Sabtu, 30 Januari 2010

GERAKAN 28 JANUARI (2010) - SURAT TERBUKA UNTUK KAWAN DS


Bergelora hatiku membaca "catatan pengalaman" Kawan DS, seorang rohaniwan dan teolog muda yang sangat berbakat. Saya berharap pengalaman Kawan DS turut dalam demo Gerakan 28 Januari di Surabaya (termasuk berjumpa dengan para aktivis PRD dan mendengar versi Indonesia lagu perjuangan buruh Internasionale) mendorong Kawan untuk menindaklanjuti penghayatannya tentang Yesus dari Nazaret (Junjungan kami) dengan terjun ke kancah perjuangan sosio-demokratik.

Dalam pada itu, Kawan, secara pribadi saya gamang dengan Gerakan 28 Januari. Persoalannya strategis-politis. Saya coba mendiskusikannya dari perspektif saya sebagai seorang sosio-demokratik (bukan sosdem). Berikut catatan saya.

Agenda Burjuis

Dari sudut pandang saya sebagai seorang sosio-demokratik, hari-hari ini Indonesia sedang menjadi panggung pergulatan faksi-faksi dari klas burjuis. Yang satu burjuis pemangku kekuasaan negara (rezim), yang satunya burjuis oposisi. Rapat-rapat Pansus Century adalah ekspresi parlementernya, sedangkan demo-demo adalah ekspresi ekstra-parlementernya. Termasuk Gerakan 28 Januari.

Dalam setting-an seperti ini, isu pokoknya bukanlah kepentingan kaum Kromo atawa nasib Kang Marhaen dan Mbok Sarinah (= buruh, tani, dan kaum miskin kota). Meski mengatasnamakan rakyat, isu pokok yang sebenarnya adalah

(i) peralihan kekuasaan via impeachment dari burjuis-rezim ke burjuis-oposisi; atau

(ii) pembagian kue kekuasaan dengan melibatkan wakil-wakil oposisi di dalam kabinet. (Dalam pada itu, nasib para nasabah Century kecuali Boedi Samporeno pun masih belum jelas)

Juga dalam setting-an ini, kaum Kromo Kiwo dan organisasi-organisasi perjuangannya "sekadar berpartisipasi". Mereka diajak untuk meramaikan suasana untuk memberikan kesan bahwa kaum burjuis oposisi mendapat dukungan yang luas dari grassroots. Memang kaum Kromo Kiwo-lah selama ini banyak bekerja di kalangan buruh, tani, dan kaum miskin kota.

Kaum Kromo Kiwo bisa saja menolak bila dikatakan “sekadar berpartisipasi”, dengan merujuk pada strategi front-rakyat atau front persatuan-nasional. Maksudnya, kaum Kromo Kiwo dapat bekerjasama dengan kaum burjuis-“progresif” untuk menggulingkan burjuis-rezim guna mendirikan pemerintahan yang lebih bersih dan, sesuai dengan wacana anti neoliberalisme saat ini, pro kapitalisme nasional.

Dasar teoretis front-rakyat atau front persatuan-nasional adalah Teori Dua Tahap Revolusi: revolusi dalam tahap sekarang adalah burjuis-demokratis, baru kemudian revolusi sosialis. Tapi, sebagaimana diperlihatkan oleh pengalaman perjuangan Kromo Kiwo di seluruh dunia, strategi front-rakyat lebih banyak mudharat daripada manfaatnya bagi Kromo Kiwo dan massa-rakyat pekerja pada umumnya. Gembong-gembong sosialisme-ilmiah seperti Marx dan Engels sudah mengkajinya pasca kegagalan revolusi Jerman 1848. Saat itu kaum burjuis yang tampil demokratis dan berwawasan liberal, akhirnya mengkhianati kaum buruh, menyeberang ke kubu feodal, dan bersama-sama menghancurkan perlawanan kaum buruh. Dalam Revolusi Rusia 1905, ini terjadi lagi. Kaum burjuis liberal Rusia yang sehari-harinya bersikap kritis terhadap rezim tsar, toh bergabung dengan rezim tersebut untuk mencegah kaum buruh merebut kekuasaan. Ini terus berulang, di antaranya Teror-teror Putih yang terjadi di Tiongkok pada 1927 dan Indonesia pada 1965-1966.

Tentu terlalu jauh bila kita beranggapan bahwa Gerakan 28 Januari bertulangpunggunkan front-rakyat. Gerakan tersebut lebih merupakan tumpah-ruahnya berbagai ormas untuk menyuarakan gugatannya kepada rezim SBY alih-alih sebuah gerakan dengan tuntutan yang tegas (“SBY turun sekarang atau revolusi”) dan visi Indonesia pasca SBY (“Indonesia tanpa neolib, Indonesia yang tanpa korupsi, dan Indonesia yang demokratis-partisipatoris”). Nampaknya, pasca pembentukan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) empat tahun yang lalu (yang nampaknya sejak awal tidak cukup efektif), kita belum melihat front-rakyat terbentuk kembali. Tapi satu hal jelas: sulit mengukur manfaat Gerakan 28 Januari bagi para Kromo Kiwo dan massa-rakyat pekerja Indonesia pada umumnya. Kalaupun bermanfaat, itu menjadi bagian burjuis-oposisi. Mereka mendapat legitimasi semu dari akar rumput.

Kontra-produktif

Simaklah komentar-komentar pemirsa dalam Bedah Editorial di Metro TV dan Selamat Pagi Indonesia di TV One hari ini, 29 Januari 2010. Simpati mengalir ke SBY, kecaman dan cemooh untuk para demonstran. Tentu saja sangat mungkin sekian banyak di antara para penelpon dan pengirim sms dalam kedua acara tersebut terhisab ke dalam golongan pendukung, pemuja, dan penjilat Si Brutus Yahud. Tapi, bukan tidak mungkin komentar mereka mengekspresikan anggapan sebagian masyarakat yang cenderung pragmatis. Apalagi demo biasa dihubungkan dengan kemacetan lalu-lintas dan kericuhan.

Momentum Gerakan 28 Juli mungkin tidak tepat. Kondisi obyektif dan faktor subyektif belum masak. Memang betul: selama 100 hari rezim SBY gagal membuktikan janjinya: menumpas Mafia Hukum; selama 5 tahun rezim SBY kian menjerumuskan Indonesia ke dalam neoliberalisme (melanjutkan rezim-rezim sebelumnya); dan penyelidikan yang digelar dalam rapat-rapat Pansus Century kian mengindikasikan “ada apa-apa” dengan rezim SBY. Tapi dari perspektif klas, dibutuhkan suatu pukulan sosio-ekonomik yang dahsyat yang akan membuat rezim SBY tidak dapat lagi berdalih di balik klaim terselamatkannya Indonesia dari krisis akhir 2008 dan stabilnya pertumbuhan ekonomik 2008-2009.

Kondisi obyektif itu mungkin akan datang sebentar lagi, ketika imperialisme melalui perdagangan bebas ASEAN-RRC meluluhlantakkan perekonomian Indonesia dan memelaratkan sebagian terbesar rakyat negeri ini. Saat itu akan terjadi konsentrasi dan sentralisasi Kapital yang berbarengan dengan proletarisasi di kalangan kapitalis nasional, lebih-lebih para burjuis-kecil. Ini akan menyebabkan pembengkakan jumlah “tentara cadangan industri” (pengangguran) bahkan Lumpenproletariat di satu sisi serta penghisapan yang kian berat terhadap kaum buruh di sisi lain.

Kondisi subyektifnya adalah terbentuknya kesadaran klas pada klas buruh, serta penggalangan yang masif di kalangan kaum tani dan kaum miskin kota ke dalam barisan tenaga revolusioner yang akan mendukung klas buruh. Bila kaum Kromo Kiwo menyikapinya dengan tepat, kondisi obyektif yang diakibatkan oleh perdagangan bebas ASEAN-RRC akan mempercepat dan memperluas kesadaran klas dan penggalangan tenaga-tenaga revolusioner.

Bagaimana dengan Gerakan 28 Juli?

 Kondisi obyektif mulai matang, namun belum memadai untuk melahirkan revolusi sejati.

 Faktor subyektif di kalangan buruh, tani, mahasiswa, dan kaum miskin kota makin kelihatan. Mereka makin gerah dengan neoliberalisme dan segala dampaknya yang secara langsung terasakan oleh lapisan menengah ke bawah masyarakat. Di beberapa tempat kesadaran klas di kalangan buruh sudah terbentuk karena kerja-kerja pengorganisasian yang revolusioner. Tapi nampaknya mereka belum tampil untuk mengemban peran kepemimpinan revolusioner. Mereka baru sekadar “ikut meramaikan” dalam Gerakan 28 Januari kemarin. Pada saat yang sama, kaum tani dan kaum miskin kota juga belum tergalang sebagai tenaga-tenaga revolusioner di bawah kepemimpinan klas buruh. Mahasiswa kelihatannya juga masih asyik dengan mitos gerakan moral, kecuali yang terorganisir dalam LMND (jelas Kiwo) dan Hizbut Tahrir (jemelas Kanan, yang selalu menguar-uarkan khilafah sebagai satu-satunya jalan keluar atas segala masalah negeri kita).

Dalam demokrasi liberal (yang sekarang ini kita anut), sepertinya kita bebas menyuarakan apa saja. Bahkan sepertinya penyampaian aspirasi kita difasilitasi. Betapa tidak! Demo pun diatur aparat based on undang-undang. Tapi suara-suara itu, betapapun kerasnya, akan hilang. Di sini, demokrasi berarti: katakan apa saja, rezim tak akan mendengar. Kebebasan bicara, sejauh itu tidak membangkitkan massa-rakyat untuk melawan pemerintah secara riil (boikot, mogok, menduduki gedung parlemen, istana presiden, dan instalasi-instalasi vital), boleh-boleh saja. Kebebasan bicara akan berakhir bila “anarkhis”. Rezim tidak punya alasan yang mendesak untuk memperhatikannya dengan serius. Kata pepatah, “Biarpun anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”

Kita bisa melihat ini dari perilaku pucuk pimpinan rezim pada tanggal 28 Januari kemarin. Sementara aparat keamanan dikerahkan untuk mengamankan jalannya demonstrasi (dan para “reformis” tampil di gelanggang-gelanggang demo), mereka tidak merasa perlu untuk memperhatikan gugatan bahkan caci-maki para demonstran. Wapres Boediono, misalnya, tetap ngantor seperti biasa. SBY "ngungsi" ke Banten meresmikan PLTU.

Repotnya, sikap rezim yang kelihatan “demokratis” ini nampaknya akan menuai simpati masyarakat. Kecuali kepada PKI, sebagian besar masyarakat kita mudah melupakan kesalahan dan sangat pemaaf. Apalagi “dosa-dosa” Si Brutus Yahud belum benar-benar terbongkar. Janji menegakkan supremasi hukum dengan menumpas Mafia Hukum tidak ditepati, masyarakat memakluminya: “Toh SBY diganggu terus selama 100 hari ini oleh Pansus Century!” Kelicikan yang cetha wela-wela dalam kasus Cicak vs Buaya, yang pada akhirnya menumbalkan Komjen Susno Duadji alih-alih memberhentikan Kapolri Danuri dan Jagung Supanji, pula telah dimaafkan.

Sebaliknya, terbentuk pencitraan yang sangat menguntungkan SBY: di satu sisi SBY di-kuya-kuya tanpa melawan (betapa mulianya!). Rakyat Indonesia pun bersimpati kepadanya, dan dukungan kepada rezim pun menguat. Bukan tidak mungkin popularitasnya akan terdongkrak. Di sisi lain, burjuis-oposisi rugi: dicap kaum pendengki dan tukang kritik orang kerja sementara mereka sendiri tidak bekerja. Pada gilirannya, kaum Kromo Kiwo dan organisasi-organisasinya pun terhisab ke dalam sinisme tersebut. Ini kontra-produktif.

Lalu Bagaimana?

Belajar dari Gerakan 28 Januari, Kaum Kromo Kiwo harus memadukan analisis dan prediksi terhadap kondisi-kondisi obyektif serta kerja-kerja konsientisasi dan organisasi di kalangan buruh, tani, mahasiswa, dan kaum miskin kota. Untuk itu, perlu sebuah vanguard party, yakni sebuah partai-kader yang sanggup berkomunikasi dengan massa-rakyat dalam rangka konsientisasi, organisasi, dan mobilisasi. Kaum Kromo Kiwo dan organisasi-organisasi perjuangannya pun harus berhimpun, berdebat, dan membangun konsensus agar dapat bergerak seiring-sejalan untuk memadukan kondisi obyektif dan faktor subyektif guna mengefektifkan Umgestaltung von Grundaus. Selain itu, kaum Kromo Kiwo dan organisasi-organisasi perjuangannya, baik secara individual maupun sebagai federasi, harus mempertahankan independensi terhadap burjuis-oposisi ataupun faksi-faksi kanan atau ultra-kanan lainnya. Aksi bersama, bisa saja, sejauh itu menyangkut isu yang sama. Tapi kaum Kromo Kiwo tidak pernah boleh bersubordinasi terhadap mereka, atau sekadar berpuas diri pada “tuntutan minimal” yang seolah merupakan “common ground” kaum Kromo Kiwo dengan burjuis-oposisi, faksi-faksi kanan dan ultra-kanan. Menjadikan “tuntutan minimal” sebagai anak tangga, kaum Kromo Kiwo harus meyakinkan kaum buruh, kaum tani, mahasiswa, dan kaum miskin kita bahwa

(i) demokratisasi alat-alat pencipta kekayaan masyarakat;

(ii) penggantian mesin-negara burjuis dan demokrasi liberalnya dengan negara-pekerja dan demokrasi partisipatorisnya; dan

(iii) solidaritas dengan massa-rakyat pekerja sedunia (terutama di ASEAN yang nampaknya akan semakin tertindas dan terhisap karena perdagangan bebas dengan RRC) merupakan keniscayaan bagi pembangunan “masyarakat yang adil dan makmur”, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.

Demikian, Kawan DS. Moga catatan ini bermanfaat bagi Kawan dan kawan-kawan lain yang membacanya. Teruslah menjiwai ajaran dan praksis Yesus dari Nazaret. Teruslah gelorakan diri Kawan dengan apinya solidaritas dan nyalanya preferential option for the poor and the oppressed. Resapilah "Internasionale" dalam terang visi Yesus tentang Pemerintahan Allah dan Komunitas Alternatif. Mari kita terjunkan diri kita ke dalam kancah perjuangan sosio-demokratik.

Teriring salam perjuangan, salam pembebasan!


Kawan Riro (RA)

Massa-rakyat pekerja Indonesia, bersatulah!

Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terbebasnya massa-rakyat bekerja
Terciptanya tatanan masyarakat
Sosialis sepenuhnya
Marilah kawan, mari kita pekikkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang pembebasan***

Rudolfus Antonius_29-300110

Selasa, 12 Januari 2010

VISI SOSIALIS YESUS (I)


Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!" Lalu kata orang itu kepada-Nya: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku." Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya. Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: "Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah." Murid-murid-Nya tercengang mendengar perkataan-Nya itu. Tetapi Yesus menyambung lagi: "Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah." Mereka makin gempar dan berkata seorang kepada yang lain: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah." (Markus 10.17-27)



Ada seorang yang banyak hartanya. Ia ingin beroleh hidup yang kekal. Artinya, "beroleh dalam kebangkitan dari antara orang mati tatkala Yahweh datang sebagai Raja." Ia datang dengan tergopoh-gopoh, berlari-lari mendapatkan Yesus. Ia bertelut di hadapan Yesus dan menyapa Laki-laki Bersandal itu “Guru yang baik.” Selanjutnya ia bertanya kepada Sang Guru, apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal.

Menarik sekali. Keinginan untuk beroleh hidup yang kekal mendorong orang yang kaya-raya ini untuk melakukan empat hal, yang barangkali dalam kasus lain akan dilakukan salah seorang budak atau buruhnya. Pertama, ia datang dengan berlari-lari untuk berjumpa Yesus; kedua, bertelut di hadapan-Nya; ketiga, memanggil-Nya dengan sapaan “Guru yang baik”; dan keempat, mohon petunjuk tentang apa harus diperbuatnya agar memperoleh hidup yang kekal.

Bukankah budak atau buruhnya akan melakukan hal yang serupa manakala menemuinya? Tentulah budak atau buruhnya merasa bahwa nafkah atau penghidupan mereka bergantung padanya. Selaku majikan, orang kaya itu adalah pihak pemberi kerja, sedang budak atau buruhnya adalah pihak penerima kerja atau yang dipekerjakan. Selaku majikan ia mengupah buruhnya atau memberi makan budaknya atas pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan jalan itu, napas hidup sang budak atau sang buruh seolah ada di tangan sang majikan. Tak terpikir oleh mereka bahwa justru karena merekalah sang majikan bisa memperkaya diri atau mempunyai waktu luang untuk menghaluskan cita-rasa seni, budaya, agama, bahkan terjun ke kancah pergaulan yang bisa membuatnya dikenal, atau malah turut bermain di dunia politik. Sang majikan bisa melakukan itu semua karena ada orang-orang yang bekerja bagi mereka, entah si budak entah si buruh. Nilai-lebih mungkin bukan hanya berbentuk nilai material yang diambil si majikan dari jerih-payah si buruh, tetapi juga waktu atau kesempatan sebagai ganti pembantingan-tulang si budak. Sebenarnya, siapa menghidupi siapa? Atau, siapa bergantung pada siapa? Bila si budak atau si buruh menemukan jawaban yang sesungguhnya, akankah mereka tergopoh-gopoh datang kepadanya, berlutut di hadapannya, menyapanya “Tuan yang baik”, dan mohon petunjuk-petunjuk atau perintah-perintahnya?

Bukan tidak mungkin, sikap orang kaya-raya itu kepada Yesus mencerminkan sikap budak atau buruhnya sehari-hari kepadanya.

“Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” tanyanya santun kepada Laki-laki Bersandal. Dialog dimulai.

Jawaban Yesus menarik. Pertama, Ia menanggapi sapaan orang kaya itu. Kedua, Ia mengkonfirmasi apa yang diketahui orang kaya itu.

Menanggapi sapaan “Guru yang baik”, Yesus malah bertanya: “Mengapa kaukatakan Aku baik?” Tersirat, Yesus tidak menolak disebut Guru. Tapi Ia mempertanyakan sebutan itu tatkala itu dihubungkan dengan kata sifat “baik”. Pasalnya, “Tak seorang pun yang baik selain daripada Allah saja.” Secara logis kemungkinannya dua. Satu, Allah saja yang baik; Aku, yang seorang guru, tidak baik; berarti aku bukan Allah. Dua, Allah saja yang baik; Aku, yang seorang guru, baik; berarti aku adalah Allah. Kemungkinan logis yang pertama tentu menjadi pilihan mereka yang menolak keilahian Yesus. Kemungkinan logis yang kedua bakal digemari oleh mereka yang secara dogmatis berusaha mempertahankan keilahian Yesus dalam apoftegma yang sedang kita diskusikan. Lalu bagaimana?

Sebagai seorang Kristen, tentulah saya mengimani keilahian Yesus. Tapi keilahian Yesus sebagaimana terformulasi dalam Kredo Nicea-Konstantinopel dan Kredo Kalsedon hendaknya jangan digunakan untuk memahami kata-kata Yesus sebagaimana itu diformulasikan oleh Penginjil Markus di sini. Fair kepada Penginjil Markus (dan Yesus yang diimaninya), sebaiknya kita mempertimbangkan Kristologi (atau Yesuologi?) Markus. Tapi saya sadar waktu dan tempat tidak memungkinkan untuk mendiskusikan salah satu aspek dari teologi (Peng-)Injil Markus. Meski demikian paling sedikit kita dapat mengatakan begini: Yesus menampilkan Yahweh in action melalui praksis-Nya selaku Hamba yang menghidupi ketaatan di jalan penderitaan. Kadang pembaca yang jeli melihat peragaan tindakan Yahweh dalam tindakan Yesus. Meredakan angin ribut di danau, misalnya. Tapi tindakan itu dilakukan dalam konteks penghayatan Yesus sebagai hamba Yahweh yang taat meski harus menderita. Karena itu, bila ditantang untuk memperagakan kuasa-Nya, Ia menolak. Tapi tak segan-segan Ia “turun-tangan” bila “orang berdosa” membutuhkan belas kasihan dan pertolongan Yahweh. Membingungkan, mungkin. Tapi inilah, menurut pendapat saya, “messianic secret” dalam Kristologi Markus.

Kembali ke cerita kita. Dengan tanggapan yang secara logis mempunyai dua cabang kemungkinan, agaknya Yesus bermaksud menampilkan lagi Yahweh in action. Kali ini, yakni in giving His (and-Her) loving commandments. Jika Allah saja yang baik, di sini Aku menampilkan Dia sebagai Yang memberikan perintah-perintah kasih-Nya.

Apakah perintah-perintah kasih Yahweh itu? Yesus menyampaikannya dengan strategi. Ia lebih dulu mengkonfirmasi pengetahuan orang kaya itu tentang perintah-perintah Allah.

“Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!”

Menarik sekali konfirmasi Yesus. Dari “segala perintah Allah” yang dikemukakannya, kita menangkap kesan bahwa Ia sedang mengemukakan perintah-perintah yang tercantum dalam bagian kedua dari Kesepuluh Firman. Kita tahu, bagian kedua dari Kesepuluh Firman berorientasi pada hubungan antarmanusia. Bila diringkaskan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ingin memperoleh hidup yang kekal, seseorang harus mengasihi sesamanya manusia.

Tapi, bila disimak lebih lanjut, dari enam perintah yang berorientasi pada hubungan antarmanusia itu, kita menemukan perintah yang berbunyi “jangan mengurangi hak orang”. Sementara “jangan membunuh”, “jangan berzinah”, “Jangan mencuri”, “jangan mengucapkan saksi dusta”, dan “hormatilah ayahmu dan ibumu” kita temukan (dengan urutan yang berbeda) ada di dalam bagian kedua dari Kesepuluh Firman, tidak demikian halnya dengan “jangan mengurangi hak orang”. Sepintas perintah ini menggantikan atau perintah “jangan mengingini milik sesamamu.” Tapi bukan tidak mungkin “jangan mengurangi hak orang” merupakan upaya Yesus mempertajam “jangan mengingini milik sesamamu” manakala itu diterapkan kepada si orang kaya. Bagaimana?

Ini adalah soal bagaimana seseorang menjadi kaya. Dalam konteks ini, orang kaya yang datang kepada Yesus. Sekadar “mengingini milik sesama” tanpa implementasi hanya membuat orang berdosa dalam hati dan pikiran. Tapi bila diimplementasikan, ada orang lain yang menjadi korban. Di sinilah, dalam rangka menjadi kaya, “mengingini milik sesama” menjadi perbuatan, yakni “mengurangi hak orang”. Ketika Yesus mengkonfirmasi “segala perintah Allah” kepada orang kaya itu, tersingkaplah hubungan produksi dengan mana orang itu memperkaya dirinya.

Terbayanglah di mata kita budak-budak dan/atau buruh-buruhnya. Dari mana orang itu beroleh kekayaan, bahkan harta-benda yang sedemikian banyak? Warisan? Mungkin? Tapi bila tidak dijalankan sebagai kapital atau alat produksi, kekayaannya bukan hanya tidak akan bertambah; kekayaan itu akan habis. Tapi bila dijalankan sebagai kapital, ia harus mempekerjakan orang lain. Orang lain atau orang-orang lain itu tidak mempunyai kapital. Mereka hanya memiliki diri mereka sendiri.

Dalam kasus budak, “diri mereka” diambilalih oleh sang tuan. Hidup-mati mereka hampir sama sekali bergantung pada kehendak sang tuan. Mereka melakukan kerja produktif dengan alat produksi sang tuan, misalnya mengerjakan ladang. Sebagian (besar) dari hasil jerih-payah mereka di ladang menjadi milik sang tuan dan dengan demikian memperkayanya. Karena kemurahan hati (atau kekejaman?) sang tuan, hidup mereka dipelihara dengan beaya yang diambilkan sang tuan dari sebagian (kecil) hasil jerih-payah mereka yang tidak digunakan untuk memperkaya dirinya.

Mungkin ada di antara para budak yang melakukan kerja non-produktif, seperti membersihkan rumah sang tuan, memasak dan mencuci untuk keluarga sang tuan, dan sebagainya. Tapi kerja non-produktif itu sangat dibutuhkan oleh sang tuan dan keluarganya. Dengan begitu sang tuan dan keluarganya dapat melakukan hal-hal yang lain: menikmati hiburan, mengapresiasi seni-budaya, mendalami agama, menjalin relasi dengan para tuan lainnya, arisan, dan terjun ke dunia politik. Dengan demikian para budak yang melakukan kerja non-produktif sebenarnya memperkaya sang tuan secara mental dan sosial. Karena kemurahan hati (lagi, atau kekejaman?) sang tuan, hidup mereka dipelihara dengan beaya yang diambilkan sang tuan dari sebagian (kecil) hasil jerih payah budak-budak yang melakukan pekerjaan produktif – yang tidak digunakan untuk memperkaya dirinya.

Dalam kasus buruh, tenaga mereka diambilalih oleh sang majikan selama jam kerja. Tenaga mereka adalah tenaga untuk kerja-produktif. Mereka menghasilkan komoditas, entah dalam bentuk barang atau jasa. Komoditas itu bernilai guna, karena itu dapat dipertukarkan dengan komoditas lain. Dalam konteks ini, uang berfungsi pengandai di satu sisi dan penanda di sisi lain. Uang mengandaikan nilai guna suatu komoditas dan menandai nilai tukarnya. Dengan kerja-produktif mereka, para buruh menghasilkan komoditas dengan bernilai-guna dan bernilai-tukar tertentu, yang pengandaian dan penandaannya ada dalam bentuk sejumlah besar uang. Logikanya, sejumlah besar uang yang diperoleh para buruh berbanding lurus dengan kerja-produktif yang menghasilkan komoditas. Tapi kenyataannya tidak demikian. Sebagian dari hasil kerja-produktif para buruh diambil oleh sang majikan. Tujuannya untuk memperkaya diri dan memupuk kapital sang majikan. Karena pertimbangan rasional-ekonomik, sang majikan membiarkan sebagian lainnya untuk menjadi milik para buruh, yakni sejauh yang dibutuhkan untuk memelihara kinerja mereka.

Kita dapat melihat bahwa pemilik kapital memperkaya diri dengan menghisap hasil-kerja baik para budak maupun para buruh. Kenyataan bahwa di satu pihak ada segelintir orang mempunyai kapital atau alat produksi dan di sisi lain ada sebagian terbesar orang tidak mempunyainya, menjadi pangkal dari penghisapan. Penghisapan itu berintikan pengambilan sebagian dari hasil jerih payah para budak atau para buruh. Tentu saja, untuk keuntungan sang tuan atau sang majikan. Dengan perkataan lain: para budak dan para buruh tidak memperoleh sepenuhnya hasil jerih payah mereka, karena sebagian daripadanya diambil oleh sang tuan dan sang majikan – yang sebenarnya tidak berjerih-payah seperti mereka. Hak mereka dikurangi. Inilah penghisapan manusia oleh manusia, exploitation de l’homme par l’homme.

Manakala Yesus mempertajam “jangan mengingini milik sesamamu” dengan “jangan mengurangi hak orang”, apakah implikasinya? Dua sisi: pertama, orang kaya itu harus menghentikan penghisapan terhadap budak-budak atau buruh-buruhnya; dan kedua, orang kaya itu harus mengembalikan bagian dari hasil jerih payah budak-budak atau buruh-buruhnya – yang telah dihisapnya untuk memperkaya dirinya – kepada mereka! Sebuah tuntutan yang radikal dari Sang Penampil Yahweh in action.

Nampaknya orang kaya itu belum tanggap ing sasmita. Ia tidak pernah membunuh, tidak pernah berzinah, tidak pernah mencuri, tidak pernah menjadi saksi dusta, tidak pernah mengingini milik orang lain, dan selalu menghormati ayah dan ibunya. Pendeknya, ia selalu “melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya” sebagaimana tercantum dalam bagian kedua Kesepuluh Firman. Karena itu, ia berkata kepada Yesus: “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku.” Kalau begitu, bukankah sudah seharusnya ia beroleh hidup yang kekal?

Respons Yesus simpatik. Ia “memandang dia dan menaruh kasih kepadanya.” Orang kaya itu belum menyadari bahwa selama ini ia hidup dari penghisapan terhadap sesamanya, yakni para budak atau buruh-buruhnya. Ini menjadi peluang bagi Yesus untuk menampilkan lebih jauh Yahweh in action dengan perintah-perintah kasih-Nya yang inklusif. Yesus pun berkatan kepada orang kaya itu: “Hanya satu lagi kekuranganmu…”

Yesus tidak menyangkal bahwa sejak muda orang kaya itu telah menuruti bagian kedua dari Kesepuluh Firman. Tapi apakah jiwa-semangat dari perintah-perintah itu kalau bukan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri? Kekurangan orang kaya itu justru terletak pada “jangan mengurangi hak orang lain”, yang tidak mungkin tidak menjadi batu-uji atas klaim tentang mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Ketika aku berkata bahwa aku mengasihi sesamaku manusia seperti diriku sendiri dan dengan demikian menuruti bagian kedua dari Kesepuluh Firman, patutlah kau bertanya kepadaku apakah aku telah hidup tanpa penghisapan kepada orang lain! Bagaimana bila ternyata aku telah dan masih hidup dari penghisapan kepada orang lain? Satu kekurangan, ya, “hanya” satu kekurangan. Tapi kekurangan yang sangat besar. Karena ini menyangkut hajat hidupku di satu sisi dan hajat hidup sesamaku di sisi lain. Karena itu tak heran bila Yesus dalam posisi-Nya sebagai Penampil Yahweh in action memerintahkan:

“pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”

Perintah Yahweh in action ini terdiri dari dua bagian yang saling terkait: “pergilah … datanglah ke mari…” Pertama, yakni “pergilah”, dengan maksud menjual apa yang dimiliki – yakni harta kekayaan – orang kaya itu dan memberikan hasilnya kepada orang-orang miskin. Siapakah “orang-orang miskin” kalau bukan mereka yang dimiskinkan karena kehilangan alat produksi – yakni tanah – yang secara tradisional diyakini sebagai pemberian-pinjaman Yahweh kepada mereka? Karena kehilangan tanah (karena berbagai-bagai sebab), kaum tani menjadi tani-penggarap, buruh-tani, budak, pekerja seks komersial, gelandangan, pengemis … Lumpenproletariat… Dengan kata lain, berikanlah hasil penghisapan itu kepada kaum miskin, yakni mereka yang menjadi korban penindasan dan penghisapan! Suatu perintah konkret yang radikal dari Sang Penampil Yahweh in action. Bagian pertama perintah yang radikal itu diiringi dengan janji: “maka engkau akan beroleh harta di sorga.” Itu berarti, “Dengan melepaskan harta hasil penghisapan, engkau akan beroleh harta di tempat Yahweh bersemayam.”

Kedua, yakni sesudah melakukan yang pertama, “datanglah ke mari” dengan tujuan mengikut Yesus. Pergi untuk melepaskan harta hasil penghisapan dan beroleh harta di tempat Yahweh bersemayam, dan datang untuk mengikut Yesus tanpa dibebani harta hasil penghisapan dan beban dosa yang memberatinya. Ya, mengikut Yesus yang ingin membangun masyarakat baru melalui pewartaan-Nya tentang Pemerintahan Allah. Sebuah masyarakat eskatologis yang akan mengambil bagian dalam “hidup yang kekal” atau “kebangkitan orang mati” manakala Pemerintahan itu terwujud sepenuhnya. Seakan Yesus berkata:

“Setelah kau tidak lagi menghisap sesamamu, ikutlah Aku. Bersama-sama kita akan membangun masyarakat baru yang akan menghidupi tatanan tanpa penindasan dan penghisapan, yakni tatanan perdamaian, damai sejahtera, dan kesejahteraan. Sebuah tatanan di mana semua orang merdeka, setara, dan bersaudara. Sebuah tatanan di mana setiap orang bekerja sesuai dengan karunia atau kemampuannya dan mendapatkan hasil sesuai dengan kebutuhannya. Itulah realitas kebangkitan yang sedang datang dengan mulai hadirnya Pemerintahan Allah. Itulah hidup yang kekal.”

Bagaimana reaksi orang kaya itu?

Kali ini ia tanggap ing sasmita. Tapi justru karena itu ia menjadi kecewa. Inikah jalan untuk memperoleh hidup yang kekal itu? Jalan evangelical poverty? Mana tahan! Hartanya banyak. Penghisapan-lah yang, “atas berkat Allah”, telah memberikannya. Sekarang baik harta hasil penghisapan maupun penghisapan itu sendiri harus ditinggalkan dan sebagai gantinya mengikuti seorang pengembara aneh dengan cita-cita-Nya yang tak masuk akal? Maka pergilah orang kaya itu dengan sedih. Lupa dia bahwa sopan-santunnya di depan menuntutnya menaati perintah Yesus seperti halnya ia mewajibkan budak-budak atau buruh-buruhnya menaati segala perintahnya.

Laki-laki Bersandal yang revolusioner itu tidak mencegah kepergian orang kaya itu. Kendati bersimpati kepada orang kaya itu, tidak sedikitpun Yesus mau mengkompromikan tuntutan-Nya. Ia malah membuat reaksi orang kaya itu menjadi bahan pengajaran bagi para pengikut-Nya. Berada di sekeliling-Nya, mereka mendengar ia berkata: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Sukar, bukan karena pintu Kerajaan [Pemerintahan] Allah tertutup bagi mereka. Sukar, karena pintu itu memprasyaratkan agar orang beruang meninggalkan hasil penghisapan dan praktek penghisapannya selama ini. Sukar, karena pintu itu menuntut orang beruang hidup dalam evangelical poverty.

Para pengikut Yesus tercengang mendengarnya. Bukankah kekayaan adalah tanda bahkan wujud keberkatan? Seorang Yahudi menjadi kaya-raya karena ia saleh dan karena itu diberkati dengan kekayaan. Tapi Sang Guru menjungkirbalikkan konsep tradisional (dan ideologis) ini.

Menyadari kekagetan (dan kebingungan) para pengikut-Nya, Yesus menyapa mereka dengan simpatik: “Anak-anak-Ku…” Ada sentuhan kebapaan atau keibuan dari seorang guru demi menyadari kebingungan murid-murid-Nya atas pelajaran baru yang sedang diberikan. Kemudian ia mengafirmasi perkataan-Nya yang barusan dengan bertamzil”

alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah
Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum
daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah

Tamzil tersebut membuat para pengikut makin gempar. Mereka bertanya seorang dengan yang lain: “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" Mereka masih berpikir dengan paradigma lama, konsep tradisional yang ideologis tentang kekayaan sebagai tanda dan wujud berkat Allah. Bila orang kaya saja sukar diselamatkan, bagaimana dengan orang-orang yang miskin-papa? Kalau begitu, siapakah yang dapat diselamatkan?

Kembali memandang murid-murid-Nya, Sang Guru berkata:

“Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.”

Sukar bahkan sangat sukar tidak sama dengan tidak mungkin. Meski sangat sukar, tetap tidak muskil-lah orang kaya diselamatkan, masuk ke dalam Pemerintahan Allah, atau beroleh hidup yang kekal. Sebab ada Allah, Yahweh in loving action. Bukan sekadar memberikan perintah, Dia juga sanggup membuat yang diperintah untuk melakukannya. Bukan pemaksaan, tentu. Tapi “di dalam, melalui, dan melampaui” keterbatasan insani dan proses-proses sosio-historis. Itu berarti bukan tidak mungkin ada orang-orang kaya yang demi Pemerintahan Allah rela meninggalkan hasil penghisapan dan praktik penghisapannya dan menjadi evangelically poor guna membangun masyarakat baru bersama Sang Penampil Yahweh in action, Yesus dari Nazaret.

Tapi kisahnya belum selesai...

*** (Rudolfus Antonius_Yk120110)


Senin, 11 Januari 2010

KOMUNISTOFOBIA


“A spectre is haunting Europe – the spectre of Communism,” begitu tulis Karl Marx dan Friedrich Engels di prolog Communist Manifesto (1848). Sesosok hantu sedang menghantui Eropa – hantu Komunisme.

Betapa tidak, sebagai sebuah gerakan, komunisme adalah penerjemahan filsafat oleh massa pekerja ke dalam aksi. Filsafat yang dimaksud adalah materialisme-historis, yang berlogikakan materialisme-dialektis, bertulangpunggungkan perjuangan klas, dan terimplementasi dalam revolusi massa pekerja guna demokratisasi alat-alat produksi massal demi sebuah dunia tanpa klas, tanpa pengisapan manusia oleh manusia.

Bila filsafat itu, yakni materialisme-historis, tetap tinggal sebagai filsafat, taruhlah sebagai mental exercise, atau paling banter guna memahami dunia, barangkali tidak akan pernah ada komunisme, dan dengan demikian tidak akan menghantui Eropa, bahkan seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tetapi bukankah Marx sendiri pernah mengatakan dalam Tesis-tesis tentang Feuerbach (1845), “Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya.”

Padahal dunia yang akan diubah oleh komunisme bukanlah dunia tak bertuan. Ada banyak tuan, dan mereka berkuasa dalam menurut sistem-sistem yang dapat dijabarkan dalam hubungan-hubungan produksi: feodalisme dan kapitalisme. Sistem-sistem itu mengisyaratkan pembagian klas. Ada klas yang mengharuskan orang-orang yang terhisab di dalamnya untuk membanting-tulang dan memeras keringat untuk menyambung kehidupan mereka sekaligus memakmurkan orang-orang dari klas yang lain. Itulah klas pekerja, yang dari zaman ke zaman berturut-turut terdiri dari kaum budak, petani-penggarap, dan kaum buruh. Sementara pada saat yang sama ada klas yang memberikan keleluasan bagi orang-orang yang terhisab di dalamnya untuk menikmati hidup dengan sokongan dari orang-orang yang dengan susah payah mencari rezeki seumur hidupnya mereka. Itulah klas berkuasa, pemilik alat-alat produksi, yang terdiri dari para pemilik budak, kaum bangsawan, dan kaum burjuis alias kapitalis. Merekalah para tuan atas dunia ini.

Bila komunisme bermaksud mengubah dunia, jelas mereka berhadap-hadapan dengan para tuan atas dunia ini. Padahal, tidak ada klas yang mau melepaskan posisi istimewanya secara sukarela. Sebab itu, dengan memperhatikan momentum saat terjadinya krisis-krisis dalam masyarakat yang sebenarnya berakar di dalam hubungan-hubungan produksi yang berlaku, langkah pertama mengubah dunia dilakukan melalui revolusi. Baik revolusi demokratis, maupun revolusi sosialis. Revolusi kaum buruh yang bermuara pada pembentukan Komune Paris (1871) dan Revolusi Rusia, Februari dan Oktober 1917, adalah contohnya. Langkah berikutnya adalah pemerintahan buruh melalui Diktatur Proletariat, yang beranggotakan utusan-utusan dari dewan-dewan buruh. Diktatur Proletariat merupakan pemerintahan transisi yang bertujuan melenyapkan kontradiksi-kontradiksi yang tersisa dari feodalisme dan atau kapitalisme, dan menciptakan kondisi-kondisi untuk mengakhiri negara klas – hingga tercapainya masyarakat komunis, masyarakat tanpa klas, masyarakat tanpa pengisapan, di mana setiap orang bekerja menurut talentanya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya.

Bagi klas yang berkuasa, jelas, komunisme merupakan hantu yang menakutkan. Itulah sebabnya, kata Marx dan Engels, “Semua kekuasaan Eropa Kuna telah masuk ke dalam sebuah aliansi suci untuk mengusir hantu ini: Paus dan Tsar, Metternich dan Guizot, kaum Radikal Prancis dan polisi-mata-mata Jerman.” Tapi bagaimana dengan klas yang tertindas dan terhisap?

Kasus Indonesia

Di negeri kita Indonesia, komunisme dianggap sebagai hantu yang menakutkan biasanya karena Peristiwa Madiun (1948) dan Gerakan 30 September (1965). Dalam kedua peristiwa itu hantu komunisme bergentayangan. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang berideologi komunis, dituduh berupaya melakukan kudeta, merebut kekuasaan yang sah. Karena itu PKI dikatakan telah duakali mengkhianati Republik Indonesia.

Pertanyaan yang mengganjal adalah: apakah benar demikian? Untuk Peristiwa Madiun, tidak lebih bijakkah bila kita memandangnya sebagai kemuncak dari pergolakan dalam negeri pasca Persetujuan Renville (Januari 1948) di saat mulai bergulirnya Perang Dingin antara Kubu Stalinis ("Komunis") pimpinan Uni Soviet dan Kubu Kapitalis ("Demokratis") pimpinan AS? Menurut pendapat penulis, Perisiwa Madiun tidak lepas dari:

  • jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin (karena dianggap terlalu mengakomodir tuntutan Belanda dalam Perjanjian Renville);


  • komitmen Kabinet Hatta untuk melaksanakan Persetujuan Renville (yang ternyata mengikutsertakan partai-partai yang semula menentang Bung Amir dan menjatuhkan kabinetnya karena persetujuan tersebut);


  • program Kabinet Hatta, yakni Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (yang menyebabkan konflik antara TNI dan TNI-Masyarakat);


  • radikalisasi pandangan dan sikap PKI/FDR terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan (dari pro-diplomasi menjadi perang rakyat berbasis front-nasional anti-imperialis yang dipimpin oleh klas pekerja) sekembalinya Pak Musso;


  • Peristiwa Solo, yang diawali dengan mati-tertembaknya Panglima Pertempuran Panembahan Senopati Kol. Sutarto dari TNI-Masyarakat (awal Juli 1948) dan berkembang menjadi bentrok senjata antara TNI-Masyarakat yang didukung laskar Pemuda Sosialis Indonesia [Pesindo] melawan pasukan Siliwangi dari TNI yang didukung laskar Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat [GRR] (awal-pertengahan September 1948); 


  • bentrok senjata antara pasukan tak dikenal [diduga Siliwangi] dengan pasukan Brigade 29/TNI Masyarakat di Madiun pada pagi buta 18 September 1948 (yang disusul dengan dikuasainya Madiun oleh Pemerintah Front-Nasional dan kawat kepada Pemerintah RI di Yogya yang menjelaskan hal-ihwal bentrokan dan kondisi Madiun selanjutnya, serta meminta petunjuk untuk apa yang harus dilakukan selanjutnya); dan


  • pidato Bung Karno pada 19 September malam bahwa PKI-Musso telah mendirikan Soviet Republik Indonesia di Madiun pada 18 September (padahal pada hari itu Pak Musso, Bung Amir, dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya masih berada di Purwodadi dalam rangka mengkampanyekan front-nasional anti-imperialis) serta pidato balasan Musso terhadap pidato tersebut. Bung Karno mengajak rakyat menumpas PKI-Musso dengan slogan "Pilih Sukarno-Hatta atau Musso dengan PKI-nya", sedangkan Pak Musso menyatakan bahwa rakyat akan menjawab "selamanya Musso menghamba rakyat".

Untuk Gerakan Tiga Puluh September apakah tidak arif bila kita memandangnya sebagai pre-emptive strike dari sekelompok perwira Angkatan Darat (Letkol Untung Sjamsuri, Kol Abdul Latief, dan Brigjen Soepardjo) yang merasa loyal kepada Bung Karno terhadap jenderal-jenderal AD yang dicurigai akan melancarkan kup pada tanggal 5 Oktober? Mungkin beberapa pemimpin PKI "terlibat" dengan mengetahui sebelumnya dan memutuskan untuk memberikan dukungan politik apabila operasi tersebut berhasil dilaksanakan. Katakanlah ini "avonturisme Kiri". Tetapi beberapa pemimpin PKI tidak sama dengan semua pemimpin PKI. Demikian juga, beberapa pemimpin PKI tidak sama dengan PKI sebagai organisasi. Lebih-lebih, beberapa pemimpin PKI sama sekali berlainan dengan para anggota dan simpatisan PKI (yang justru jadi korban pembantaian massal Oktober-Desember 1965 dan waktu-waktu sesudahnya). Putsch 1 Oktober dinihari sama sekali bukan revolusi. Avonturisme, bahkan yang berlabel "Kiri" sekalipun tidak sama dengan revolusi. Putsch adalah kudeta militer. Avonturisme Kiri adalah petualangan yang berpretensi memenangkan proletarian cause. Tapi itu semua bukan cara Marxis atau Marxis-Leninis yang justru meyakini "kaum buruh harus berjuang membebaskan diri mereka sendiri."

Selain itu, patutlah kita pertimbangkan peruncingan "luar dan dalam" dalam politik Indonesia era Demokrasi Terpimpin. Di luar, Indonesia meradikalisir politik luar negeri yang bebas-aktif menjadi politik luar negeri anti-imperialis melalui penggalangan New Emerging Forces (Nefo). Implementasi kritisnya adalah Konfrontasi dengan British Malaysia, yang dianggap Bung Karno sebagai proyek imperialis Inggris. Pada saat yang sama, hubungan Indonesia dan AS juga mengalami peruncingan (sementara AS terus bekerjasama  dengan Angkatan Darat Indonesia). Dalam peruncingan itu, PKI memposisikan diri sebagai pendukung terkemuka politik anti-imperialis Bung Karno. Alhasil,  kubu imperialis pimpinan AS (yang sejak Perang Kemerdekaan menghendaki sirna ilangnya komunisme dari bumi Indonesia) membidik PKI dan BK sekaligus sebagai sasaran tembak. AS dan sekutunya tidak rela Indonesia jatuh ke dalam tangan komunisme, entah komunisme yang berkiblat  ke Moskow,  atau komunisme yang berkiblat ke Peking.

Di dalam, BK berusaha menjaga keseimbangan antara PKI dan pihak-pihak anti-PKI (baik sipil maupun militer). Sementara tetap mempertahankan strategi penggalangan front persatuan-nasional, sejak akhir 1963 PKI mengalami radikalisasi yang tanggung. Ini dapat dilihat dari Aksi-aksi Sefihak (Aksef), desakan untuk mengadakan Angkatan Kelima, dan kampanye-kampanye pengganyangan "7 setan desa" dan "3 setan kota". Sementara PKI tidak benar-benar mendasarkan radikalisasinya pada mobilisasi massa buruh dan tani, pihak-pihak anti-PKI kian bersatu dalam kebencian dan permusuhan mereka kepada Partai tersebut. Ini diperparah dengan "keuntungan-keuntungan" yang diperoleh PKI dari tindakan-tindakan Bung Karno yang tidak demokratis, seperti membubarkan PSI dan Masyumi (1960), Manifes Kebudayaan (1964), BPS (1964, Badan Pendukung Sukarnoisme), dan Partai Murba (1965, partai para  pengagum Tan Malaka dan mengaku diri sebagai "Komunis Nasional"). Barisan musuh-musuh PKI pun semakin besar, sementara PKI terombang-ambing dalam posisi Stalinis, yakni antara radikalisasi (a la Maois) dan akomodasi (a la Khruschevis, Partai Komunis Uni Soviet).

Peruncingan "dalam dan luar" ini pada gilirannya menempatkan PKI pada posisi ibarat telur di ujung tanduk. Sedikit saja tergeser dari titik-tumpunya, telur itu akan jatuh dan hancur berantakan. Gerakan Tiga Puluh September adalah momen pergeseran tersebut. Selanjutnya, ketika Soeharto dan kliknya menguasai Angkatan Darat dan media massa, nasib PKI sudah ditentukan. Cerita horor Lubang Buaya diciptakan. Ketika histeria melanda masyarakat, Angkatan Darat memfasilitasinya dengan mendukung pembentukan kesatuan-kesatuan aksi dan mengorganisir sipil anti-PKI di daerah-daerah. Semuanya meng-gerudug PKI. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran kantor-kantor PKI dan ormas-ormasnya. Yang lebih ngeri, terjadi pula penangkapan dan pembantaian terhadap ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI.

Kita tahu kelanjutan kisahnya. Komunisme dicap sebagai ideologi yang ateistik bahkan anti-Tuhan, karena itu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk perbuatan-perbuatan yang biadab tak berperikemanusiaan. Orang-orang PKI pun menyandang cap itu. Dengan jitu, Orde Baru mengefektifkan cap itu dengan membubarkan PKI, menetapkannya sebagai Partai terlarang, melarang ajaran Marxisme-Leninisme, menciptakan sejarah yang memposisikan PKI dengan komunismenya sebagai makhluk jahat anti-Pancasila, monster pengancam dan mengerikan, dan memberikan tanda khusus di kartu identitas orang-orang yang dianggap terlibat atau tersangkut dengan G-30-S/PKI ... termasuk anak-anak mereka.

Ironisnya, heroisme PKI yang mencetuskan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda (November 1926-Januari 1927) tidak pernah diperhitungkan. Sekian banyak orang Komunis yang gugur, dihukum mati, dipenjarakan, dan dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Hindia Belanda juga tidak pernah diperhitungkan. Padahal itulah pemberontakan nasional (bukan kedaerahan) pertama terhadap Hindia Belanda. Demikian juga pembantaian terhadap sekian ratus ribu warga bangsa yang dicap PKI yang dilakukan atas restu penguasa militer yang kelak mendirikan rezim Orde Baru, tak pernah dicarikan pertanggungan jawabnya.

Jadi ...

Komunistofobia, ketakutan yang berlebihan terhadap hantu komunisme, sebenarnya merasuki jiwa orang-orang dari klas yang berkuasa, baik feodal maupun burjuis, baik kaum pemilik alat-alat produksi, birokrat, maupun pimpinan militer. Dalam pada itu, di Indonesia rezim Orde Baru berhasil menjadikan komunistofobia sebagai momok bahkan musuh bersama bagi segenap warga bangsa. Di masa Orba, setiap perlawanan terhadap kezaliman rezim akan mendapat label bahaya laten komunis. Di masa Reformasi, upaya almarhum Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966 ditentang habis-habisan. Kongres Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) dirusuhi oleh kelompok-kelompok fundamentalis. Nama "PKI" dan kata "Komunisme" tetap menjadi istilah-istilah yang membangkitkan ketakutan di satu sisi dan kebencian di sisi lain. Kejaksaan Agung menarik buku-buku pelajaran yang tidak menyebut Peristiwa Madiun 1948 sebagai Pemberontakan Madiun dan Gerakan Tiga Puluh September sebagai G30S/PKI.

Baru-baru ini Kejaksaan Agung juga melarang di antaranya dua buku yang katanya berideologi Komunis: Lekra Tidak Membakar Buku (yang sebenarnya menguraikan sejarah perjuangan Lekra di lapangan Kebudayaan, di mana Lekra adalah organisasi yang mandiri meski sejalan dengan PKI dalam mendukung penyelesaian Revolusi Nasional pimpinan Bung Karno) dan Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan Tiga Puluh September dan Kudeta Suharto (yang sebenarnya secara akademis coba mengurai kompleksitas Peristiwa dinihari 1 Oktober dan menemukan keterlibatan beberapa tokoh PKI, juga kepiawaian Soeharto [dalam hari-hari pasca penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal] mengimplementasikan aspirasi AS dan pemimpin-pemimpin AD untuk melikuidasi PKI dan menggulingkan Bung Karno) *** (Pandu Jakasurya)



Jumat, 08 Januari 2010

DAN SI BRUTUS PUN PANIK ...


Kawan, di negeri yang pernah mirip Uttara Kuru (namun sekarang “musim kemarau api, musim penghujan banjir”) dalam Kitab Ramayana, ada seorang berjiwa Brutus yang mengangkangi kekuasaan yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.


Tahukah kau si Brutus bedebah ini sama dengan Manipulator Agung? Dia bukan hanya menikam Caesar, tapi juga menikam rakyat dengan kepiawaian trik yang dibikin bersama think tank-nya.

Kawan, dulu negeri ini pernah dicengkeram oleh seorang warlord yang menjadi raja lewat fitnah keji dan pembantaian jutaan rakyat pendamba “sama rata sama rasa”. Ya, warlord itu berdarah dingin di balik senyumnya yang tersungging lebar. Akhirnya dia terjungkal di hadapan kaum muda tanpa sebutir peluru pun bersarang di kepalanya yang sarat dengan rekayasa (rekayasa yang menghantarnya selalu duduk di tampuk kekuasaan dari pesta demokrasi ke pesta demokrasi yang tak beda dengan pementasan sandiwara). Tapi sang warlord yang pernah dipuja sebagai the father of development sekarang sudah berjumpa dengan Munkar-Nakir, yang menyambutnya untuk siksa kubur nan mahapedih.

Brutus itu pernah jadi anak buah sang warlord. Bapak permaisuri si brutus juga seorang warlord, yang pernah dengan bangga mengaku telah membantai 3 juta anak bangsa pendamba “sama rata sama rasa”. Brutus sendiri juga pernah jadi warlord. Tapi dulu, sebelum ia malih rupa menjadi reformis tetiron penyandang gelar stratum tiga.

Dari para warlords itu Brutus mewarisi kelicikan dan kekejaman. Tapi beda dengan para warlords, Brutus narsis pula pengecut. Tapi mungkin dari situ berkembanglah "kualitas"-nya yang lebih unggul daripada si semar mesem. Kerap ia tampil di muka kita sebagai yang terzalimi. Selalu ia tampil santun bercitra penjunjung konstitusi dan penghormat hukum. Sementara itu dosa-dosanya semakin bertambah-tambah.

Tapi, Kawan, belakangan ini Brutus sedang pusing. Benar-benar tujuh keliling. Sejak ditakhtakan kembali melalui kemenangan jual-beli suara yang terkesan elegan, pelan-pelan kebusukannya terbongkar. Dari perseteruan dua binatang melata berbeda kasta (yang satu di dinding diam-diam merayap, yang satunya lagi musuh tradisional kancil dalam dongeng masa kecil kita), juga skandal bank Abad (belum lagi yang lain-lain yang membuat Pak Kumis yang nampak sangar dan memenjarakan besannya menjadi terdakwa sebagai otak pembunuhan seorang direktur BUMN yang doyan poligami).

O, Kawan, anak buah Brutus sibuk betul membelanya (mungkin tanpa curiga bahwa bila perlu Brutus siap mengorbankan mereka). Termasuk saat buku yang membeberkan oligarki Brutus membikin geger masyarakat. Saking bersemangatnya, seorang menko ekonomi sampai bilang bahwa isi buku itu fitnah meski ia mengaku belum pernah membaca buku itu (sekarang menteri ini sedang kongres bersama parpolnya guna menjadi ketua umum yang katanya akan bikin partai itu insya allah memenangkan 20 persen suara parlemen dalam jual-beli suara 2014 kelak). Juga Poltak si pokrol bambu, yang senang bikin gaduh sidang panitija chusus di mana para anggota parlemen menginterogasi pihak-pihak yang diduga terkait dengan skandal bank Abad. Sedemikian heroiknya Poltak si raja minyak, sampai bersumpah potong kuping, bahkan menghadirkan kodok dan (maaf) bangsat di sidang panitija chusus yang konon dihadiri oleh orang-orang yang terhormat.

Belakangan, Kawan, Boss Brutus bikin manuver. Sebutlah tiga (di antara yang lain-lainnya). Pertama, Brutus minta seorang pembantunya bikin aturan untuk membuat Cicak tak bisa merayap di dinding untuk menyadap obrolan kotor para koruptor. Pembantunya yang terkenal soleh dan moralis itu, entah mengapa dan dengan tujuan apa, nurut-nurut aja.

Kedua, Brutus ingin mengevaluasi koalisi dan termasuk komposisi dewan menteri … Brutus khawatir, takut di-Brutus-i. Ancaman halus si Brutus pun disebarkan.

Ketiga, Brutus minta kepada parlemen agar menerima RUU Perpu No 4 tentang JPSK … agar bail out haram sebesar anem koma toedjoe triljun kepeng ada payung hukumnya. Kontan Mas Priyo yang bukan Binuko, wakil ketua parlemen negeri yang dulu seperti Uttara Kuru itu bereaksi: "Kalau begitu, bubarkan saja panitija chusus kasus Abad Gate!" Betapa tidak! Bila pemberian uang haram itu beroleh payung hukum, buat apa ada panitija chusus …!

Wahai Rakyat, Brutus yang "Santun" semakin panik. Berbagai cara "yang legal" di permukaan dan "yang ilegal" di balik permukaan ditempuh. Dulu negeri ini mempunyai seorang warlord berdarah dingin yang selalu tampil dengan senyum tersungging. Sekarang bercokollah seorang Brutus yang tampil narsis dengan kedok pencitraan untuk mengelabui mata seluruh rakyat.

Wahai Rakyat Indonesia, kekuasaan itu dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Jangan biarkan Brutus mengangkangi dengan segala tipu-dayanya. Ambil kembali kekuasaan itu. Mari kita kelola secara sosio-demokratik – agar negeri ini jangan lagi menjadi negerinya para bedebah.

Wahai para anggota DPR, kepada siapakah kalian menghamba? Kepada rakyat? Atau kepada Brutus yang sedang terus memperbesar dosanya dengan rekayasa demi rekayasa?

Wahai Rakyat, hari-hari si Brutus sudah dapat dihitung. Maukah kita mengakhirinya? El pueblo unido, jamás será vencido. *** (Rudolfus Antonius_080110)


Negara



Sebagai realitas sosio-historis, negara (dengan “pemerintah” sebagai pengemudinya) tidak selalu ada. Ada suatu masa ketika negara dan pemerintah pernah tidak ada, dan kelak ada suatu masa ketika negara dan pemerintah tidak ada lagi. Negara dan pemerintah ada karena masyarakat terbelah ke dalam klas-klas yang memiliki kepentingan yang secara hakiki bertentangan. Ada klas yang membanting tulang bekerja untuk mempertahankan hidup, ada klas yang justru hidup dari pengambilan hasil kerja banting-tulang klas yang lain. Baik dalam masyarakat pemilik budak, feodalisme, dan sekarang kapitalisme, ini terus berlangsung. Dalam konteks ini, negara atau pemerintah adalah “institusionalisasi kepentingan klas”. Maksudnya, negara dan pemerintah ada untuk menjamin kepentingan klas penindas dan penghisap.


Penjaminan itu bermekanisme ganda. Pertama, dengan alat-alat pemaksa (polisi, tentara, satpol PP, hukum, dan lembaga peradilan). Kedua, dengan alat-alat persuasi (filsafat, ilmu pengetahuan, agama-yang-telah-dijinakkan-dan-dekaden melalui berbagai saluran kultural). Dengan yang pertama klas penguasa membikin klas tertindas takut (sehingga tidak melawan). Dengan yang kedua klas penguasa membikin klas tertindas yakin bahwa segalanya baik-baik saja. Dalam terminologi Gramscian, yang kedua disebut hegemoni.

Lalu bagaimana?

Negara dan pemerintah tidak selalu ada: pernah tidak ada dan kelak akan tidak ada. Mereka akan tidak ada bila masyarakat tidak terbelah lagi dalam klas-klas antagonistik. Dengan kata lain, bila tidak ada lagi perjuangan klas, maka berhentilah negara dan pemerintah. Dalam masyarakat tanpa klas ini, yang ada hanyalah fungsi-fungsi administratif yang ditetapkan oleh dewan-dewan rakyat pekerja. Petugas administratif itu dipilih oleh rakyat pekerja dari lingkungan dewan-dewan rakyat pekerja. Mereka digaji sama dengan rakyat pekerja, dan sewaktu-waktu bisa di-recall oleh rakyat pekerja. Di sini, demokrasi perwakilan digantikan dengan demokrasi partisipatoris, demokrasi pekerja.

Dengan perspektif Histomat (Historical-Materialism) ini, saya setuju: bukan rakyat yang butuh pemerintah/negara, tapi pemerintah/negara yang butuh rakyat. Tapi “butuh”-nya sangat ironis: butuh sokongan rakyat yang justru menjadi obyek penghisapan klas yang berkuasa. Tapi perspektif ini juga menggarisbawahi hal yang jauh lebih penting: rakyat-pekerja harus berjuang untuk membangun alternatif bagi pemerintah/negara! Dan bagi orang-orang Kristen: bagaimana visi Yesus dari Nazaret tentang Pemerintahan Allah kena-mengena dengan alternatif ini? *** (Rudolfus Antonius)