Kamis, 26 Desember 2019

REFLEKSI NATAL 2019: YANG TERJANJI YANG MENJADI

Matius 2.1-12

Oleh: Rudolfus Antonius


www.churchofjesuschrist.org
Orang-orang Majus telah tiba di Yerusalem. Mereka datang dari Timur. Di sana mereka telah  melihat Bintang, yang mereka baca sebagai sebuah pertanda bahwa seorang raja baru telah lahir. Raja orang Yahudi! Bertolak dari tanah air, mereka menempuh jarak beribu kilometer.

Akal sehat mengantar mereka ke Yerusalem, pusat pemerintahan Yudea, negeri orang Yahudi. Tentulah raja yang baru lahir itu dilahirkan di ibukota negara dan terbaring nyaman di dalam istana nan megah, begitu pikir mereka. Mereka pun menghadap Herodes, raja Yudea. Tentu raja yang baru lahir itu adalah putera mahkota Raja Herodes, kata mereka saling berpandangan sembari melempar senyum gembira.  

Para Majus kemudian mengemukakan maksud kedatangan mereka. “Di manakah Raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami datang untuk menyembah Dia,” kata mereka. Mendengar itu, Herodes menjadi resah (etarachthê, dari tarassô; TB2-LAI: terkejut). Demikian pula seluruh Yerusalem. Geger.

Bagi Herodes, ini sangat serius. Apa pasal? Pertama, saat ini dialah raja orang Yahudi. Kedua, ia dapat memastikan tidak ada “raja yang baru lahir” apalagi “raja orang Yahudi” di lingkungan istananya. Ketiga, ia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksud dengan “raja orang Yahudi” yang baru dilahirkan itu adalah Mesias, Raja yang Diurapi Yahweh, ilah Israel. Padahal, Herodes menjadi raja tanpa urapan Yahweh!

Herodes pun segera menyimpulkan: bila info para Majus benar, berarti kekuasaannya ada dalam bahaya besar. Betapa tidak! Seorang pengincar atau perebut takhta baru saja dilahirkan. Seorang rival bahkan musuh besar yang kelak akan menggulingkannya dari takhta kekuasaan dan menjadi raja menggantikan dirinya! Musuh besar yang justru akan dipuja oleh seluruh rakyat!  

Ngomong-ngomong, siapa sih orang-orang Majus (magoi) itu? Ho-ho-ho, boleh jadi mereka para penganut bahkan pemuka ajaran Zoroaster dari Persia. Kaum Majusi. Mungkin juga mereka adalah ahli-ahli nujum. Bukankah mereka “membaca” Bintang dan menyimpulkannya sebagai wahyu keprabon? Bisa juga dua-duanya: Kaum Majusi sekaligus ahli-ahli nujum. Pendeknya, mereka “kafir.” Tapi bagaimana bila nujuman mereka benar?

Herodes tak mau ambil risiko. Ia bertindak cepat. Ia segera mengumpulkan “para imam kepala dan ahli-ahli Taurat bangsa Yahudi.” Ya, para pemuka Agama dan sarjana-sarjana Kitab Suci bangsa Yahudi. Pendeknya, para ulama (=kaum berilmu) dari kalangan kaum beriman. Herodes ingin mengkonfirmasi (atau mengkonfrontir) nujuman tersebut dengan nubuatan dari Kitab Suci. “Di mana Mesias akan dilahirkan?” tanya Herodes kepada para ulama Yahudi.

“Di Betlehem di tanah Yudea,” jawab mereka, serempak. “Sebab,” sambung mereka, “demikianlah tertulis dalam kitab nabi (Mikha 5.1): Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari engkaulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.”  
  
Mendengar itu, Herodes segera menyimpulkan: celaka, nujuman para Majusi itu ternyata terkonfirmasi oleh nubuatan Nabi! Berusaha tenang, Herodes mengadakan pertemuan tertutup dengan para Majus. Dengan teliti ia menanyakan kapan bintang itu tampak. Ho-ho, ia berusaha memperkirakan usia raja Yahudi yang baru dilahirkan itu. Berdasarkan keterangan para Majus itu, ia menyimpulkan bahwa usia raja baru tersebut tidak lebih dari dua tahun… (lihat Matius 2.16).

Rupanya Herodes memberitahu mereka bahwa “raja orang Yahudi” itu dilahirkan di Betlehem. Tentu bukan tanpa tujuan. Sebab kemudian ia menyuruh mereka ke sana untuk menemukan Dia, lalu kembali kepadanya untuk memberitahukan di mana raja yang baru dilahirkan itu berada. “Supaya aku pun datang menyembah Dia,” katanya, culas.

Para Majus pun bergegas ke Betlehem. Ajaib, Bintang yang telah mereka lihat di Timur itu kini terlihat lagi. Berdasarkan panduan Bintang itu, yang “mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada,” akhirnya mereka menemukan “raja orang Yahudi” yang baru dilahirkan itu. Di rumah rakyat jelata, bukan di istana raja!

Mereka masuk ke dalam rumah itu. Mereka melihat seorang anak laki-laki bersama seorang perempuan. Yesus dan Maria, ibu-Nya. Sangat bersahaja. Tapi mata para “pembaca Bintang” cukup awas untuk “melihat” kemuliaan Sang Anak. Kemuliaan Raja orang Yahudi, Sosok yang mereka cari selama ini. Dua tahun sudah mereka mengembara, akhirnya bersua pula dengan Yang Didamba! Pencarian panjang yang bermuara dalam saat yang mulia dan bahagia.

Betapa para Majus bersukacita. Mereka sujud menyembah Anak itu. Mereka juga mempersembahkan kepada-Nya mas, dupa, dan mur – yang telah mereka siapkan dan bawa khusus untuk diri-Nya. Suatu persembahan bagi Paduka yang Mulia, yang bersemayam dalam kesederhanaan! Sebuah liturgi berunsur dua, yakni penyembahan dan persembahan, yang menjadi puncak dari pencarian yang panjang! Pencarian yang dilakukan oleh orang-orang yang biasa diberi label “kafir” oleh orang-orang yang merasa beriman kepada Allah!

Di lain pihak, Herodes yang resah agaknya sangat menyesal karena telah melepas para Majus tanpa pengawalan tentaranya. Sekarang ia harus menunggu mereka kembali – suatu hal yang tidak akan terjadi, karena para Majus itu bertolak pulang ke negeri mereka melalui jalan lain. Sesungguhnya, will to power telah merasuki dirinya. 

Sementara itu, para ulama Yahudi di Yerusalem, yang barusan membaca nubuatan Nabi tentang Yang Terjanji, tetap asyik dengan kemapanan mereka. Mereka tak peduli bahwa Yang Terjanji telah Menjadi. Ironis. Orang-orang yang mereka tuding sebagai kafirlah yang mengalami betapa Yang Terjanji adalah Yang Menjadi!

Jelas, kelahiran Gusti Yesus, Sang Terjanji itu, telah membangkitkan berbagai tanggapan:

Pertama, liturgi sukacita para “kafir.

Kedua, keresahan para pemuja will to power.

Ketiga, sikap acuh tak acuh “kaum beriman” yang belum merasa terusik apalagi resah senyampang Sang Anak belum menggelar sebuah gerakan yang akan menantang status quo sehebat-hebatnya!  



Selamat Natal!

Lemah Abang, 25-26 Desember 2019

Selasa, 24 Desember 2019

REFLEKSI MALAM NATAL 2019: TERANG BERPENDAR DI MALAM PEKAT

Matius 1.18-25

Oleh: Rudolfus Antonius

picturestoriesfromthebible.wordpress.com 
Betapa hancur hati Yusuf saat itu. Maria, tunangannya, yang tak lama lagi akan menjadi isterinya, hamil. “Itu bukan hasil perbuatanku. Aku tidak melakukannya,” kata tukang kayu itu dalam hatinya. 

Memang, menurut adat-istiadat waktu itu pertunangan mengikatkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki sebagai miliknya. Meski demikian, pertunangan adalah pertunangan, berbeda dengan perkawinan. Hanya dalam perkawinan hubungan seks diperkenankan, bukan dalam pertunangan. Yusuf tahu, dan ia tidak pernah melanggarnya.

“Hanya ada satu kemungkinan. Maria telah berselingkuh,” pikir Yusuf, menyimpulkan. Sakitlah hatinya, ia merasa dikhianati. “Sungguh tak kusangka, Maria,” gumamnya. Mendidih darahnya, sebagai laki-laki ia merasa terhina. “Siapa laki-laki jahanam itu?” geramnya.

Syahdan mereka berjumpa. Maria bilang, ia tidak pernah pindah ke lain hati. Cintanya hanya untuk Mas Yusuf seorang. Ia tidak pernah berselingkuh. “Jadi seorang laki-laki telah memperkosamu? Sebutkan siapa jahanam itu,” kata Yusuf, gusar. Maria menggeleng. Tidak ada yang telah memperkosanya. “Aku hamil dari Roh Kudus,” jawab perempuan itu. Yusuf kaget. Baginya itu jawaban yang sangat aneh. Ia tidak percaya. “Engkau telah berdusta,” tudingnya. Ia meninggalkan Maria dengan hati yang kecewa dan marah. Maria tak kuasa meyakinkannya.      

Kendati rasa kecewa dan marah menggelegak di dadanya, Yusuf tidak gelap mata. Sesungguhnya, ia orang benar (dikaios, dari tsadîq [Ibrani] TB-LAI: orang yang tulus hatinya). Seorang yang benar adalah seorang yang hidup seturut dengan Taurat Tuhan karena biasa “merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mazmur 1.2). 

Tapi, bukankah menurut Taurat bila seorang perempuan yang telah bertunangan atau bersuami berselingkuh ia harus dihukum mati (lihat Ulangan 22.22-24)? Kenyataannya, Yusuf tidak mau mencemarkan nama Maria di muka umum (Matius 1.19) – sesuatu yang dapat berakibat fatal bagi Maria: hukuman rajam sampai mati sudah menunggu Maria. 

Betapapun sakit dan marahnya Yusuf, ia tidak menginginkan kematian Maria, sesuatu yang baginya membuat sepenggal aturan Taurat memfasilitasi pembalasan dendam. Menghayati aturan Taurat dengan kasih – meski terluka – menggarisbawahi bahwa Yusuf adalah orang benar.

Meski demikian, Yusuf tak kuasa untuk melanjutkan pertunangan apalagi melangsungkan perkawinan dan berumahtangga dengan seorang perempuan yang … ! Maka ia pun tiba pada keputusan: “Aku akan menceraikan Maria, secara diam-diam.” Ia pun tertidur dengan hati yang berat dan pikiran yang penat. Tapi bukankah sekurang-kurangnya ia telah membuat keputusan?

Pada saat itulah Allah, melalui malaikat-Nya, mengintervensi. Dalam sebuah mimpi, Yusuf beroleh klarifikasi: Maria tidak pernah mengkhianatinya. Ia juga tidak pernah diperkosa. Ia telah berkata sejujurnya: Ia hamil dari Roh Kudus. Itu berarti kehamilannya adalah sebuah mukjizat, dan ia akan melahirkan Sang Terjanji. Karena itu, Yusuf tidak perlu memutuskan hubungannya dengan Maria. Lalu? Yusuf harus menjadi suami bagi “yang terberkati di antara para wanita” dan menjadi ayah bagi “Sang Terjanji.”

Ini sama sekali tidak mudah. Risikonya juga sangat besar. Ada harga yang harus dibayar. Tengoklah kisah selanjutnya, manakala ia harus bertarung dengan waktu mengungsikan Maria dan Yesus tatkala kaki-tangan Herodes mengadakan sweeping di Betlehem untuk mengejar Anak itu (Matius 2.13-14). Renungkanlah rasa tanggung jawabnya yang besar manakala sekembalinya dari Mesir ia membawa istri dan Anaknya ke Nazaret untuk menetap di sana (2.22-23).

O, Yusuf yang budiman! Engkau orang benar! Di dalam dirimu terpatri ketekunan, ketabahan. Tekun mengemban amanat, tabah menjalani lika-likunya jalan kasih kepada Allah dan welas asih kepada sesama. Engkau ibarat setitik bintang terang di pekatnya malam. Engkau ibarat kunang-kunang yang memendarkan cahaya ketika malam mengurung lahan pertanian dengan kegelapan. Melalui engkau wahai terang yang kecil, Terang yang Besar datang untuk menyinari seluruh dunia!

Selamat mengarungi keheningan Malam Natal sembari menyediakan diri untuk menjadi terang yang berpendar di malam yang pekat! 

Terpujilah Allah! 


Lemah Abang, 24 Desember 2019

MINGGU ADVEN IV 2019: HINA-DINA DALAM JEJAK-JEJAK ANUGERAH

Matius 1.1-17

Oleh: Rudolfus Antonius

www.perwara.com
Trah kusuma rembesing madu. Itu yang lazimnya diharapkan dari seorang (calon) pemimpin besar. Orang luar biasa tentu keturunan orang-orang luar biasa. Tidak mungkin orang yang biasa-biasa saja, apalagi rakyat jelata, Marhaen, wong tani ndeso, atau kaum proletar… 

Syahdan Gusti Yesus juga begitu. Meski Pak Yusuf, yang dikenal orang sebagai ayahnya, itu “cuma” seorang tukang kayu (Matius 13.55), tapi beliau asli keturunan Raja Daud! Karena itu, Gusti Yesus, meski berayah seorang tukang kayu, jan-jane ya keturunan Baginda. Makanya pantes kalau Beliau bergelar Kristus, memangku jabatan Mesias … Yang Diurapi! Sebab: trah kusuma rembesing madu.

Okelah, okelah. Tapi sudihlah kiranya cermat dan jujur berakhlak. Bila kita menyimak silsilah Gusti Yesus dari garis Pak Yusuf, kita memang menemukan tokoh-tokoh besar. Sudah barang tentu: Bapa Abraham, yang lazim kita kenal sebagai bapa orang beriman. Juga: Raja Daud, raja United Kingdom of Israel, yang menurut riwayat tempo doeloe “menegakkan keadilan dan kebenaran bagi seluruh bangsanya” (2Samuel 8.15). Ada juga Raja Yosia, raja Yehuda. Riwayat mencatat beliau “melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri” (2Raja 22.21). Rasanya wajar, bila Sosok sehebat Gusti Yesus memiliki leluhur yang hebat-hebat. Hebat imannya, hebat kariernya.

Tapi tunggu dulu. Orang-orang hebat yang barusan disebut itu pun bukan tak bermasalah. Bapa Abraham pernah ngapusi dan mengumpankan isterinya, Bunda Sara, untuk cari selamat sendiri. Raja Daud, pernah menzinahi isteri prajuritnya yang loyal, merekayasa kematian sang prajurit, lalu tampil sebagai penyantun warakawuri dengan mengawini perempuan itu. Penginjil Matius sepertinya merasa jengkel. Dia bilang: Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria (Matius 1.6). Sedangkan Raja Yosia, yang merasa sedemikian berkuasa setelah mempersatukan eks wilayah Israel Utara ke dalam wilayah kekuasaannya, menjadi jumawa dan gugur dalam peperangan melawan balatentara Mesir pimpinan Firaun Nekho.

Selain orang-orang hebat itu, ada juga yang terbilang biasa-biasa saja bahkan payah. Ada Yehuda, yang kecele menyangka menantunya sebagai PSK. Ada Yekhonya, raja yang lemah dan menjati tapol di Babel. Ada juga sederetan perempuan yang dalam kaca mata zaman (dan “hukum kekudusan” yang tertanam di benak kita) terbilang “hitam”: Tamar (yang jangan-jangan kita cap “nakal”), Rahab (yang mungkin membuat kita kurang nyaman karena ia seorang “kafir” dan PSK), Rut (yang mungkin membuat kita bergumam: perempuan “kafir” yang luar biasa), dan “istri Uria” (Bathseba, yang jangan-jangan membuat kita memakinya dalam hati: istri yang tidak setia!).

Itulah kenyataannya. Leluhur Gusti Yesus bukan orang-orang suci tanpa dosa. Mereka sama dengan kita: orang-orang berdosa. Tapi syukurlah. Di sinilah keajaibannya: Dia yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka (Matius 1.21) ternyata dilahirkan dari leluhur yang juga tak bebas dari dosa. Ada hina-dina dalam jejak-jejak anugerah! Hal ini mengajak kita merenung: (1) anugerah Allah melampaui kelemahan, keterbatasan, bahkan keberdosaan manusia; dan (2) tiada guna membangga-banggakan trah kusuma rembesing madu. Semua berlumur dosa. Semua butuh anugerah Allah.

Dengan rendah hati hendaklah kita bermegah karena satu perkara: anugerah Allah yang berlimpah-limpah atas kita semua. Selamat menikmati Adven IV! ***

Lemah Abang, 24 Desember 2019

Jumat, 20 Desember 2019

MINGGU ADVEN III 2019: KABAR GEMBIRA: BAGIKU, BAGI SEMUA

Lukas 1.13-25

Oleh: Rudolfus Antonius

www.tes.com
Imam Zakharia dan Elisabet, pasangan suami isteri saleh beriman pelayan Allah. Mereka berdua adalah orang-orang benar (dikaioi) di hadapan Allah. Hidup mereka tak bercacat, seturut dengan semua perintah dan ketetapan Yahweh, ilah Israel (Lukas 1.6). Sekian lama sudah mereka membangun mahligai cinta, berumahtangga hingga lanjut usia (ay 7).

Dalam pada itu, tangis bayi tak kunjung kedengaran di rumah mereka. Mereka tidak berputeri atau berputera (ay 7). Konon, Elisabet mandul. Bagi umat, itu aib (ay 25). Elisabet pun tertekan. Tentu ia ingat kisah Bunda Sara, yang terpaksa merelakan suami tercinta mengawini Hagar. Ia pasti ingat kisah Bunda Hana, yang berkali-kali dibuat sakit hati oleh Penina, perempuan yang menjadi madunya. Ia juga ingat kisah Bunda Rahel, yang kendati dicintai namun merasa harus bersaing dengan kakak perempuannya, Bunda Lea, supaya menjadi berarti bagi suaminya.

Syukur kepada Allah, Zakharia ikut merasakan pergumulan batin istrinya. Ia memutuskan untuk tidak memperberatnya. Alih-alih kawin lagi dengan dalih ingin memiliki anak, Zakharia memilih untuk berdoa, mohon Gusti Allah berkenan mengaruniakan anak melalui sang isteri tercinta. Entah berapa lama ia berdoa, dalam cinta dan kesetiaan kepada sigaran nyawa-nya. 

Di lain pihak, Allah punya rencana. Berkenan kepada pasangan suami-istri yang luar biasa itu, Ia telah memutuskan untuk mengaruniai mereka seorang putera. Ya, Zakharia akan menjadi seorang ayah, Elisabet akan menjadi seorang ibu. Mereka akan menjadi orangtua dari seorang putera yang dikasihi Yahweh, ilah Israel: Yohanes atau Yokhanan.

Dalam pada itu, Allah menghendaki perkara yang lebih besar dari “sekadar” mengabulkan doa Zakharia dan menghapuskan pandangan negatif umat terhadap Elisabet. Lebih dari itu, Ia akan menyiapkan Yohanes sejak masih janin di rahim Ibunda untuk sebuah missi yang besar. Kelak, Yohanes akan membuat banyak orang Israel bertobat, “berbalik kepada Tuhan, Allah mereka” (Lukas 1.16). Ya, Yohanes akan “menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya” (ay 17). Itulah sebabnya, banyak orang akan bersukacita atas kelahiran Yohanes, “yang dikasihi Yahweh” itu.  Kabar Gembira bagiku, bagimu, bagi semua orang! Tafakur, kita pun tersadarkan: berkat ilahi bagi kita hendaknya mengalir sebagai berkat ilahi bagi orang lain. Kita pun mengagumi Gusti Allah, “Dia yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan” (Efesus 3.10).

Meski sekian lama tekun berdoa memohon seorang putera, toh Zakharia sempat tak percaya mendengar Kabar Gembira yang disampaikan Malaikat Gabriel itu. Enggan di-PHP, ia minta bukti, bukan janji. Dasarnya fakta objektif: ia dan isterinya sudah lanjut usia (Lukas 1.18). Malaikat Gabriel menanggapi sikap Zakharia dengan mempersilakan laki-laki setia itu untuk menyaksikan perbuatan ajaib Allah tanpa banyak bicara: “Engkau akan menjadi bisu … sampai hari ketika semuanya itu terjadi” (ay 19-20). Jangan banyak omong, lihat saja!

Kita berharap, kita berdoa. Kita berharap, kita mencinta dan setia. Tuhan menghadirkan diri-Nya dengan cara yang melampaui apa yang kita doakan atau pikirkan. Inilah romantika hidup kaum beriman! 

Selamat menikmati Adven III. 

Bersukacitalah!

Banyu Bening, 15 Desember 2019 

Kamis, 12 Desember 2019

MINGGU ADVEN II 2019: TERIMALAH SEORANG DENGAN YANG LAIN !

Nats: Roma 15.4-13

Oleh: Rudolfus Antonius


http://jogja-training.com
Kita telah menjalani Minggu Adven I. Kita merenungkan pesan Yesaya 2.1-5. Di dalamnya kita mendapati dua hal. Pertama, visi Allah tentang dunia, yakni perdamaian. Perdamaian terwujud manakala bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa datang kepada Yahweh, ilah Israel, untuk mendengarkan dan melakukan pengajaran atau firman-Nya. Maka mereka akan mengubah alat-alat penebar kematian (=perkakas-perkakas perang) menjadi alat-alat kesejahteraan (=perkakas-perkakas kerja). Mereka akan berhenti berperang. Mereka juga akan menutup pusat-pusat latihan tempur yang menyiapkan orang untuk berperang dengan dalih bela negara atau kejayaan bangsa. Dalam kata-kata Yesaya,

maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak
dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas;

bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa,
dan mereka tidak akan lagi belajar perang (Yesaya 2.4).


Kedua, seruan kepada umat untuk berpartisipasi dalam visi Allah. Umat, yang disebutnya “kaum keluarga Yakub” (beyth yaʽaqov, TB-LAI: “kaum keturunan Yakub”), diajak untuk berjalan atau hidup (hâlak) “dalam terang Yahweh” atau “sesuai dengan terang Yahweh” (bǝʼôr yǝhwâh). Terang Yahweh merujuk pada pengajaran atau firman Allah. Umat diajak untuk hidup sesuai dengan pengajaran atau firman Allah. Itu berarti mereka diminta untuk hidup dalam perdamaian.

Tersirat namun jelas, mereka harus menjadi teladan dan model bagi bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa. Ketika umat Allah hidup sesuai dengan pengajaran Allah, mereka menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa untuk berbalik kepada Allah guna mendengarkan dan melakukan pengajaran-Nya. Ketika umat Allah hidup dalam perdamaian, mereka menjadi daya tarik bagi suku-suku bangsa untuk hidup dalam perdamaian. Cekak aos, umat Allah berpartisipasi dalam visi Allah tentang perdamaian dunia dengan jalan menjadi teladan dan model hidup dalam perdamaian.

***

Bacaan di Minggu Adven II ini (Roma 15.4-13) berbicara tentang jemaat atau gereja sebagai sebuah proyek teologis-sosial. Berdasarkan Kabar Baik bahwa Yesus adalah Kristus alias Mesias, proyek tersebut bertujuan membangun komunitas iman yang inklusif, yang belajar ikhlas menerima dan menghargai perbedaan serta gembira merayakannya.

Faktanya, dalam Roma 15.7a, Rasul Paulus berseru: Terimalah satu sama lain. Teks Yunaninya (proslambanesthe allêlous) menyiratkan ajakan agar anggota-anggota jemaat melanjutkan tanpa henti apa yang sudah dilakukan (imperative present). Ada apa?

Jemaat atau gereja di Roma, pembaca mula-mula Surat ini, terdiri dari orang-orang dari kalangan Yahudi dan dari kalangan bangsa-bangsa lain. Orang-orang Yahudi lazim memandang diri mereka terhisab dalam ho laos atau laos tou theou (umat Allah), yakni bangsa Israel. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias, yang dinubuatkan para Nabi untuk menyelamatkan bangsa Israel dan menjadikannya terang bagi bangsa-bangsa. Penerimaan mereka terhadap Mesias Yesus mengukuhkan mereka sebagai umat Allah dalam arti Israel yang Baru. Dalam pada itu, mereka tetap mempraktikkan Taurat, yang berintikan Sunat, pembedaan antara makanan yang halal dan makanan yang haram, serta pengudusan atas Hari Sabat. Dalam kaca mata kita, mereka adalah Jewish Christian, Kristen Yahudi.

Umat Kristen Yahudi ini percaya bahwa Kabar Baik tentang Mesias Yesus pertama-tama diperuntukkan bagi mereka. Selanjutnya, sehubungan dengan tugas mereka sebagai terang bagi bangsa-bangsa, mereka juga percaya bahwa Kabar Baik tersebut juga ditujukan kepada bangsa-bangsa lain. Mereka memang menganggap bangsa-bangsa lain sebagai kaum kafir (ethnê). Tetapi melalui missi sebagai terang bagi bangsa-bangsa, umat Kristen Yahudi dapat menjangkau orang-orang dari kalangan kafir itu dan menjadikan mereka bagian dari umat Allah.

Sampai di sini tidak ada persoalan. Pertanyaannya, bagaimana caranya supaya orang-orang kafir itu menjadi bagian dari umat Allah? Tentu saja mereka harus percaya kepada Mesias Yesus. Tapi itu tidak cukup. Sebab pertama-tama Yesus adalah adalah Mesias Yahudi, kegenapan janji kepada para Leluhur dan nubuat para Nabi. Karena itu, orang-orang kafir yang sudah percaya kepada Mesias Yesus itu juga harus menjadi Yahudi. Caranya: disunat bagi yang laki-laki, serta makan yang halal dan menguduskan hari Sabat. Dengan percaya kepada Mesias Yesus dan menjadi Yahudi, orang-orang kafir itu diterima menjadi bagian dari umat Allah.

Jemaat di Roma, yang terdiri dari para pengikut Gusti Yesus dari kalangan Yahudi dan dari kalangan bangsa-bangsa lain, bergumul tentang hal ini. Demi Nama Mesias Yesus, Kristen Yahudi berusaha menerima Kristen dari bangsa-bangsa lain. Tapi hati nurani mereka, yang berpaut kepada Taurat, sukar menerima Kristen dari bangsa-bangsa lain apa adanya. Menurut desakan nurani, mereka harus membuat orang Kristen dari bangsa-bangsa lain sama dengan mereka: disunat bagi yang laki-laki dan membedakan makanan yang halal dan makanan yang haram serta menguduskan hari Sabat. Dengan kata lain: menjalankan Taurat, menjadi Yahudi. 

Di pihak lain, Kristen dari bangsa-bangsa lain juga berusaha menerima Kristen Yahudi. Tapi tidak mudah. Sebab mereka merasa aneh dengan kebiasaan dan tuntutan Kristen Yahudi itu. Bukankah  Kristus sudah memerdekakan mereka? Ketika usaha saling menerima diganduli oleh keberatan hati nurani dan prasangka negatif, friksi-friksi pun kerap terjadi. Bila tak ditangani dengan baik, friksi-friksi bakal bermuara pada perpecahan jemaat. Jika itu terjadi, proyek teologis-sosial komunitas inklusif terancam gagal. 

Mengetahui situasi tersebut, Rasul Paulus merasa perlu memotivasi Jemaat Roma. Ia ingin agar mereka terus berusaha untuk saling menerima. Untuk itu mereka perlu memahami dengan jelas hakikat keselamatan dalam Kristus. Oleh karena itulah ia merasa perlu bicara panjang lebar tentang hal itu. Kita bisa menyimaknya dalam Roma 1-11.    

Bagi Rasul Paulus, iman kepada Mesias Yesus sudah cukup bagi siapa pun untuk diterima menjadi bagian dari umat Allah. Sebab bukankah semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah? Orang Yahudi berdosa dengan Taurat. Orang bukan Yahudi berdosa tanpa Taurat. Di hadapan Allah semua sama berdosanya, tidak ada yang benar.  Tapi berdasarkan Yesus Kristus, yang mati tersalib karena kesetiaan-Nya kepada Allah, pintu pengampunan terbuka lebar bagi semua orang tanpa kecuali. Allah membenarkan (= mengaruniakan hubungan yang baru kepada) siapa saja yang percaya kepada Yesus Kristus. Allah mengaruniakan Roh Kudus dan mengangkat mereka semua menjadi anak-anak-Nya. Allah mempersatukan mereka semua dengan Kristus. Intinya: Kristus telah menerima kita! Tanpa kecuali. Karena itu, tiada alasan untuk saling menolak, tidak saling menerima. Tidak boleh ada yang ditolak, tidak diterima.

Kita saling menerima bukan karena kita serba sama. Yahudi dan bangsa-bangsa lain berbeda. Laki-laki dan perempuan juga berbeda. Orang merdeka dan budak juga berbeda. Ada perbedaan warna kulit dan ras, ada perbedaan jenis kelamin, ada perbedaan gender, ada perbedaan kelas…!

Kita belajar saling menerima meski kita berbeda-beda. Kemudian kita perlu bersedia untuk belajar memahami dan mengapresiasi perbedaan: melihat bahwa perbedaan ada dalam rancangan Allah dan mengungkapkan hikmat dan kebesaran-Nya. Selanjutnya dengan gembira kita merayakan perbedaan sambil mengagumi hikmat dan kebesaran Allah. Sebab, bukankah Dialah yang telah menyelenggarakan perbedaan itu untuk memperkaya kemanusiaan kita?

Kristen Yahudi dipersilakan mempraktikkan Taurat, sebab itulah adat-istiadat mereka. Tapi jangan mengharuskan atau memaksa orang dari kalangan bangsa-bangsa lain untuk mengikuti mereka! Kristen dari bangsa-bangsa lain tidak perlu menjadi Yahudi. Tapi janganlah mereka menghina Kristen Yahudi yang masih mempraktikkan Taurat. Dalam semuanya itu, kepekaan harus terus diasah agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi saudara seiman kita.

Dalam Kristus, kita semua bersaudara, anak-anak Allah. Dalam Kristus, kita belajar saling mengasihi mereka yang berbeda dengan kita. Dalam Kristus, kita membangun jemaat atau gereja menjadi komunitas yang inklusif, yang menerima, mengapresiasi, dan merayakan perbedaan sebagai kekayaan hikmat Allah. Inilah proyek teologis-sosial yang menjadi kesaksian di tengah masyarakat luas – dulu maupun sekarang.    

Di Minggu Adven II kita diajak untuk mengkonkretkan partisipasi umat dalam visi Allah. Perdamaian dunia melibatkan teladan umat Allah yang hidup dalam perdamaian. Salah satunya itu berarti: membangun gereja menjadi komunitas yang inklusif.

Selamat bergulir dengan Minggu Adven II!



Perbatasan, 9-11 Desember 2019

MINGGU ADVEN I 2019: DAMAI TERDAMBA DI BUMI MANUSIA

Nats: Yesaya 2.1-5

Oleh: Rudolfus Antonius


iniceritainspiratif.blogspot.com
Yesaya putera Amos adalah seorang nabi. Kita mafhum, ia seorang “penyambung lidah Yahweh, ilah Israel.” Seorang nabi mengamati wolak-waliking jaman, bahkan tak jarang terlibat sebagai pelaku aktif di dalamnya. Dari pengamatan dan keterlibatannya, ia “membaca” kehendak Allah atas umat dan dunia mereka. Kemudian, atas nama Allah, ia menyampaikannya kepada umat.

Syahdan Yesaya telah “melihat” firman tentang Yehuda dan Yerusalem. Dalam firman itu terkandung visi Yahweh, ilah Israel. Sebuah visi tentang perdamaian dunia – yang akan terwujud “pada hari-hari terakhir” (bǝʼakharît hayyâmîm).  

Visi tersebut, bisa dimaklumi, menggunakan gambaran mitis yang lazim di zaman kuno Asia Barat Daya: gunung atau bukit tertinggi sebagai pusat semesta, yang menghubungkan bumi dan langit tempat kediaman ilah (-ilah). Gunung tertinggi yang dimaksud adalah Gunung Sion. Secara harafiah, bila dibandingkan dengan gunung-gunung yang lain, Gunung Sion bukan gunung tertinggi. Keberadaan rumah Allah atau Baitullah di sanalah yang membuatnya menjadi “pusat semesta, penghubung bumi dan langit tempat kediaman Yahweh, ilah Israel.”

Mengetahui (atau menyadari) keberadaan dan fungsi gunung itu, segala bangsa (kâl haggôyîm) akan berduyun-duyun ke sana. Banyak suku bangsa (ʽammîm rabîm) akan pergi ke sana. Mereka berkata satu sama lain: “mari kita naik ke gunung Yahweh, ke rumah Allah Yakub” (lǝkû wǝnaʽaleh ʼel-har-yǝhwâh ʼel-beyth ʼelohei yaʽakov). Sangat antusias. Mengapa?

Rupanya “segala bangsa” atau “banyak bangsa” merasa butuh pengajaran (tôrâh) atau firman Yahweh (dǝbar Yǝhwâh). Mereka yakin bahwa dari Sion atau Yerusalem, “kota di atas bukit” itu, terbit pengajaran atau firman itu. Di sana, yakni di rumah-Nya, Yahweh akan mengajarkan jalan-jalan-Nya kepada mereka. Mereka sendiri telah bertekad untuk hidup atau berjalan sesuai dengan langkah-langkah-Nya. 

Di samping mengajarkan Taurat atau firman atau jalan-jalan-Nya, Yahweh ilah Israel akan mengadili dan memutuskan perkara di antara bangsa-bangsa atau banyak suku bangsa. Penghakiman-Nya adil, keputusan-Nya benar. Walhasil, bangsa-bangsa atau banyak suku bangsa yang sudah bertekad untuk hidup sesuai dengan firman-Nya mengamini penghakiman Yahweh dan menerima keputusan-Nya.

Pertama, mereka mengubah alat-alat peperangan (yang telah mendatangkan bencana kemanusiaan) menjadi perkakas-perkakas kerja (yang akan mendatangkan kesejahteraan bersama). Kedua, mereka menghapuskan perang bahkan meniadakan sarana yang melatih orang untuk berperang.

mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak
dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas;
bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa,
dan mereka tidak akan lagi belajar perang.

Dengan jalan itu, terwujudlah perdamaian dunia!

Perdamaian terdamba di bumi manusia. Allah, Dialah yang mula-mula mendambakan-Nya. Dalam visi-Nya, itu akan terwujud ketika segala bangsa atau banyak suku bangsa berpaling kepada-Nya melalui “pusat semesta, penghubung bumi dan sorga” untuk belajar firman-Nya…

Tiba-tiba Yesaya tersentak. Bagaimana caranya agar segala bangsa atau banyak suku bangsa berpaling kepada Allah, belajar firman-Nya, dan hidup dalam perdamaian? Yesaya segera menyadari: umat yang berilahkan Yahweh harus menjadi teladan, menjadi role model… Umat Yahweh, yang disebutnya “kaum keluarga Yakub” (beîth yaʽakov) harus terlebih dulu menjadi umat pembelajar firman dan hidup dalam perdamaian. Untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa, mereka sendiri harus berjalan dalam terang Yahweh, ilah mereka. Maka Yesaya pun berseru: beyth yaʽakov lekû wǝnelkâh bǝʼôr yǝhwâh (hak kaum keluarga Yakub, mari kita hidup/berjalan dalam terang Yahweh).

Intinya: manakala umat Allah belajar firman Allah dan hidup dalam perdamaian, mereka akan menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa untuk belajar firman Allah dan hidup dalam perdamaian. Dalam artian tertentu, umat Allah itulah pusat semesta, yang menghubungkan bumi dengan langit. Dalam artian tertentu, mereka itulah yang menjembatani bangsa-bangsa dengan Allah.

Dalam rangka Minggu Adven I ini, bolehlah kita bertanya: apa implikasinya bagi Gereja, sebagai komunitas pengikut Gusti Yesus, yang hidup di Indonesia sekarang ini?

Apa artinya menjadi komunitas pembelajar firman Allah di tengah gencarnya upaya pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi salah satu pemain utama dalam kapitalisme dunia – dengan mengorbankan rakyat pekerja via upah politik upah murah, pelanggaran HAM (berat!) terhadap saudara-saudara  Papua, penafikan hak-hak ulayat, dan penggusuran di mana-mana?

Bagaimana kita bisa hidup dalam perdamaian bila rezim investasi, yang berkaitkelindan dengan oligarki dan militerisme, terus merusak alam via konsesi-konsesi pertambangan, perkebunan, dan industri pariwisata yang tidak mempedulikan keselamatan alam?

Visi Yahweh ilah Israel, menjadi kenyataan melalui umat-Nya. Bekerja untuk visi itu, para pengikut Gusti Yesus mencandra denyut nadi revolusioner dari “belajar firman Allah” dan “hidup dalam perdamaian.” Menaati firman Allah berarti melawan Satan yang bekerja melalui struktur-struktur ekopol yang menghisap, menindas, dan memarjinalkan sesama manusia dan alam. Hidup dalam perdamaian berarti berlawan terhadap ketidakadilan.

Selamat memasuki Minggu-minggu Adven!


Banyu Bening, 1 Desember 2019