Senin, 16 Februari 2009

KONTRADIKSI DALAM GEREJA PERDANA

KONTRADIKSI DALAM GEREJA PERDANA
Pandu Jakasurya

Praksis terawal dari paguyuban-paguyuban yang dikenal sebagai Gereja Perdana memiliki asas-asas yang boleh kita namakan kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan. Di sana berlaku kesetaraan gender. Di sana orang-orang yang berasal dari ras-ras yang berbeda bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Di sana klas-klas dalam masyarakat berakhir, tiada tuan tiada pula hamba. Semuanya saudara, putra-putri dari Allah, yang berkenan menjadi Bapa mereka dalam Yesus Kristus. Semuanya telah ditebus oleh Yesus Kristus dan mengalami kehadiran dari Roh-Nya yang memerdekakan. Mereka adalah umat manusia yang baru (Ef 2.15). Dalam kata-kata Rasul Paulus,

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (Gal 3.26-28).

Juga,

Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh (1Kor 12.12-13).

Jika asas-asasnya demikian, rasanya tidak terlalu sukar untuk menerima kisah yang diriwayatkan Lukas tentang cara hidup paguyuban-paguyuban tersebut (meski barangkali itu lebih merupakan proyeksi asas-asas ideal tersebut ke dalam hari-hari terawal sejak kelahiran Gereja):

Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis 2.41-47).

Juga:
Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya (Kis 4.32-39).

Dari setiap orang menurut kemampuannya, bagi setiap orang menurut kebutuhannya! Dalam kata-kata Mas Marco Kartodikromo, “sama rata sama rasa.” Sukar rasanya untuk menyangkali bahwa paguyuban-paguyuban terawal dari Gereja Perdana untuk menghidupi sejenis komunisme, yakni community of goods. Tentu komunisme seperti ini sama sekali berbeda dengan komunisme yang dicita-citakan oleh para penganut sosialisme-ilmiah. Community of goods adalah pencapaian sosialistik terbaik yang barangkali dapat dicapai dalam masyarakat yang tersusun atas hubungan-hubungan produksi yang bertumpu pada perbudakan. Komunisme seperti ini memiliki daya tarik yang kuat. Tak heran bila banyak orang yang menggabungkan diri dengan paguyuban-paguyuban tersebut.

Pada saat yang sama, komunisme seperti ini adalah kelemahan yang terbesar dari Gereja Perdana. Community of goods adalah community of consumption, komunitas konsumsi. Sama sekali bukan community of production, komunitas produksi. Perhatikan, orang-orang yang “mampu” menjual kepunyaan mereka. Dalam koordinasi para rasul, hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan paguyuban. Memang tidak ada seorang pun yang berkekurangan. Tapi sampai kapan? Konsumsi hanya menghabiskan. Tak heran bila praktik yang menjadi gambaran tentang penubuhan idea-idea kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan itu tidak dapat bertahan.

Mengapa komunisme Gereja Perdana tidak dapat melampaui dari sekadar community of goods? Mengapa paguyuban-paguyuban itu tidak mempraktikkan community of production? Dalam komunitas produksi, alat-alat produksi adalah milik bersama. Bayangkanlah bila seorang yang ber-“punya” tidak menjual tanahnya untuk kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan paguyuban, tapi justru diserahkan kepada paguyuban untuk menjadi milik bersama – yang dikelola, dikontrol, dan diakses secara demokratis … Tapi, sekali lagi, mengapa tidak demikian?

Para pengikut Yesus yang mula-mula adalah para penganut millenarianisme. Meyakini Yesus sebagai Mesias (“Tuhan dan Kristus”, Kis 2.37), mereka menantikan kedatangan-Nya kembali untuk sepenuhnya mengakhiri tatanan yang lama dan menghadirkan tatanan yang baru di muka bumi – pertama-tama untuk Israel (Kis 1.6-8). Berkenaan dengan itu, menarik pula untuk diperhatikan bahwa paguyuban-paguyuban terawal dari Gereja Perdana terdiri dari orang-orang Yahudi, baik yang berdomisili di Palestina, maupun yang tinggal di Diaspora. Milenarianisme menaruh pengharapan pada realisasi masa depan yang relatif dekat: sebentar lagi, tak lama lagi Sang Mesias datang. Karena itu sangat gencar rasul-rasul mewartakan Yesus kepada orang-orang sebangsa mereka di Yerusalem dan menganjurkan mereka untuk percaya kepada-Nya dan menggabungkan diri dengan Gereja-Nya (lihat Kis 3.19-21).

Apa hubungan keyakinan millenarianistik itu dengan pilihan jenis komunisme Gereja Perdana? Barangkali kurang tepat bicara tentang “pilihan”, karena bagi para millenarian kesudahan zaman yang lama dan datangnya zaman yang baru sudah sangat dekat bahkan mendesak. Kedekatan dan kemendesakan itu membuat mereka tidak memandang berarti harta-benda, termasuk alat-alat produksi, yang selama ini dimiliki. Pengharapan millenarian tidak akan pernah mentransformasi fungsi sosio-ekonomik alat-alat produksi dari milik pribadi menjadi milik bersama. Pengharapan millenarian hanya bisa membuat alat-alat produksi dari milik pribadi menjadi obyek konsumsi bersama. Dalam millenarianisme semua milik pribadi mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi sarana penunjang kedudukan orang-orang yang semula memilikinya di dalam kerajaan mesianik yang akan segera datang. Barangkali tindakan “bunuh diri klas” sebagaimana dilakukan oleh Barnabas (Kis 4.35-37) tidak dapat dilepaskan dari mindset millenarian ini.

Bagaimana bila pengharapan millenarian itu “gagal”, tidak kunjung menjadi kenyataan? Seperti kita ketahui, inilah masalah serius yang harus digumuli oleh Gereja Perdana. Meski keanggotaan paguyuban-paguyuban Gereja Perdana sudah mengikutsertakan orang-orang bukan Yahudi, pengharapan millenarian masih tergolong mantap. Dalam surat-surat seperti 1Tesalonika dan 1Korintus, misalnya, Rasul Paulus mengekspresikan keyakinannya akan kedekatan dan kemendesakan parousia. Tapi setelah angkatan-angkatan pertama Kekristenan Perdana, termasuk para rasul, berlalu, dan pengharapan millenarian tak kunjung menjadi kenyataan, Gereja Perdana harus bergumul lebih lanjut paling sedikit dalam tiga perkara.

Perkara pertama adalah bagaimana menjelaskan cognitive dissonance, ketidakselarasan kognitif, yakni kesenjangan antara pengharapan dengan kenyataan. Dengan kata lain, menjelaskan mengapa “kok Tuhan nggak datang-datang, katanya …” Gereja harus dapat memberikan penjelasan yang memadai agar kepercayaan dan loyalitas umat tidak goyah apalagi beralih. Surat 2Petrus memperlihatkan salah satu contoh upaya tersebut:

Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat. Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2Pet 3.8-10).

Perkara kedua adalah bagaimana mengisi “masa interim yang diperpanjang”. Di satu sisi, Gereja ingin agar para penganut Kristus tetap menaruh pengharapan mereka pada parousia. Di sisi lain, Gereja merasa bertanggungjawab untuk membekali atau memperlengkapi diri dan umat untuk menjalani “masa interim yang diperpanjang.” Dengan kata lain: “Apa yang harus dilakukan untuk menjalani masa penantian yang mungkin masih sangat panjang ini?” Para pemimpin terbaik Gereja pun berusaha merelevankan ajaran Yesus dari Nazaret dan rasul-rasul (generasi pertama) untuk diterapkan dalam situasi mereka. Para pemimpin itu juga membuat regulasi-regulasi, termasuk organisasi, yang memungkinkan Gereja bertahan dalam waktu lama di dalam dunia. Gejala ini terutama kita lihat dalam Surat-surat Deutero-Paulinis.

Perkara ketiga adalah bagaimana mengatasi kegagalan community of goods atau community of consumption yang hanya cocok bagi situasi “gawat darurat” menjelang parousia yang mendesak – dan sama sekali tidak dapat bertahan ketika masa interim itu diperpanjang dalam batas waktu yang tidak dapat ditentukan? Alih-alih mentransformasi community of goods menjadi community of the means of production, Gereja malah meninggalkan watak atau karakter komunisnya. Bagaimana ini bisa terjadi?

Barangkali kita dapat menjelaskannya sebagai berikut: surutnya antusiasme millenarian diikuti dengan berkembangnya upaya untuk membuat Kabar Baik dari Yesus dari Nazaret dan rasul-rasul-Nya relevan bagi semakin banyak orang – terutama orang-orang non-Yahudi. Karakter eskatologis memang masih dipertahankan, ajaran tentang parousia justru beroleh posisi penting dalam dogma Gereja Perdana. Tapi jelas Kabar Baik itu perlu mengalami reaktualisasi secara menyeluruh agar Kekristenan Perdana tidak tetap tinggal sebagai sebuah sekte Agama Yahudi (“Nasrani”) yang lambat-laun akan mati ditelan sejarah. Upaya hebat itu menuai hasil yang signifikan, banyak orang non-Yahudi menerima Injil. Termasuk orang-orang kaya, yakni para tuan pemilik budak, baik pejabat-pejabat Romawi maupun tuan-tuan tanah. Sementara parousia mengalami pengunduran dan Kabar Baik mengalami reaktualisasi, tidak ada kemendesakan bagi orang-orang kaya ini untuk menjual harta benda mereka, termasuk alat-alat produksi, untuk menjadi konsumsi bersama.

Tiadanya kemendesakan membuat alat-alat produksi tetap ada di tangan mereka. Tapi tentu bukan tanpa kompensasi: mereka harus menyediakan diri menjadi penopang sosio-ekonomik paguyuban-paguyuban tersebut. Konkretnya, sebagai contoh, mereka menyediakan rumah mereka (yang umumnya besar-besar) untuk menjadi tempat pertemuan ibadah. Sementara itu rumah tersebut tetap milik mereka sendiri, para tuan itu. Contoh lain, mereka harus menyerahkan sumbangan-sumbangan (persembahan kasih) kepada paguyuban untuk kemudian dikelola untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota yang berkekurangan. Sumbangan-sumbangan itu sendiri asal-muasalnya adalah jerih-payah budak-budak tuan-tuan itu, yakni budak-budak yang mengoperasikan alat-alat produksi para majikan Kristen mereka. Dengan demikian, community of goods atau lenyap, digantikan dengan derma atau amal. Diakonia, yang mula-mula merupakan sarana untuk mengaplikasikan community of goods kepada para janda, sekarang merupakan salah satu seksi di dalam paguyuban untuk menyumbang anggota-anggota yang miskin. Dengan kata lain, sarana anggota-anggota yang kaya membagikan sekian dari keuntungan yang diraihnya dari penghisapan terhadap budak-budak mereka kepada anggota-anggota yang menjadi beban paguyuban mereka. Untuk itu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang melakukan perbuatan kasih.

Ketiga perkara yang kita kenal sebagai gejala-gejala yang mendahului lahirnya Katolisisme alias early Catholicism ini berdampak luas terhadap struktur Gereja Perdana. Pertama, Gereja tidak lagi merupakan “masyarakat tanpa klas”. Mulai sekarang, Gereja adalah masyarakat klas: ada para tuan, ada pula para budak. Kedua, patriarki (yang sejak semula ada melalui kepemimpinan rasul-rasul yang notabene laki-laki semua) menguat. Mula-mula, kendati bercorak patriarkis, paguyuban-paguyuban terawal Gereja Perdana mengizinkan kepemimpinan perempuan sampai tataran tertentu. Ada perempuan-perempuan yang menjadi pengajar atau pemberita Injil. Namun terintrodusirnya masyarakat klas memperkuat pula patriarki – bahkan androsentrisme dan misogini – di dalam Gereja. Simaklah misalnya penuturan 1Tim 2.11-14:

Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.

Syukurnya, berkenaan dengan ras, Gereja Perdana belum sampai tergelincir ke dalam rasisme. Meski demikian, pertentangan yang melelahkan dengan orang Yahudi sehubungan dengan Yesus Kristus dan Kabar Baik-Nya lambat-laun mengendapkan rasa permusuhan terhadap orang Yahudi. Pengendapan ini pada gilirannya akan menjadi sikap anti-semitis di abad-abad selanjutnya.

Ketiga, terbentuk pemisahan antara asas-asas asli (kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan) dengan ajaran dan praktik Katolisisme Dini dalam Gereja Perdana. Bila semua asas-asas itu dimaknai secara konkret dalam tindakan “bunuh diri klas” dan kesetaraan gender, sekarang itu semua dipahami secara rohani. Dengan kata lain: kedudukan-kedudukan yang berdasarkan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat yang bertumpu pada perbudakan tidak terhapuskan di dalam Gereja. Tapi mengalami penghalusan: tuan-tuan Kristen tidak perlu membebaskan budak-budaknya, tapi cukup memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai saudara. Demikian juga, kaum perempuan diakui kemanusiawian penuhnya, tapi tidak dapat menjadi pemimpin Gereja. Alih-alih terus membangun struktur baru yang sepenuhnya egaliter dan dengan demikian menantang struktur-struktur masyarakat di luarnya, Gereja mengakomodir struktur-struktur klas tersebut.

Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam Gereja Perdana, yang membentuk Gereja menjadi masyarakat klas, patriarkis, dan kadang memiliki sentimen rasial, menemukan bentuk-bentuknya yang baru hingga sekarang. Feodalisme dan kapitalisme, yang merupakan sistem-sistem sosio-ekonomik yang mengisyarakatkan masyarakat klas menguatkan tendensi dari pergeseran-pergeseran tersebut. Alih-alih menantang masyarakatnya klas, Gereja justru menjadi cermin dari masyarakat klas. Secara sosio-ekonomik tentulah ini menguntungkan Gereja. Para klerus menikmati kekayaan finansial – yang sesungguhnya merupakan hasil dari penghisapan kerja yang tidak dibayarkan dari para tuan tanah Kristen (terhadap hamba-sahaya mereka) atau dari para kapitalis Kristen (terhadap buruh mereka). Sementara itu para tuan beroleh penghiburan sorgawi dan pembenaran teologis sehubungan dengan praktik-praktik penghisapan mereka. Pada saat yang sama mereka juga mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi bahkan menentukan kebijakan-kebijakan Gereja. Hasilnya jelas, muskil bagi Gereja untuk menjadi “umat manusia yang baru” yang bercirikan kesetaraan, persaudaraan, dan kemerdekaan yang sejati. Gereja pun gagal untuk menjadi komunitas yang memerdekakan. Cita-cita Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu pun sepertinya kandas.

PJS_160209Yk

Tidak ada komentar: