Senin, 18 Oktober 2010

Tolak Pengangkatan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional!

Tolak Pengangkatan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional!
Oleh: Rudolfus Antonius

Kepala Sub Direktorat Kepahlawanan Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Kementrian Sosial, Hartono Laras, menyebut nama Soeharto disamping 19 calon pahlawan nasional lainnya, seperti mantan Presiden Abdulrahman Wahid dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Menteri sosial Salim Jufri Al Segaf menyatakan bahwa seluruh nama-nama itu merupakan hasil seleksi yang cukup panjang. Nantinya, ke-19 nama hasil seleksi tersebut akan diserahkan kepada Presiden, untuk selanjutnya ditetapkan dan diumumkan pada saat hari pahlawan. Tim seleksi yang terdiri dari 13 orang, adalah gabungan dari unsur sejarahwan, kearsipan, dan sejarah TNI yang ditetapkan oleh Mensos. Keseluruhan calon ini dinilai kiprah perjuangannya untuk bangsa dan negara, selain syarat-syarat normatif seperti warga negara Indonesia (WNI), berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa.


Demikian kata berita.

Terenyuh rasanya hati ini menyimak berita ini. Soeharto, diktator yang selama lebih dari 30 tahun mengangkangi Indonesia, akan diangkat menjadi pahlawan nasional. Entah di mana akal sehat dan nurani para birokrat negeri ini. Tapi barangkali kita tidak perlu terlalu heran. Sebab bukankah wajar bila para penjahat mengagung-agungkan pimpinan mereka (yang telah mengajari mereka kejahatan dan menciptrati mereka "rezeki" yang tak halal) dan memuja-mujanya sebagai pahlawan (sembari lebih taktis dalam mengikuti jejaknya)? Kriteria atau syarat-syarat, bahkan yang normatif, bisa dibuat. Misalnya, "warga negara Indonesia (WNI), berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa." Bila yang dicalonkan tidak memenuhi kriteria-normatif, toh kriteria bisa disesuaikan, dengan diperluas dan diperdalam cakupan dan maknanya.

Coba simak. Oke, Soeharto warga negara Indonesia. Tapi benarkah ia "berjasa terhadap bangsa dan negara"? Orang bisa menunjuk Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Soeharto sendiri mengklaim bahwa ia adalah inisiator SO. Tapi kita toh tahu, inisiator sesungguhnya adalah Sri Sultan HB IX. Soeharto hanya pelaksana. Itu pun bukan dia yang mati-matian bertempur. Simak kesaksian almarhum Kol Latief. Sebagai anak buah Soeharto, ia (waktu itu kapten) dan kawan-kawannya mati-matian berusaha menahan serangan balasan Belanda, dan akhirnya terpukul mundur dengan sejumlah korban jiwa. Tatkala menghadap Soeharto, Abdul Latief mendapati sang Letkol Soeharto sedang asyik menikmati soto-ayam. Benarkah Soeharto inisiator SO? Tidak? Benarkah Soeharto bertempur dalam SO? Tidak. Soeharto berjasa? Mitos yang sengaja diciptakan Soeharto, melalui para sejarawan-sejawaran bayaran a.k.a. para intelektual tetiron, memang menempatkan Soeharto sebagai hero SO yang konon berdampak internasional itu. Tapi barangsiapa mencamkan adagium pascamodern "kekuasaan adalah pengetahuan", tak bisa silap mata, akal, dan nuraninya, oleh sejarah bikinan rezim semi fasistik Soeharto yang bernama Orde Baru.

Mari bicara tentang jasa lain: menyelamatkan Republik Indonesia dan Pancasila dari upaya Partai Komunis Indonesia, yang ingin menjadikan Komunisme sebagai ideologi negara. Ini pun mitos. Tidak ada bukti bahwa PKI selaku partai atau organisasi terlibat apalagi mendalangi Gerakan 30 September. Tidak ada bukti bahwa PKI ingin menggantikan Pancasila dengan Komunisme. Bahkan, enam tahun sebelumnya dalam sidang-sidang Konstituante, PKI gigih mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara vis a vis tuntutan partai-partai Islamis (yang menginginkan Agama Islam sebagai ideologi RI). Terlepas dari ketidaksetujuan saya selaku seorang sosio-demokratik (yang berdiri dalam tradisi Marx-Engels-Luxemburg-Lenin-Trotsky-Gramsci) terhadap revisionisme Aidit dan kawan-kawannya (yang berayun di antara Kebijakan Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis Tiongkok dalam rangka menemukan strategi Komunis yang cocok untuk konteks Indonesia yang masih semi-feodal dan semi-kolonial), tuduhan bahwa PKI mendalangi G30S dan bermaksud menggantikan Pancasila dengan Komunisme, adalah mitos bikinan Soeharto dan Orde Baru-nya. Seharusnya malah Soeharto diseret ke pengadilan karena meski ia sudah mengetahui adanya rencana penculikan terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat (informasi Kol. Latief, tanggal 29 dan tanggal 30 September 1965), ia tidak bertindak apa-apa sampai sesudah penculikan itu terjadi. Bahkan sampai dua kali ia melakukan kebohongan publik (dalam wawancara dengan Der Spiegel dan otobiografinya Soeharto: Pikiran, Perkataan, dan Tindakan Saya) perihal pertemuannya dengan Kol. Latief pada 30 September malam itu. Saya tidak menuduh Soeharto dalang G30S (sehingga formulanya menjadi G30S/Soeharto), tetapi saya berpendapat bahwa Soeharto adalah oportunis yang pandai mengail ikan di air keruh. Sungguh "berjasa terhadap bangsa dan negara."

Jasa lain? O, pembangunan nasional, bahkan sampai sekian banyak Pelita. Berjuluk "Bapak Pembangunan" dia. Tapi bukankah "Pembangunan" itu dibeayai utang luar negeri (yang sebagian dikorupsinya bersama keluarga dan kanca-kancanya) dengan memberikan kekayaan negeri ini menjadi "hadiah terbesar" bagi kaum imperialis? UU Penanaman Modal Asing 1967 terbit setelah para mafia Berkeley bertatap muka dengan kaum imperialis Barat dan Jepang untuk mengkapling-kapling potongan sorga yang bernama Nusantara di antara perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sungguh besar "jasa Soeharto", yang membelokkan cita-cita sosialistik sang penggali Pancasila menjadi pembangunan kapitalis dengan menyerahkan Indonesia ke dalam cengkeraman imperialisme.

Bagaimana dengan "kelakuan baik"? Kita yang berakal sehat dan bernurani, tentu bisa menjawabnya sendiri. Kelakuan baik Soeharto adalah senyumnya, sehingga ia berjuluk the Smiling General. Tapi di balik senyumnya, bersemayamlah kekejaman tiada tara. Vengeance by Smile, kata Majalah Time. Tengoklah berapa banyak orang Komunis, nasionalis-Kiri, atau sekadar kaum buruh, tani, dan wong cilik lainnya sebagai tumbal bertakhtanya Soeharto dan berdirinya rezim semi-fasistik Orde Baru. Tengoklah lebih dari 10 ribu orang yang di-tapol-kan (1969-1979), semberi mengingat betapa menjijikkannya perilaku opsir-opsir AD yang "Pancasialis" terhadap para tapol! Nyanyi Sunyi Seorang Bisu-nya Pak Pram, Diburu di Buru-nya Pak Hersri Setiawan, dan sekian banyak kesaksian yang lain terlaku sukar untuk diabaikan sehingga kita merasa boleh menyangkal bahwa Soeharto dan Orde Baru berlumuran darah sejak semula.

Ingat pula ini: Pembunuhan misterius ("Petrus") tahun 1980-an, kasus Tanjung Priok, Talangsari Lampung, kasus 27 Juli 1996, Penculikan aktivis 1997-1998, dan pelanggaran HAM 1998. Belum lagi operasi militer yang terjadi di Aceh, Papua, dan Timor-Leste (yang ketika dijajah RI-nya Soeharto dan Orba menyandang nama "Timor Timur").

Bagaimana perihal "setia dan tidak mengkhianati bangsa"? Tanpa perlu berpanjang kata, jelaslah sudah bahwa Soeharto telah menjual Indonesia kepada imperialisme dan membuat "sebuah bangsa" yang tinggal "di sana, antara benua Asia dan benua Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia" kembali menjadi "een natie van koelies, en een koelie onder de naties". Negerinya dijarah rayah oleh kaum imperialis, bangsanya diperbudak menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa. Sungguh "setia" dan "tidak mengkhianati bangsa" Soeharto ini.

Dan sekarang, komprador, master of creeping coup d'etat, penjagal manusia, dan koruptor ini akan diangkat oleh anak-anak asuhnya menjadi pahlawan nasional. Bila itu terjadi, sejarah akan menghukum bangsa ini.

Sikap Saya

Saya berdiri pada posisi ini: Menolak pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional. Dasarnya jelas: Satu, Soeharto pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat; Dua, Soeharto koruptor besar; Tiga, Soeharto telah menjual negeri dan bangsa Indonesia kepada kaum imperialis; Empat, Soeharto seorang pendusta besar. Dengan demikian, kriteria-normatif pun tidak terpenuhi oleh si jenderal besar ini.

Dalam pada itu, perlulah kita perhatikan beberapa hal. Rezim yang didirikan Soeharto, yakni Orde Baru, adalah rezim komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni. Rezim-rezim pasca-Reformasi (termasuk rezim SBY) sama saja, hanya tampil dengan kedok demokrasi (yang formalistik-prosedural dan sarat dengan korupsi yang makin berbiak). Tidak ada perubahan hakiki. Itu memang sesuai dengan keinginan para blandis alias para reformis-tetiron jelmaan anak-anak asuh Soeharto. Bila sekarang anak-anak asuh atau anak-anak ideologis itu bermaksud mengangkatnya menjadi pahlawan nasional, maka sebenarnya kita berhadapan dengan persoalan yang bukan hanya menyangkut Soeharto, tetapi menyangkut rezim yang ada saat ini. Rezim komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni tidak layak memimpin bangsa ini. Lagi-lagi kita mendapati indikasi bahwa bangsa ini memerlukan revolusi yang sejati: Revolusi demokratik yang segera berkembang menjadi revolusi sosialis. Atau dengan kata lain: Revolusi Permanen!

Tolak pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional!

Tolak rezim komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni!

Revolusi Permanen!

Demi Indonesia yang sosio-demokratik!



Minggu 17 Oktober 2010