Selasa, 23 Juni 2020

TERAWANG IBN SJAMSU: HANTU KOMUNISME

www.deviantart.com/qsy-and-acchan
1. Hantu Komunisme masih bergentayangan di benak sebagian orang di Pulau Melati.

2. Hantu ini sengaja dibuat gentayangan oleh orang-orang licik, yang menemukan titik hubung antara kepentingan ekonomi-politik mereka dan kepicikan sementara orang dalam beragama, politik kebencian yang telah dipupuk sekitar 6 tahun terakhir, dan kemalasan untuk membaca dan menalar kritis sejarah dan politik tanah air.

3. Walhasil, dalil "orang licik memanipulasi orang picik dan fanatik demi kepentingan ekonomi-politik" terkonfirmasi berkali-kali. Saat ini, orang-orang licik itu, yang tidak lain dari faksi2 kelas borjuis yang belum puas dengan pembagian jatah dari jarahan singa atas "penguasaan atas sejengkal tanah, kekayaan alam, dan penduduknya," memanfaatkan jasa sejumlah "ulama" untuk membuat umat tercekam dengan hantu Komunisme dan semakin membenci administrasi Jokowi, serta siap dikorbankan demi kepentingan yang sejatinya tidak ada kaitannya dengan kepentingan umat itu sendiri.      

4. Faksi2 borjuis yang bertikai tahu bahwa Komunisme sudah lama mati. Mungkin sebagian dari "ulama" itu juga mengetahuinya. Tapi kenyataan bahwa hantu Komunisme bergentayangan di benak sebagian orang (=umat) menunjukkan perkawinan haram antara akal licik & culas di satu pihak dan kesadaran palsu & kelumpuhan nalar kritis di pihak lain.    

5. Cekak aos, di balik bergentayangannya hantu Komunisme adalah perselisihan yang belum kunjung berakhir di antara faksi2 borjuis atau kelas penguasa Pulau Melati: mereka belum mencapai kata sepakat dalam pembagian kavling eksploitasi & akumulasi kapitalis di Pulau Melati.

6. Pertikaian ini tentu tidak lepas dari pengamatan dan campur tangan borjuasi internasional, yang selamanya tergiur untuk turut menikmati bahkan mendominasi kekayaan Pulau Melati. Bila perlu, sembari menggembar-gemborkan HAM & demokrasi serta retorika tanggung jawab ekologis, mereka akan mengadudombakan faksi2 borjuis lokal dan mengaduk-aduk masyarakat, tak peduli Pulau Melati menjadi Afghanistan kedua, Irak kedua, Libya kedua, Suriah kedua, dst.

7. Apakah Komunisme? Sangat boleh jadi sebagian dari "ulama" dan sekian banyak umat bahkan rakyat Pulau Melati tidak mengerti apa yg dimaksud dengan Komunisme. Yang ditanamkan dalam benak mereka selama ini adalah konotasi2 demagogis: Komunisme itu atheis, anti-Islam, pembantai ulama dan umat Islam, pengkhianat negara & Pancasila, pembunuh jenderal2...

8. Secara keseluruhan kelas borjuis Pulau Melati merasa perlu mempertahankan hegemoni dari konotasi2 demagogis ini. Semua faksi memiliki senjata bersama untuk menghantam gerakan2 progresif di kalangan rakyat manakala gerakan itu tiba pada satu titik  yang mengancam privilese mereka. Saat gerakan2 progresif tersebut itu dipandang tidak atau belum berbahaya, faksi2 borjuis akan menggunakan konotasi2 demagogis ini untuk saling menghantam di antara mereka sendiri. 

9. Tap MPRS No XXV/1966 melarang Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dari sini mestinya jelas, yang dimaksud dengan Komunisme oleh Tap tsb adalah Marxisme-Leninisme, ideologi resmi Partai-partai Komunis sedunia yang berkiblat ke Moskow atau Peking semasa Perang Dingin.

10. Bila Komunisme, seturut dengan Tap MPRS No XXV/1966, diartikan sebagaimana poin 9, patutlah kita jujur bertanya: bukankah Komunisme sudah kadaluwarsa? Bukankah kegaduhan tentang Komunisme semata mengada-ada tapi masih dipercaya oleh sebagian orang yang terlalu picik sehingga tidak mampu memfilter racun demagogi yang merusak nalar dan hati mereka?

11. Dalam pada itu, kegilaan ini menginsyafkan kita: kaum progresif, yang menjunjung demokrasi seutuhnya (baik politik maupun ekonomi) belum cukup mampu menawarkan baik wacana tandingan yang efektif, maupun wadah & kanal untuk menampung dan menyalurkan "jeritan kaum tertindas" (yg justru dikooptasi oleh bentuk2 agama yang fundamentalistis dan reaksioner yg pada glirannya menguntungkan kelas borjuis itu sendiri).

12. Kita, kaum progresif, harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas lagi!


Lemah Abang, 23 Juni 2020