Kamis, 26 Maret 2020

PRA-PASKAH IV 2020: DIAMPUNI, MENGAMPUNI

liberationist.org
Matius 6.12, 14-15; 18.21-35

Rudolfus Antonius

Utang, opheilêma. Pelanggaran, paraptôma. Berbuat dosa atau berbuat salah, hamartanô. Itulah tiga istilah yang kita temukan dalam ajaran Gusti Yesus tentang pengampunan. Ketiga istilah tersebut merujuk pada penyebab terganggunya hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.

Sebagai orang yang tidak asing dengan massa rakyat yang “susah resah dan kapiran” (eskulmenoi kai errimmenoi, Matius 9.36; TB-LAI: “lelah dan telantar”), Gusti Yesus tahu banyak wong cilik berutang karena terpaksa. Ya, terpaksa: untuk menyambung hidup mereka sekeluarga. Sekali berutang, wong cilik ada dalam posisi yang semakin sukar. Relasi sosial yang tidak sepadan menjadi kian tidak seimbang. Bila saat jatuh tempo ia tidak bisa melunasi utangnya, penjara atau perbudakan sudah menantinya. Si pelepas utang (kreditor) berhak menjebloskannya ke dalam penjara sampai ia (sebagai debitor) melunasi utangnya. Atau, alternatifnya, si kreditur berhak menjadikan si debitur yang wong cilik itu (berikut isteri dan anak-anaknya) budak atau menjualnya sebagai budak!

Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu tahu ada debitor dan kreditor di antara para pengikut-Nya. Ia ingin agar para kreditor bisa rumangsa: jangan memanfaatkan orang susah demi menangguk keuntungan, jangan memperbesar kesusahannya. Ia bukan sekadar mengingatkan mereka untuk tidak membebankan bunga kepada orang yang terpaksa berutang (lihat Keluaran 22.25). Dengan semangat Tahun Sabat (lihat Ulangan 15.1-2), lebih jauh Ia meminta para kreditor untuk menghapuskan piutang dan dengan demikian membebaskan wong cilik dari beban utang mereka. Dengan demikian wong cilik terhindar dari kesusahan yang lebih besar: penjara atau menjadi budak belian. Dalam kata-kata-Nya, “… seperti kami membebaskan orang yang berutang kepada kami” (hos kai hêmeis aphêkamen tois opheiletais hêmôn, Matius 6.12b; TB-LAI: seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami).

Gusti Yesus mengingatkan bahwa dalam artian tertentu para kreditor itu adalah debitor juga. Dalam satu atau lain cara sebenarnya mereka berutang kepada Allah. Dengan berbuat dosa, mereka berutang kepada Allah. Bila jujur mengintrospeksi diri, mereka akan mendapati hidup mereka dibebani dosa yang banyak, besar, dan berat. Jelas, cepat atau lambat mereka harus melunasi utang-utang dosa tersebut. Tapi mungkinkah mereka melunasinya? Mustahil. Sebab utang dosa mereka terlalu banyak, besar, dan berat!

Lantas bagaimana? Gusti Yesus tahu, mereka butuh pengampunan. Itu berarti: penghapusan utang dosa atau pembebasan mereka dari utang dosa. Allah sajalah yang sanggup melakukannya. Karena itu, Ia mengajar mereka berdoa, “Bebaskanlah kami dari utang-utang kami…” (aphes hêmin ta opheilêmata hêmôn, Matius 6.12a; TB-LAI: ampunilah kami akan kesalahan kami).

Jelas: para kreditor adalah debitor-debitor di hadapan Allah. Mereka berpiutang kepada wong cilik, sekaligus berutang kepada Allah. Mereka tidak dapat membayar utang-utang dosa mereka kepada Allah karena saking banyak, besar, dan beratnya. Mereka hanya dapat berharap agar Allah merasakan penderitaan mereka (splanknizomai, 18.27), mengasihani mereka (eleeô, 18.33), dan mengampuni atau membebaskan mereka dari utang-dosa mereka (aphiêmi, 6.12a; 18.27). Akan tetapi, mereka juga harus melakukan hal yang sama berkenaan dengan utang wong cilik, para debitor mereka (6.12b; 18.33). Jika tidak, jangan harap Allah berkenan mengampuni mereka. Jelas, dalam pandangan Gusti Yesus, Allah menghendaki fairness. Mereka yang ingin dibebaskan Allah dari utang-dosa kepada-Nya, harus membebaskan wong cilik dari utang kepada mereka.

Gusti Yesus memperluas prinsip ini dalam hubungan sosial yang tidak (secara langsung) bersifat ekonomi. Ada kalanya perbuatan seseorang melampaui batas hingga merugikan sesamanya, atau berbuat salah kepadanya. Sangat mungkin murid Gusti Yesus mengalami perlakuan yang tidak benar dan merugikan dirinya. Menanggapi hal itu, murid Gusti Yesus hendaknya mengampuni “tindakan yang melampaui batas” itu (paraptômata, 6.14a; TB-LAI: kesalahan).

Itu dilakukan murid Gusti Yesus dengan kesadaran bahwa ia sendiri sering melampaui batas atau melakukan pelanggaran di hadapan Allah. Ia sadar bahwa dirinya membutuhkan dan menginginkan pengampunan dari Allah. Ia juga menyadari bahwa orang yang melampaui batas itu juga sejatinya membutuhkan pengampunan. Ia ingin bersikap fair: diampuni Allah dan mengampuni sesama. Ia berpegang pada perkataan Gusti Yesus, “Jikalau kamu mengampuni pelanggaran-pelanggaran (paraptômata, TB-LAI: kesalahan) orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu” (6.14-15). Karena itu, meski tidak mudah, murid Gusti Yesus akan berusaha agar dari hatinya mengalir pengampunan bagi orang itu (lihat 18.35). Termasuk bila yang bersangkutan, karena berwatak lemah, bolak-balik berbuat salah (hamartanô) kepadanya!

Dengan pengajaran tentang pengampunan, murid-murid Gusti Yesus diajak untuk bersikap fair: diampuni dan mengampuni! ***



Lemah Abang, 21 Maret 2020

Kamis, 19 Maret 2020

CERDIK DAN TULUS

www.churchinwales.org.uk
Matius 10.16

Rudolfus Antonius

Gusti Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan Kabar Baik kepada "domba-domba yang terhilang dari Keluarga Israel” (ta probata ta apolôta tou oikou Israêl, Matius 10.6), yakni orang-orang yang lazim disebut sebagai orang-orang berdosa (hamartôloi, 9.10, 11, 13; 11.19),  “bangsa yang berdiam dalam kegelapan” (4.16). Dalam pandangan Gusti Yesus, mereka adalah massa rakyat (orang banyak) yang lelah dan telantar (9.36). Banyak di antara mereka yang menderita berbagai penyakit dan kerasukan roh jahat (lihat pasal 8.1-17, 28-34; 9.1-8, 18-34).

Karena dijangkiti berbagai penyakit dan dirasuki roh-roh jahat, mereka dipandang oleh para pemuka agama sebagai orang-orang berdosa, yang ditolak dan dibuang Allah. Kepada mereka murid-murid harus memberitakan Kabar Baik atau Injil bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat (10.7). Untuk misi tersebut, Gusti Yesus telah mengaruniakan kuasa kepada mereka "untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan" (10.1). Maksud Gusti Yesus: pemberitaan Injil menyatakan bahwa Allah merangkul, bukan menolak apalagi membuang, orang-orang berdosa.

Dalam pada itu, Gusti Yesus memperingatkan murid-murid-Nya bahwa Ia mengutus mereka “seperti domba-domba ke tengah-tengah serigala” (hôs probata en mesô lukôn, 10.16). Betapa tidak! Dalam melaksanakan misi memberitakan Injil Kerajaan itu, murid-murid akan berhadapan dengan orang-orang yang akan menentang pemberitaan Injil dengan keras: "... ada yang akan menyerahkan kamu kepada majelis agama, dan mereka akan menyesah kamu di rumah ibadatnya... karena Aku kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja..." (10.17-18).

Karena itu, Gusti Yesus menandaskan: “Hendaklah kamu cerdik seperti ular & tulus seperti merpati" (phronimoi hôs hoi opheis kai akeraioi hôs hai peristerai, 10.16). Cerdik (phronismos) dan tulus (akeraios) berpasangan. Keduanya tak terpisahkan. Murid-murid tidak boleh ambil salah satu dan membuang satunya lagi. Murid-murid harus memiliki kedua-duanya.

Tulus berarti lurus, jujur, “tak punya dosa” dalam arti berintegritas: "arlek amanca," biar jelek asal mantap dan bisa dipercaya. Cerdik berarti berakal, bisa membaca situasi, membuat kalkulasi dan menyusun "stratak" (strategi dan taktik). Tulus saja tanpa cerdik adalah naif: murid-murid Gusti Yesus bakal jadi bulan-bulanan bahkan mangsa empuk kawanan srigala. Tragis!

Tapi cerdik saja tanpa tulus adalah licik; itu akan membuat murid-murid Gusti Yesus tidak berbeda dengan kawanan serigala! Ingat cerita tentang hannâkhâsh alias si ular di Taman Eden: ia “[paling] cerdik dari semua binatang padang yang telah Yahweh Allah jadikan” (arûm mikol khayyat hashshâde asher ʽâsâh YHWH ʼelohîm, Kejadian 3.1; LXX untuk arûm adalah phrônimatos, superlatif dari phronimos: paling cerdik). Sadis!

Jadi, murid-murid Gusti Yesus kudu, wajib tulus, berintegritas, jujur, "arlek amanca," SEKALIGUS cerdik berakal, bisa membaca situasi, membuat perhitungan, dan menyusun "stratak." Supaya tidak jadi KORBAN, tapi juga supaya TIDAK MEMBUAT ORANG LAIN JADI KORBAN! Tulus menjiwai cerdik, cerdik mengawal tulus. Keduanya berkombinasi, saling meresapi. Kombinasi tulus dan cerdik terungkap dalam istilah Indonesia yang indah: BERAKAL BUDI.

Menyikapi Pandemi

Berkenaan dengan pandemi Covid-19 alias Virus Corona, ketulusan dan kecerdikan kita selaku murid-murid Gusti Yesus masa kini, benar-benar diuji. Kita tulus, misalnya, ingin tetap beribadah. Toh di Alkitab kita membaca, "Latihlah dirimu beribadah!" (1Timotius 4.7b), "Ingat dan kuduskanlah Hari Sabat" (Keluaran 20.8), dan "Janganlah kita meninggalkan pertemuan-pertemuan ibadah kita..." (Ibrani 10.25).

Tapi tulus saja tidak cukup. Kita juga mesti cerdik. Bukan karena kita takut, tapi karena kita tidak mau melakukan sesuatu yang justru mencelakakan banyak orang melalui penularan Virus Corona di tengah banyak orang. Bukan karena kurang beriman atau tidak beriman, tapi karena kita ingin ikut mengusahakan kesejahteraan kota atau negeri kita  (lihat Yeremia 29.7). Apalagi ketika kota atau negeri kita (bahkan dunia!) sedang "terluka." Yang seharusnya kita ungkapkan adalah SOLIDARITAS, bukan Superioritas ("sindrom anak raja")! Kita ingin jadi garam dan terang dunia (Matius 5.14-16), bukan penyebar Virus Corona.

Lantas bagaimana dengan perintah-perintah Alkitab tentang ibadah? Tetap bisa kita lakukan! Kita bisa melakukan ibadah keluarga. Ibu-ayah-anak, misalnya. Kalau sendirian atau jomblo? Tetap bisa! Prinsipnya: "menyembah Allah dalam Roh dan Kebenaran" (Yohanes 4.24):  

  • Puji-pujian
  • Pengakuan Dosa
  • Ucapan Syukur
  • Permohonan (berkenaan dengan Virus Corona: memohonkan perlindungan Allah bagi para tenaga medis yang bergulat di garis depan, memohonkan pertolongan Allah bagi dunia yang sedang dilanda pandemi ini, memohonkan kesembuhan bagi yang terinfeksi, memohonkan hikmat dan kuasa Allah bagi semua pihak yang terkait langsung dan tidak langsung, termasuk kita, dalam upaya mengatasi pandemi ini, memohonkan agar Allah melindungi negeri dan masyarakat dari pihak-pihak yang berniat memancing ikan di air keruh yang bisa mengakibatkan pandemi memicu bencana sosial dan kemanusiaan)
  • Permenungan firman Allah
  • Persembahan (kolekte, yang bisa dikirimkan via online banking atau disimpan dulu lalu dibawa ke gereja kelak).


Gereja (termasuk gereja kita tercinta) tentu akan membantu. Bisa dengan liturgi dan bahan permenungan Firman Tuhan, atau dengan “kebaktian online.” Tentu, dalam situasi darurat yang kita lakukan sulit seideal dalam situasi normal. (Bahkan dalam keadaan normal pun kita sering jauh dari ideal, bukan? Syukur kepada Allah atas kemurahan hati-Nya!). Yang terpenting, ibadah terus kita lakukan: iman, pengharapan, dan kasih (solidaritas, belarasa) kita diteguhkan. Bila "badai telah berlalu," kita akan berbondong-bondong ke gereja merayakan persekutuan kita!

Kita belajar tulus dan cerdik, bukan terdekat ketakutan. Kita belajar menerapkan iman dan hikmat, bukannya tidak peduli atau nekat. Kita belajar berakal budi, tidak mau sembrono serampangan. Kita ingin menjadi bagian dari solusi (ikut memutus penyebaran Virus Corona), bukan menjadi bagian dari masalah. Kita ingin jadi kesaksian, bukan batu sandungan. ***



Disiapkan sebagai Bahan Persekutuan Gabungan Komisi Perempuan GKMI Yogyakarta: Kamis, 19 Maret 2020

Selasa, 17 Maret 2020

PRA-PASKAH III 2020: TERGERAKLAH HATI-NYA OLEH BELAS KASIHAN

www.saoshawa.ca
Matius 9.35-38

Rudolfus Antonius


Jajah desa milang kori, menjelajahi desa dan kota. Itulah yang dilakukan Gusti Yesus. Bukan luntang-lantung tanpa tujuan. Dalam penjelajahan-Nya, Gusti Yesus “mengajar di rumah-rumah ibadat mereka, memberitakan Injil Kerajaan, dan melenyapkan segala penyakit dan kelemahan” (Matius 9.35).

Gusti Yesus mengajar (didaskein) sebagai orang yang datang untuk menggenapi Taurat dan Nabi-nabi (5.17), yang menerobos ke balik batasan-batasan huruf guna mengungkap jiwa dan semangatnya (5.21-48), serta mengemukakan maknanya dengan kewibawaan yang tidak dimiliki oleh para “ahli Taurat mereka” (7.29).

Gusti Yesus memberitakan atau mengkhotbahkan Injil Kerajaan. Sementara Yohanes Pembaptis berkhotbah di pusat (Yudea, 3.1, 5-6), Gusti Yesus di pinggiran (Galilea, 4.12-17). Di pinggiran ini Ia berjumpa dengan "bangsa yang diam dalam kegelapan" (4.15), orang Yahudi yang dianggap tidak murni karena bercampur-baur dengan bangsa-bangsa lain. Orang Yahudi pinggiran! Gusti Yesus memberitakan Kabar Baik kepada kaum yang secara rasial dan keagamaan dianggap pinggiran!

Gusti Yesus melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Ia menghubungkan kedatangan Kerajaan Sorga dengan tindakan-tindakan yang mengutamakan mereka yang menderita sengsara. Ia "melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu (4.23). Dalam pewartaan-Nya, kedatangan Kerajaan Allah menjadi kabar baik atau berita gembira bagi mereka yang dianggap terbuang dari hadapan Allah, kena tulah berupa sakit-penyakit dan diserahkan kepada setan-setan (lihat Matius 8-9). Melalui Gusti Yesus, Allah merangkul orang-orang yang oleh pandangan agama yang mapan dianggap sebagai orang-orang buangan!

Jajah desa milang kori mempertemukan Gusti Yesus dengan massa rakyat (ochlos, orang banyak). Ia melihat mereka "lelah dan telantar, seperti domba yg tidak bergembala" (9.36). Mereka lelah (eskulmenoi): susah, resah, dan gamang. Mereka telantar (errimmenoi): keleleran, kapiran. Mereka seperti "kawanan domba yang tidak mempunyai gembala" (probata echonta poimena)

Berjumpa dengan massa rakyat yang terlunta-lunta itu, "tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan." Kata yang diterjemahkan dengan "tergerak oleh belas kasihan" (splanknizomai, yang muncul pula dalam Mat 14.14; 15.32; 18.27; 20.34), membayangkan suasana hati yang kuat: hati merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan sendiri. Perasaan turut menderita ini mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu untuk menolong sesama yg dijumpainya sedang menderita.

Merasakan penderitaan massa rakyat, Gusti Yesus berbagi dengan murid-murid-Nya. "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit," kata-Nya (9.37). Ia tahu, massa rakyat tidak seharusnya susah dan kapiran. Ia tahu, mereka perlu dibebaskan dari keadaan itu. Ia tahu, agar pembebasan itu dimungkinkan, harus ada tangan-tangan yang terulur. Tapi massa rakyat begitu banyak! Karena itu, sambung-Nya, "Mintalah kepada yang empunya tuaian supaya ia mengirimkan para pekerja kepada tuaian itu" (9.38).

Gusti Yesus tahu persis bahwa Allah, "tuan yang empunya tuaian itu," mempedulikan massa yang terlunta-lunta. Dalam pada itu Ia menyadari bahwa kepedulian Allah kepada manusia (juga alam) melibatkan manusia juga. Dengan kata lain: perlu banyak orang yang berbelarasa dan siap mengulurkan tangan kepada massa rakyat!

Tak lama berselang, Gusti Yesus memanggil 12 orang murid (10.1). Tujuannya jelas: mengutus  mereka dalam karya pembebasan massa rakyat yang terlunta-lunta. “Pergilah kepada domba-domba yang terhilang dari Keluarga Israel,” kata-Nya kepada mereka (10.5). Amanat-Nya: “Beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat” (10.7). Tanda bahwa Kerajaan itu sudah dekat,  murid-murid menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta, & mengusir setan2 (10.8). Untuk itu, Gusti Yesus “memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir setan serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan” (10.1).

Membebaskan massa rakyat bukanlah perkara heroisme individual. Membebaskan massa rakyat adalah kerja banyak orang yang dipersatukan dengan jiwa dan semangat yang sama. Kepedulian Allah tidak saja dinyatakan melalui Gusti Yesus. Belarasa ilahi juga diungkapkan melalui keterlibatan orang-orang yang bergabung dengan Laki-laki Bersandal itu: murid-murid-Nya. Mereka adalah utusan-utusan Allah demi misi pembebasan melalui pemberitaan Injil Kerajaan.

Hingga saat ini, Gusti Yesus tetap merasakan penderitaan mereka yang sengsara dan kapiran: orang-orang yang dimelaratkan oleh pembangunan ekonomi yang eksploitatif, orang-orang yang dipaksa menyaksikan hutan-hutan yang ratusan tahun mereka keramatkan dihancurkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, orang-orang yang didiskriminasikan karena ras dan/atau agama, orang-orang yang dianggap najis karena memiliki orientasi seksual yang berbeda. Mereka membutuhkan Kabar Baik yang Membebaskan.

Sekarang pun Gusti Yesus tetap mengajak, memperlengkapi, dan mengutus murid-murid-Nya: kita. Dipersatukan di dalam gereja-Nya dan dipenuhi dengan Roh-Nya, kita diajak untuk (1) berjumpa dan berbelarasa mereka yang sengsara dan kapiran, (2) diperlengkapi dengan kuasa, hikmat, pengetahuan, dan keterampilan, serta (3) diutus-Nya untuk mengerjakan misi pembebasan. ***


Perbatasan, jelang Minggu Transfigurasi 2020.

Sabtu, 14 Maret 2020

DI BALIK PENCABULAN, PEMERKOSAAN, DAN PERBUDAKAN SEKSUAL

sexinfo.soc.ucsb.edu
Rudolfus Antonius

Seorang pendeta ternama ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencabulan atas seorang perempuan belia (7 Maret 2020). Mula-mula dikabarkan bahwa sang perempuan telah menjadi korban pencabulan selama 17 tahun, sejak ia berumur 9 tahun. Belakangan pihak kepolisian, berdasarkan pengakuan si pendeta, mengatakan bahwa pencabulan itu berlangsung selama 6 tahun, sejak korban berumur 12 tahun. Gadis yang dititipkan orangtuanya kepada si pendeta agar dibina secara rohani malah dijadikannya budak seks selama bertahun-tahun.

Kasus ini bukan kasus satu-satunya. Kita dapat menyebutkan sederetan panjang kasus serupa. Kasus-kasus tersebut memiliki pola relasi yang sama: pelaku memiliki posisi yang lebih tinggi daripada korban. Pelaku adalah budayawan terkemuka, korban adalah mahasiswi yang sedang mengerjakan skripsi. Pelaku adalah dosen, korban adalah mahasiswi. Pelaku adalah pengasuh ponpes atau putera pengasuh ponpes, korban adalah (para) santriwati. Pelaku adalah guru ngaji, korban adalah murid-muridnya. Pelaku adalah para pastor, korban adalah anak-anak kecil.

Di mana ada relasi antarmanusia, di situ terdapat kebutuhan akan tatanan. Kebutuhan tersebut mengharuskan adanya kuasa. Bentuknya dua: otoritas (exousia) dan daya (dunamis). Otoritas adalah proyeksi dari kesadaran manusia akan perlunya tatanan. Ia mengandaikan integritas, kapasitas, dan kredibiltas di satu sisi, serta kepercayaan, rasa hormat, tunduk, bahkan takut di lain sisi. Daya adalah kemampuan yang penggunaannya disahkan oleh otoritas. Dengan kuasa, tatanan dimungkinkan. Idealnya, tentu, kuasa digunakan untuk mengadakan tatanan guna mendatangkan kesejahteraan bersama. 

Dalam relasi yang tidak sepadan (atas-bawah, tinggi-rendah), kuasa rentan disalahgunakan. Berdasarkan otoritas yang ada padanya, orang bisa menggunakan daya untuk memenangkan kepentingan atau hasratnya sendiri dengan mengorbankan pihak yang berposisi lebih rendah atau lebih lemah. Jenis-jenisnya: eksploitasi dan manipulasi, penindasan dan rudapaksa, marjinalisasi dan diskriminasi.

Dalam kasus "pendeta ternama" dan sederetan kasus lainnya yang serupa, si pendeta (juga budayawan, pastor, ustad, kiyai, putera kiyai, dsb.) ada dalam posisi berkuasa (powerful). Komunitas Kristen yang dipimpinnya percaya bahwa si pendeta adalah "orang suci," yang menghubungkan alam-atas (Tuhan) dan alam-tengah (manusia) melalui doa-doa dan pengajaran yang penuh kuasa. Komunitas meyakini bahwa si pendeta adalah "hamba Tuhan yang diurapi." Kesuksesannya menghimpun pengikut dalam jumlah besar, bahkan kekayaan material dan gaya hidupnya yang mewah, yang oleh komunitas diyakini sebagai tanda-tanda bahwa ia diberkati Tuhan, mengukuhkan otoritasnya sebagai "orang suci" yang sangat istimewa: hamba Tuhan yang diurapi. Jelas, ia memiliki otoritas "rohani" yang sangat besar.

Di lain pihak, gadis yang dititipkan orangtuanya kepada si pendeta ada dalam posisi tidak berkuasa (powerless). Orangtuanya percaya penuh kepada si pendeta. Mereka telah menyerahkannya ke dalam "perwalian" si pendeta. Mereka percaya bahwa dengan dibina oleh si pendeta, ia akan tumbuh sebagai perempuan saleh, perempuan yang mengasihi dan melayani Tuhan. Dalam pada itu, bagi orang yang benar-benar mempercayainya, kuasa rohani memberi dampak psikologis yang sangat besar: yang tak-berkuasa cenderung tunduk, submissive.

Kepercayaan orangtua, posisi sebagai yang dibina, dan kecenderungan submissive telah membuat sang gadis menjadi benar-benar tak berdaya. Sementara itu, posisi otoritatif yang dimilikinya di satu sisi dan posisi tak-berkuasa dan kecenderungan submissive sang gadis di sisi lain, cenderung memperbesar rasa percaya diri si pendeta, bahkan ketika ia menyalahgunakan kuasa. Rayuan, ancaman, bujukan, kata-kata suci, rujukan kepada nama Tuhan, tindakan kesalehan (doa dsb.), misalnya, yang dilakukan untuk membenarkan perbuatan kejinya, memperbesar dominasi si pendeta atas sang gadis dan membuat sang gadis menjadi semakin submissive. Ini bukan berarti sang gadis menyetujui perbuatan si pendeta terhadap dirinya. Si gadis tidak setuju, tapi ia tidak berdaya. Perbuatan abusive si pelaku ditanggapi dengan sikap submissive korban.

Jelas, dalam kasus si "pendeta ternama," si pendeta adalah pelaku, sang gadis atau sang perempuan adalah korban. Si pendeta telah melakukan abuse of power, sedangkan sang gadis terjebak ke dalam sikap submissive to power. Dalam posisi sebagai penguasa si pendeta telah berbuat kezaliman (adikia), alih-alih menguatkan relasi yang benar-adil (dikaiosunê), dan mendatangkan kesejahteraan bersama. Harkat dan martabat sang gadis/perempuan harus dipulihkan. Si pendeta harus menjalani konsekuensi atas kezalimannya.

Kuasa itu bisa berguna, sangat berguna. Tapi kuasa juga bisa berbahaya, sangat berbahaya. Power tends to corrupt, absolute power tends to absolute corrupt, kata Lord Acton. Karena itu, kuasa harus dibatasi: didistribusikan di dalam komunitas, dan dikontrol oleh komunitas. Meski tidak sempurna, demokrasi adalah sebaik-baiknya cara manusia mengelola kuasa. Termasuk kuasa "hamba Tuhan yang diurapi." Komunitas iman, termasuk gereja, butuh demokrasi. ***


Perjalanan, 13-14 Maret 2020

Minggu, 08 Maret 2020

PRA PASKAH II 2020: TETAP PERCAYA DI TENGAH BADAI

www.pinterest.com
Matius 8.23-27

Rudolfus Antonius


Para murid merasa heran, benar-benar heran. Mereka terperangah. Hati mereka takjub. Pikiran mereka bingung. Betapa tidak! Mereka baru saja mengalami peristiwa-peristiwa yang sangat dahsyat.

Ceritanya begini. Perahu yang mereka tumpangi “diliputi oleh ombak-gelombang” (kaluptesthai hupo tôn kumatôn, 8.24b). Sebab-musababnya: “gempa bumi yang dahsyat telah terjadi di dalam danau” (seismos megas egeneto en tê thalassê, 24a). Ya, ombak-gelombang itu disebabkan oleh gempa di bawah danau. Dengan kata lain: TSUNAMI! 

Murid-murid itu segera menyadari: maut sedang mendatangi mereka. Perahu akan hancur, dan mereka akan tenggelam. Siapakah yang sanggup menghadapi ganasnya alam yang sedang “murka”? Kita binasa! (apollumetha, ay 25). Saat itu nyali mereka menjadi ciut. Mereka ketakutan (deiloi, ay 26).

Sementara itu, Yesus justru sedang tidur (ekatheuden, dari katheudô). Dalam keadaan segawat itu, saat maut bukan saja sedang mengintai melainkan tengah memburu mangsanya! Sepertinya ironis. Mungkin kita jadi ingat kepada Yunus, yang tidur dengan nyenyak di “ruang kapal yang paling bawah” (Yunus 1.5) ketika para awak kapal sedang berjuang menyelamatkan kapal dari badai besar (ay 4-5). Seolah tidak peduli!

Tapi mungkin juga kita teringat kepada orang-orang saleh yang bisa tidur dengan nyenyak di tengah prahara karena benar-benar mengimani perlindungan Allah (Ayub 11.18-19; Mazmur 3.6-7; Amsal 3.24-26). Atau, boleh jadi kita ingat bagian-bagian Alkitab yang mengungkapkan kesan umat bahwa sepertinya Allah tertidur dan melupakan mereka pada saat-saat yang mahagawat (Mazmur 35.23; 44:23-24; 59:6; Yesaya 51:9).

Entah apa yang ada dalam benak murid-murid saat mendapati Yesus sedang tidur di tengah situasi seperti itu. Yang jelas, mereka membangunkan Dia seraya berkata, “Tu[h]an, selamatkanlah …!” (Kurie, sôson, TB-LAI: Tuhan, tolonglah, Matius 8.25). Jelas, mereka meminta Yesus untuk bertindak. Permintaan itu bukan tanpa dasar. Sebab mereka telah menyaksikan Dia menyembuhkan orang yang mengidap penyakit kusta (8.3), ibu mertua Simon (8.14-15), dan orang-orang lainnya yang menderita sakit (8.16), bahkan mengusir roh-roh jahat yang merasuki banyak orang (8.16).

Yesus tahu bahwa para murid mulai percaya kepada-Nya. Indikasinya: mereka berseru minta diri-Nya bertindak menyelamatkan. Pada saat yang sama, Ia juga tahu bahwa mereka baru mulai percaya. Wajar saja bila kepercayaan atau iman mereka masih jauh dari matang apalagi sempurna. Indikasinya: mereka masih dikuasai ketakutan. 

Paradoks, begitu mungkin kita menggumam. Karena baru beriman, murid-murid masih dikuasai oleh ketakutan. Pada saat yang sama, meski baru beriman, mereka berseru, minta Gusti Yesus bertindak menyelamatkan. Paradoks yang wajar: “baru beriman” membuat kita masih dikuasai ketakutan sekaligus mendorong kita untuk berseru minta  pertolongan Tuhan.

Yesus tahu persis paradoks itu. Karena itu, pertama, Ia menyebut mereka oligopistoi (orang-orang yang memiliki iman yang kecil, 8.26; bdk. 6.30; 14.31; 16.8). Dengan sebutan itu, Ia tidak sedang menghina atau menyalahkan mereka. Ia “hanya” menunjukkan kepada mereka bahwa mereka telah memiliki suatu permulaan yang baik, sekaligus harus terus ditingkatkan: mereka mulai percaya kepada-Nya, dan hendaknya semakin percaya kepada-Nya.

Kedua, Ia menanggapi seruan mereka dengan bertanya, “Mengapa kamu takut?” Sebuah pertanyaan retorik, tentu. Sebab, jawabannya sudah tersirat dalam pertanyaan itu. Bagi para murid, secara spontan jawabannya jelas: kami takut karena sedang diburu oleh maut. Bagi Yesus (sebagaimana dikesankan Sang Pencerita kepada kita), secara reflektif jawabannya juga jelas: karena kamu baru beriman kepada-Ku. Seandainya kamu sudah matang beriman kepada-Ku, (1) kamu tidak akan dikuasai ketakutan saat maut memburumu; (2) kamu akan memasrahkan hidup dan matimu kepadaku, termasuk saat maut sedang memburumu.

Kemudian, sambil bangkit-berdiri Yesus “menghardik angin yang menderu dan danau itu” (epetimêsen tois anemois kai tê talassê, 8.26b). Akibatnya, sebagai ganti tsunami, “terjadilah suasana yang luar biasa tenangnya” (egeneto galênê megalê, 8.26c). Kontras!

Murid-murid, yang mendapati bahwa diri mereka baru saja lolos dari maut, terperangah, takjub, dan bingung sekaligus (8.27a). Sebab sosok yang barusan mereka panggil Kurios, yang barusan mereka minta untuk menyelamatkan, telah mengubah tsunami di danau itu menjadi suasana yang luar biasa tenangnya hanya dengan menegor angin yang menderu-deru dan danau itu! Ya, itu berarti, angin yang menderu-deru dan danau itutaat kepada-Nya(8.27c). Terperangah, takjub, dan bingung, mereka pun bertanya-tanya: Orang macam manakah Dia? (potapos estin houtos; 8.27b).   

Kita, para pembaca, boleh jadi teringat kepada bagian-bagian Alkitab yang menyatakan bahwa Yahweh, Allah Israel, sanggup meredakan badai dan gelombang lautan (Yunus 1-2; Mazmur 65.8; 89:10; 104:7; 107:23-30). Kita pun bertanya: manakah yang lebih tepat dalam cerita ini, Yesus ditampilkan serupa Yunus (yang tidak peduli), sebagai orang saleh (yang percaya penuh kepada perlindungan Allah), atau sebagai kehadiran ilahi yang sekilas tidak nyata namun ada di tengah prahara yang sedang melanda umat-Nya?

Jalan kemuridan tidak menjanjikan kenyamanan apalagi kemapanan (8.20). Jalan kemuridan juga tidak mengizinkan seorang pun yang telah menempuhnya untuk berpaling apalagi berbalik ke jalan hidup yang lama (8.22). Sebelum memutuskan untuk ikut, orang harus menimbang masak-masak. Setelah memutuskan, pantang mundur tak berkisar walau sejari. Memasrahkan hidup dan mati kepada Gusti Yesus Sang Junjungan, kita ber-vivere pericolusso!

Kyrie, sôson! Ada iman, kendati baru-mula, yang niscaya diapresiasi-Nya. Ada ketakutan, yang tidak pernah diremehkan-Nya. Ada seruan minta pertolongan, yang akan dijawab-Nya dengan cara yang tak disangka-sangka. Tetap percaya di tengah badai!

Lemah Abang, 8 Maret 2020

Kamis, 05 Maret 2020

PRA PASKAH I 2020: DI KELAMKU TERANG MENYAPA

www.dreamstime.com
Matius 4.12-17

Rudolfus Antonius

Yohanes, laki-laki eksentrik yang telah menggegerkan seluruh Yudea dengan berita tentang Kerajaan Allah yang sudah di ambang pintu itu (Matius 3.1-6), ditangkap. 

Sebab-musababnya: Sang Pembaptis menegor Herodes, "raja wilayah" (14.1), atas perbuatannya mengambil Herodias, istri saudaranya sendiri. "Tidak sah bagimu untuk memiliki dia" (ouk exestin soi echein autên), kata Yohanes, tegas (14.4). 

Herodes bereaksi keras. Menggunakan kekuasaanya, ia menangkap Yohanes: membelenggu dan mengurunya di dalam penjara (14.3). Kata kratesas (dari krateô, memerintah, menaklukkan, atau merebut) menggarisbawahi bahwa si raja wilayah merasa menang atas sosok yang memiliki pengaruh moral & spiritual luar biasa di Yudea itu.

Mendengar kejadian itu, Yesus "menyingkir ke Galilea" (4.12). Kata yang diterjemahkan dengan "menyingkir" adalah anachôreô. Dalam Matius 2.12, 13, 14, & 22, kata ini berkonotasi "menghindari." Para Majus menghindari Herodes, ketika mereka berangkat ke negeri mereka melalui jalan lain (2.12, 13). Yusuf menghindari para algojo suruhan Herodes, sehingga pada malam itu ia "membawa Sang Anak dan Ibu-Nya pada malam itu dan berangkat ke Mesir" (2.14). Di kemudian hari, Yusuf menghindari Arkhelaus, raja Yudea, sehingga ia "berangkat ke bagian Galilea" bersama Sang Anak dan Ibu-Nya (2.22). 

Akan tetapi, dalam kasus Yesus, Ia berangkat ke Galilea bukan untuk menghindari sesuatu; penangkapan, misalnya. Sebab, justru Galilea adalah wilayah kekuasaan Herodes. Sarang srigala! Betapa tidak! Bila di Yudea yang bukan wilayahnya Herodes menunjukkan kekuasaannya dengan menangkap Yohanes Pembaptis, apalagi di Galilea, wilayahnya sendiri! Tapi, Yesus justru berangkat ke sana!

Lantas, untuk apa Yesus ke Galilea?

Sempat mudik ke Nazaret, Yesus kemudian meninggalkan kampung halaman-Nya itu (4.12, bdk 2.23), untuk kemudian menetap di Kapernaum, "di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali." Keputusan itu dibuatnya bukan tanpa tujuan. 

Ia menjadikan Kapernaum itu pangkalan misi-Nya. Ia ingin menjangkau Galilea, wabil chusus daerah yang dulunya merupakan wilayah Suku-suku Zebulon dan Naftali. Kedua wilayah itu, sejak zaman Nabi Yesaya, dikenal sebagai "wilayah bangsa-bangsa lain" (galilaian tôn etnôn, Galilea bangsa-bangsa kafir), yang dihuni oleh banyak mestizo (campuran) orang Israel dan orang kafir yang didatangkan raja Asyur setelah keruntuhan Kerajaan Israel (722/721 SM). 

Orang-orang itu dianggap tidak murni, baik secara rasial maupun keagamaan oleh orang Yahudi asli, wabil chusus para Farisi dan pemuka agama di Yerusalem. Mereka adalah orang-orang marjinal secara rasial dan keagamaan! Tapi justru kepada merekalah pertama-tama Yesus datang mewartakan dan menyerukan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!" (4.17).

Bila Yohanes Pembaptis mewarta di pusat, Yesus mewarta di pinggiran. Dari seluruh Yudea, wilayah utama orang Yahudi "murni," orang datang kepada Yohanes untuk bertobat dan dibaptis olehnya. Di Galilea, yakni "Galilea bangsa2 kafir, Yesus "jajah desa milang kori" (9.35) berjumpa dengan orang-orang yang sebagian (besar) terdiri dari orang Yahudi "yang tidak murni" tetapi dianggap-Nya sebagai bagian dari Keluarga Israel (oikos Israel, 10.6). Dalam konteks inilah Sang Pencerita merenungkan nubuat Yesaya:

Bangsa yangg diam dalam kegelapan telah melihat terang yang besar
Mereka yangg diam di negeri dan bayang-bayang maut, terang telah bangkit bagi mereka (4.16)

Yesus datang: Ia mewartakan Kabar Baik bagi kaum pinggiran. Di kelamku terang telah bercahaya. Terpujilah Allah! (RA)


Lemah Abang, 3 Maret 2020