat-pekatnya, saat Ia merasakan ketiadaan Allah, Yesus berusaha untuk tetap beriman kepada-Nya.

Penyelamatan dan Hakikat Keselamatan

Jalan untuk “menyelamatkan umat Allah dari dosa-dosa mereka” (Matius 1.21) adalan jalan pengurbanan. Yesus harus memberikan nyawa sebagai tebusan pengganti bagi banyak orang (20.28) atau mencurahkan darah-Nya demi pengampunan bagi banyak orang (26.28). Itu benar-benar terjadi melalui penderitaan mahahebat yang disebabkan oleh kelemahan karakter para murid, kepentingan para penguasa, kesewenang-wenangan aparat kekerasan, dan “mulut usil” berbagai pihak. Puncaknya: Ia harus mengalami ketiadaan Allah di tengah penderitaan itu sendiri. Ia merasa Allah sendiri sedang menghakimi-Nya. Itulah semua yang tercakup di dalam “cawan yang harus diminum-Nya” (26.39-42).

Kisah Sengsara menurut Matius menyajikan Yesus sebagai Sosok yang diserahkan Allah kepada kezaliman manusia dan ditinggalkan-Nya sendirian demi tujuan penyelamatan. Dengan jalan itu digarisbawahilah sifat paradoksikal dari keselamatan itu sendiri. Pertama, di dalam diri Yesus yang pernah ditinggalkan-Nya, Allah menerima semua orang yang datang kepada-Nya dan tidak akan meninggalkan siapapun yang sedang terbenam (atau dibenamkan!) dalam penderitaan. Dalam Yesus, Ia akan senantiasa hadir, bersama-sama dengan mereka (1.23; 18.20; 28.20).  Kedua, dalam umat yang telah diselamatkan kelak, tidak boleh seorang pun menjadi korban atau dikorbankan oleh sesamanya. Sang Kurban adalah Korban, supaya tidak ada lagi yang dikorbankan. ***

Lemah Abang, 10-13 April 2020     



















Minggu, 12 April 2020

KAMIS PUTIH 2020: KEHENDAK-MU, BUKAN KEHENDAK-KU

havenlight.com
Matius 26.36-46

Rudolfus Antonius


Laki-laki Bersandal itu tahu apa yang akan dilakukan para murid kepada-Nya. Yudas akan menyerahkan-Nya kepada para penguasa Yahudi (Matius 26.21, 25). Simon Petrus akan menyangkal-Nya bahkan sampai tiga kali (26.34). Murid-murid yang lain akan meninggalkan diri-Nya (26.31). Ia mengerti bahwa semua itu adalah tikungan-tikungan dari jalan panjang berliku menuju pemenuhan misi besar yang diamanatkan Allah kepada-Nya: Menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka (1.21).

Bagaimana Yesus akan menyelamatkan umat Allah dari dosa-dosa mereka?

Dalam perjalanan menuju Yerusalem Yesus pernah berkata bahwa Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai "tebusan pengganti" (lutron anti) banyak orang (20.28). Penyelamatan adalah penebusan melalui kematian-Nya sendiri!

Baru saja, yakni dalam Perjamuan Paskah (yang merayakan pembebasan orang Israel dari perbudakan di Mesir), Ia menyatakan bahwa darah-Nya adalah darah perjanjian yang sedang dicurahkan demi pengampunan dosa bagi banyak orang (26.31). Darah yang dicurahkan sama dengan nyawa yang diserahkan. Penyelamatan adalah pengampunan dosa melalui kematian-Nya sendiri!

Kita teringat sebuah peristiwa di Gunung Sinai. Yahweh, yang mewahyukan diri sebagai Allah Israel, telah membawa keluar orang Israel dari  Mesir, "rumah perbudakan" itu (Keluaran 20.2). Sebagai Allah Israel, Yahweh menitahkan prinsip dan cara hidup sebagai umat-Nya kepada orang Israel. Musa menuliskannya dalam Kitab Perjanjian, yg terdiri dari Dasa Titah (20.1-17) dan aplikasinya dalam ritus dan kehidupan orang Israel (20.22-23.33). Kemudian ia membacakannya kepada jamaah Israel (24.7a). Respon orang Israel: semua yang telah difirmankan Yahweh akan kami lakukan dan dengarkan (24.7b). Kemudian Musa mengambil darah dari lembu-lembu jantan yang telah dipersembahkan sebagai kurban keselamatan kepada Yahweh (24.5). Ia memercikkan (zâraq) darah itu kepada mereka seraya berkata: "Inilah darah perjanjian (dam-habrît) yang diadakan Yahweh dengan kamu, berdasarkan segala firman ini" (24.8). Dengan jalan itu semua orang Israel terhisab dalam Perjanjian Yahweh. Mereka menjadi satu umat, yakni umat Yahweh.

Dengan menyebut darah-Nya sebagai "darah perjanjian-Ku" (tou haima mou tês diathêkês) Yesus menekankan bahwa melalui kematian-Nya "banyak orang" akan terhisab dalam Perjanjian. Mereka akan menjadi satu umat, yakni umat Yahweh atau umat Allah: Israel yang Baru, yang bukan saja terdiri dari "anak2 Kerajaan" (orang Yahudi), tapi juga "segala bangsa" (pas ho ethnos, Mat 28.19), dari Timur dan Barat (8.11). Jelas, penyelamatan mencakup partisipasi banyak orang dalam Perjanjian yang membuat mereka menjadi satu umat.

Demikianlah: Misi penyelamatan yang diemban Yesus meliputi penebusan, pengampunan dosa, dan penciptaan Israel yang Baru. Itu tercapai melalui kematian-Nya! Paradoks, tentu: keselamatan banyak orang (=umat Allah) melalui kematian Yesus. Dalam pada itu, kematian Yesus melibatkan banyak "tangan" penguasa selain "ulah" Yudas, Petrus, dan murid-murid lainnya. Berdasarkan konflik-konflik dengan para pemuka agama dan penguasa Yahudi, Yesus sudah mengantisipasi bahwa kematian-Nya akan melibatkan para tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, bahkan "bangsa-bangsa" (ho ethnos). Ia akan diserahkan, menanggung banyak penderitaan, dijatuhi hukuman mati, dinista, dicambuki, dan dibunuh dengan cara disalibkan (16.21; 17.22-23; 20.18-19; 26.2). Yesus mengerti bahwa Ia harus (dei, 16.21) mengalami semua itu. Misi "menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka" harus menempuh jalan berliku yang di dalamnya dosa unjuk diri dalam pengkhianatan, kebohongan, dengki, kemunafikan, dan kekerasan yang masif. Sang Penyelamat adalah korban dosa dan kurban tebusan sekaligus!

Laki-laki Bersandal itu sempat diliputi kesedihan yang amat sangat (26.38). Sangat bisa dimengerti. Tapi Ia tahu persis, itulah kehendak Bapa-Nya. Itulah "cawan" yang telah disediakan bagi-Nya, dan Ia harus menerimanya. Suatu misteri besar, tentu. Dalam gamang, sampai tiga kali Ia coba "menawar" keharusan itu.

Menyebut Allah “Bapa-Ku” (alih-alih “Bapa kami,” 6.9), pertama-tama Ia berkata, “Jika mungkin, lewatkanlah cawan ini daripada-Ku” (parelthatô ap’ emou to potêrion touto, 26.39a; TB2-LAI: “Jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripada-Ku”). Tapi Ia segera menyambungnya dengan kata-kata, “Namun jangan sebagaimana yang Aku kehendaki, melainkan sebagaimana yang Kau [kehendaki]” (plên ouch hôs egô thelô all hôs su, 26.39b).

Kali kedua, juga dengan menyebut Allah “Bapa-Ku,” Ia berkata, “Jika cawan ini tidak mungkin lewat daripada-Ku kecuali Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu” (ei ou dunatai touto to potêrion parelthein ap’ emou, ean mê auto piô, genêthetô to thêlema sou, 26.42). Kali ketiga Ia mengucapkan doa itu lagi.    

Kita tahu, Dia mengajar para murid berdoa, "Bapa kami yang di sorga, .. jadilah kehendak-Mu sebagaimana di dalam sorga demikianlah di atas bumi " (Pater hêmôn ho en tois ouranois … genêthêtô to thelêma sou, hôs en ouranô kai epi gês, 6.9, 10). Pada momen kritis itu akhirnya berketetapan hati untuk menerima yang “harus” (dei), yakni kehendak Allah, atas diri-Nya: genêthetô to thêlema sou.

Ia memutuskan untuk "meminum cawan" itu, yakni menjalani sampai tuntas segala penderitaan yang didatangkan oleh kelemahan karakter para murid dan angkara-murka para penguasa. Ia meneguhkan hati untuk diserahkan kepada manusia2 berdosa! Sebagaimana pernah dikatakan-Nya: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia” (ho huios tou anthrôpou paradidosthai eis cheiras anthrôpôn, 17.22) dan “… dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan” (duo hêmeras to pascha ginetai, kai ho huios tou anthrôpou paradidotai eis to staurôthênai, 26.2).

Yesus menegakkan kepala untuk memasuki suatu situasi mengerikan, yakni dijadikan bulan-bulanan secara fisik dan mental oleh sesamanya, hingga di satu titik di mana Ia sempat tidak dapat merasakan kehadiran Allah (27.46) …  Laki-laki Bersandal itu telah menang sejak Ia memutuskan untuk ditenggelamkan di samudera penderitaan hingga ke dasar-dasarnya yang paling dalam!


Lemah Abang, 9-10 April 2020.





Kamis, 09 April 2020

MENJELANG KAMIS PUTIH & JUMAT AGUNG DI TENGAH WABAH COVID-19

www.oneforisrael.org
Rudolfus Antonius

Saya bukan orang pandai, bukan pula orang saleh. Tidak bermaksud menggurui, apalagi menghakimi, moga refleksi ini ada gunanya.

1. Sains beroperasi di wilayah fakta. Alatnya: metode ilmiah. Cara kerjanya: observasi, hipotesis, uji hipotesis, dan teori, penjelasan (Erklaeren), atau pemahaman (Verstehen).

2. Agama beroperasi di wilayah makna. Alatnya: berbagai ritual. Cara kerjanya: refleksi.

3. Sains memasok teori, penjelasan, atau pemahaman. Agama memaknai pasokan tersebut dengan refleksi iman melalui berbagai ritual.

4. Refleksi iman atas pasokan ilmiah berupa teori, penjelasan, atau pemahaman hendaknya menggugah solidaritas dengan sesama dan alam, peka terhadap persoalan2 struktural (ekonomi, sosial, dan politik), serta meneguhkan pengharapan kepada Allah atau Yang Ilahi (=Misteri yang meresapi alam semesta).

5. Refleksi iman bermuara dalam aksi solidaritas,

a. baik yg bersifat karitatif ("memberi sumbangan dalam situasi darurat") maupun transformatif (membangun struktur-struktur alternatif),

b. serta memperkuat hubungan2 kemanusiaan dengan "mengatakan kebenaran di dalam kasih" (aleteuontes en agape, Efesus 4.15; TB-LAI: "dgn teguh berpegang pada kebenaran di dalam kasih") dan "saling menolong memikul beban" (Alelon ta bare bastazete, Galatia 6.2; TB-LAI: "bertolong-tolonganlah kamu memikul bebanmu).

6. Para pemuka agama, khususnya Kristen (agama saya), hendaknya rendah hati: tidak mengklaim ajaran ("teologi") yang dianutnya sebagai kebenaran final dan jawaban atas segala persoalan (lalu menafikan sumbangan sains berupa teori, penjelasan, atau pemahaman ilmiah, apalagi saling bertengkar saling tuding "saya benar situ sesat."

7. Firman Allah tentu "ya" dan "amin," tapi senantiasa perlu dibaca dan ditafsirkan. Pembacaan dan penafsiran atas FA selalu dilakukan dengan perspektif tertentu. Perspektif senantiasa bersifat paradoksikal: memungkinkan kita beroleh pengetahuan sekaligus membatasi pengetahuan kita, termasuk tentang FA.

8. Dengan perspektif, kita memiliki persepsi tentang sesuatu, termasuk FA, lalu kita membangun persepsi itu menjadi narasi. Kita lazim menyebutnya teologi. Dengan narasi atau teologi yg dianut, orang Kristen memaknai hidupnya, juga memaknai sumbangan2 sains.

9. Alih-alih bertengkar saling tuding, akan lebih produktif dan menjadi kesaksian yang baik bila para pemuka agama Kristen bersedia saling mendengarkan narasi-narasi (teologi2) satu sama lain, lalu bertukar apresiasi kritis, kemudian merancang dan melakukan aksi bersama sebagai kesaksian yang mengungkapkan solidaritas dan meneguhkan pengharapan di tengah masyarakat.

10. Bercermin pada para dokter, perawat, dan petugas kesehatan yang hari ini "bertempur" di garis depan merawati para pasien yang terjangkit Covid-19, umat Kristen kiranya dapat melihat Yesus Kristus dalam pengabdian bahkan pengurbanan mereka. Mereka ikut memikul penderitaan umat manusia, bahkan di antara mereka sudah ada yang berkurban nyawa.

11. Gusti Yesus datang supaya kita memiki "kehidupan yg berlimpah-limpah" (zoen echosin kai perisson echosin, Yohanes 10.10). Bila kita sudah memilikinya, hendaknya kita membagikannya kepada sesama dengan solidaritas karitatif & transformatif serta memperkuat hubungan2 kemanusiaan.

12. Alm. WS Rendra, Si Burung Merak, benar:
Luka di bumi ini milik bersama
Masih ada waktu untuk kita berbuat



Lemah Abang, 9 April 2020

Senin, 06 April 2020

PALMARUM 2020: ADA TEMPAT BAGI YANG TERPINGGIRKAN


Matius 20.29-34-21.17

Rudolfus Antonius


Keluar dari Yerikho, menuju Yerusalem: Gusti Yesus dan murid-murid-Nya. Orang banyak dalam jumlah besar (ochlos polus) mengikuti Dia. Syahdan ada dua orang buta di pinggir jalan. Mendengar bahwa Yesus sedang lewat, mereka berseru-seru (ekraxan, legontes): “Kasihanilah kami, Anak Daud!” Perhatikan. Anak Daud adalah sebutan untuk Mesias. Kedua orang buta itu memanggil Yesus “Anak Daud.” Dengan kata lain, mereka menyebut Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu Mesias, ahli waris sejati takhta Daud.

Massa rakyat yang mengikuti Gusti Yesus memarahi (epitimaô, TB-LAI: menegur) kedua orang buta itu. Mereka ingin keduanya diam, jangan berkata-kata lagi (siôpaô). Kita bisa mencandra. Menyebut Yesus “Anak Daud” berarti menyatakan bahwa Dia Mesias. Secara politis ini subversif. Sangat berbahaya. Tapi alih-alih bungkam, kedua orang buta itu malah makin keras berseru-seru (meizon ekraxan legontes): “Kasihanilah kami, Gusti, Anak Daud!” Dilarang keras malah bersuara makin keras. Piye jal. Benar-benar subversif.

Nyatanya, seruan mereka telah membuat Gusti Yesus menghentikan langkah-Nya. Ia memanggil mereka dan berkata, “Kamu ingin Aku melakukan apa bagimu? (ti thelete poiêsô humin;). “Gusti, supaya mata kami terbuka” (Kurie, hina anoichthôsin hêmôn hoi ofthalmoi, TB-LAI: Tuhan, supaya mata kami dapat melihat). Mendengar itu, “tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan.” Splanknizomai. Ia tahu selama ini mereka telah sangat menderita. Ia merasakan penderitaan mereka. Seperti saat Ia melihat massa rakyat yang “susah dan kapiran seperti kawanan domba tak bergembala” (9.36). Persis saat Ia melihat orang banyak dalam jumlah besar (polus ochlos) mencari Dia hingga ke tempat Ia ingin mengasingkan diri setelah mendengar kabar duka kematian Yohanes Pembaptis (14.12-14). Di sana Ia menyembuhkan orang-orang yang sakit (14.14b), kemudian bermukjizat memperbanyak roti dan ikan untuk memberi makan lebih dari lima ribu orang (14.21). Seperti saat Ia melihat lebih dari empat ribu orang yang telah mengikuti-Nya selama tiga hari (15.32a). Tidak mau orang-orang itu pulang dengan lapar dan jatuh pingsan di jalan (15.32b), Ia bermukjizat memperbanyak roti dan ikan untuk memberi makan mereka (15.38). Sekarang, Ia menyentuh mata kedua orang buta itu; seketika itu juga (eutheôs) mata mereka terbuka (20.34a). Mereka pun mengikuti Dia, bersama dengan massa rakyat berjumlah besar itu (20.34b). Anak Daud, Sang Mesias, merasakan penderitaan kaum yang terpinggirkan!

Mendekati Yerusalem, massa rakyat yang mengiring dan menyambut Gusti Yesus bak tenggelam dalam euforia. Massa yang menyambut “menggelar karpet merah”: menghamparkan jubah-jubah mereka di jalan yang akan dilalui Gusti Yesus dan menyebarkan ranting-ranting pohon, yang telah mereka potong, di jalan. Massa yang mengiring, baik yang di belakang maupun yang di depan-Nya, mengelu-elukan Gusti Yesus sebagai Mesias: Anak Daud (21.9). Saat Yesus memasuki Yerusalem, seluruh kota gempar dan bertanya-tanya. Massa rakyat berkata, “Dialah Nabi Yesus, [nabi] dari Nazaret Galilea” (21.11).

Tiba di Yerusalem, Gusti Yesus memasuki Bait Suci. Ia mengusir “semua orang yang berjual beli” di sana. Kata “mengusir” (ekballô) berkonotasi keras. Paling sering kita menemukan kata ini dalam rujukan-rujukan tentang pengusiran setan (lihat Matius 8.16, 31; 9.33, 34; 10.1, 8; 12.24, 26, 27, 28; 17.19). Tidak sekadar mengusir, Yesus juga “membalikkan meja-meja para penukar uang dan bangku-bangku para pedagang merpati.”

Bukan tanpa sebab, dan Ia mengemukakannya dengan tandas. “Ada tertulis,” kata-Nya, “Rumah-Ku akan disebut rumah doa” (ho oikos mou oikos proseuchês klethêsetai, Matius 21.13a. Lihat Yesaya 56.4-8; beytî beyt-tǝfilâh yiqrâʼ lǝcâl-hâʽamîm [ay 8]; TB-LAI: “rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa”).

“Tetapi,” sambung-Nya, “kamu telah membuatnya menjadi persembunyian para perampok” (humeis … auton epoiêsate spêlaion lêstôn, TB-LAI: “kamu menjadikannya sarang penyamun.” Lihat Yeremia 7.11: hamʽârat pâritsîm hâyâh habayit hazeh ʼasher-niqrâʼ-shǝmî ʽâlâyw bǝʽeyneykem, apakah  TB-LAI: “Sudahkah menjadi sarang penyamun di matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini?”).

Alih-alih menjadi rumah doa (oikos proseuchês), Bait Suci (rumah Allah) telah dibuat menjadi sarang penyamun (TB-LAI) atau persembunyian para perampok (spêlaion lêstôn)! Dalam transaksi jual-beli, termasuk pertukaran uang yang digelar di Bait Suci, telah terjadi perampokan. Bait Suci melegalkannya dan dengan demikian mengelabui mata umat yang datang untuk mempersembahkan kurban dalam rangka beribadah kepada Allah. Termasuk kaum miskin, yang hanya sanggup mempersembahkan kurban berupa burung merpati! Karena itu Bait Suci telah berfungsi menjadi persembunyian para perampok!  

Selanjutnya terlihatlah pemandangan yang mencengangkan. Sebagai ganti para perampok yang “terhormat” itu adalah orang-orang buta dan orang-orang timpang. Mereka datang kepada Yesus di Bait Suci, dan Laki-laki Bersandal itu menyembuhkan mereka (21.14). Kita dapat segera merasakan bahwa saat itu Bait Suci kembali menjadi rumah doa. Ya, rumah doa bagi orang-orang buta dan orang-orang timpang. Rumah doa bagi kaum yang terpinggirkan!

Dahulu kala, saat berusaha merebut kota Yerusalem, Raja Daud merasa sangat terhina ketika orang Yebus, penduduk asli kota itu, berkata kepadanya: “Engkau tidak sanggup masuk ke mari; orang-orang buta dan orang-orang timpang akan mengenyahkan engkau!” (2Samuel 5.6). Mengejek Raja Daud, mereka sesumbar bahwa ia tidak akan berhasil merebut Yerusalem: Jangankan merebut kota itu, menghadapi penduduk yang lebih paling lemah di kota itu pun Raja Daud tidak akan sanggup. Raja Daud menjadi sangat geram. Ia bilang, hatinya membenci (sâneʼ) orang-orang timpang dan orang-orang buta (ay 8b). Dengan strategi yang tepat, yakni dengan menerobos masuk melalui saluran air, ia berhasil merebut kota Yerusalem (ay 8a). Namun, entah bagaimana, orang mengatakan “orang buta dan orang timpang tidak akan masuk ke rumah itu” (ʽûr ûpisseakh loʼ yâbôʼ ʼel-habâyît, ay 8c; LXX: tufloi kai choloi ouk eiseleusontai eis oikon kuriou, orang-orang buta dan orang-orang timpang tidak akan masuk ke dalam Rumah Tuhan).

Perlakuan Yesus terhadap orang-orang buta dan orang-orang timpang sangat berbeda dengan sikap Daud (dan orang-orangnya) terhadap mereka. Ia menyambut mereka di “rumah doa” dan menyembuhkan mereka. Padahal, Ia adalah Mesias, Anak Daud! Betapa Anak Daud memberi tempat kepada kaum terpinggirkan, wabil chusus orang-orang buta dan orang-orang timpang di Rumah Tuhan!

Dalam pada itu di Bait Suci juga hadir anak-anak (paidia). Mereka berseru-seru: “Hosanna bagi Anak Daud” (= “ku mohon berilah keselamatan bagi Anak Daud”, 21.15). Bait Suci benar-benar kembali menjadi rumah doa bagi kaum yang terpinggirkan.

Melihat mukjizat-mukjizat yang dibuat Yesus dan anak-anak yang mengelu-elukan-Nya sebagai Anak Daud, para imam kepala dan ahli-ahli Taurat menjadi naik pitam (aganakteô). Boleh jadi mereka terperangah, Yesus bermukjizat mencelikkan mata orang-orang buta dan membuat orang-orang lumpuh berjalan. Tetapi seruan yang mengelu-elukan Yesus sebagai Anak Daud alias Mesias, kedengaran sebagai deklarasi yang memaknai mukjizat-mukjizat tersebut. Sang pembuat mukjizat yang menolong kaum terpinggirkan itu adalah Anak Daud, Sang Mesias itu sendiri. Di bawah kekuasaan Romawi, kemunculan seseorang yang menyatakan diri atau diklaim oleh massa rakyat sebagai Mesias adalah subversif (bdk 27.37). Sangat berbahaya!

Para pemuka agama (dan politisi) itu berkata kepada Yesus, “Engkau dengar apa yang dikatakan anak-anak ini?” (21.16a). Sebuah pertanyaan retorik, tujuannya untuk mengatakan kepada Yesus bahwa Ia sedang mendatangkan bahaya kepada tatanan yang mapan (sistem keagamaan yang berpusat pada Bait Suci dan sistem politik nasional yang “bekerjasama” dengan penguasa Romawi) ATAU kepada diri-Nya sendiri.

Mendengar pertanyaan retorik itu, Yesus menjawab, “Aku dengar.” Ia mengerti apa konsekensi dari tindakan-tindakan-Nya. Lalu sambung-Nya, “belum pernahkah kamu baca: Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian (ek stomatos vêpion kai thêlazontôn katêrtisô ainon)? Ia mengutip Mazmur 8.2 (LXX)! Bukan hanya massa rakyat di jalanan yang menyerukan bahwa Laki-laki Bersandal itu adalah Anak Daud, Sang Mesias. Di Bait Suci, anak-anak pun melakukannya. Allahlah yang telah menaruh itu di mulut mereka. Suatu sindiran, tentu, bagi para pemuka agama dan politisi yang betah dengan status quo yang nyatanya menghisap rakyat (ingat Bait Suci telah menjadi “persembunyian para perampok”) dan memarjinalkan (orang-orang buta dan orang-orang lumpuh).

Di Minggu Palmarum, di awal Pekan Suci, kita diajak untuk melihat sosok Gusti Yesus sebagai Anak Daud alias Mesias yang memberi tempat bagi kaum yang terpinggirkan! ***


Lemah Abang, 5-6 April 2020

Jumat, 03 April 2020

PRA-PASKAH V 2020: AKU AKAN MENDIRIKAN JEMAAT-KU...

lifehopeandtruth.com
Matius 16.13-19; 18.18-20

Rudolfus Antonius



Njajah desa milang kori, tibalah Gusti Yesus dan murid-murid-Nya di Kaisarea Filipi. Dari namanya kita bisa mencandra. Kaisar dan Filipus. Kaisar adalah penguasa tertinggi negara Romawi. Ia seorang raja besar. Filipus adalah penguasa wilayah, bawahan Kaisar. Ia seorang raja kecil. Daerah itu dinamai “Kaisarea Filipi” sebagai penghormatan si raja kecil kepada si raja besar, sekaligus cara si raja kecil mengabadikan namanya. Sembari menghormati penguasa tertinggi, si penguasa wilayah mengabadikan namanya sendiri.

Nabi

Di bawah bayang-bayang kekuasaan raja besar dan raja kecil, Yesus mengajukan pertanyaan kepada murid-murid-Nya. “Orang-orang bilang, siapakah Anak Manusia?” Frase “Anak Manusia” (ho huios tou theou), sebagaimana kita telusuri dalam Injil Matius, adalah cara Yesus menyebut diri-Nya.

  • Lihat Matius 8.20; 9.6; 10.23; 11.19; 12.8, 32, 40; 13.37, 41.
  • Lihat juga Matius 16. 27, 28; 17.9, 12, 22, 28; 20.18, 28; 24.27, 30, 37, 39, 44; 25.31; 26.2, 24, 45, 64.


Murid-murid, yang selain mengembara bersama dengan Yesus juga pernah diutus untuk mengabarkan Injil kepada “domba-domba yang hilang dari Keluarga Israel” (10.5-6), melaporkan apa yang dikatakan orang-orang (hoi anthrôpoi) tentang Yesus. Beragam, tentu. Ada yang bilang bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis, yang telah dieksekusi mati oleh Herodes si raja wilayah, tetapi telah bangkit dari kematian sehingga begitu sakti mandraguna (14.2). Ada yang mengatakan bahwa Ia adalah Elia. Ada yang bilang bahwa Yesus adalah Yeremia. Ada juga yang mengatakan bahwa Ia adalah salah seorang dari para nabi. Meski beragam, semua sama: orang-orang menganggap Yesus seorang nabi.

Mesias

Setelah mendengar anggapan orang-orang tentang diri-Nya, Yesus bertanya lebih lanjut kepada murid-murid-Nya: “Tapi, kamu sendiri bilang, siapakah Aku?” Simon menjawab pertanyaan itu: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang Hidup.” Mendengar jawaban itu, Yesus berucap selamat kepada Simon: “Berbahagialah, Simôn Bariôna.” Mengapa? Karena jawaban tersebut bukan berasal dari “daging dan darah,” melainkan diwahyukan oleh Allah, yang disebut-Nya “Bapa-Ku yang ada di dalam sorga.” Perbandingan yang tersirat: “daging dan darah” menyatakan kepada orang-orang bahwa Yesus seorang nabi semata, sedangkan “Bapa-Ku yang ada di dalam sorga” mewahyukan kepada Simon bahwa Yesus adalah “Mesias, Anak Allah yang Hidup.”

Kemudian Gusti Yesus mengukuhkan “Petrus” sebagai julukan bagi Simon. “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini …” (16.18ab). Dengan julukan itu, Simon menjadi metafora bagi “hê petra” (batu karang, the rock). Adapun hê petra tak lain dari kebenaran yang diwahyukan Allah tentang Yesus, yakni bahwa Laki-laki Bersandal itu adalah “Mesias, Anak Allah yang Hidup.” Dengan julukan Petrus, sosok Simon mengingatkan orang pada jawaban yang benar atas pertanyaan Yesus tentang siapa diri-Nya. Atau: dengan julukan Petrus, sosok Simon mengingatkan orang pada pewahyuan Allah tentang Yesus. Julukan Petrus adalah metafora tentang kebenaran yang diwahyukan Allah tentang Yesus: Mesias, Anak Allah yang Hidup. Yesus adalah Mesias, yang diurapi Allah untuk mengemban kuasa (exousia) dalam rangka mendatangkan Kerajaan Allah dan mewujudkan kehendak Allah di muka bumi seperti di dalam sorga (lihat Matius 6.10; 28.18a). Gelarnya: Anak [dari] Allah yang Hidup, mirip dengan sebutan bagi raja-raja Wangsa Daud (lihat 2Samuel 7.14; Mazmur 2.7). 

Jemaat-Ku

Di atas batu karang berupa pewahyuan Allah bahwa Yesus adalah Mesias, Laki-laki Bersandal itu akan membangun komunitas yang disebut-Nya “Jemaat-Ku” (mou hê ekklêsia, Matius 16.18b). Dibangun “di atas batu karang ini,” Gusti Yesus menandaskan bahwa Gereja atau Jemaat-Nya tidak akan dikalahkan atau dikuasai oleh “pintu-pintu gerbang Hades/dunia orang mati” (pulai Hadou). Gereja adalah milik Yesus Sang Mesias. Junjungan Gereja berkuasa melindunginya dari Maut. Dibaca dengan latar Kaisarea Filipi, pernyataan ini menjadi semakin signifikan: sebuah sindiran halus bahwa kekuasaan Kaisar dan kekuasaan Filipus tunduk kepada Maut, si raja besar dan si raja kecil akan dikuasai oleh kematian; tidak demikian halnya dengan Gereja!   

Kunci-kunci Kerajaan Sorga

Gusti Yesus kemudian memunculkan kontras bagi “pintu-pintu gerbang dunia orang mati,” yakni “kunci-kunci Kerajaan Sorga” (hai kleidia tês basileias tôn ouranôn). Ia akan memberikan amanat sebagai juru kunci Kerajaan Sorga kepada Simon yang dijuluki-Nya Petrus (16.19a), sehingga “apa yang kauikat [dêsês] di atas bumi akan terikat di dalam sorga dan apa yang kaulepaskan [lusês] di atas bumi akan terlepas di dalam sorga” (16.19b).

Tapi kiranya segera menjadi jelas bahwa Gusti Yesus memberikan itu bukan kepada Simon secara pribadi (Simôn Bariôna), melainkan Simon sebagai Petrus, yang mewakili semua murid Gusti Yesus selaku cikal-bakal Gereja-Nya. Sebab dalam kenyataannya Gusti Yesus kemudian juga memberikan kunci itu kepada semua murid: “Sesungguhnya Aku berkata kepada kamu [amên legô humin]: apa yang kamu ikat [dêsête] di atas bumi akan terikat di dalam sorga dan apa yang kamu lepaskan [lusête] di atas bumi akan terlepas di dalam sorga (18.1, 18).

Lantas, apa artinya  “apa yang kau/kamu ikat di atas bumi akan terikat di dalam sorga, dan apa yang kau/kamu lepaskan di atas bumi akan terlepas di dalam sorga”?  

Pertama, penerimaan seseorang ke dalam Kerajaan Sorga ditentukan oleh tanggapannya terhadap hê petra, yang telah diwahyukan Allah kepada Petrus dan ditetapkan Gusti Yesus sebagai dasar bagi Gereja-Nya. Menganggap Yesus sekadar seorang nabi (16.14) tidak cukup untuk membuat seseorang menjadi bagian dari Kerajaan Sorga. Ia perlu tiba pada pengertian dan keyakinan bahwa Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu adalah Mesias, Anak Allah yang Hidup. Dengan kata lain, untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga seseorang perlu memiliki iman yang sama dengan Petrus dan komunitas yang didirikan oleh Gusti Yesus. Dengan mewartakan Kabar Baik tentang hê petra (lihat 24.11), Gereja melaksanakan kehendak Allah, yakni membuka Kerajaan Sorga bagi semua orang, sekaligus “mengikat dan melepaskan” (=menentukan) penerimaan mereka ke dalam Kerajaan Sorga. 

Kedua, pemulihan seorang saudara yang telah berbuat dosa ke dalam Gereja ditentukan oleh tanggapannya terhadap teguran korektif yang diberikan oleh saudara-saudara seiman dan/atau Gereja. Bila yang bersangkutan “mendengarkan” teguran korektif itu (=bertobat), ia dipulihkan ke dalam Gereja (18.15). Bila ia menolak untuk mendengarkan (=tidak bertobat), bahkan ketika Gereja menyampaikan teguran korektif itu, “jadilah ia bagimu seperti orang kafir atau pemungut cukai” (18.17). Dengan menjalankan penggembalaan khusus (yang dilakukan dengan bijak, saksama, dan tegas), Gereja “mengikat dan melepaskan” (menentukan) apakah seseorang yang telah berbuat dosa akan dipulihkan ke dalam Gereja atau tidak. 

Persekutuan

Dalam pada itu, Gusti Yesus memperjelas bahwa Gereja adalah suatu persekutuan. Pertama, persekutuan itu sekurang-kurangnya terdiri dari dua atau tiga orang (18.19-20). Persekutuan itu terbentuk “di mana dua atau tiga orang menghimpunkan diri ke dalam Nama-Ku” (hou … eisin duo e treis sunegmenoi eis to emon onoma, 18.20a, TB-LAI: “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku”). Mereka sepakat untuk dipersatukan di bawah otoritas dan naungan Gusti Yesus, Sang Mesias. Gusti Yesus pun berjanji bahwa Ia akan hadir di tengah-tengah mereka (18.20b).  

Kedua, di dalam persekutuan itu berlangsung dialog: curhat dan cupat me-nguda rasa, yang bermuara dalam kesepakatan. Kedua unsur ini, yakni dialog dan kesepakatan, terkandung dalam istilah sumphôneô (= tiba pada kesepakatan; 18.19a, TB-LAI: sepakat). Apabila persekutuan itu mendoakan apa yang telah mereka sepakati, Gusti Yesus menandaskan bahwa “itu akan dibuat jadi bagi mereka [genêsetai autois, TB-LAI: “permintaan mereka itu akan dikabulkan”] oleh Bapa-Ku yang ada di dalam sorga” (18.19b).  

Demikianlah…

Gereja atau Jemaat didirikan oleh Gusti Yesus berdasarkan jati diri-Nya sebagai Mesias. Gereja adalah milik Gusi Yesus Sang Mesias. Ia berkuasa melindungi Gereja-Nya dari Maut. Gusti Yesus juga, melalui Petrus (16.19) dan semua murid (18.1, 15-18), memberi amanat kepada Gereja untuk berperan sebagai jurukunci Kerajaan Sorga melalui Pewartaan Injil dan Penggembalaan Khusus. Adapun Gereja itu adalah sebuah persekutuan dalam nama Gusti Yesus (18.20a). Di dalamnya orang-orang berdialog untuk tiba pada kesepakatan dan mendoakannya (18-19). Gusti Yesus menjanjikan kehadiran-Nya di tengah-tengah mereka (18.20b). ***


Lemah Abang, 28 Maret – 3 April 2020