Kamis, 19 Maret 2009

KEBUDAYAAN SEBAGAI KRITIK ATAS KEBUDAYAAN

Kawan-kawan! Saya sungguh berterimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk sekadar mengemukakan pemikiran mengenai kebudayaan, khususnya di bawah tajuk “Kebudayaan Sebagai Kritik Atas Kebudayaan”. Semoga presentasi saya, yang dipandang sebagai sebuah orasi kebudayaan, ada manfaatnya bagi kita sekalian.

Kawan-kawan! Pertama-tama perlulah kiranya saya mengemukakan pandangan saya bahwa kebudayaan terikat pada suatu nilai dasariah tertentu, dan karenanya bercorak moral. Hal ini berlaku baik bukan hanya pada kebudayaan sebagai ekspresi estetis yang lazim kita sebut sebagai ‘seni’. Hal ini juga berlaku pada “kebiasaan-kebiasaan, institusi-institusi, dan pencapaian-pencapaian dari suatu bangsa, rakyat, atau kelompok tertentu” yang lazim pula kita sebut sebagai kebudayaan. Bahkan, disadari atau tidak, tajuk pemikiran “Kebudayaan Sebagai Kritik Atas Kebudayaan” mengandaikan atau menyiratkan corak moral atau keterpautan kebudayaan pada suatu nilai dasariah tertentu.

Kawan-kawan! Jika kita mendekati corak moral atau keterpautan pada suatu nilai dasariah tertentu itu dengan analisis klas, maka tak luputlah kita dari natur klas dari moral atau nilai dasariah itu sendiri. Padahal kita tahu, klas-klas dalam masyarakat tidak terjadi begitu saja seolah-olah dijatuhkan dari langit. Sebaliknya, klas-klas dalam masyarakat terjadi dalam perjalanan sosio-historis masyarakat itu.

Perjalanan sosio-historis itu bersifat membelah masyarakat seiring dengan kepemilikan, akses, dan pengelolaan yang tidak demokratis atas alat-alat produksi massa. Dengan kata lain, ada pihak yang memiliki dan dapat mengakses serta menguasai alat-alat produksi massa; dan itu hanya segelintir saja. Ada pula pihak yang sebaliknya, tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga untuk dijual; dan itu membentuk sebagian terbesar masyarakat.

Pembelahan ini menghasilkan klas-klas dengan pola relasi yang tidak sepadan: klas yang satu menindas atau mengisap klas yang lain. Klas pemilik alat-alat produksi menindas atau mengisap klas yang tidak memiliki alat-alat produksi kecuali diri atau tenaga mereka sendiri. Secara sosio-historis, inilah yang terjadi baik dalam masyarakat yang mengetrapkan perbudakan, masyarakat feodal, maupun masyarakat kapitalis.

Lalu, apakah kepentingan klas penindas atau pengisap? Mempertahankan kekuasaannya, guna menjamin bahkan melipatgandakan kemakmurannya. Lantas, apakah kepentingan klas yang tertindas atau terisap? Survive di tengah penindasan atau pengisapan, bahkan membebaskan diri dari kuk atau belenggu penindasan atau pengisapan itu!

Bagaimana cara klas yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya? Jawabnya, dengan kebudayaan! Baik dalam pengertian seni maupun tata-nilai! Itulah sebabnya, analisis klas mengajak kita melihat pola relasi antarklas sebagai struktur-dasar, sedangkan kebudayaan adalah struktur-atas dalam suatu masyarakat!

Kebudayaan klas yang berkuasa mengambil bentuk-bentuk yang beragam, dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Dari agama, filsafat, seni, ilmu pengetahuan, juga negara dengan aparatus birokratis dan bersenjatanya.

Filsafat memberikan pembenaran rasional-reflektif terhadap nilai dasariah klas yang berkuasa, sedangkan agama menunjuk pada wahyu ilahi. Seni dan ilmu pengetahuan klas yang berkuasa mengklaim diri bebas, baik dari nilai dasariah maupun kepentingan kekuasaan. Negara dengan aparatus birokratisnya melegitimasi nilai dasariah itu dengan perangkat aturan dan kebijakan. Dan, dengan aparatus bersenjatanya negara melindungi klas yang berkuasa dan nilai dasariahnya dengan kekerasan.

Bagaimana dengan klas yang tertindas? Kita tahu, kebudayaan klas yang tertindas tidak terpisahkan dari kebudayaan klas yang menindas. Kadang-kadang klas yang tertindas terkooptasi secara kultural oleh klas yang, sehingga kaum yang tertindas menerima begitu saja rancang-bangun budaya dari klas yang menindas. Dengan cara itu terjinakkanlah kaum yang tertindas dan memandang kondisi riil-konkret ketertindasan mereka sebagai suratan takdir yang telah ditentukan dari Atas.

Tapi tak jarang pula kita temui, di dalam klas yang tertindas terdapat orang-orang yang memiliki kesadaran klas. Mereka inilah orang-orang yang gelisah, yang mempertanyakan nilai dasariah di balik kemegahan bangunan atas yang berlaku dalam masyarakatnya. Mereka inilah orang-orang yang tidak dapat menerima bahwa kondisi riil-konkret ketertindasan mereka sebagai suratan takdir yang telah ditentukan dari Atas. Mereka memandang ketertindasan mereka sebagai persoalan sosio-historis, dengan pola relasi berdasarkan kepemilikan, akses, dan penguasaan atas alat-alat produksi massal sebagai inti persoalannya! Itulah sebabnya mereka mengajukan suatu counter-culture, kebudayaan-tandingan, kebudayaan alternatif, yang diyakini membebaskan kaum yang tertindas, bahkan mengakhiri hegemoni kultural kaum yang berkuasa!

Kawan-kawan! Bagi mereka, kaum tertindas yang berkesadaran klas, agama yang benar bukanlah seperangkat dogma canggih dan ritus-kultus yang memancarkan ambivalensi pesona kedahsyatan yang ilahi yang terselubung misteri. Bagi mereka, agama yang benar adalah jeritan kaum tertindas, yang berteriak serak memanggil Tuhan untuk berpihak pada kaum yang tertindas dan di dalam dan melalui mereka mengadakan pembebasan sosio-historis. Jika tidak demikian, agama adalah sekadar candu yang digunakan klas yang berkuasa untuk mendomestikasikan kaum tertindas!

Bagi mereka, filsafat bukan sekadar upaya memahami dunia. Lebih jauh, filsafat adalah upaya untuk mengubah dunia. Mendekonstruksi dan menyusun kembali dunia yang berdasarkan pola relasi yang secara radikal tidak lagi berintikan kepemilikan, akses, dan penguasaan pribadi atas alat-alat produksi, melainkan pendemokratisasiannya, yang pada gilirannya merupakan dunia tanpa penindasan dan pengisapan. Jika tidak demikian, filsafat hanyalah sekadar topik diskusi tingkat tinggi yang tidak ada kena-mengenanya dengan masa depan yang lebih baik, kecuali pembenaran tata-nilai yang secara subtil sangat represif.

Bagi mereka, seni yang sejati adalah seni yang membebaskan. Baik pembebasan ekspresi dari hasrat pemberontakan terhadap penindasan, maupun pembebasan yang mengilhami dan mencerahkan kaum tertindas akan kehakikian harkat dan martabat mereka sebagai bagian dari segenap umat manusia! Jika tidak demikian, seni adalah ‘seni untuk seni’, entah yang tampil sebagai seni tinggi (fine arts) menara gading lengkap dengan pakem patennya, yang hanya dapat dinikmati oleh kaum terpelajar, entah seni yang sensitif pasar, yang laku jual dan pada gilirannya menjadi sarana masturbasi mental rakyat yang tertindas!

Bagi mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat pembebasan, baik dari ketertindasan maupun dari keterbelakangan dan kemelaratan. Jika tidak, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi alat rekayasa sosial di tangan kaum penguasa, yang pada gilirannya hanya memunculkan ekses-ekses yang membahayakan umat manusia.

Bagi mereka, negara adalah sarana peralihan menuju penghapusan klas yang menyeluruh. Birokratisme dan militerisme harus digantikan dengan administrasi kerja yang pembagiannya meliputi setiap anggota dalam masyarakat. Jika tidak, negara selamanya menjadi leviathan bagi kaum yang tertindas.

Kawan-kawan! Bagi kaum tertindas, kebudayaan yang dikembangkannya adalah suatu kritik terhadap kebudayaan sebagai bangunan-atas dalam masyarakat. Sebagai kritik, kebudayaan kaum tertindas bersifat kiri, atau progresif. Sebab kritiknya bukanlah krititisme yang dingin bebas nilai, namun mengandung kegelisahan sekaligus kerinduan bahkan cita-cita akan datangnya tatanan yang baru, yang lebih adil, yang tidak mengenal penindasan atau pengisapan, tetapi justru kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan karena perubahan radikal pola relasi yang ada di dalam masyarakat berdasarkan demokratisasi kepemilikan, akses, dan kontrol atau alat-alat produksi massal!Sebagai kritik, kebudayaan kaum tertindas bersifat revolusioner, atau radikal, yakni tanpa tedeng aling-aling mengonceki, memblejeti bungkus dan isi bangunan atas masyarakat, sembari menyerukan jerit-pekik kebudayaan baru sekaligus masyarakat yang baru.

Demikianlah pandangan saya mengenai kebudayaan sebagai kritik atas kebudayaan. Semoga bermanfaat. Sekian, terimakasih! *** (Rudolfus Antonius_110307)
(Disampaikan sebagai orasi kebudayaan dalam peringatan ulang tahun ke-9 Teater Samar, Kudus, Minggu 11 Maret 2007)












Rabu, 11 Maret 2009

Mengapa Pendeta Harus Lebih Mencintai Orang Miskin?


“Biasanya,” kata temanku, “para pendeta lebih dekat dengan anggota jemaatnya yang kaya daripada dengan yang miskin.” Aku mengerutkan dahi.

“Coba pikir,” lanjut temanku, “siapa yang lebih sering di-bezoek pendeta: orang kaya atau orang miskin? Siapa yang lebih mudah menerima senyum ramah, tatapan mata simpatik, dan jabat-tangan hangat darinya: orang kaya atau orang miskin? Lantas siapa yang lebih berpeluang luput dari siasat (disiplin) gereja kalau bertindak asusila: orang kaya atau orang miskin?”

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mengaku: ya, orang kaya. Meski dengan agak tersinggung, tentunya.

“Kau pasti sudah dapat menduganya! Kau ‘kan pendeta, Kawan!” katanya sambil menudingku.

Aku tersenyum, agak dipaksakan. Tapi coba kutahan diriku untuk tidak buru-buru berkomentar. Bukankah Yakobus berpesan agar “para guru” (baca: para pendeta) cepat mendengar namun lambat bicara? Artinya, tanggap menyimak sehingga mengerti betul suatu duduk perkara, pula jangan sembrono alias asal bicara.

“Tentu ini bukan tanpa sebab,” lagi temanku, “dan sepertinya itu sangat manusiawi.”

Maksudnya?

“Bukankah pada umumnya anggota jemaat yang kaya-lah yang paling berkontribusi bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan operasional gereja? Pendeta, sebagai orang yang konon mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, ‘harus’ hidup dari sokongan jemaat. ‘Janganlah memberangus lembu yang mengirik,’ kata Rasul Paulus; ‘setiap pekerja layak memperoleh upahnya,’ begitu lanjutnya. Tapi apa yang dapat diberikan anggota jemaat yang miskin selain uang persembahan yang sedikit dan berbagai keluhan yang tak jarang ujung-ujungnya bermuara pada minta bantuan kepada pendeta atau gereja? Tapi lihat orang kaya. Kendati kadang masalahnya pelik, misalnya minta gereja untuk segera menikahkan anak putrinya yang sudah hamil guna mengurangi aib keluarga, toh besar pula sumbangsih material-finansialnya bagi gereja dan pendeta. Bukan hanya persembahan mingguan, perpuluhan … tapi juga berbagai bonus Natal dan Tahun Baru serta persembahan –persembahan syukur …”

“Nah, kalau pendeta lebih peduli kepada orang kaya, sangat wajar bukan? Manusiawi! Ada mekanisme utang budi di sana …”

“Tapi benarkah demikian, maksudnya, benarkah sikap pendeta yang seperti itu manusiawi? Benarkan ada mekanisme utang budi di sana?”

“Sepintas manusiawi,” ujar temanku. “Tapi, sekali lagi, se-pin-tas. Dengan kata lain: sesungguhnya sangat tidak manusiawi. Kok bisa? Sebentar, insya Allah akan kujelaskan. Soal mekanisme utang budi, memang ya. Tapi pihak-pihak mana saja yang sebenarnya terlibat dalam mekanisme tersebut?”

“Baik, akan saya dengarkan,” kataku dengan agak getir. Betapa tidak, ia mau me-ngonceki sikap pendeta! Padahal, aku juga pendeta …

“Soal manusiawi tidak manusiawi dan soal utang budi. Betulkah orang kaya lebih besar berkontribusi kepada gereja dan pendeta daripada orang miskin? Secara ‘kasat mata’ ya.”

Kok pakai istilah ‘kasat mata’?

“Ini ungkapan ironis, Bung. Bukankah dari tangan orang kayalah gereja menerima persembahan, baik perpuluhan, syukuran, maupun minggun? Bukankah dari tangan orang kaya pendeta menerima uang dan berbagai bingkisan berlabel rohani? Tapi dari tangan tidak sama dengan sumber atau asal-muasal dari pemberian itu. Ya, dari tangan berarti dengan perantaraan. Dengan kata lain, orang kaya hanyalah pengantara, bukan pemberi sesungguhnya.”

Lalu, siapa pemberi sesungguhnya? Tuhan atau Allah Bapa kita dalam Yesus Kristus.

“Jawaban yang benar. Tapi benar tidak sama dengan benar. Padahal jawaban yang benar tapi tidak sama dengan benar adalah jawaban klise, bahkan ideologis dan munafik. Kok bisa? Ya, Tuhan dibawa-bawa untuk membenarkan eksploitasi alias penghisapan. Coba pikirkan dari mana orang kaya mendapatkan kekayaannya. Dari bekerja keras? Mungkin. Tapi apa bisa ia menghasilkan kekayaan dengan cucuran keringatnya sendiri? Bahkan andaikata ia memiliki mesin-mesin manufaktur yang tercanggih, ia tetap membutuhkan manusia-manusia yang lain untuk mengoperasikannya. Andaikata ia memiliki sekian banyak unit bus super-mewah, ia masih membutuhkan sopir dan kondektur untuk menjalankannya. Tanpa itu bisakah orang kaya mendapatkan uang dengan mesin-mesin canggih dan bus-bus mewahnya? Tentu saja tidak! Kalau begitu, bukankah keuntungan yang didapat orang kaya dari mesin-mesin canggih atau bus-bus mewahnya berasal dari kerja manusia-manusia lain, yakni buruh atau sopir-kondektur yang dipekerjakannya?”

“Tapi … bukankah ia telah mengeluarkan modal untuk mengadakan mesin-mesin dan bus-bus itu? Bukankah ia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk beaya perawatan dan perbaikan bahkan penggantian terhadap mesin-mesin dan bus-bus itu? Bukankah ia harus mengeluarkan beaya untuk membeli bahan bakar, bukankah ia harus membayar pajak kepada pemerintah, bukankah ia harus membayar uang keamanan baik kepada para preman berseragam maupun kepada preman-preman lainnya? Lagipula … bukankah ia juga harus membayar gaji kepada para buruh atau sopir-kondekturnya?” kini giliranku nyerocos memberondong temanku yang makin memojokkan orang kaya di hadapanku. Aku tidak terima, karena sebenarnya aku juga merasa terpojok. Sebab …

“Itu semua benar, Bung!” kilah temanku, “tapi perhatikan: dari mana dana untuk menutup semua beaya itu?”

“Dari kerja para buruh atau sopir-kondektur! Dengan kata lain, hasil kerja para buruh atau sopir-kondektur dipergunakan oleh orang kaya, majikan mereka itu, untuk menutup semua beaya itu dan juga … memberikan keuntungan bagi orang kaya tersebut.”

“Pikiran gila!” seruku, tertahan, “tapi … itu benar.” Aku terhenyak tak berdaya. Temanku menatapku dalam-dalam. Ia tersenyum, tapi bukan senyum kemenangan. Senyum getir kesedihan.

“Kau mengerti sekarang? Para buruh atau sopir-kondektur bekerja bagi orang kaya. Mereka sendiri mendapatkan sebagian kecil dari hasil kerja mereka. Kita menyebutnya upah atau gaji atau honorarium. Hasil selebihnya diambil untuk membeayai berbagai kebutuhan dan mengisi pundit-pundi si majikan, orang kaya itu, sebagai keuntungan. Bagian hasil yang tidak dibayarkan si majikan kepada para buruh atau sopir-kondektur itu adalah surplus-value atau nilai-lebih, Kawanku.”

“Padahal … dari keuntungan yang masuk ke dalam pundi-pundi orang kaya itulah aku mendapatkan ‘persembahan kasih’ berupaya uang berbagai bingkisan …” kataku dengan lemah.

“Dengan kata lain, kau menerima manisnya uang dan nikmatnya bingkisan dari hasil kerja para buruh atau sopir-kondektur.”

“Ya, aku mendapatkan ini-itu dari orang kaya dari hasil penghisapan. Logikanya, aku berpartisipasi dalam penghisapan orang kaya terhadap para buruh atau sopir-kondektur, meski mungkin tidak secara langsung,” kataku kian lemah.

“Kalau begitu, kepada siapakah sebenarnya kau dan para pendeta lainnya berutang budi? Kepada orang kaya yang memberimu uang dan berbagai bingkisan?”

“Bukan, bukan kepada orang kaya. Sesungguhnya dari tangan mereka aku menerima uang dan bingkisan, tapi sebenarnya aku memperoleh semuanya itu dari kaum buruh atau sopir-kondektur. Ya, aku berutang kepada kaum buruh atau sopir-kondektur.”

“Jika kau berutang budi kepada kaum buruh dan sopir-kondektur, bahkan andaikata mereka bukan orang Kristen sekalipun, manusiawikah kau dan para pendeta lainnya bila kau lebih peduli kepada orang kaya, yang hidup dari penghisapan, daripada kepada mereka?”

“Tentu kian besarlah dosaku jika aku yang menikmati hasil penghisapan terhadap kaum buruh atau sopir-kondektur malah lebih mempedulikan penghisap-penghisap mereka daripada mereka yang terhisap.”

“Padahal utang budi dibawa mati. Sudah seharusnya kau dan para pendeta lainnya lebih mencintai kaum buruh atau sopir-kondektur. Kau harus berpihak kepada mereka. Sedapat mungkin, belalah mereka, perjuangkanlah hak-hak mereka. Seperti halnya dirimu dan orang kaya, mereka berhak atas kehidupan yang manusiawi. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa nilai kemanusiaan sangat tinggi karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah?”

Dia benar. Aku setuju. Tapi bagaimana dengan orang miskin yang menjadi anggota jemaatku tapi tidak menjadi buruh atau sopir-kondektur orang kaya yang jadi anggota jemaatku?

“Kalau orang miskin itu buruh atau sopir-kondektur dari orang kaya lain yang bukan anggota jemaatmu, toh ia tetap terhisap. Ia dihisap oleh boss mereka. Ia hanya dapat sisa, sebagian kecil dari hasil kerjanya. Ia belanjakan itu untuk mempertahankan hidupnya. Tapi kau tahu bukan, orang miskin itu memberikan persembahan? Memang sedikit, tidak sebanding dengan pemberian orang kaya. Tapi toh ia memberi … memberi dari kekurangannya. Betapa tidak: ia mendapatkan kurang, bahkan sangat kurang, dari keseluruhan yang dihasilkannya. Tapi ia masih atau tetap memberi. Betapa terkutuknya dirimu jika meremehkan atau mengabaikan hal itu. Padahal kau pun hidup dari pemberiannya!”

“Kau benar. Kami para pendeta benar-benar hidup dari penghisapan. Dalam kasus pertama, sehubungan dengan orang kaya, kami mendapat bagian yang lumayan besar dari hasil penghisapan para boss dari para buruh atau sopir-direkturnya (meski mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan yang masuk ke dalam pundi-pundi para boss). Dalam kasus yang kedua, sehubungan dengan orang miskin, kami mendapatkan bagian dari sebagian kecil hasi kerjanya. Dalam kasus pertama aku menerima bagian dari hasil penghisapan, sedangkan dalam kasus kedua aku menghisap dari bagian yang disisihkan para boss sebagai upah atau gaji orang miskin. Bila kami, para pendeta, tidak solider dengan orang miskin, betapa celakanya kami di hadapan Allah.”

“Lalu bagaimana dengan orang miskin yang tidak dihisap oleh majikan manapun, tapi warungan atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga misalnya? Sehubungan dengan orang miskin yang buka warung, bukankah sangat jelas kau menerima bagian dari pendapatannya berjualan? Berkenaan dengan para pembantu rumah tangga, siapa bilang ia tidak dihisap? Kelihatannya memang tidak, toh pekerjaannya bukan pekerjaan produktif, wealth-creating works?”

“Tapi coba pikir, si tuan atau si nyonya majikan bisa melakukan ini-itu karena ada pembantu rumah tangga. Si nyonya dan si tuan bisa mencari uang. Bukankah itu karena waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas domestik sudah ditangani oleh pembantu rumah tangga? Jika tidak, bagaimana jadinya? Bila pemasukan atau pendapatan mereka bertambah, bukankah itu karena ada orang-orang yang “menyelamatkan” waktu-waktu mereka dari tugas-tugas mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, mengasuh anak … yang sebenarnya merupakan tugas-tugas dari si tuan dan si nyonya, suami-istri itu?”

“Bahkan, andaikata kita tidak bicara tentang pemasukan dalam pengertian mendapatkan uang lebih banyak pun, tuan dan nyonya (juga anak-anak mereka) berutang waktu luang kepada pembantu rumah tangga. Nyonya-nyonya dan tuan-tuan dapat bersantai, arisan, aerobik, mengembangkan diri, “melayani Tuhan” di gereja karena waktu luang mereka diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga.”

“Tapi bukankah untuk itu tuan dan nyonya membayar atau mengupah para pembantu rumah tangga mereka? Itu benar. Tapi adil-manusiawikah upah atau bayaran atau gaji itu? Seberapa besar dari jumlah yang didapatkan si tuan dan si nyonya? Dalam besaran uang, semakin besar upah, semakin kecil penghisapan; demikian juga sebaliknya, semakin kecil upah, semakin besar penghisapan. Keduanya berbanding lurus dengan jumlah waktu yang diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga. Waktu yang produktif bagi tuan-tuan dan nyonya adalah waktu yang diselamatkan oleh para pembantu rumah tangga melalui pekerjaa domestik mereka.”

“Di samping itu, toh adil-manusiawi bukan hanya soal upah materiil. Apakah tuan-tuan dan nyonya-nyonya itu memperlakukan para pembantu rumah tangga secara manusiawi? Apakah para majikan itu memberi peluang, bantuan dana, dan dorongan bagi para pembantu rumah tangga, sehingga para pembantu rumah tangga itu dapat mengisi waktu luang mereka sendiri untuk mengembangkan diri, beraktualisasi, dan menikmati kehidupan yang manusiawi? Terpikirkah kau, Pak Pendeta, untuk mendorong orang-orang kaya yang menjadi anggota-anggota jemaatmu agar mereka menyekolahkan para pembantu rumah tangga mereka? Tidak semestinya kau berpikir ‘pembantu rumah tangga’ sebagai pekerjaan seumur hidup. Kau tidak percaya nasib atau takdir bukan? Mereka yang kini menjadi pembantu rumah tangga berhak atas masa depan yang lebih berkembang daripada yang sekarang. Bukan supaya mereka kelak menghisap orang lain, tapi berdasarkan keberpihakanmu kepada mereka dan kesadaran tuan-tuan dan nyonya-nyonya mereka, mereka bisa juga memperlakukan siapa saja secara manusiawi.”

Aku terpekur. Teringat olehku para pembantu rumah tangga yang menjadi anggota-anggota jemaatku. Setiap peser uang yang mereka persembahkan membayangkan penghisapan atas mereka. Bila aku tidak berpihak kepada mereka, tidak pantaskah aku terkutuk sebagai orang yang tak tahu berterimakasih? Misteri ilahi, gumamku, Tuhan memelihara hamba-hamba-Nya melalui mekanisme penghisapan. Tentu bukan tanpa tujuan: yakni supaya aku solider, bersetiakawan dengan mereka. Turut hadir dalam penderitaan dan sukacita mereka. Membela mereka, berjuang bersama dengan mereka – demi suatu masa depan yang lebih baik, lebih manusiawi. Sebuah masa depan dengan struktur masyarakat yang demokratis, baik secara politis maupun ekonomis. Suatu masa depan tanpa exploitation de l'homme par l’homme, tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia.

Tiba-tiba kata-kata Yesus bergema di dalam hatiku, bergema dengan suatu pengertian yang baru:

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya (Mrk 12.43-44).”

Mengapa para pendeta, termasuk aku, harus lebih mencintai orang miskin? Karena mereka berutang budi kepada orang miskin. Utang budi dibawa mati. Itulah yang manusiawi. *** (Rudolfus Antonius_Yk060609)