Kamis, 04 November 2010

BUKAN BONAPARTISME APALAGI FASISME, TETAPI SOSIALISME!

Oleh: Pandu Jakasurya

Pak Kwik Kian Gie menulis artikel yang sangat menarik-menggelitik di Kompas.com. Judulnya, "Aku Bermimpi Jadi Presiden" (http://m.kompas.com/news/read/data/2010.11.03.08431944). Yang dibidik jelas, orang nomor satu di negeri ini yang dari ke hari semakin kelihatan pandir terbelit imperialisme, feodalisme, dan politik transaksional ("politik dagang-sapi"). Bila SBY mau meluangkan waktu membaca dan merenungkan tulisan Pak Kwik, tentulah besar faedahnya untuk ber-otokritik. Suara atau tulisan Pak Kwik patut didengar. Bukan hanya karena beliau cerdas, tetapi juga seorang yang berkomitmen kebangsaan yang jelas serta berintegritas tinggi.

Dalam pada itu, sebagai seorang sosio-demokratik, saya melihat ada bahaya dalam "impian" Pak Kwik. Saya mempersilakan Kawan-kawan menyimak lebih dulu tulisan Pak Kwik, setelah itu menimbang "kekhawatiran" dan usul saya. Monggo...

Bukan Bonapartisme Apalagi Fasisme, Tetapi Sosialisme!

"Impian" Pak Kwik untuk SBY bila menjadi kenyataan akan menggiring Indonesia ke jalan "bonapartisme populis" dan akhirnya fasisme. Lagi-lagi seorang presiden dengan kekuasaan yang nyaris mutlak. Lagi-lagi dukungan Angkatan Bersenjata. Lagi-lagi back to the original text of UUD 1945 yang cenderung bisa dijadikan apa saja untuk membenarkan penguasa.

Saya sangat menghargai Pak Kwik. Komitmen kebangsaan dan integritas moralnya tak terbantahkan. Namun cara berpikirnya merepresentasikan burjuasi-nasional yang frustrasi dengan kebobrokan klas-nya sendiri. Orang-orang dari burjuasi-nasional yang masih berharap bahwa "demokrasi ala Abang Sam" bisa membereskan negeri ini, tentu sedang berilusi. Istilah-istilah dan konsep-konsep yang mentereng pun digulirkan: "good governance", "accountability", "fit and proper test", "feasibility", "check and balance", "civil society", dsb. Tapi kaum optimists itu lupa, sengaja lupa, atau tidak mengerti bahwa itu semua ada dalam tataran "struktur-atas" dari sebuah masyarakat yang "bangunan-bawah"-nya sudah mengalami revolusi burjuis-demokratik yang tuntas. Inggris, Prancis, Amerika Serikat, disusul negeri-negeri "kapitalis-maju" lainnya. Sedangkan Indonesia? Negeri atau bangsa kita belum pernah mengalami revolusi burjuis-demokratis secara tuntas.

Proyek "revolusi nasional"-nya Bung Karno pada hakikatnya mengarah ke sana, sebagai tahapan awal sebelum tiba pada revolusi sosialis. Tapi konsepsi Menshevik (dan Stalinis) yang secara kreatif diolah oleh BK (dg bekal persatuan Nasakom) gagal total karena dikhianati bangsane dhewek. Apa yang secara riil terjadi, yakni gagalnya proyek-historis revolusi nasional BK, mengafirmasi analisis Trotskyist-Marxism bahwa sebagai klas, burjuasi di negeri-negeri yang terlambat memasuki fase kapitalisme (karena di negeri-negeri kapitalis maju kapitalismenya telah menjelma menjadi imperialisme) tidak akan mampu menuntaskan "revolusi burjuis-demokratik" atau "revolusi nasional." Pasalnya, sebagai sebuah klas, burjuasi terlalu terikat bahkan terbelenggu oleh feodalisme dan imperialisme. BK tentu saja progresif, tapi klasnya tidak. Burjuasi Indonesia pada masa BK terdiri dari burjuasi-nasional (yang menginginkan kemerdekaan bangsa dengan kedaulatan sepenuhnya), burjuasi-komprador (kaki-tangan imperialis), dan kapitalis-birokrat (burjuasi semu berwatak feodal yang menikmati kemewahan ala burjuis melalui mesin-birokratik). Bung Karno gagal total, karena klasnya (burjuasi) pecah, dan segmen klasnya (burjuasi-nasional) dihancurkan oleh segmen-segmen klas lainnya (burjuasi-komprador dan kapitalis-birokrat). Pasca Bung Karno, burjuasi-komprador, kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni mendominasi Indonesia. Burjuasi-nasional lenyap.

Sampai saat ini, lebih dari satu dekade setelah Soeharto lengser, Indonesia nampaknya tidak punya segmen-klas burjuasi-nasional. Yang ada hanyalah pseudo burjuasi-nasional macam Surya Paloh (yang tampilannya sangat nasionalistis namun ya tetap komprador; tentu kita ingat iklan Exxon Mobil yang muncul saban sekian menit di Metro TV), misalnya. Pak Kwik bisalah kita golongkan ke dalam burjuasi-nasional. Tapi sebagai segmen klas yang mempunyai kekuatan signifikan, agaknya kita memang tidak punya lagi burjuasi-nasional. Sebagian terbesar terang-terangan komprador, kapbir, dan kapitalis-kroni. 

Lalu akankah Indonesia mengalami revolusi burjuis-demokratis secara tuntas? Bila diserahkan kepada burjuasi, saya kira tidak akan pernah. Pasalnya jelas, mereka terikat-kuat dalam tali-temali dengan imperialisme dan feodalisme. Impian para forza optimissima jelas-jelas ilusi.

Lantas, apakah “mimpi” Pak Kwik bisa menjadi alternatif? Dari kacamata Marxian jawabnya: ya! Persoalannya adalah alternatif macam mana. Bagi klas burjuasi, menyelamatkan sebuah bangsa yang terkurung dalam paradigma kapitalisme pada hakikatnya menyelamatkan kapitalisme itu sendiri. Ini berangkat dari asumsi bahwa kapitalisme adalah tatanan yang paling baik meski tidak sempurna. Bila dilakukan perbaikan di sana-sini, termasuk putting the right men on the right places, kapitalisme akan memberi faedah yang besar kepada semua lapisan rakyat (kendati prinsipnya tetap sama, trickle down effect). Tapi bagaimana bila “dari kepala sampai ekor” semuanya kudisan, seperti negeri kita tercinta? Usul Pak Kwik: presiden dengan kekuasaan nyaris mutlak, yang didukung Angkatan Bersenjata, dan tegaknya kembali UUD 1945. Jadilah bonapartisme (kendati populis) yang akan bertransformasi menjadi fasisme. Meminjam ungkapan Prof Steuermann (yang sering dikutip Bung Karno), Fasisme adalah upaya terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme.

Lalu bagaimana?

Menurut pendapat saya, sudah terlalu terlambat bagi Indonesia untuk mengalami revolusi burjuis-demokratis. Alasannya jelas: kla burjuasinya terikat kuat pada feodalisme (birokratik) dan imperialisme (sekarang dlm wujud neoliberalisme). Hasil-hasil Reformasi 1998 adalah konsolidasi komprador, kapbir, dan kapitalis kroni. Kecuali demokrasi-konstitusional yang serba prosedural (“teladan” Abang Sam) dan negeri yang babak-bundas habis dijarah-rayah oleh imperialisme neo-liberal dan para komprador-kapbir-kapitalis kroni, Reformasi 1998 tidak berdampak apa-apa. Malahan sekarang negeri ini makin jadi incaran Islam Transnasional, baik yang bergaya Taliban macam HTI maupun yang bergaya Irannya Ahmadinedjad dan Turki-yang-sekarang macam PKS.

Kondisi-kondisi obyektif baik di tataran internasional (krisis ekonomi yang berkepanjangan) maupun di tataran nasional (makin carut-marutnya negeri dalam pemerintahan SBY Jilid II) sudah matang, bahkan mungkin hampir membusuk. Indonesia, selaku matarantai terlemah kapitalisme Asia Tenggara, sebenarnya di ambang revolusi. Tapi revolusi tidak hanya membutuhkan kondisi obyektif untuk meledakkannya. Revolusi juga memerlukan faktor subyektif, yakni kesadaran revolusioner dari klas dan kaum yang paling disengsarakan selama ini. Mereka adalah laki-laki dan perempuan dari klas buruh, kaum tani (peasants, not farmers), dan kaum miskin kota. Mereka perlu menyingkap dan menyingkirkan tabir kesadaran palsu (termasuk yang dibikin oleh agama, tentang takdir, ketaatan kepada pemerintah, dsb), mengorganisir diri, dan bermobilisasi. Tapi kesadaran itu tidak jatuh begitu saja dari langit atau secara otomatis dari kondisi-kondisi obyektif. Kesadaran, organisasi, dan mobilisasi itu baru bisa terjadi bila ada sebuah partai-kader yang memainkan peran sebagai partai-pelopor (vanguard party). Terdiri dari para pejuang yang memiliki kesadaran revolusioner yang paling maju, komitmen preferential option for the poor and the oppressed, dan berdisplin baja, vanguard party harus melancarkan perjuangan kontra-hegemoni, memampukan massa rakyat-pekerja untuk membuang selubung ideologis kesadaran palsu mereka, menginjeksikan kesadaran revolusioner, solidaritas, dan internasionalisme, mengorganisir mereka dalam dewan-dewan rakyat-pekerja, serta memobilisir mereka dalam momentum yang tepat untuk mengakhiri rezim dan tatanan masa kini serta menggantikannya dengan tatanan baru, yang demokratik baik secara politik maupun secara ekonomik.

Partai-kader yang memainkan peran kepeloporan ini harus mempunyai garis-massa. Partai ini harus selalu memiliki kontak dengan massa rakyat-pekerja. Partai ini menjadikan demokrasi-partisipatoris (sebagai kerangka dari demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi) sebagai demokrasinya massa rakyat-pekerja dengan praktik di dalam dewan-dewan rakyat-pekerja. Dalam konteks demokrasi-partisipatoris, partai-pelopor menggunakan sentralisme-demokratik sebagai mekanisme kesatuan gerak-aksi untuk bermobilisasi dan memenangkan revolusi. Tentu, revolusi sosialis, atau revolusi sosio-demokratik, yakni revolusi yang menumbangkan tatanan masa kini yang kapitalistis dan membangun tatanan masa depan yang demokratik secara ekonomik dan politik.

Mimpi Pak Kwik mungkin lahir dari keluhuran budi. Namun bukan bonapartisme yang dibutuhkan Indonesia, bahkan bonapartisme-populis (seperti Bung Karno) sekalipun. Bukan pula fasisme dan ultranasionalisme. Indonesia membutuhkan Sosialisme. Sebab, di penghujung jalan kapitalisme, umat manusia, termasuk bangsa Indonesia akan diperhadapkan pada dua pilihan: Sosialisme atau Barbarisme. Demi umat manusia, dan dengan demikian demi hormat saya kepada Pencipta dan Pembebas Agung, saya memilih: Sosialisme! ***

  
PJS_Nov2010