Jumat, 30 Januari 2009

Demokrasi Burjuis

DEMOKRASI BURJUIS
Pandu Jakasurya

“Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi” (Tan Malaka, Aksi Massa, 1926)

Di dalam Negara demokratis, setiap warga Negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai kepala pemerintahan. Itulah perkataan yang tidak asing lagi bagi kita sementara negeri ini riuh-rendah dengan pesta demokrasi berbeaya mahal, pilkada dan pemilu.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam perkataan itu an sich. Bahkan sudah seharusnya begitu. Persoalannya terletak pada kata-kata “hak untuk dipilih”, yang secara cetha wela-wela tampil sebagai sebuah ironi. Secara teoretis, setiap warga Negara memiliki hak. Tetapi demokrasi bukan sekadar soal teori. Demokrasi adalah juga soal kenyataan. Bila benar demikian, segeralah kita temukan bahwa dalam kenyataannya tidak setiap warga Negara memiliki hak. Bahkan, hanya segelintir warga Negara sajalah yang benar-benar memiliki hak untuk dipilih.

Kenyataan ini mengandaikan sesuatu: seseorang benar-benar berhak untuk dipilih karena sebelumnya memiliki sesuatu yang memungkinkan hak itu teraktualisasi. Apakah yang dimaksud dengan “sesuatu”? Lagi, secara teoretis, visi, kecakapan, dan integritas. Dalam kenyataannya, nampaknya ketiga hal itu tidak cukup. Sebab untuk bisa tampil sebagai calon anggota legislatif atau nyalon entah sebagai bupati-wakil bupati, gubernur-wakil gubernur, atau presiden-wakil presiden, orang perlu mempunyai modal berupa uang. Betapa tidak, baik sebagai orang partai maupun sebagai calon independen, ia butuh uang. Demokrasi itu tidak tanpa prosedur. Tiap tahap dalam prosedur itu membutuhkan uang, apalagi saat kampanye. Jumlah yang dikeluarkan tentu tidak kecil.

Kenyataan ini dapat dinalar sederhana. Pertama, belum tentu orang-orang yang bervisi, cakap, dan berintegritas tinggi bisa teraktualisasikan haknya bila tidak punya uang. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bervisi, tidak berkompentensi, dan tidak berintegritas sangat mungkin mengaktualisasikan haknya bila ia punya uang.

Kedua, tatkala uang menjadi unsur yang sangat vital dalam prosedur demokrasi, itu mengandaikan (i) klas; (ii) kolusi klas; dan (iii) korupsi. Orang yang mempunyai uang untuk “memodali dirinya” untuk tampil ke gelanggang politik adalah orang yang terhisab ke dalam klas yang memegang kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal. Dengan kata lain, klas burjuis, entah burjuis pengusaha, burjuis birokrat, burjuis teknokrat, atau burjuis bersenjata. Tidak heran bila, disadari atau tidak, orang itu tampil untuk mewakili klasnya: seorang calon burjuis niscaya mewakili klas burjuis. Itu sarat dengan kepentingan: kepentingan klas. Karena itu, orang tersebut membutuhkan dukungan finansial pula dari orang-orang dari klasnya. Konkretnya, partai-partai, para caleg, dan para calon kepala pemerintahan memerlukan dukungan dari burjuis pengusaha.

Selanjutnya adalah persoalan balas budi di satu sisi dan perjuangan “mengembalikan modal” bahkan sebisanya beroleh keuntungan melalui jabatan yang telah berhasil diraih. Berkenaan dengan sisi yang pertama, rasanya tidak mengherankan bila pemerintah dan legislatif akan selalu memposisikan diri pada pihak burjuis pengusaha daripada pihak buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota. Tengok saja kebijakan-kebijakan yang dibuat bersama oleh pemerintah dan legislatif berkenaan dengan penanaman modal, hubungan antara kaum majikan dan buruh, kepentingan pemodal dengan buruh tani dan tani gurem, dan kepentingan pemodal dengan kaum miskin kota. Penanaman modal yang tidak mempedulikan hak-hak masyarakat setempat, represi terhadap aksi buruh yang menuntut upah dan jam kerja yang manusiawi, tidak adanya landreform, juga penggusuran pemukiman kumuh kaum miskin kota.

Berkenaan dengan sisi yang kedua, rasanya tidak mengherankan pula korupsi menjadi lestari. Sebab dari manakah tuan-tuan atau nyonya-nyonya yang terpilih itu mengembalikan modal finansial mereka yang tidak sedikit itu? Apakah gaji sebagai “abdi Negara” entah sebagai anggota legislatif atau sebagai kepala pemerintahan cukup untuk “balik modal”? Apalagi bila tuan-tuan atau nyonya-nyonya kita itu berpikir sebagai pedagang dalam mengemban jabatan mereka: bukan hanya balik modal tetapi juga beroleh laba. Di sinilah korupsi menjadi sulit untuk dihindari. Karena itu juga korupsi menjadi sangat sukar untuk dihabisi.

Ketiga, sulit rasanya membayangkan demokrasi seperti ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti untuk memberantas kemiskinan dan memberikan kemungkinan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat untuk menikmati kemakmuran secara merata-berkeadilan. Preferensi para pemimpin tetap pada mereka yang berada dalam klas yang sama dengan mereka, klas burjuis. Tak heran bila kaum burjuislah yang beroleh keuntungan paling besar dalam demokrasi tersebut. Rakyat yang terhisab dalam klas proletar sekadar dimanfaatkan dalam pilkada dan pemilu. Mereka berebut “remah-remah roti” dari proses penciptaan dan distribusi kekayaan. Merekalah yang paling rentan dilanda krisis ekonomi, bencana-bencana alam, dan konflik-konflik horizontal. Sementara itu rakyat yang terhisab dalam burjuis kecil terombang-ambing antara “kebagian” kue kemakmuran dan “kena sial” saat terjadinya krisis-krisis ekonomik.

Demokrasi burjuis! Itulah demokrasi yang sedang berlangsung di negeri tercinta ini. Itulah demokrasi yang bila ditinjau dari sudut pandang kerakyatan tidak lebih baik daripada demokrasi “orang-orang merdeka” a la Athena – suatu demokrasi dari orang-orang yang menikmati kemakmuran berdasarkan nilai lebih yang diperoleh dari pengisapan terhadap kaum yang diperbudak. Suatu demokrasi yang memuja prinsip check and balance di antara lembaga-lembaga tinggi Negara – yakni legislatif-eksekutif-yudikatif – sehingga terkesan jauh dari tirani. Dalam kenyataannya, demokrasi tersebut berpihak pada kepentingan klas “berpunya”: melegitimasi, menjustifikasi, bahkan memperkuat posisi klas yang berpunya untuk tetap berkuasa, menjalankan penghisapan, dan dengan demikian memperkaya mereka at the expense of kemiskinan yang semakin parah bagi sebagian terbesar anggota masyarakat.

Lalu bagaimana?

Kita menginginkan demokrasi yang sejati, demokrasi kerakyatan. Itulah suatu demokrasi yang mengkonkretkan hak warga Negara untuk memilih dan dipilih dengan jalan demokratisasi kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap alat-alat produksi massal. Itulah demokrasi yang mengisyaratkan perlunya pendidikan yang mencerahkan kesadaran kritis klas proletar, memberdayakan, dan memobilisir kaum buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota menjadi suatu massa-aksi guna memperjuangkan hak-hak ekonomik, politik, dan kultural mereka. Itulah demokrasi yang memungkinkan bahkan “seorang yang terkecil di antara kamu” tampil sebagai pemimpin sekaligus pelayan rakyat.

Kita membutuhkan demokrasi yang benar-benar menjembatani “apa yang tertulis” dengan kenyataan. Demokrasi yang menghapuskan ironi dan diskrepansi teori dan praktik! Demokrasi yang tidak menghambur-hamburkan uang demi tampilnya para pelestari penghisapan dan kukuhnya penindasan! Kita membutuhkan demokrasi yang benar-benar progresif, demokrasi yang revolusioner!

Dari situ terbitlah kesadaran bahwa buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota membutuhkan sebuah partai pelopor, a vanguard party. Sebuah partai yang tidak serta-merta ingin terjun ke gelanggang pilkada atau pemilu demi membidik kursi eksekutif dan parlemen. Tapi sebuah partai yang berkomitmen untuk mendidik rakyat tertindas dengan kesadaran kritis, memberdayakan, dan memobilisir mereka untuk meraih dan mengelola kekuasaan secara demokratis, politik maupun ekonomik. Sebuah partai yang berdisiplin tinggi, yang bersih dari oportunisme, pragmatisme, dan mentalitas feodal dan burjuis. Sebuah partai yang tahu betul membaca “tanda-tanda zaman” dan bergerak bersama buruh, buruh tani, tani gurem, dan kaum miskin kota dalam dinamika sejarah yang dialektis dengan segala romantikanya!



PJS_25Ags08

TAMPILNYA PARA JENDERAL SEBAGAI KANDIDAT RI-1


Jelang Pemilu 2009, para purnawirawan jenderal mulai menampilkan diri sebagai kandidat. Wiranto, yang berkendaraan Partai Hati Nurani (Hanura), telah bersumpah bahkan katanya mewakafkan sisa hidupnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Prabowo gencar mempromosikan dirinya melalui iklan-iklan di televisi, baik sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Ketua Umum Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (HPPSI), maupun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang menjadi kendaraan politiknya. Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sedang menjalani setahun terakhir kepresidenannya, tidak mau ketinggalan. Bersama partainya, Partai Demokrat, ia “mengingatkan” rakyat akan pengabdian yang telah dilakukannya bagi kesejahteraan mereka. Sutiyoso, mantan gubernur DKI Jakarta, juga tampil. Putri almarhum Bung Karno, Sukmawati Soekarnoputri, menyatakan bahwa partainya, PNI Marhaenis, akan menggandeng Bang Yos dan mencalonkannya sebagai presiden.

Belakangan, Kivlan Zein tidak mau ketinggalan. Dalam acara The Candidate (yang ditayangkan Metro TV, Kamis, 25 September 2008), ia menyatakan telah mendapatkan dukungan moral dari Amien Rais (yang disebutnya “motor Reformasi”), dukungan partai-partai tertentu, bahkan jaringan keuangan dari luar negeri (berkenaan dengan keduanya ia enggan menyebutkan namanya). Bahkan ia sesumbar akan mengkombinasikan gaya Bung Karno dan Soeharto: seperti Bung Karno yang oratorik dalam berpidato, dan seperti Soeharto dalam pengelolaan administrasi Negara.

Bagaimana kita harus menilai dan menyikapi tampilnya para purnawiran jenderal ke kancah persaingan menuju RI-1?

Dari lima jenderal yang barusan kita sebutkan nama-namanya, SBY-lah yang paling menampakkan ciri burjuis-demokratis. Paling sedikit itu telah diperlihatkannya sejak ia mengepalai pemerintahan sampai saat ini. Mengapa saya katakan demikian? SBY nampak sangat menghormati trias politica. Lihatlah, sepertinya legislatif dan yudikatif bekerja independen, tanpa intervensi eksekutif. Dalam pada itu, SBY juga terkesan peragu mengomandani eksekutif. Nampaknya ia memang benar-benar harus berbagi kekuasaan dengan Jusuf Kalla, si wakil presiden yang pentolan Partai Golkar. Semboyan SBY “Bersama Kita Bisa”, meski kedengaran indah, toh mengandaikan persatuan yang mantap di satu sisi dan kepemimpinan yang kuat di sisi lain. Itu belum juga nampak.

Keempat jenderal lainnya dalam kadar yang berbeda-beda menampakkan ciri burjuis-fasis. Wiranto barangkali yang kurang fasis di antara mereka. Selanjutnya Sutiyoso. Bisa jadi, mereka nampak kurang fasis karena mereka belum banyak bicara di media massa. Dalam hal ini, pepatah bijak nyaris benar: diam itu emas. Prabowo Subianto dan Kivlan Zein menampakkan ciri fasis yang sangat mencolok. Simaklah iklan-iklan politiknya, baik atas nama HKTI, HPPSI, dan Gerindra. Menjadikan dirinya sebagai jurubicara kaum tani dan pedagang pasar, retorikanya terdengar sangat berpihak kepada mereka. Ya, ia berbicara tentang keterpurukan kaum tani dan pedagang pasar di satu sisi dan mengajak bangsa Indonesia untuk mempedulikan mereka. Bagaimana dengan iklannya bersama Gerindra? Ia menginginkan Indonesia Raya kembali jaya, dan sang garuda kembali mengangkasa. Di sinilah persoalannya. Bicara tentang kaum tani dan pedagang pasar, Prabowo membandingkan masa kini dengan masa lalu, yang tak lain adalah masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, ayah mertuanya. Dengan kata lain, kaum tani dan pedagang pasar akan kembali makmur bila Negara menempuh lagi jalan Orde Baru. Demikian pulalah kiranya dengan kejayaan Indonesia. Apa yang tersirat? Kesejahteraan kaum tani dan pedagang pasar serta berjayanya kembali Indonesia, agaknya sukar tercapai bila negeri ini menempuh jalur demokrasi liberal seperti sekarang ini. Ada jalan pintas, yakni fasisme.

Kivlan Zein tidak tampil sebagai sosok yang cerdas di acara The Candidate. Orang ini menampilkan dirinya sebagai hero yang, dengan pernyataannya tentang komitmen terhadap kebenaran dan klaim akan kemampuannya menyejahterakan rakyat Indonesia, mengundang gelak tawa hadirin di studio. Seorang pemirsa, yang bekerja di sebuah lembaga penegakan HAM dan advokasi perempuan, mempertanyakan bagaimana ia menyikapi pemerkosaan terhadap perempuan yang terjadi dalam Peristiwa Mei 1998. Dengan enteng sang jenderal menjawab bahwa kasus-kasus pemerkosaan itu tidak ada buktinya. Suatu jawaban yang tidak patut mengundang gelak tawa, tapi kemarahan dari setiap orang yang masih empunya hati nurani yang belum terdistorsi. Dari pernyataan-pernyataannya, Zein coba menampilkan dirinya sebagai seorang pencinta kebenaran, sekaligus memposisikan dirinya – bila kelak menjadi presiden – sebagai pemberi komando tertinggi. Persoalan-persoalan di masa pemerintahan SBY yang mulur-mungkret penyelesaiannya karena konsekuensi demokrasi liberal yang coba diterapkan di Indonesia yang masih semi-feodal, dijawabnya dengan tandas: mudah, saya akan dengan cepat menyelesaikannya; saya akan berikan perintah … Kivlan Zein juga bicara tentang akan mudahnya investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Apakah karena ia akan menjamin ketertiban dan keamanan a la Soeharto? Ia juga menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang unggul. Tanpa sempat menjelaskan lebih lanjut, ia buru-buru berkilah: Indonesia menjadi bangsa yang ramah-tamah dan bukan marah-marah … Dalam kritik ideologi, apa yang tidak terucap agaknya lebih merupakan hal yang sebenarnya daripada apa yang dikatakan. Bagi saya, orang ini akan membawa Indonesia ke jalan fasisme.

Bila kita renungkan sejarah fasisme baik di Italia (Mussolini) maupun di Jerman (Hitler), kita menemukan dua cara yang agak berbeda yang ditempuh oleh kaum fasis dalam mencapai kekuasaan. Tapi konteks sosio-historis mereka sama: keterpurukan ekonomik dan kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam situasi tersebut, demokrasi liberal dan para pemimpin burjuis-demokratis tidak dapat berbuat banyak. Berbagai pihak sibuk bertengkar demi kepentingan partainya, sementara pihak eksekutif berusaha mati-matian mempertahankan keseimbangan kekuatan. Bila dalam situasi seperti ini klas pekerja benar-benar matang, yakni tercerahkan dan terorganisir, mereka dapat memimpin klas-klas yang miskin-tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan melalui revolusi sosio-demokratis dan mendirikan Diktatur-proletariat. Tapi bila tidak, para (ultra-) nasionalislah yang akan bertindak. Mussolini, dengan milisi fasisnya yang menakutkan, mem-fait accomplii Raja dan rakyat untuk meminggirkan parlemen dan menaruh kekuasaan eksekutif ke dalam tangannya. Kemudian Hitler, yang melalui Partai Nazi-nya merebut kemenangan demi kemenangan dan pemilihan umum, sebelum mem-fait accomplii Presiden Hindenberg untuk menjadikan dirinya Kanselir, dan pada akhirnya membubarkan Republik Weimar dan mendirikan Negara Ketiga. Cara Mussolini dan Hitler agak berbeda, tapi selanjutnya sama: merekalah yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah bagi segenap warga Negara.

Di Indonesia, Soeharto mendirikan fasisme melalui kudeta merangkak terhadap Presiden Soekarno. Itu dilakukannya pasca Gerakan Tiga Puluh September dengan perburuan besar-besaran daging kaum kiri atau merah di seluruh Indonesia, menangkapi para pendukung Soekarno, kemudian menggunakan MPRS untuk memecat sang proklamatir, dan mendudukkan dirinya di kursi kekuasaan. Selanjutnya sama, dialah yang menentukan benar dan salah. Beda dengan Mussolini dan Hitler, fasisme Soeharto sangat mesra dengan Negara-negara kapitalis raksasa macam Amerika dan Inggris ini. Negara-negara “demokrasi” itu pun merasa nyaman dengan Soeharto meski tak terbilang pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pasalnya, kepentingan ekonomi-politik mereka terjamin di Indonesia berkat the Smiling General. Dengan resep pembangunan ekonomi kapitalis yang bernama Developmentalisme, kemelaratan di zaman Soekarno berhasil diatasi.

Bagaimana dengan para jenderal dan Indonesia masa kini? Prabowo dan Zein telah menampilkan dirinya dengan jelas sebagai fasis. Kekuasaan militer dapat dipastikan akan kembali ditegakkan. Hanya itulah jalan bagi tegaknya keamanan dan ketertiban, sebagai syarat pembangunan untuk membuat rakyat kecil kebagian remah-remah roti. Itu pula yang akan membuat Indonesia kembali kelihatan sangar di Asia Tenggara. Wiranto juga jelas bicara tentang kemiskinan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sutiyoso masih belum jelas. Bagaimana dengan SBY? Bila SBY maju lagi ke kancah pemilihan RI-1, bukan tidak mungkin ia sudah berencana untuk mengubah orientasi politiknya. Posisi sebagai pemimpin yang bercorak burjuis-demokratis sangat melelahkan dengan hasil yang sangat bergantung pada permainan untuk mengakomodir berbagai kepentingan burjuis. Beayanya, dari berbagai segi, bisa teramat mahal. Karena itu, bisa jadi, bila terpilih lagi menjadi RI-1, SBY akan banting stir, menempuh jalan fasis pula.

Dalam konteks Indonesia, demokrasi liberal mengantar pada ketidakpastian yang sangat mencemaskan bagi rakyat. Di sana tibalah bangsa ini pada dua pilihan. Pilihan pertama adalah barbarisme, yang akan diakomodir oleh fasisme. Pilihan kedua adalah sosialisme, yang berintikan demokratisasi kekuasaan politik dan demokratisasi kekuasaan ekonomik.*** (Pandu Jakasurya_250908)


Minggu, 18 Januari 2009

BUKAN FUNDAMENTALIS ISLAM, BUKAN ZIONIS KRISTEN

BUKAN FUNDAMENTALIS ISLAM, BUKAN ZIONIS KRISTEN
Oleh: Rudolfus Antonius


Kebencian Endemik

Mengecam, memprotes, dan mengutuk agresi Israel ke Gaza sama sekali tidak sama dengan menyetujui apalagi mendukung kebencian kaum fundamentalis Islam terhadap bangsa Yahudi. Mengapa? Ini menyangkut isu pokok. Kita berbeda dengan kaum fundamentalis Islam perihal isu pokok yang mendasari reaksi terhadap agresi Isrel ke Gaza.

Sebagai manusia yang berhatinurani kita sama sekali tidak dapat membenarkan perlakuan sewenang-wenang dari satu pihak, yang lebih kuat, terhadap pihak lain, yang lebih lemah. Perlakuan sewenang-wenang bisa terjadi dalam semua lapisan hubungan sosial. Itu bisa melibatkan individu, golongan, bahkan Negara atau Negara-negara. Dalam agresi Israel ke Gaza, Israel yang lebih kuat berlaku sewenang-wenang terhadap Palestina yang lebih lemah. Apalagi tindak kesewenang-wenangan itu menelan korban nyawa dari kalangan sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Sangat jelas, hati nurani kita menolak hukum rimba dan setiap praktik yang didasarkan padanya.

Di lain pihak, apakah isu pokok kaum fundamentalis Islam dalam menyatakan sikap mereka terhadap Israel? Paling sedikit kita bisa menimbang kebencian kaum fundamentalis Islam terhadap orang Yahudi.

Kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Kebencian ini berkarakter agamawi: berdasarkan pernyataan-pernyataan tertentu di dalam pustaka-pustaka suci mereka, baik Al-Quran maupun Al-Hadis. Secara historis tentu pernyataan-pernyataan itu tidak lahir di ruang hampa. Pernyataan-pernyataan itu lahir dalam konteks hubungan yang tidak sedap yang terjalin antara Nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi. Di sini saya tidak ingin memasuki telaah tentang persoalan-persoalan yang pernah terjadi di antara mereka. Meski demikian, segeralah kita dapat meraba bahwa pernyataan-pernyataan yang berkonteks sosio-historis itu kemudian menyandang status sebagai pernyataan-pernyataan normatif. Selanjutnya pernyataan-pernyataan tersebut diturunalihkan kepada generasi-generasi selanjutnya dan membentuk roh kebencian kepada orang Yahudi.

Kaum fundamentalis Islam tentu saja tidak mengkritisi pernyataan-pernyataan tersebut. Ini sesuai dengan premis nilai yang dianut. Mereka justru menghidupi dan menghidupkan kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Sebagaimana kita lihat sendiri dalam sebuah acara debat di TV One baru-baru ini, salah satu kelompok dari dua pihak yang berdebat (yang sebenarnya sama-sama menentang agresi Israel ke Gaza), terus merujuk pernyataan-pernyataan pustaka-pustaka suci tentang orang Yahudi. Dari situ mereka menyimpulkan tentang watak orang Yahudi: buruk di zaman Nabi Muhammad, buruk pula untuk seterusnya.

Penilaian yang bernafaskan kebencian endemik ini tentu saja terdengar rasis. Kedengarannya mengejutkan, meski tidak harus demikian, bila pustaka-pustaka suci keagamaan menjadi sumber yang menginspirasikan sikap rasis. Tidak mengherankan juga bila kebencian endemik berbasis pustaka-pustaka agamawi itu tidak membedakan antara orang Yahudi dengan Negara Israel. Padahal, tidak semua orang Yahudi merupakan warga Negara Israel. Tidak semua orang Yahudi pula mendukung agresi Negara Israel ke Gaza, bahkan mereka yang menyandang status sebagai warga Negara Israel. Dalam kenyataannya, di Negara Israel sendiri berlangsung demo-demo warga Negara Israel sendiri menentang agresi Israel ke Gaza. Contoh lain adalah Dekel Avshalom, seorang jurnalis Yahudi berhaluan sosio-demokratik, yang menulis dari Israel untuk situs In Defence of Marxism. Dia seorang Yahudi, warga Negara Israel pula. Tapi ia sangat menentang agresi Israel ke Gaza. Apakah kaum fundamentalis Islam peduli tentang hal ini sehingga tidak gebyah uyah karena prasangka rasial-religiusnya? Dalam kata-kata Ulil Abshar Abdalla:

“… masalah Israel di mata umat Islam bukan sekedar masalah geografi dan perluasan wilayah. Masalah sebenarnya ada di luar itu, yakni konstruksi keyahudian di benak umat Islam sendiri yang dibentuk melalui ajaran agama dan tafsirnya yang sudah berkembang sejak berabad-abad.”[1]

Anti-Semitisme

Dalam pada itu, patut pula kita, sebagai orang Kristen, menimbang sikap orang Kristen terhadap orang Yahudi dan agresi Israel ke Palestina.

Kita tentu mafhum Dunia Kristen (Christendom, corpus christianum) pernah terjangkiti kebencian yang sangat mendalam terhadap orang Yahudi. Kebencian ini juga beroleh pendasaran pada pustaka suci Kristen, Perjanjian Baru. Membaca Perjanjian Baru dengan sadar konteks, yakni mempertimbangkan dengan serius konteks sosio-historis yang melatarbelakangi peristiwa Yesus-historis dan pergumulan Jemaat-jemaat Perdana, kita dapat melacak adanya kepahitan dalam hubungan antara Kekristenan dengan Yudaisme di dalam teks-teks Perjanjian Baru. Kepahitan tersebut terbentuk melalui hubungan dialektis antara peristiwa Yesus-historis dengan hubungan antara Jemaat-jemaat perdana (yang terdiri dari orang-orang percaya yang berlakang Yahudi dan non-Yahudi) dengan penguasa Romawi di satu sisi dan orang-orang Yahudi (yang tidak percaya kepada Yesus).

Peristiwa penderitaan dan kematian Yesus-historis sendiri tidak (atau belum) mengandung isu kepahitan Kekristenan terhadap Yudaisme. Peristiwa itu parallel dengan peristiwa Nabi Yeremia yang hidup sekitar enam abad sebelumnya. Menyampaikan firman Allah yang kedengaran sangat minor kepada rakyat Yehuda dan para pemimpinnya, sang nabi dimusuhi para pemimpin politik dan agama serta mengalami berbagai penderitaan. Kesejajaran ini memperlihatkan isu yang sebenarnya: bukan Yesus versus orang Yahudi, tetapi hamba Allah versus para pemimpin yang tidak mau mendengarkan suara Tuhan.

Ketika Jemaat-jemaat Perdana merenungkan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus-historis, mereka menemukan beragam makna teologis dari peristiwa itu. Misalnya, Yesus adalah Anak Manusia dan Hamba Yahweh par excellence. Allah bukan hanya memvindikasi Yesus melalui kebangkitan-Nya, tetapi juga menjadikan penderitaan dan kematian-Nya sebagai pokok keselamatan segenap umat-Nya. Dia adalah Sang Mesias, yang masuk ke dalam kemuliaan-Nya setelah melalui penderitaan dan kematian. Juga, Dia adalah Pengantara Perjanjian yang Baru, yang dengan penderitaan dan kematian-Nya memperdamaikan dan mempersekutukan kembali Allah dan umat-Nya. Kita melihat bahwa dalam refleksi-refleksi ini kepahitan tidak menjadi isu pokok. Isu pokoknya adalah makna penderitaan dan kematian Yesus bagi keberadaan paguyuban-paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang menjadi pengikut-pengikut-Nya.

Ketika hubungan antara Jemaat-jemat Perdana dengan penguasa Romawi dan para pemuka Yahudi memburuk, mereka menjadikan penderitaan dan kematian Yesus sebagai naratif untuk memaknai kondisi mereka. Penguasa Romawi mulai menghambat Jemaat-jemaat Perdana, sementara para pemuka Yahudi memusuhi bahkan memicu kebencian terhadap mereka. Jemaat-jemaat Perdana ini kemudian memahami kondisi mereka dalam paradigma penderitaan dan kematian Yesus: mereka menderita sebagaimana halnya Junjungan mereka di tangan para pemuka Yahudi dan penguasa Romawi. Mereka merefleksikannya dalam Kisah Sengsara dalam Kitab-kitab Injil Sinoptik, misalnya.

Selanjutnya, sementara perpisahan “sekte” para pengikut Yesus dengan formative Judaism mengkristal menyusul kebijakan-kebijakan para rabbi pasca-Perang Yahudi (66-70 M), Jemaat-jemaat Perdana pun merenungkan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus untuk memaknai posisi mereka selanjutnya. Di satu sisi keruntuhan Yerusalem dalam Perang Yahudi dipahami sebagai hukuman Allah kepada Bangsa Yahudi. Di sisi lain, otoritas formative Judaism pasca Perang Yahudi, dalam rangka mengkonsolidasi Bangsa Yahudi yang terserak-serak, menempatkan orang-orang Yahudi pengikut Yesus di luar Yudaisme. Pada gilirannya orang-orang ini membentuk paguyuban-paguyuban yang terpisah. Misalnya paguyuban yang melahirkan Injil Yohanes. Jemaat-jemaat Perdana pun sekarang memandang diri mereka dan Bangsa Yahudi sebagai dua entitas yang terpisah. Sikap para pemuka Yahudi terhadap para pengikut Yesus pun dipahami sebagai sikap bangsa Yahudi. Orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus, yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada orang-orang non-Yahudi yang percaya, enggan pula menyebut diri mereka Yahudi. Mereka adalah Kristen, seperti halnya orang-orang non Yahudi yang menjadi pengikut Yesus. Di pihak lain, di kalangan orang Yahudi pun muncul legenda-legenda yang menampilkan Yesus sebagai seorang tukang sihir jahat dan seorang anak “haram” dari seorang perempuan zinah.

Kepahitan hubungan antara Jemaat-jemaat Perdana dengan otoritas Yahudi sebagaimana terekam dalam Perjanjian Baru, pada gilirannya bertranformasi menjadi benih-benih Anti-Semitik, yakni prasangka dan kebencian kepada orang Yahudi secara keseluruhan.

Buah-buahnya mulai bermunculan ketika Kekristenan menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi dan Gereja mempunyai kekuasaan politik. Dunia Kristen pun menzalimi orang Yahudi selama berabad-abad lamanya, baik dari pihak Gereja maupun dari pihak pemerintah Kristen. Karl Marx adalah salah seorang yang mengalaminya. Puncaknya adalah holocaust yang dilakukan Nazi pada masa Perang Dunia II. Dalam kata-kata almarhum Rama Raymond Brown, pakar Alkitab Katolik yang termashyur itu,

Manakala Kaisar Konstantinus menjadi Kristen pada awal Abad IV, dan orang-orang Kristen mulai beroleh kekuasaan politik, efek dari sentiment-sentimen permusuhan menjadi berat sebelah. Inilah awal dari sebuah sejarah yang tragis yang akan menyaksikan penindasan dan penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi berlanjut selama berabad-abad, yang mencapai puncaknya yang sangat mengerikan dalam abad kita sendiri.

Bahkan meski Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Reformasi arus utama telah mengaku bersalah dan berupaya membangun hubungan yang baik dengan orang Yahudi, masih ada bagian-bagian dari Dunia Kristen yang menganut Anti-Semitisme. Sebutlah misalnya orang-orang dari kelompok Christian Identity, yang memandang diri Ras Arya sebagai “Israel yang Sejati”.

Zionisme Kristen

Di pihak lain ada juga orang-orang Kristen yang menamakan diri mereka Zionis Kristen. yang sekarang ini mendukung Zionisme dan kebijakan-kebijakan Negara Israel.[2] Mendefinisikan Zionisme Kristen sebagai “sebuah posisi teologis yang melihat suatu keniscayaan masa depan bagi Israel di tanah bapa-bapa leluhur mereka”[3], para penganutnya “bersiap dengan cara doa, penghiburan, dan keterlibatan praktis untuk menjamin kelanggengan dan kejayaan Israel.”[4]

Mempostulasikan pergulatan kosmik antara terang dan kegelapan, Pdt. Malcolm Hedding, salah seorang tokoh Zionis Kristen, menandaskan bahwa Israel akan berada di pusat pergulatan itu. Sebab, Allah akan mendirikan pemerintahan keadilan-Nya atas seluruh dunia dari Israel.[5] Karena itu tidak mengherankan bila “kekuatan-kekuatan kegelapan akan selalu menentang pemerintahan itu dan mereka akan melakukannya terutama dengan berupaya menghancurkan Israel.”[6] Para Zionis Kristen “pasti akan berada di garis depan dari pergulatan ini.[7] Merujuk pada ribuan orang yang akhir-akhir ini menggabungkan diri dengan Zionisme Kristen, Pdt. Hedding menganggapnya sebagai bukti “bahwa Allah sedang mempersiapkan suatu pasukan rohani bagi ‘showdown’ (konfrontasi terakhir) yang akan datang ini.”

Suatu pasukan rohani! Apakah itu berarti mereka tidak akan mengangkat senjata untuk membantu Israel? Anggaplah mereka memang tidak melakukannya. Tapi apa artinya “keterlibatan praktis” di samping doa dan penghiburan?

Kaum Zionis Kristen, melalui kerja sukarela, dukungan politis, dan dukungan finansial mereka kepada Israel dan kausa-kausa Yahudi, telah memperlihatkan bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Israel yang terpercaya. Mereka telah mendonasikan sejumlah besar uang untuk mendukung Israel, termasuk amalan-amalan yang untuk membeayai upaya membawa orang-orang Yahudi dari bekas Uni Soviet dan Ethiopia ke Israel. Sebagai contoh, Pastor John Hagee telah menghimpun lebih dari 4,7 juta dollar untuk United Jewish Communities. Christian Broadcasting Network-nya Pat Robertson telah mendonasikan ratusan ribu dollar untuk menolong orang-orang miskin Yahudi di seluruh dunia untuk pindah ke Israel.[8]

Bahkan,

Manakala industri wisata Israel mencapai suatu titik rendah antara tahun 2000 dan 2003 karena Perang Palestina dan terorisme, para wisatawan Kristen mengunjungi Israel dalam jumlah yang kadang-kadang lebih besar daripada jumlah komunitas Yahudi. Para penginjil televisi seperti Pat Robertson dan Benny Hinn telah mengunjungi Israel dalam kurun waktu ini dan menggunakan siaran-siaran mereka untuk memberitahukan kepada jutaan pemirsa mereka bahwa amanlah untuk mengunjungi Israel. Kelompok pro-Israel lainnya, yakni Christians’ Israel Public Action Campaign, mensponsori empat misi ke Israel. Orang-orang Kristen juga menolong industri wisata dan perekonomian Israel dengan mendatangi pekan “Shop Israel” di mana para pedagang Israel datang ke Amerika dan menjual produk-produk mereka.[9]

Tentu saja tindakan filantropis adalah tindakan yang sangat terpuji. Tetapi membela orang Yahudi dan Negara Israel sembari mengabaikan kesewenang-wenangan Israel bahkan menafikan penderitaan rakyat Palestina adalah suatu kekonyolan tragis yang sama buruknya dengan Anti-Semitisme. Dalam kata-kata Pdt. Alex Awad,

Tidak seperti nabi-nabi Perjanjian Lama, kaum Zionis Kristen tidak mempunyai kata-kata nubuatan untuk menempelak Negara Israel manakala Negara Yahudi itu dengan sewenang-wenang melakukan penindasan. Para Zionis Kristen tidak menyerukan Negara Israel untuk melakukan keadilan. Israel mengambilalih tanah Palestina, menggusur rumah-rumah orang miskin, menghancurkan tanah pertanian mereka dan mengalihkan aliran sumber-sumber air m ereka, sementara banyak orang Kristen Zionis terus memberkati Israel dan mengidungkan puji-pujian mereka.[10]

Tak heran bila Charles E. Colson dari We Hold These Truths mengeluhkan:

Kaum Zionis Kristen, bukan para politisi yang korup, adalah penghalang terbesar bagi perdamaian di AS. Amerika mempunyai jumlah gereja-gereja yang nyaris tak terhitung yang berhimpun secara teratur, tetapi kebanyakan tidak memenuhi peran yang telah diberikan Kristus kepada mereka, yakni untuk berdiri demi moralitas.[11]

Lalu Bagaimana?

Kaum fundamentalis Islam bukanlah sahabat sejati rakyat Palestina. Makian, kutukan, dan ancaman mereka terhadap Israel lahir dari kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Bukan karena solidaritas kepada rakyat Palestina. Bahkan, sementara media massa di Indonesia (terutama televisi) sama sekali tidak menaruh tanda tanya kepada Hamas, perlu juga kita mempertanyakan apakah Hamas benar-benar sahabat sejati rakyat Palestina. Pasalnya, sebagaimana dikemukakan Pandu Jakasurya, aksi-aksi terorisme individual khas fundamentalis Islam yang dilakukan Hamas terhadap Israel sama sekali tidak berguna. Aksi-aksi itu malah membuat warga Israel, termasuk mereka yang terhisab dalam klas pekerja, mendukung pemerintah Israel guna mendapatkan perlindungan. Dalam pada itu, rakyat Palestina kian menderita karena serangan balasan Israel. Patut pula kita menaruh tanda tanya besar perihal motivasi Hamas di balik perlawanan “Daud vs Goliat” terhadap Israel, sementara di depan mata mereka sendiri rakyat Palestina menjadi korban. Israel sewenang-wenang, tapi Hamas mungkin juga patut dituntut pertanggungjawaban bila menjadikan korban warga sipil sebagai strategi memenangkan perang secara politis terhadap Israel.

Kaum Zionisme-Kristen pun bukan sobat sejati rakyat Israel. Dukungan yang mereka berikan dengan berbagai cara justru makin mendorong pemerintah Israel untuk bertingkah adigang-adigung-adiguna terhadap Palestina. Pada gilirannya, rakyat Israel sendirilah yang menderita – serangan-serangan terorisme individual orang-orang Palestina. Dengan jalan itu klas yang berkuasa di Israel pun merasa beroleh pembenaran untuk terus mengganyang Palestina. Demikian seterusnya spiral kesewenang-wenangan berlanjut.

Kalau begitu siapkah sahabat sejati rakyat Palestina dan rakyat Israel? Gereja-gereja Kristen yang berkomitmen pada kasih, kebenaran dan keadilan, serta perdamaian? Itu betul. Tapi, dalam pada itu, Gereja-gereja harus berhati-hati agar kiprah mereka tidak terkooptasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalam tata-dunia yang terkungkung imperialisme ini. Gereja-gereja tetap harus mendampingi rakyat Palestina dan menggugah nurani rakyat Israel. Gereja-gereja harus terus menyerukan perdamaian yang berkeadilan dan keadilan yang memperdamaikan baik kepada Hamas maupun kepada Israel.

Dalam pada itu perlu juga Gereja-gereja melirik mereka yang sebenarnya bisa menjadi rekan seperjuangan demi menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian. Mereka adalah kaum sosio-demokratik yang bekerja mendampingi, mencerahkan, mengorganisir, dan memobilisir massa rakyat pekerja untuk memerdekakan diri dari tatanan yang represif dan eksploitatif – baik di Palestina maupun di Israel, bahkan Mesir, Yordania, Syria, Lebanon, dan Iran. Bila massa rakyat pekerja di negeri-negeri itu bisa mengadakan aksi-massa untuk mendemokratiskan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik di negeri mereka masing-masing, serta dengan semangat Internasionale mendirikan Federasi Sosio-Demokratik di kawasan itu, maka akan selamatlah Palestina dan Israel baik dari ancaman fundamentalisme Islam maupun Zionisme Kristen. Alangkah baiknya bila para pengikut Yesus Kristus yang dititahkan-Nya untuk memperjuangan perdamaian turut serta dalam perjuangan yang bermuara pada pemerdekaan seluruh umat manusia ini!




RA_180109
[1] Ulil Abshar Abdalla, “Sejumlah Pertanyaan Sederhana Sekitar Masalah Palestina-Israel”

[2] Menganut pandangan eskatologis yang dikenal dengan nama Dispensasionalisme, kaum Kristen Zionis meyakini bahwa Yesus Kristus akan mendirikan Kerajaan Seribu Tahun dalam kedatangan-Nya kembali kelak. Kerajaan itu diperuntukkan-Nya bagi Bangsa Yahudi. Adapun Kerajaan itu sedianya sudah berdiri dalam kedatangan-Nya yang pertama, tapi batal karena Bangsa Yahudi menolak Dia. Dalam Kerajaan Seribu Tahun kelak, Bangsa Yahudi percaya kepada Yesus Kristus. Kok bisa? Begini, eskalasi suhu politik di Timur Tengah pada akhirnya akan memuncak dalam terbentuknya koalisi seluruh dunia untuk melawan Negara Israel. Namun Negara Israel tertolong karena bantuan Antikristus yang konon datang dari Uni Eropa. Sesudah itu Antikristus berbalik akan menganiaya orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang setengah-setengah imannya. Pada saat itu orang-orang Kristen yang saleh sudah diangkat. Mereka telah mengalami “pertemuan di udara” dengan Yesus. Dalam masa penganiayaan itu, Bangsa Yahudi bertobat, percaya kepada Yesus Kristus. Kemudian Yesus Kristus pun turun ke muka bumi. Ia membinasakan Antikristus dan mendirikan Kerajaan Seribu Tahun bagi Bangsa Israel. Berdasarkan konsepsi eskatologis mereka, kaum Kristen Zionis mendukung Negara Israel dan membela orang Yahudi – betapapun kejinya kebijakan Negara Israel.

[3] Rebecca Brimmer, Ray Sanders, & Malcolm Hedding, “Joint Response to ‘The Jerusalem Declaration of Christian Zionism’”, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[4] Malcolm Hedding, “The Christian Zionist Movement”, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] David Krusch, “Christian Zionism – Defined”, Jewish Virtual Library, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[9] Ibid.
[10] Alex Awad, “Christian Zionism: Their Theology, Our Nightmare!”, dalam Christian Zionism and Peace in the Holy Land, Peace Office Newsletter, Mennonite Central Committee (July–September 2005) Vol 35, No 3, http://mcc.org/peace/pon/PON_2005-03.pdf

[11] Charles E. Carlson, “The Lie That Justifies Mass Murder: ‘Hamas Hit Us First’”, We Hold These Truths, 1 Jan 2008, http://www.whtt.org/

Selasa, 13 Januari 2009

HARAPAN BAGI GAZA

HARAPAN BAGI GAZA
Oleh: Pandu Jakasurya
Hati nurani siapakah yang tidak terusik dengan serbuan militer Israel ke Jalur Gaza? Serangan yang dimulai di penghujung tahun baru dan terus berlanjut sampai saat ini bukan hanya telah memporakporandakan Gaza, tetapi juga menelan ratusan korban jiwa dan mencederai ribuan orang. Delapan ratus lebih orang Palestina tewas, ribuan lainnya cedera. Mereka bukan hanya dari kalangan Hamas, faksi yang berkuasa di Gaza, tapi juga penduduk biasa. Bahkan, jumlah penduduk biasa yang jadi korban lebih banyak daripada mereka yang sudah terbiasa menyandang senjata. Sangat miris. Selama setengah tahun mereka sangat menderita karena blokade Israel pasca-perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas, sekarang mereka benar-benar berjalan di lembah bayang-bayang maut di tanah tumpah darah mereka sendiri.

Komunitas internasional bereaksi. Protes, kecaman, dan kutukan terhadap Israel membahana; baik dari berbagai Negara, maupun kelompok-kelompok masyarakat. Tak terkecuali, Indonesia. Bahkan beberapa kelompok fundamentalis Islam di negeri menyerukan jihad dan siap mengirimkan jihadis ke Jalur Gaza untuk membela kehormatan Islam, membela umat Islam (karena berlogika Palestina = Arab = Islam), dan membinasakan orang Yahudi. Dewan Keamanan PBB, minus AS yang nota bene merupakan sekutu terdekat Israel, sudah mengeluarkan resolusi: Israel harus menghentikan agresinya. Tapi Israel masih terus melanjutkan serangannya, baik dari udara, laut, maupun darat.

Pihak Israel membenarkan serangan mereka terhadap Gaza dengan mengemukakan pelanggaran gencatan senjata yang dilakukan Hamas. Dari Gaza Hamas telah meluncurkan roket-roket ke wilayah Israel. Dua warga Israel tewas. Dengan dalih melindungi negeri dan warganya, Israel membalas – dengan serangan yang jauh lebih dahsyat dan jumlah korban yang jauh lebih besar. Israel pun menuntut Hamas untuk tidak meluncurkan roket-roket lagi ke wilayahnya. Jika tidak, serangan Israel akan terus berlanjut. Dalam pada itu, Israel juga menuduh Hamas berlindung di balik penduduk biasa Gaza dan dengan demikian bertanggungjawab atas korban sipil yang sedemikian banyak.

Sebaliknya, pihak Hamas justru menyatakan bahwa Israel-lah yang sebenarnya telah melanggar gencatan senjata. Sebagaimana dikatakan Khalid Mish'al, seorang ketua Biro Politik Hamas,

“Selama enam bulan, kami Hamas menaati gencatan senjata. Israel melanggarnya berulang kali sejak dari awal. Israel diharuskan membuka perlintasan ke Gaza dan memperluas gencatan senjata ke Tepi Barat. Ia berlanjut dengan mengencangkan pengepungan mematikannya di Gaza, berulang kali memutus aliran listrik dan persediaan air. Hukuman kolektif ini tidak berhenti, melainkan semakin meningkat lajunya – begitu pun dengan pembunuhan dan pembantaian. Tiga puluh warga Gaza dibunuh oleh tembakan Israel dan ratusan pasien meninggal karena dampak langsung pengepungan selama apa yang disebut dengan gencatan senjata itu. Israel menikmati periode tenang. Rakyat saya tidak.”[1]

Bagaimana kita harus menilai dan menyikapinya?

Pertama perlu dikemukakan bahwa serangan Israel ke Gaza tidak dapat dipahami dan disikapi lepas dari konteks sosio-historis dan geopolitik yang lebih luas, baik secara diakronik maupun sinkronik. Tentu saja akan terlalu panjang untuk menjabarkan hal ini, bahkan sekadar memperbincangkan Deklarasi Balfour dan berdirinya Negara Israel sekalipun. Untuk saat ini cukuplah kiranya bila kita mengatakan bahwa dalam analisis terakhir konflik Israel-Palestina berlangsung dalam bingkai imperialisme Barat di Timur Tengah di satu sisi, dan kegagalan nasionalisme Arab yang dikomandani klas burjuisnya serta kebangkrutan fundamentalisme Islam di pihak lain.

Kaum imperialis Barat (Amerika Serikat dan Uni Eropa) terus berusaha memperkuat pengaruhnya di antara Negara-negara Arab guna kepentingan ekonomi dan politik mereka. Kaum imperialis berhasil menjinakkan klas burjuis nasional yang semula mengibarkan bendera nasionalisme serta memanfaatkan mereka untuk menegakkan pemerintahan yang “demokratis” dan untuk menghadapi elemen-elemen radikal yang membahayakan kepentingan kaum imperialis. Dalam kasus Palestina, tentulah faksi Fatah, dengan Mahmoud Abbas sebagai presiden Palestina. Dalam kasus lain, misalnya Mesir.

Bagaimana kaum imperialis dapat mengkooptasi kaum burjuis nasional? Dalam perjuangan merebut kemerdekaan nasional, kaum burjuis nasional sepertinya memainkan peran progresif. Lazimnya mereka tampil di depan guna memimpin pembebasan nasional. Dalam hal ini mereka memang berhadap-hadapan dengan kaum imperialis. Tapi pada satu titik mereka harus mempertimbangkan dua pihak, yang satu kaum imperialis (yang ingin terus menguasai negeri mereka), yang lain klas pekerja (yang menuntut pembebasan dan menginginkan Negara sosio-demokratik).

Di sinilah watak kelas akan sangat menentukan. Baik kaum burjuis nasional maupun kaum imperialis sama-sama terhisab ke dalam klas burjuis. Sama-sama menghendaki kepemilikan, kontrol, dan akses terhadap alat-alat produksi massal, mereka sama-sama memiliki musuh bersama. Musuh mereka adalah klas pekerja, yang menghendaki agar alat-alat produksi massal tersebut dimiliki, dikontrol, dan diakses secara demokratis. Alih-alih “memaksakan” kemerdekaan nasional tapi harus menyerahkan kepemilikan, kontrol, dan akses itu kepada klas pekerja, kaum burjuis nasional memilih “berdamai” dengan kaum imperialis. Demikian juga sebaliknya. Kaum imperialis tidak rela bila negeri yang biasa atau bisa dieksploitasinya jatuh ke tangan klas pekerja. Karena itu mereka pun memilih “berdamai” dengan kaum burjuis nasional.

Tentu “perdamaian” ini ada harganya: di satu pihak kaum imperialis memberikan “kemerdekaan” dan mendukung kekuasaan kaum burjuis nasional; dan di pihak lain kaum burjuis nasional membuka negerinya bagi modal kaum imperialis, menjalankan kekuasaan menurut tatanan yang ditetapkan kaum imperialis, serta merepresi elemen-elemen radikal yang bisa membahayakan kepentingan kaum imperialis.

Selain hubungan antara kaum imperialis dengan kaum burjuis nasional, perlu juga diperhatikan kaum fundamentalis Islam. Para pemimpin fundamentalis Islam berasal dari klas feudal dan klas burjuis. Tentu mereka berbeda dengan kaum burjuis nasional. Sementara kaum burjuis nasional cenderung sekuler dan bersikap akomodatif terhadap kaum imperialis, para pemimpin fundamentalis adalah sebaliknya. Tapi seperti halnya kaum burjuis nasional, mereka juga ingin berkuasa. Kekuasaan mereka adalah kekuasaan yang berdasarkan agama. Karena itu Negara yang diidam-idamkan adalah Negara totaliter berbasiskan agama. Dalam Negara totaliter itu, klas feudal dan klas burjuis sama-sama mendapatkan pembenaran agama atas kekuasaan mereka. Dalam pada itu patut pula dikaji: bila kedua klas itu sama-sama berbagi kekuasaan di dalam sebuah Negara totaliter, apakah mereka bisa menjalani hidup bersama secara damai (peaceful coexistence)? Rasanya tidak, sebagai menurut watak kelasnya, kedua klas itu sebenarnya sangat bertentangan.

Apa hubungan kaum fundamentalis Islam dengan kaum burjuis nasional dan kaum imperialis? Karena kaum imperialis dan kaum burjuis nasional mengetahui bahwa kaum fundamentalis Islam menghasrati kekuasaan, maka kedua belah pihak itu ingin melumpuhkan mereka. Dalam hal ini kaum imperialis dan kaum burjuis nasional beroleh pembenaran dalam aksi-aksi terorisme individual yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan fundamentalis Islam. Tentu saja kaum fundamentalis Islam tidak tinggal diam menghadapi upaya kaum imperialis dan kaum burjuis nasional. Mereka mengadakan perlawanan. Mereka terus melancarkan gerakan untuk menyebarkan idea-idea tentang khilafah. Mereka juga “menunjukkan gigi” dengan melakukan aksi-aksi terror individual. Di Palestina, Hamas nampaknya menjadi sebuah kendaraan bagi kaum fundamentalis (meski kita tidak dapat mengatakan bahwa semua personil Hamas adalah muslim apalagi fundamentalis).

Kedua, melalui analisis klas terhadap konteks sosio-historis dan geopolitik konflik Israel-Palestina, agaknya kita dapat memahami mengapa konflik itu terus berlangsung dan mengapa perlawanan Palestina sekian lama tidak juga mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya.

Aksi-aksi teror individual, yang pernah dilakukan puluhan tahun oleh PLO-nya Yasser Arafat, terbukti gagal mengalahkan Israel dan memerdekakan rakyat Palestina. Kenyataannya, teror-teror individual di satu sisi malah membuat solid klas penguasa Israel. Pasalnya, menjadi sasaran teror-teror itu, rakyat Israel semakin mendukung pemerintahnya. Demikian juga klas pekerja di sana. Di sisi lain, teror-teror individual justru memperparah penderitaan rakyat Palestina. Pasalnya, karena teror-teror itu Israel merasa beroleh pembenaran untuk mengadakan pembalasan, “menghukum” rakyat Palestina. Bisa jadi Hamas lupa atau malah mengabaikan pelajaran-pelajaran pahit ini. Dengan teror-teror individual yang dilakukannya, termasuk meluncurkan roket-roket yang toh tidak melumpuhkan instalasi militer Israel tapi justru menambah sengsara kehidupan rakyat pekerja di sana, Hamas memperkuat posisi klas penguasa Israel dan memperparah kesengsaraan rakyat Palestina.

Di lain pihak, perjuangan kaum burjuis nasional yang sudah sama sekali kehilangan élan progresifnya juga tidak lebih baik. Meja-meja perundingan kaum burjuis nasional dengan Israel dan kaum imperialis (yang berpretensi memperlihatkan jasa baik demi hak asasi, demokrasi, kapitalisme, dan perdamaian dunia), sesungguhnya merupakan kapitulasi. Kapitulasi itu secara hakiki (i) tidak memerdekakan rakyat Palestina; (ii) memberikan peluang seluas-luasnya kepada Israel untuk memanipulir perjanjian-perjanjian damai demi kepentingannya sendiri; (iii) menguntungkan kaum imperialis (karena memantapkan pengaruhnya atas pemerintahan boneka burjuis nasional); dan (iv) memberikan sepotong kekuasaan kepada birokrasi burjuis nasional atas negeri dan rakyat Palestina.

Sikap bangsa-bangsa yang tergabung dalam Liga Arab dan Organisasi Negara-negara Islam Dunia pun tidak dapat diharapkan. Solidaritas mereka baru sampai pada tahap memprotes, mengecam, atau mengutuk Israel. Kata seorang analis, ngomong doang. Contoh yang paling mencolok adalah Mesir. Ketika pasukan Israel mengebom Gaza, Pemerintah Mesir malah menutup perbatasannya untuk mencegah eksodus rakyat Gaza yang ingin menyelamatkan dirinya dari serangan misil Israel. Menurut laporan BBC London,

“ketika pesawat-pesawat jet yang membombardir Gaza Selatan, ratusan rakyat Gaza berlari menuju pagar perbatasan Gaza-Mesir, tetapi pasukan keamanan Mesir menembaki mereka untuk mencegah mereka masuk ke Mesir.”[2]

Hal-ihwalnya tak sukar diraba, rezim burjuis nasional atau penguasa feudal mereka sama-sama memiliki kepentingan-kepentingan ekonomiko-politik yang tak terpisahkan dari hegemoni kaum imperialis – baik Amerika Serikat maupun Uni Eropa.

Lalu bagaimana?

Seorang rekan pernah mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini, Hamas mempunyai empat kemungkinan bertindak. Pertama, meneruskan cara berperang seperti sekarang, yakni terus-menerus melancarkan balasan dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel dan melakukan perang kota dengan menjadikan warga sipil sebagai perisai. Dalam skenario ini, perang akan berlangsung lama – dan korban pun kian banyak. Kedua, menghadapi Israel secara terbuka tanpa melibatkan rakyat Gaza. Dalam skenario ini, kata teman saya, Hamas bersikap ksatria. Perang pun akan berakhir dalam waktu singkat, dengan kekalahan total hampir pasti di pihak Hamas. Ketiga, Hamas menyerah. Tentu saja ini mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi, baik dari kalangan penduduk biasa maupun Hamas sendiri. Tapi ini menyangkut harga diri para pejuang militan itu. Keempat, Hamas (dengan bantuan Iran dan Syria) mempersenjatai segenap penduduk sipil untuk mengadakan “perang rakyat” melawan Israel. Skenario ini akan memperpanjang perang. Mungkin Israel akan gagal menaklukkan Hamas dan Gaza. Tapi ini akan menelan korban sangat besar, baik di pihak Gaza, juga Israel. Lagipula patut diragukan apakah rakyat sipil Gaza siap memanggul senjata.

Tanpa bermaksud menjadikan tragika rakyat Gaza obyek analisis semata, saya cenderung pada perlawanan klas pekerja. Perlawanan ini sama sekali bukan terorisme individual, tetapi aksi-massa revolusioner yang terorganisir di bawah kepemimpinan suatu vanguard party yang benar-benar berwatak klas pekerja. Aksi-massa ini bukan hanya melibatkan klas pekerja Palestina, tetapi juga klas pekerja Israel, Mesir, Libanon, Syria, dan Yordania (yang sama-sama sangat menderita karena krisis keuangan Amerika Serikat yang telah bermetamorfosis menjadi krisis ekonomi global). Dalam solidaritas internasionalisme yang bercorak sosio-demokratik (bukan sosdem!), klas pekerja di Negara-negara ini dapat mengadakan pemogokan yang akan melumpuhkan rezim-rezim reaksioner, mendirikan pemerintahan-pemerintahan sosio-demokratik, mengakhiri penjajahan Israel, dan membangun federasi sosio-demokratik di kawasan tersebut.

Situasi di Timur-Tengah akan menjadi semakin revolusioner seiring dengan kebankrutan klas burjuis nasional dan fundamentalisme Islam, kian merajalelanya kaum imperialis, dan semakin parahnya penderitaan rakyat pekerja. Yang diperlukan adalah peran kepeloporan kaum sosio-demokratik untuk membangkitkan kesadaran pada rakyat pekerja, peasant (buruh tani dan tani gurem), dan kaum miskin kota sebagai subyek sejarah, serta mengorganisir dan memobilisir mereka.

Sebagai seorang Kristen Indonesia yang berhaluan sosio-demokratik, saya menyerukan agar serikat-serikat buruh (yang sejati, bukan yang kuning) mengorganisir massa pekerja untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Saya menyerukan kepada kaum sosio-demokratik internasional, juga partai-partai sosio-demokratik yang benar-benar ber-garis massa di Palestina, Israel, Syria, Yordania, Lebanon, Mesir, bahkan Iran, untuk bergerak. Saya juga menyerukan agar gereja-gereja di Indonesia untuk menyatakan solidaritas kepada rakyat Palestina. Tentu, kita tidak mendukung kaum burjuis nasional dan/atau kaum fundamentalis yang nota bene telah menjerumuskan rakyat Palestina ke dalam penderitaan yang semakin parah – tapi rakyat Palestina, yang membutuhkan kepeloporan partai-partai yang konsekuen dengan komitmen pemerdekaan yang sejati demi tatanan sosio-demokratis sedunia!

Long live the Palestinians!

[1] Khalid Mish’al, “Kebrutalan Ini Tidak Akan Pernah Mematahkan Tekad Kami Untuk Merdeka”, dalam NEFOS, http://www.nefos.org/?q=node/60

[2] Sebagaimana dikutip Ted Sprague, “Solusi Sosialis untuk Masalah Israel-Palestina”, dalam In Defence of Marxism, 9 January 2009, http://www.marxist.com/solusi-sosialis-untuk-masalah-israel-palestina.htm

GEREJA KIRI: SUATU PERMENUNGAN


Di sepanjang sejarahnya umat manusia senantiasa bergolak di seputar tema keadilan dan perdamaian. Tanpa bermaksud naïf simplistis, pergolakan itu segera membedakan dua barisan yang berbeda paradigma, tafsir, dan praksis soal apa dan bagaimananya keadilan dan perdamaian.

Keadilan dan Perdamaian: Pihak yang Berkuasa

Bagi pihak yang berkuasa, yang sebetulnya merupakan koalisi pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan kekuasaan politis-birokratis, militer, dan para pemilik alat-alat produksi, keadilan berarti rembesan kemakmuran ekonomis yang terkendali mirip sebuah toples bersekat-sekat dan berlubang-lubang yang di setiap biliknya ikan-ikan berenang kian kemari berupaya menyambung kehidupan. Atau, kue besar yang bagian terbesarnya dibagi-bagi di antara para pelaku simbiosis struktur atas, sedangkan remah-remahnya diperuntukkan bagi rakyat yang tidak memiliki alat-alat produksi dan hanya bermodalkan tenaganya semata. Jaringan pihak yang berkuasa alias simbiosis struktur atas tentu saja berusaha melestarikan ‘berkat-berkat istimewa’ yang telah dan sedang mereka nikmati. Hal ini mereka perbuat dalam tataran sosio-politis, yang bagi mereka merupakan kendaraan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik.

Mereka mengemudikan kendaraan itu baik secara legal-formal dengan simulacra hukum positif, maupun premanisme yang siap dan terus menggebuki rakyat yang membangkang. Mengenai pelestarian kepentingan-kepentingan ekonomi-politik secara legal-formal, pihak atau kelas yang berkuasa menggunakan demokrasi politik guna meredam kegusaran rakyat yang tidak memiliki alat-alat produksi dengan jalan meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki hak politik yang sama dengan pihak-pihak yang bersimbioses secara mutualistis di struktur atas. Pihak yang berkuasa menjinakkan rakyat yang tidak berpunya dengan demokrasi politik. Dalam mekanisme semacam itu, parlemen alias dewan perwakilan rakyat merupakan lembaga kuasi-demokratis yang diklaim sebagai penyambung aspirasi rakyat, tetapi sebenarnya berfungsi untuk meredam tuntutan-tuntutan rakyat terhadap jaringan para penguasa. Parlemen adalah alat struktur atas untuk melemahkan kekuatan rakyat secara konstitusional. Sedangkan partai-partai adalah alat-alat untuk memecah-belah suara rakyat. Demokrasi Liberal adalah permainan cantik pihak yang berkuasa. Seperti para seniman bola Brazil menari-nari di lapangan hijau, para kapitalis menari-nari girang bersama-sama dengan para pemangku kekuasaan eksekutif dan pentolan-pentolan militer di negeri yang di dalamnya berlaku pepatah miris Rhoma Irama, ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’. Sementara itu, terutama sekali di negara-negara terbelakang, bila permainan cantik nampaknya tidak akan berhasil, apalagi bila rakyat yang tidak memiliki alat-alat produksi mulai menampakkan gejala-gejala revolusioner, taktik para penguasa tentu membutuhkan piranti pembantu, atau mengalami perubahan performance secara drastic, atau bisa juga menggabungkan strategi hukum positif dengan perilaku represif berhukum rimba yang berada di luar jangkauan hukum positif. Premanisme politik, itulah barangkali penamaan yang cocok. Rezim yang fasistik dictator totaliter menggemari kuasi-demokrasi yang membuat hasil pemilihan umum sudah diketahui sebelumnya, dan yang memungkinkan tindakan represif main gebuk culik serta character assassinasin model bersih-diri bersih-lingkungan.

Bicara tentang perdamaian, bagi pihak yang berkuasa, itu berarti ‘tertib aman terkendali’. Rakyat ‘jinak’, tidak berontak walaupun diinjak, tidak lagi memiliki denyut nadi revolusioner yang kerap dicap subversive, dan nurut manut pada kebijakan penguasa meski kebijakan itu tidak pernah berpihak pada kepentingan mereka. Kepada mereka pihak yang berkuasa, melalui mulut pemangku jabatan eksekutif, mendengung-dengungkan ilusi bahwa kemakmuran atau kehidupan yang lebih layak terbuka bagi semua orang mau bekerja keras berpartisipasi dalam pembangunan. Bersamaan dengan itu para kapitalis melancarkan trik-trik untuk mengamankan sebagian terbesar dari kue kemakmuran sembari menyisakan atau menyisihkan sebagian kecilnya guna menjaga keseimbangan sosial – sementara itu rakyat jelata, ya, mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi dan tidak memiliki akses terhadap kekuasaan, memperebutkannya. Sementara itu militer berjaga-jaga melindungi para pemilik alat-alat produksi dengan memelihara keamanan dan ketertiban, serta merepresi setiap tuntutan aspiratif rakyat jelata yang menggejolak.

Keadilan dan Perdamaian: Rakyat Jelata

Lalu bagaimana rakyat jelata, ya, mereka yang terhisab dalam ‘struktur bawah’, yang tidak memiliki alat-alat produksi dan tidak mempunyai akses terhadap kekuasaan, memahami dan menghayati keadilan dan perdamaian? Sementara demokrasi politik dalam bingkai Liberalisme sesungguhnya merupakan ‘demokrasi’-nya kaum struktur atas, yakni penguasa, para kapitalis, dan militer, guna melanggengkan penguasaan mereka atas hajat hidup orang banyak – dan dengan demikian tidak memungkinkan demokrasi ekonomi. Dengan demikian, keadilan dan perdamaian dalam paradigma struktur atas sesungguhnya merupakan ketidakadilan, penindasan, penghisapan manusia atas manusia, dan perdamaian yang dipaksakan, coercive peace (suatu contradictio in terminis!).

Keadilan bagi kaum struktur bawah berarti terhapusnya struktur yang secara inheren berkelas-kelas. Keadilan bagi mereka adalah demokratisasi alat-alat produksi dan pengelolaannya. Keadilan adalah akses terhadap kekuasaan terbuka bagi semua orang dan penggunaannya secara demokratis untuk menggarap segi-segi sosio-politik, sosio-ekonomi, dan sosio-budaya (tak terkecuali sosio-lingkungan!). Keadilan adalah kemakmuran yang terdistribusi secara merata karena lenyapnya kelas-kelas dalam masyarakat, demokratisasi alat-alat produksi dan pengelolaanya, dan akses terhadap kekuasaan yang terbuka bagi semua orang. Bagi mereka perdamaian adalah hasil dari rekonsiliasi melalui revolusi yang menghantar masyarakat ke dalam harmoni. Keadilan terwujud dalam demokratisasi dan pemerataan, dan hasilnya adalah perdamaian, harmoni dalam masyarakat, atau terwujudnya masyarakat sosialis.

Posisi dan Peran Gereja

Bagaimana posisi dan peran Gereja dalam perkara keadilan dan perdamaian? Terlalu lama rasanya Gereja mereduksi perkara keadilan menjadi soal pengadilan terakhir Tuhan dengan mana Ia menghakimi dan mengganjari setiap orang dengan adil. Pendeknya, perkara keadilan menjadi soal sorga dan neraka saja. Sementara, seiring dengan itu, perdamaian merupakan perkara subjektif dan melulu pribadiah, yakni ‘kedamaian hati’, ‘kedamaian pikiran’, ‘jiwa yang limpah dengan damai sejahtera dan menikmati kepenuhannya.’ Pereduksian keadilan dan perdamaian seperti ini menumpulkan kepekaan orang-orang Kristen terhadap tanggung jawab memperjuangkan keadilan dan perdamaian di muka bumi ini. Sementara keadilan menjadi utopia, perdamaian tidak ada sangkut pautnya dengan interaksi antarmanusia, bahkan antarbangsa. Orang-orang Kristen menjadi otherworldly people dan menghadapi dunia ‘yang dikuasai si jahat’ ini dengan sikap eskapistik.

Padahal kesaksian Alkitab tentang Gereja, ya kesaksiannya tentang status dan panggilan Gereja sungguh-sungguh menempatkan Gereja sebagai penatalayan Kerajaan Allah di dunia ini! Betapa tidak, Kitab Suci menyebut Gereja sebagai ‘umat manusia yang baru’ (Ef 2.15) dan memandangnya sebagai model sekaligus strategi Kerajaan Allah. Dalam pada itu Kerajaan Allah dipahami tidak terpisahkan dari dunia ini. Kerajaan Allah adalah tatanan perikehidupan yang baru, yang di dalamnya berlakulah keselamatan yang mewujudkan perdamaian, kasih, keadilan, dan kebenaran. Apabila Gereja merupakan model Kerajaan Allah, berarti Gereja menjadi representasi yang kelihatan dari Kerajaan Allah. Manusia melihat Kerajaan Allah manakala berjumpa dengan Gereja. Apabila Gereja merupakan strategi Kerajaan Allah, itu berarti Gereja berjuang menggarami dan menerangi dunia memperluas pengaruh Kerajaan Allah yang sedang mulai hadir di muka bumi ini. Mengemban Mandat Budaya dan Titah Pemuridan, Gereja setia pada raison d’etre-nya dan bergerak demi pencapaian ultimatnya, yakni memenuhi panggilan selaku model dan strategi Kerajaan Allah.

Berkenaan dengan keadilan dan perdamaian, kita segera dapat menarik kesimpulan bagaimana posisi dan peran ‘umat manusia yang baru’ alias Gereja sesungguhnya. Memang Gereja harus memandang perkara keadilan dan perdamaian dari sudut pandang Tuhannya. Akan tetapi pasti pula bahwa Tuhan Mesias, Yesus Kristus, Kepala Gereja itu, tidak mungkin mengambil posisi kaum struktur atas alias para penguasa, kapitalis, dan militer, yakni mereka yang menguasai alat-alat produksi dan memiliki akses terhadap kekuasaan. Kita tahu, Yesus dari Nazaret alias Yesus-historis berposisi dan berperan di pihak am ha-arets, minjung, dalit, wong cilik, marhaen, atau apa saja untuk tidak menyebut proletar. Kita tahu bahwa tatanan perikehidupan yang baru alias Kerajaan Allah berintikan keselamatan, bukan hanya bagi segelintir orang, tetapi bagi setiap, ya, semua, orang yang terhisab di dalamnya.

Yesus dari Nazaret adalah Tuhan yang bangkit, Tuhan Mesias, Kepala Gereja. Posisi dan praksis-Nya kiri. Kerajaan Allah pun kiri. Kalau begitu, sudah selayaknya, bahkan seharusnya, Gereja pun berposisi kiri. Bukan kanan alias pendukung atau bagian dari jejaring kekuasaan politis-birokratis, militer, dan para pemilik alat-alat produksi.

Kekirian Gereja nyata dalam praksis misionernya. Mengemban Mandat Budaya dan Titah Pemuridan, Gereja mengejar visi menjadi model dan strategi Kerajaan Allah. Titah Pemuridan, yang terdiri dari pewartaan Kabar Baik, pembangunan komunitas trinitaris, dan pembinaan murid-murid Kristus, merupakan mobilisator dan katalisator pelaksanaan Mandat Budaya. Dalam hal ini hubungan antara Gereja dan Mandat Budaya terjadi secara tidak langsung, yakni memperlengkapi orang-orang Kristen untuk cakap terjun secara langsung melaksanakan Mandat Budaya. Sementara Mandat Budaya berbicara tentang (i) membangun masyarakat yang beradab; (ii) menjadikan bumi sebagai ranah tinggal yang nyaman bagi umat manusia; dan (iii) mengayomi kehidupan, orang-orang Kristen diperlengkapi untuk menggarap aspek-aspek sosio-politis, sosio-ekonomi, sosio-budaya, dan sosio-lingkungan dari Mandat tersebut. Sementara itu, dalam kaitan langsungnya dengan Mandat Budaya, kekirian Gereja berarti menjalankan fungsi kenabian-kritis: memperingatkan pemerintah, selaku wujud sekaligus pelaksana kontrak sosial yang berwenang, agar mengupayakan keadilan dan perdamaian yang bercorak kiri. Demikian juga terhadap para pelaku ekonomi dan militer. Hal itu sesuai dengan moral-imperatif yang dimiliki Gereja. Seperti Nabi-nabi Perjanjian Lama Gereja menjadi hati nurani masyarakat. Termasuk pula di dalamnya pembentukan opini public berkenaan dengan isu-isu keadilan dan perdamaian. Bahkan, ketika situasi menjurus revolusioner, Gereja kiri mengambil sikap progresif dan revolusioner memobilisir umat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang baru, yang lebih adil dan damai. Bukan dengan senjata tentu, tapi dengan gerakan moral.

Penutup

Sudah kirikah Gereja? Atau malah kanan? Tengah tidak mungkin. Ketidakpedulian dengan pergumulan umat manusia pun secorak dengan sikap kanan, karena menolak partisipasi emansipatif demi keadilan dan perdamaian. Kalau sudah begitu, dapatkah Gereja dikatakan tetap setia pada Injil? Dengan perkataan lain, jika Gereja tidak (lagi) kiri, masih tepatkah disebut Gereja Yesus Kristus dan memanggil Dia sebagai Tuhan? *** (Rudolfus Antonius)


TERPUJILAH ALLAH!