Senin, 14 Januari 2019

YIRʼATH YHWH

en.wikipedia.org
Membaca Mazmur 34.12-15 


Frase yirʼath YHWH (TB-LAI: “takut akan TUHAN”) meringkaskan spiritualitas Agama Israel Kuno. Di satu sisi yirʼath YHWH mengandaikan rasa gentar dan takjub kaum beriman kepada Yahweh. Gentar karena kedahsyatan-Nya, takjub karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib.

Di sisi lain yirʼath YHWH juga menggemakan rasa syukur dan hormat kepada-Nya. Bersyukur karena pengalaman-pengalaman keselamatan berupa pembebasan dari perbudakan di Mesir dan  kekuasaan raja-raja Kanaan. Rasa hormat karena mengakui Dialah yang Mahaberdaulat, Gusti Pangeran para mukminin wal mukminat. Semua itu bermuara dalam keikhlasan untuk menaati titah dan perintah-Nya.

Menarik, orang yang ber- yirʼath YHWH tidak me-negasi-kan kehidupan. Alih-alih, ia mengukuhkan kehidupan. Betapa tidak! Ia adalah orang “yang menikmati kehidupan” (Ibrani: hekhâpets khayyîm; TB-LAI: yang menyukai hidup). Ia adalah orang “yang mencintai hari-hari untuk melihat kebaikan” (Ibr: ʼohev yamîm lirʼôth tôv; TB-LAI: “yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik). Jelas, baginya “kebaikan” atau “yang baik” ada di sini dan kini. Di dunia ini, di dalam hidup ini.

Untuk melihat kebaikan di sini dan kini, orang yang ber- yirʼath YHWH tahu apa yang harus dilakukannya: ia mencari dan mengejar shalom: perdamaian dan kesejahteraan yang berkeadilan. Dua kata kerja yang berbeda namun senafas seirama, yakni mencari (biqesh) dan mengejar (râdaf), menggarisbawahi pengertian bahwa perdamaian dan kesejahteraan yang berkeadilan harus diwujudkan – dan itu berarti mesti diupayakan atau diperjuangkan. Jelaslah kiranya: untuk melihat kebaikan di dunia ini dan di dalam hidup ini orang yang ber- yirʼath YHWH harus memperjuangkan tegaknya perdamaian dan kesejahteraan yang berkeadilan!

Bagi orang yang ber- yirʼath YHWH, secara negatif itu berarti ia harus menjauhkan diri dari kejahatan (sûr merâʽ), dan secara positif melakukan kebaikan (ʽâsâh tôv). Adapun yang dimaksud dengan kejahatan adalah segala sesuatu yang menghambat terwujudnya shâlôm atau yang menggangsirnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kebaikan adalah segala sesuatu yang mendukung terwujudnya shâlôm atau yang berguna untuk memelihara dan memperluasnya.

Ditilik dari pengertian di atas, eksploitasi alias penghisapan manusia oleh manusia, penindasan si kuat perkasa jayawijaya terhadap si lemah, dan marjinalisasi terhadap sesama karena perbedaan agama/kepercayaan, ras dan warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual dsb., adalah kejahatan: itu semua bertentangan dengan shalom.

Sebaliknya, perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi, penindasan, dan marjinaliasi seiring sejalan dengan shâlôm. Demikian pula “teori dan praksis revolusioner kelas pekerja” yang bertujuan (1) mengakhiri cara produksi supereksploitatif dan bangunan-bangunan politik dan kultural yang didirikan di atasnya guna (2) menegakkan cara produksi baru yang demokratis berikut bangunan-bangunan politik dan kultural yang memfasilitasi semua orang untuk beraktualisasi sebagai makhluk-makhluk yang bermartabat (“anak-anak Allah”)!  

Takut akan TUHAN alias yirʼath YHWH bukanlah visi beragama yang eskapistis: meloloskan diri dari “yang di sini dan kini” yang berdosa guna beralih ke sorga di seberang sana.

Yirʼath YHWH adalah sebuah visi beragama yang terlibat: yang liberatif dan transformatif. Meminjam langgam kidungan balatentara sorga dalam Lukas 2.14, itu berarti menerjemahkan “kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi” (doxa en hupistois theô) dalam “perdamaian dan kesejahteraan yang berkeadilan di bumi di antara kaum miskin [=terhisap, tertindas, & termarjinalkan] dan semua orang yang berkehendak baik” (epi gês eirenê en anthrôpois eudokia).***   

Terpujilah Allah!


Banyu Bening, 13 Januari 2019

Senin, 07 Januari 2019

JANGAN KAMU KUATIR!

www.imgrumweb.com
Minggu, 6 Januari 2019

Matius 6.24-34

Gusti Yesus berjumpa dengan kaum tani di Galilea. Ia tahu bahwa hari demi hari mereka ada dalam kesusahan (hê kakia, ay 34). Mereka memerlukan makanan dan minuman, juga pakaian (ay 25, 32). Tapi untuk memperoleh hal-hal yang begitu mendasar itu, alangkah susahnya! 

Kenyataan ini menyiratkan bahwa mereka, wong tani itu hidup dalam kemiskinan yang parah. Bukan karena mereka malas. Toh mereka sudah biasa bahkan “kenyang” dengan “menabur, menuai, dan mengumpulkan bekal dalam lumbung” (lihat ay 26). 

Kita bisa mencandra: yang mereka tuai dan kumpulkan dari taburan mereka tidak pernah menjadi milik mereka sepenuhnya. Bagi buruh tani dan penggarap, sebagian besar dari panenan mereka adalah milik para tuan-tanah. Bagi tani “merdeka”, sebagian besar panenan mereka adalah milik penguasa Yahudi yang kemudian menyetorkannya kepada penjajah Romawi. 

Pajak yang mencekik leher membuat tanah kaum tani merdeka sewaktu-waktu beralih ke tangan para tuan tanah. Tak jarang mereka “merosot” menjadi buruh tani atau penggarap, bahkan dijual sebagai budak agar biasa membayar utang yang diakibatkan oleh pajak yang teramat berat. Demikian juga buruh tani dan penggarap. Senyatanya mereka mengalami bahwa baik penjajah Romawi maupun kolabolator mereka, yakni aristokrasi Yahudi baik Herodian yang sekuler maupun otoritas Baitullah yang relijius, sama-sama menghisap darah mereka. 

Bisa dimengerti bila mereka khawatir tentang hidup mereka: apa yang hendak dimakan dan diminum? Wajar bila mereka khawatir tentang tubuh mereka: apa yang hendak dipakai? (ay 25).

Mewartakan Kerajaan Allah, Gusti Yesus mengemukakan empat hal kepada kaum tani Galilea. 

Pertama, Gusti Yesus meminta mereka untuk mengabdi atau menghamba (doulein) kepada Allah semata, bukan kepada Mamon (ay 24). Dengan jalan itu Ia mengontraskan kaum tani dengan para penghisap dan penindas mereka, yang meski secara ritual mengabdi kepada Allah secara sosial menghamba kepada Mamon (=sistem ekopol yang eksploitatif). Ketika kaum beragama mengeksploitasi sesamanya, sesungguhnya mereka sedang menghamba kepada Mamon, bukan mengabdi kepada Allah.

Kedua, Gusti Yesus menggarisbawahi bahwa mereka, kaum tani itu, terhubung secara khusus dengan Allah. Allah adalah Bapa mereka (ay 26, 32). Karena itu diri mereka (hidup & tubuh mereka) begitu berharga (ay 25). Allah, Bapa kaum tani itu, tahu bahwa mereka memerlukan makanan dan minuman, juga pakaian (ay 32). Ia memedulikan kaum tani itu di tengah kesusahan mereka. Ini kontras dengan lapisan-lapisan penguasa beragama yang menganggap kekayaan mereka sebagai berkat sekaligus tanda bahwa Allah berkenan kepada mereka, dan melihat kemelaratan sebagai indikasi bahwa Allah tidak berkenan kepada kaum tani.  

Ketiga, Gusti Yesus mengajak kaum tani untuk mencari Kerajaan dan kebenaran/keadilan Allah (hê basileia kai hê dikaiosunê auotou, ay 33). “Kerajaan dan kebenaran/keadilan Allah” adalah terwujudnya kehendak Allah, yakni keselamatan yang berintikan pembebasan/pemerdekaan dan transformasi. Pembebasan dari struktur-struktur yang menghisap (“Mamon”), menindas (“Kaisar”), dan memarjinalkan (“Baitullah”). Transformasi kepada suatu kehidupan baru, yakni perdamaian & kesejahteraan yang berkeadilan.  

Kata yang diterjemahkan dengan “mencari” (zêtein) bisa pula berarti mengupayakan atau memperjuangkan. Mengupayakan Kerajaan dan kebenaran/keadilan Allah berarti berpartisipasi dalam karya ilahi yang membebaskan dan mentransformasikan. Hal itu dilakukan dengan membangun komunitas murid yang (1) hidup dalam solidaritas, (2) menjadikan kekayaan bersifat sosial, (3) melawan kejahatan dengan kebaikan, dan (4) melayani dengan kesediaan untuk berkurban bagi banyak orang.  

Kita dapat meraba maksud Gusti Yesus. Dengan ajakan itu Ia bermaksud menggugah kaum tani Galilea dari perasaan tidak berdaya dan memosisikan mereka sebagai Subjek atas nasib mereka sendiri. 

Keempat, Gusti Yesus meyakinkan kaum tani bahwa partisipasi mereka tidak sia-sia. “Maka semuanya itu,” kata-Nya, “akan ditambahkan kepada-Mu” atau “akan disediakan bagimu” (prostethêsetai humin, ay 33). Bagi setiap orang yang memperjuangkan Kerajaan dan kebenaran/keadilan-Nya, Allah akan menyediakan “apa yang akan mereka makan dan minum” dan “apa yang akan mereka pakai.” Cekak aos, sejauh itu bukan keserakahan, hedonisme, dan kemewahan, Allah akan mencukupi mereka. 

Atas dasar keempat hal itu Gusti Yesus berpesan kepada kaum tani jelata itu: Jangan kuatir! Berjuanglah, wahai kaum yang berharga di mata Allah! Berjuanglah, sebagai Subjek, bagi masa depan yang baru. Allah yang mempedulikanmu akan mencukupimu! ***

Terpujilah Allah! 


Lemah Abang, Minggu Epifania, 6 Januari 2019