Sabtu, 06 Oktober 2018

PERISTIWA MADIUN 1948


Catatan-catatan Studi


Tahun ini kita memperingati 70 tahun Peristiwa Madiun. Pihak anti-PKI menyebutnya sebagai Pemberontakan PKI Madiun, sedangkan PKI menyebutnya Provokasi Madiun. Berikut adalah catatan-catatan studi saya, sebagai seorang yang menaruh perhatian serius kepada perjuangan rakyat dan kaum tertindas, atas Peristiwa Madiun 1948. Catatan-catatan studi ini perlu dikembangkan, lewat penelitian dan penalaran lebih lanjut, juga kritik, koreksi, dan konfirmasi. Semangatnya adalah belajar dari perjuangan, dan berjuang dari pelajaran.

Pertama, zig-zag politik Stalinis: dari front internasional anti-fasis (dalam Perang Dunia II) ke demokrasi baru vs imperialisme (Perang Dingin). Menyusul Marshall Plan AS yang berintikan restorasi Eropa Barat pasca PD II, Uni Soviet mendirikan Cominform. Pada Juli 1947, Zhdanov menyatakan bahwa dunia sekarang terbelah di antara kubu demokrasi baru yang dipimpin oleh Uni Soviet dan kubu imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Zhdnov mencakupkan Indonesia ke dalam kubu demokrasi baru.

Kedua, zig-zag politik PKI: dari partai pro-diplomasi dengan Belanda (Sajap Kiri) ke partai anti-diplomasi dengan Belanda (Front Nasional); jatuh pasca Renville, berusaha come back via tekanan-tekanan kepada pemerintahan Hatta (via FDR), akhirnya menolak pemerintahan Hatta (via Front Nasional). Kejatuhan kabinet Amir Sjarifuddin (awal Februari 1948) dan kedatangan Pak Musso (awal Agustus 1948) dengan “Koreksi Besar”-nya, meradikalisasi PKI. Dari moderasi ke radikalisasi.

Ketiga, Program Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) yang digelar oleh pemerintahan Hatta dengan arsitek Kolonel Nasution membangkitkan protes unit-unit pasukan yang “menjadi korban” kebijakan tersebut. Protes tersebut diperkeras, dan pecah menjadi perlawanan bersenjata, oleh konflik-konflik di antara Divisi IV Senopati dan Siliwangi (yang hijrah dari Jawa Barat) di Solo. Terjadi penculikan, pembunuhan, dan saling serang di antara mereka. Dari Senopati, yang cenderung populis, terdapat unit-unit pasukan yang pro FDR.

Keempat, kaum Komunis Indonesia terbelah di antara kaum Stalinis dan “Trotskis” (istilah yang kurang tepat; Tan Malakist, mungkin lebih pas: Tan Malaka dan para pengikutnya). Semasa pemerintahan Sajap Kiri (kabinet Sjahrir dan kabinet Amir Sjarifuddin), kaum Stalinis mendukung jalan diplomasi dengan Belanda, sementara kaum Tan Malakist menolak perundingan dengan Belanda jika tidak didasarkan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia. Merdeka 100% adalah semboyan kaum Tan Malakist ini. Mereka membentuk semacam front rakyat bernama Persatuan Perjuangan. Semasa pemerintahan Hatta, utamanya sejak kembalinya Pak Musso, kaum Stalinis mengambil posisi yang sejalan dengan kaum Tan Malakist.

Sebermula, kaum Tan Malakist, yang gembira mengetahui bahwa berkat “Koreksi Besar” Pak Musso, PKI beralih ke posisi tersebut. Kaum Tan Malakist berharap dapat bersatu dengan kaum Stalinis. Akan tetapi mereka menjadi kecewa karena kaum Stalinis yang saat itu sudah dipimpin oleh Pak Musso, menolak karena “dendam lama” dan justru tetap mengikutsertakan para penempuh jalan diplomasi di dalam jajaran kepemimpinan PKI. Perseteruan kaum Tan Malakist dan kaum Stalinis pecah menjadi pertempuran karena terpicu oleh penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh Tan Malakist, dr. Muwardi.

Kelima, konflik dalam poin tiga dan poin empat tumpah-ruah dalam pertempuran di Solo jelang pertengahan September 1948: GRR yang Tan Malakist mendukung Siliwangi dan Hizbullah melawan unit-unit pasukan Senopati yang pro FDR, termasuk Pesindo. Unit-unit pasukan Senopati yang pro FDR terpukul mundur dari Solo ke Madiun.

Keenam, kaum Stalinis berupaya mentransformasi FDR menjadi PKI-legal melalui fusi PKI-ilegal, Partai Buruh, dan Partai Sosialis, dan membangun Front Nasional di bawah pimpinan PKI. Tujuannya: menuntaskan revolusi nasional anti-imperialisme di bawah pimpinan PKI. Proses fusi berlangsung. Para pemimpin FDR melakukan turne di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk mengkampanyekan Front Nasional – sebagai alternatif terhadap pemerintahan Hatta yang dipandang berkompromi dengan Belanda karena tekanan imperialis Amerika.

Ketujuh, kekalahan unit-unit pasukan Senopati yang pro FDR meradikalisasi FDR di Madiun. Menjadikan Madiun sebagai kubu pertahanan yang utama, pada 18 September 1948 FDR merebut kekuasaan di Madiun dan memproklamirkan pemerintahan Front Nasional.  Sebagai respons, pada 19 September malam, pemerintahan Hatta, melalui Bung Karno, menuding bahwa PKI Musso telah melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah dan menikam Republik dari belakang. Bung Karno menyerukan untuk merebut kembali Madiun dari tangan PKI Musso. Dua jam kemudian Pak Musso membalas dengan keras, yang intinya menuding Bung Karno dan Bung Hatta sebagai penjual bangsa dan menyatakan siap melakukan perlawanan.

Kedelapan, sementara transformasi FDR menjadi PKI-legal dan Front Nasional belum tercapai, pecah perang antara pasukan pemerintah, yang bertulangpunggungkan Siliwangi, dan pasukan FDR. Dalam hal ini, FDR ada dalam keadaan yang kurang menguntungkan. Secara militer, FDR tidak siap, termasuk dalam menggelar perang gerilya. Sementara itu, pasukan Sungkono (dari Senopati) yang besar dan kuat, justru berbalik melawan FDR, setelah yang bersangkutan ditunjuk oleh Pangsar Sudirman untuk menjadi panglima Jawa Timur.  

Di samping itu, FDR tidak mendapat dukungan yang memadai dari rakyat. Pertama, dengan menghina Sukarno-Hatta FDR justru membangkitkan antipati rakyat. Kharisma Dwitunggal, khususnya Bung Karno, masih begitu besar. Kedua, apa yang dinamakan sebagai ekses-ekses revolusi berupa pembunuhan-pembunuhan terhadap para ulama dan orang-orang yang menolak FDR di Madiun dan sekitarnya, membangkitkan kebencian di kalangan rakyat kepada FDR. Ketiga, agitasi dan propaganda intensif yang dilakukan pemerintah bahwa PKI Musso khianat dan biadab, efektif untuk membangun antipati masyarakat luas terhadap FDR/PKI.

Pada akhir September, pasukan-pasukan pemerintah berhasil menguasai kembali Madiun. Kemudian mereka memenangkan pertempuran-pertempuran melawan pasukan-pasukan FDR di tempat-tempat lain. Pada akhir November 1948, “pemberontakan” PKI Musso berakhir. Akhir Oktober Pak Musso gugur. Akhir November Djokosujono, Maruto Darusman, dan Sarjono, lalu Amir Syarifuddin dan Suripno, tertangkap. Mereka, bersama dengan lima orang lainnya, dieksekusi di Solo atas perintah Gubernur Militer Gatot Subroto pada 19 Desember 1948.

Kesembilan, dengan keberhasilan menumpas “pemberontakan” PKI Musso, pemerintah Hatta meraih “keuntungan” politis: Amerika Serikat, yang berseteru dengan Uni Soviet dan kuatir kaum Komunis berjaya di Indonesia, menggeser sedikit posisi politisnya. Sekutu Belanda tersebut melihat keuntungan dalam mendukung Indonesia. Agresi Militer II Belanda ke wilayah Republik pada akhir 1948 kemudian menjadi blunder bagi Belanda, karena membuat sekutu sekaligus donaturnya itu berbalik menekannya.

Kesepuluh, sebagaimana dikatakan Lenin, revolusi adalah pestanya rakyat. Akan tetapi, Lenin juga mengajarkan bahwa dalam pesta tersebut rakyat memerlukan pimpinan yang tepat. Sebuah partai pelopor revolusioner sangat dibutuhkan. Pembacaan yang akurat atas kondisi objektif dan faktor subjektif yang memprasyaratkan kemenangan rakyat dalam revolusi adalah mutlak penting. Berdasarkan pembacaan itulah partai pelopor revolusioner menyalurkan enerji rakyat dalam Aksi Massa, yang secara hakiki tak lain dari tampilnya rakyat sebagai Subjek atau Penentu dari nasib mereka sendiri. Jika tidak, partai pelopor revolusioner terjebak dalam oportunisme (kanan) atau avonturisme (ultra kiri). Dalam kedua kasus, rakyat, yakni kaum buruh, tani, dan kaum miskin lainnya, akan menuai bencana.

Perjuangan yang bermuara dalam kekalahan, kata Ali Archam, bukanlah perjuangan yang salah. Saya sependapat. Tentu, bukan berarti segala sesuatu dalam perjuangan yang kalah itu benar. Selain musuh lebih kuat, sangat mungkin terdapat kesalahan-kesalahan serius dalam perjuangan tersebut. Kita perlu menyimak pelajaran-pelajaran dari kekalahan tersebut. ***

Lemah Abang, 20 September 2018



KEPUSTAKAAN

Anderson, David Charles, Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal Tentara? Yogyakarta: Media Pressindo, 2003.
Gie, Soe Hok, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang, 1997.
Latif, Busjarie (Lembaga Sejarah PKI), Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI. Bandung: Ultimus, 2014.
Onghokam, “Pemberontakan Madiun 1948: Drama Manusia dalam Revolusi,” dalam Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
Poeze, Harry A., Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: KITLV-Jakarta & Yayasan Obor Indonesia, 2011.
Setiawan, Hersri, Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan. FuSPAD, 2003.
Van Klinken, Gerry, “Amir Sjarifoeddin dan Kharisma Nasionalis,” dalam Lima Penggerak Bangsa yang Terlupa: Nasionalisme Minoritas Kristen. Yogyakarta: LKiS, 2010.