Selasa, 25 Oktober 2011

Serial “Sosialisme dari Bawah” (8, Selesai)

DELAPAN: SOSIALISME DARI BAWAH

Dalam periode setelah Perang Dunia II, sosialisme revolusioner atau Sosialisme dari Bawah telah mengalami kemunduran di mana-mana. Pada umumnya, yang tampil mengklaim “sosialisme” adalah doktrin-doktrin yang elitis dan otoritarian, yang pada dasarnya sama dengan visi-visi anti-demokratik Sosialisme dari Atas. Memang ada perjuangan-perjuangan pembebasan nasional yang megah, seperti yang terjadi di Tiongkok dan Kuba. Perjuangan-pejuangan itu membebaskan bangsa-bangsa jajahan dari cengkeraman dan penindasan kekuatan-kekuatan utama dunia. Sebagai kemenangan-kemenangan atas imperialisme, gerakan-gerakan ini layak kita dukung. Tapi, seperti halnya Uni Soviet dan rezim-rezim Stalinis lainnya, klaim Tiongkok dan Kuba bahwa mereka “sosialis” telah mencemari citra Sosialisme yang sejati di mana-mana.

Gerakan pembebasan nasional di Tiongkok dipimpin oleh pasukan gerilya yang tidak mempunyai basis di kalangan klas buruh yang terorganisir. Ketika pasukan Mao Tse-tung bergerak memasuki kota-kota utama Tiongkok, kaum buruh diperintahkan untuk tetap bekerja dan mematuhi perintah manajer-manajer mereka. Beberapa pemilik dan manajer digantikan oleh pejabat-pejabat dari pemerintahan yang baru. Klas buruh sama sekali tidak membentuk ulang masyarakat dari bawah. Di Kuba, sekelompok kecil gerilyawan berhasil mengalahkan sebuah rezim yang sangat korup. Lagi, kaum buruh tidak memainkan peran yang serius dalam Revolusi Kuba 1959. Jujur, kita tidak bisa mengatakan bahwa Revolusi Tiongkok dan Revolusi Kuba merepresentasikan gerakan klas buruh dalam membebaskan dirinya sendiri.

Apalagi, baik di Tiongkok maupun di Kuba, rezim-rezim yang baru memodel diri mereka seturut dengan struktur negara totalitarian Rusia. Sebuah negara dengan satu partai diciptakan. Partai-partai oposisi – termasuk partai-partai buruh – dilarang. Serikat-serikat buruh ada di bawah kontrol ketat negara. Sensor ketat terhadap media juga diberlakukan. Para pengeritik dari Sayap Kiri dijebloskan ke dalam penjara. Semua industri dan keuangan diletakkan pada tangan negara. Tidak ada organ kontrol-sosial demokratik yang diperbolehkan. Fakta bahwa diktatur-diktatur kapitalis-negara ini menampilkan diri mereka sebagai “sosialis” merupakan pencemaran terhadap gerakan yang paling demokratik dan revolusioner yang pernah ada.

Syukurlah, kaum buruh segera menyadari kebohongan dan kepura-puraan rezim-rezim Stalinis itu. Dimulai di Jerman Timur pada 1953, yang berlanjut dengan Hungaria dan Polandia pada 1956, Tiongkok pada 1967, Czechoslovakia pada 1968 dan Polandia lagi pada 1970, 1976, dan 1980, hantu kekuatan buruh kembali menghantui Roh Stalin. Lebih-lebih, pembangkangan-pembangkangan kaum muda semakin tiba pada kesadaran tentang natur sejati dari rezim-rezim kapitalis-negara yang di dalamnya mereka hidup – dan mengafirmasi Sosialisme dari Bawah.

Pendekatan itu disajikan dengan sangat jelas dalam surat terbuka kepada Partai Komunis Polandia yang ditulis pada tahun 1964 oleh dua pemberontak muda, Jacek Kuron dan Karol Modzelewski. Kuron dan Modzelewski memberikan argumen yang meyakinkan bahwa klas buruh Polandia dieksploitasi oleh “birokrasi politik sentral” yang mengontrol perekonomian seturut dengan kepentingan persaingan negara:

... semua alat produksi dan pemeliharaan telah menjadi atau disentralkan sebagai ‘kapital nasional.’ Kekuatan material birokrasi, cakupan otoritasnya atas produksi, posisi internasionalnya (yang sangat penting bagi suatu klas yang diorganisir sebagai suatu kelompok yang mengidentifikasikan diirnya dengan negara) semuanya ini bergantung pada ukuran kapital nasional.

Konsekuensinya, birokrasi ingin meningkatkan kapital, untuk memperbesar apparatus produksi, untuk berakumulasi. Kuron dan Modzelewski tahu bahwa, bila posisi ini harus diubah dan sosialisme sejati diciptakan, kesimpulannya tak terelakkan:

Revolusi yang akan menggulingkan sistem birokratik akan merupakan sebuah revolusi proletarian.
Jadi, di Eropa Timur, aksi klas buruh telah mengekspos kebohongan-kebohongan dan kemunafikan-kemunafikan negara-negara “sosialis”. Pada saat yang sama, kapitalisme Barat telah mengekspos wajahnya yang keras, militeristis, dan tidak berperikemanusiaan. Kegilaan militer telah muncul kembali dalam skala yang mengerikan. Sekarang dunia membelanjakan $1.3 juta per menit demi alat-alat pemusnah kehidupan manusia. Amerika Serikat membangun persenjataan terbesar di masa damai di sepanjang sejarah. Rusia juga dengan gila-gilaan berusaha menyainginya. Dengan perlombaan senjata yang semakin memanas, ancaman perang, yakni perang nuklir global – membayang-bayangi umat manusia.

Pada saat yang sama, sistem kapitalis dunia tergelincir lagi ke dalam depresi. Di negeri-negeri kapitalis utama, krisis ekonomik ini berarti pengangguran yang masif, khususnya bagi kaum muda; ini berarti suatu kehidupan dalam kemelaratan dan keputusasaan bagi jutaan orang. Pada bangsa-bangsa yang berkembang dan terbelakang, krisis berarti kematian – dalam skala yang mengerikan. Menurut Bank Dunia, sekitar 800 juta orang sekarang ini hidup dalamkeadaan “kemiskinan absolut”. Setiap hari kelaparan dan penyakit-penyakit yang terkait dengannya membunuh 41 ribu orang. Itu berarti 28 orang korban kelaparan setiap menit – duapertiga di antara mereka adalah kanak-kanak – sementara lebih dari sejuta dollar per menit dibelanjakan untuk persenjataan.

Sebenarnya ini tidak harus terjadi. Sarana untuk melenyapkan kelaparan dan kemelaratan untuk selama-lamanya sudah ada. Kekayaan yang diabdikan setiap tahun untuk memproduksi senjata pemusnah dapat dengan mudah menyelesaikan masalah produksi pangan. Persoalannya tidak bersifat material, tapi berwatak sosial; ini adalah suatu akibat dari prioritas-prioritas barbar dari sebuah sistem yang dibangun di atas persaingan ekonomik dan militer.

Hal yang sama terjadi pada sekian banyak masalah lainnya yang mengancam kehidupan, yang mendistorsi dan merusakkan keberadaan manusia. Apakah ini timbulnya tanda-tanda bahaya dalam kecelakaan-kecelakaan industri dan wabah penyakit, meluasnya tenaga nuklir dengan cara yang mengerikan, atau penghancuran yang nyaris katastrofik yang sedang melanda lingkungan hidup kita, sebab-musabanya – yakni pengorganisasian kapitalis atas masyarakat dunia – tetap sama.

Solusinya juga tetap sama. Restrukturisasi masyarakat secara sosialis dan demokratik tetap, sebagaimana pada masa Marx, merupakan tugas yang paling mendesak yang mengkonfrontir umat manusia. Dan penataan ulang masyarakat hanya dapat mengambil tempat di atas dasar prinsip-prinsip Sosialisme dari Bawah. Sekarang, lebih daripada yang sudah-sudah, pembebasan umat manusia bergantung pada emansipasi-diri klas buruh dunia. Dan transisi menuju sebuah masyarakat baru yang bebas dan berkelimpahan bergantung pada konstruksi atau pembangunan sebuah federasi negara-negara buruh, yang masing-masing berdasakan prinsip-prinsip demokrasi buruh.

Tugas vital yang mengkonfrontir semua orang yang menginginkan penciptaan masyarakat baru tersebut adalah mengibarkan panji Sosialisme dari Bawah, untuk mendirikan sekali lagi dalam kesadaran populer hubungan yang tak terpisahkan antara Sosialisme dan demokrasi. Tantangannya adalah memulihkan Sosialisme kepada esensi demokratiknya, keprihatian atau kepedulian belarasanya dengan kebebasan umat manusia.

Dan Sosialisme yang dengannya kita menghadapi pertempuran-pertempuran masa depan tidak boleh hanya membangun di atas perjuangan-perjuangan heroik masa lalu. Ia juga harus menggabungkan prakarsa-prakarsa yang segar dari perjuangan kontemporer untuk mematahkan rantai-rantai penindasan.

  • Emansipasi Sosialis di dunia modern harus juga merupakan pembebasan perempuan. Ia harus memeluk perjuangan kaum perempuan untuk membebaskan diri mereka dari keberadaan sebagai klas kedua, dari ikatan-ikatan yang membelenggu mereka pada pekerjaan rumah tangga yang membosankan dan tiada akhirnya, dari gambaran-gambaran dan ideologi yang berusaha mereduksi mereka menjadi obyek-obyek seks yang tak punya pikiran.
  • Emansipasi Sosialis harus juga merupakan pembebasan kaum kulit hitam. Ia harus secara sentral melibatkan pertempuran-pertempuran kaum kulit hitam melawan diskriminasi dan ketidakadilan yang terlembaga, melawan pelecehan rasial dan keberadaan ghetto.
  • Emansipasi Sosialis harus juga merupakan pembebasan kaum gay. Ia harus meliputi perjuangan-perjuangan kaum gay laki-laki dan perempuan untuk menjalani hidup mereka yang bebas untuk mencintai siapa saja yang mereka pilih, bebas dari ketakutan akan mengalami siksaan dan viktimisasi.
Sekali lagi ada tanda-tanda bahwa klas buruh internasional sedang meregangkan otot-ototnya dan membuat kekuatannya dapat dirasakan. Mungkin dalam skala kecil. Tapi entah itu berupa pemogokan umum melawan militer di Chile, pemogokan buruh tambang di Afrika Selatan dan Inggris, atau uji kekuatan kaum buruh di Amerika Utara dan Australia, kaum buruh sedunia kembali sedang bergerak menuju pusat pentas sejarah dunia. Dalam dekade yang sedang dilanda krisis ini, kita diperhadapkan lagi pada pilihan yang dilontarkan lebih dari 80 tahun yang lalu oleh Rosa Luxemburg: Sosialisme atau barbarisme.

Kali terakhir umat manusia memasuki suatu periode krisis yang serupa, selama tahun-tahun 1930-an, hasilnya adalah fasisme di Eropa dan penderitaan tak terukur dan barbarisme dari sebuah perang dunia yang menyaksikan ledakan bom nuklir pertama. Tapi masih ada sebuah alternatif. Demokrasi buruh, akhir bagi kemiskinan dan penindasan – inilah prospek-prospek yang terus coba diperjuangkan menuju sosialisme internasional.

Visi itu, impian akan sebuah dunia baru kebebasan yang lebih adil lebih dari sekadar impian kosong di siang bolong. Sebagaimana ditulis William Morris seabad yang lalu:

[Perjuangan-perjuangan] kita bukan mimpi. Laki-laki dan perempuan telah mati untuknya, bukan di zaman kuna, tapi di waktu kita; mereka berbaring di penjara karena itu, bekerja di pertambangan, dibuang, dihancurkan karenanya; percayalah kepadaku ketika hal-hal itu; menderita karena mimpi-mimpi, mimpi-mimpi yang pada akhirnya menjadi kenyataan.
Kita adalah kaum sosialis internasional, dan, terhubung dengan kelompok-kelompok sosialis revolusioner di bagian-bagian lainnya di dunia, kita berdedikasi mewujudkan impian itu untuk menjadi kenyataan, untuk merealisasikan prinsip-prinsip “Sosialisme dari Bawah”. Kita masih kecil. Tapi visi kita besar. Kita memiliki kesempatan membangun sebuah gerakan yang dapat mengubah dunia. Apakah Anda tidak akan bergabung dengan kami? Dalam semuanya itu, kami memiliki dunia untuk dimenangkan. ***

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm

Rabu, 22 Juni 2011

RUYATI: KORBAN DUA REZIM

Oleh: Pandu Jakasurya





Wanita paruh baya itu bernama Ruyati. Ia adalah salah seorang perempuan Indonesia yang menjadi buruh migran di Saudi Arabia. Sabtu, 18 Juni 2011 yang lalu ia dihukum pancung. Ia dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh majikannya, seorang warga Saudi, Khairiya Hamid binti Mijlid. Perihal kekerasan fisik dan mental yang dialami Ruyati dari majikannya, yang melatarbelakangi pembunuhan yang dilakukannya, tidak diperhitungkan. Nyawa ganti nyawa. Qishash.

Ketika berita tentang pemancungan terhadap Ruyati merebak di media massa, reaksi yang timbul berkisar pada kecaman dan pembelaan diri. Di satu sisi kecaman keras datang dari masyarakat, termasuk LSM Migrant Care, para moralis intelektual, dan tokoh-tokoh oposisi. Tak ketinggalan salah satu media yang menjadi corong sebuah ormas burjuis terkemuka di negeri ini. Pemerintah dinilai abai atau lamban bertindak, dan harus bertanggungjawab. Keluarga almarhumah juga menuntut Presiden SBY bertanggungjawab, termasuk memulangkan jenazah Ruyati. Muncul pula seruan-seruan untuk menarik seluruh TKW dari Saudi Arabia dan menghentikan pengiriman TKW ke negeri itu.

Di sisi lain pembelaan datang dari jajaran pemerintah, dari Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Juru Bicara Kemenakertrans Suhartono Sail, dan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat. Isi pembelaan mereka beragam. Kemenakertrans menampik disebut kecolongan, sedangkan Kepala BNP2TKI merasa kecolongan. Patrialis sesumbar negosiasi pihaknya dengan pemerintah Saudi berhasil, hanya saja hasil akhir ditentukan oleh keluarga alm. Khairiya, yang menolak memaafkan Ruyati. Sementara itu Marty Natalegawa mengeluhkan pihak Saudi yang sering tidak ngomong-ngomong kalau ingin mengeksekusi warganegara orang lain… Lantas pemerintah RI menyatakan akan mengirimkan nota protes terhadap Saudi Arabia…

Bagaimana kita selaku kaum sosio-demokratik revolusioner menyikapinya?

Pemancungan terhadap Ruyati telah menambah panjang deretan para buruh migran Indonesia yang menjadi korban di mancanegara, khususnya di Timur Tengah. Gaji yang tidak dibayar, pemerkosaan, penyiksaan, bahkan pembunuhan sudah terlalu sering terjadi melanda kaum buruh perempuan migran kita. Para pelaku yang notabene majikan atau keluarga majikan bisa melenggang tanpa hukuman. Pasalnya, pengadilan Saudi siap memvonis mati dan mengeksekusi kaum buruh perempuan yang bangkit berlawan untuk mempertahankan harkat-martabat bahkan nyawanya dari rudapaksa dan kebiadaban para tuan/nyonya majikan, tapi menutup mata dan telinga terhadap kekejian para tuan/nyonya penindas yang notabene warganegara mereka sendiri. Pada saat yang sama, pemerintah Republik Indonesia nampak tidak peduli (kecuali sesudah kecaman masyarakat merebak di mana-mana) terhadap kaum buruh migran perempuannya, pula tidak pernah serius mencari upaya untuk mengakhiri kekejian tersebut. Mengapa?

Saudi Arabia adalah sebuah negeri yang dikendalikan oleh rezim diktator monarkis yang berkelit-kelindan dengan suatu bangunan keagamaan dalam bentuknya yang fundamentalistik dan paling reaksioner. Rezim dan bangunan keagamaan yang lazim dikenal sebagai Wahabi itu hidup dalam simbiosis mutualisme. Wahabi memberikan legitimasi dan justifikasi teologis bagi kekuasaan rezim, sedangkan rezim membuat Wahabi menjadi ortodoksi resmi dan menopang perkembangannya. Dalam kenyataannya, rezim diktator monarkis menggunakan bangunan agama (lengkap dengan perangkat hukumnya) baik sebagai mesin pengontrol yang bersifat totalitarian terhadap rakyat, maupun sebagai instrumen kekuasaan hegemonik yang memastikan cara berpikir dan nilai-nilai apa yang harus tertanam di dalam kesadaran mereka.

Dengan penalaran ini kita dapat mencandra bahwa perlakuan keji yang dialami Ruyati, Darsem, Sumiyati, dan sekian banyak buruh migran perempuan kita lainnya ada di dalam matriks ekonomi-politik sebagai basis dan religio-politik sebagai bangunan atasnya. Kekuasaan ekonomi politik Keluarga Saud memerlukan Wahabi untuk melegitimasi dan menjustifikasi kekuasaannya, memaksakan ketaatan mutlak rakyat kepadanya, dan membentuk nilai-nilai mereka. Dalam konteks ini, para buruh migran perempuan Indonesia (dan yang berasal dari negeri-negeri lainnya) adalah korban dari suatu sistem ekonomi-politik dan religio-politik rezim diktator monarkis Saudi Arabia. Betapa tidak! Dengan menutup mata terhadap kekejaman para majikan yang notabene warganegara Saudi di satu sisi dan bertindak keras terhadap para buruh migran perempuan yang melakukan perlawanan di sisi lain, rezim setidaknya melakukan dua hal. Pertama, rezim melestarikan cara pandang tertentu terhadap para buruh migran perempuan (bahwa mereka tidak lebih dari para budak yang boleh diperlakukan semaunya dan tidak boleh melakukan perlawanan terhadap tuan/nyonya majikan mereka); dan kedua, rezim menjamin loyalitas rakyat terutama kaum tuan/nyonya majikan kepada dirinya.

Bagaimana dengan pemerintah Republik Indonesia? Kita semua sudah mafhum bahwa rezim SBY adalah sebuah rezim “demokratis” yang sangat korup, suka berbohong, dan kapitalis yang berwatak komprador. Bagi rezim ini, pengiriman buruh migran perempuan (dalam jumlah besar!) adalah jalan keluar dari keharusan menciptakan lapangan kerja sekaligus cara mudah untuk meraup keuntungan. Bertali-temali dengan perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja, rezim mengeksploitasi para buruh migran perempuan dengan mengambil dari hasil jerih payah yang mereka dapatkan dengan merisikokan harkat dan martabat bahkan nyawa mereka sendiri. Pada saat yang sama, rezim burjuis kleptokratik ini tidak tahu berterimakasih terhadap para “pahlawan devisa”. Rezim abai terhadap pemenuhan hak-hak para buruh migran perempuan. Rezim juga tampil tidak bermartabat di hadapan negara yang telah melakukan pencideraan terhadap para pahlawan devisanya. Sulit untuk menghindar dari kesan bahwa rezim tidak memandang kaum buruh migran perempuan sebagai komoditas semata. Ditilik dari Mukadimah UUD 1945, yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap rakyat Indonesia, rezim pendusta ini gagal total. Alih-alih, rezim ini seakan malah mengukuhkan tesis sosio-demokratik revolusioner bahwa negara ada bukan untuk kepentingan seluruh rakyat, tetapi untuk kepentingan klas yang berkuasa. Buktinya, setelah sesumbar pada Sidang ILO di Jenewa tentang kemajuan Indonesia dalam perlindungan terhadap buruh, SBY dan rezimnya malah menuai ironi yang memuakkan dengan menelan penghinaan untuk kesekian kalinya dari sebuah negara yang berhasil mengawinkan politik dan bangunan keagamaan yang sama-sama ultra-reaksioner – di atas jenazah buruh migran perempuan, Ruyati.

Lalu bagaimana?

Masalahnya terletak pada watak klas penguasa di masing-masing negara. Baik Saudi Arabia maupun Republik Indonesia sama-sama memandang rendah kaum buruh migran perempuan Indonesia. Yang satu memperlakukannya sebagai budak demi melestarikan kekuasaan otokratiknya, dan yang satu memperlakukannya sebagai komoditas yang nilai jualnya dapat mengisi pundi-pundi devisa negara. Yang satu jumawa, sedangkan yang lain tidak merasa memiliki harkat dan martabat. Tapi jelas, betapapun beda, keduanya adalah rezim-rezim yang hidup berdasarkan penindasan dan penghisapan.

Menghadapi kedua rezim penindas ini, tentu tidak salah bila kaum sosio-demokratik revolusioner terjun bersama-sama dengan masyarakat yang masih berhatinurani mengecam keras rezim “demokratis” kleptokratik, pembohong, dan kapitalis komprador SBY serta mengutuk rezim diktator monarkis Saudi Arabia. Tidak salah pula bila kita menuntut keadilan bagi alm. Ruyati dan kaum buruh migran perempuan lainnya yang telah menjadi korban, dan menggalang dukungan bagi Darsem dan kaum buruh migran perempuan lainnya yang saat ini terancam nyawa dan kehormatannya. Kaum sosio-demokratik revolusioner jelas berada di pihak kaum buruh migran perempuan. Kaum sosio-demokratik revolusioner tidak bisa menerima pencideraan terhadap klas buruh, yang tak lain merupakan klas pencipta riil kekayaan masyarakat.

Tapi, justru karena keberpihakan dan komitmennya kepada klas buruh termasuk kaum buruh migran perempuan Indonesia, kaum sosio-demokratik revolusioner harus melangkah lebih jauh. Kerja-kerja menggugah kesadaran kritis (agitasi dan edukasi) klas buruh dan mengorganisirnya menjadi kekuatan sejati yang membuat klas buruh bergerak sebagai subyek sejarah untuk membebaskan dirinya sendiri melalui revolusi sosio-demokratik (Marx: “class for itself”) semakin mendesak untuk diperdalam dan diperluas. Tragedi Ruyati dan kaum buruh migran perempuan Indonesia lainnya memanggil kita, kaum sosio-demokratik revolusioner, untuk bekerja lebih giat lagi. Ya! Mengerjakan agitasi, edukasi, dan organisasi lebih militan lagi.

Rezim “demokratis” pencuri, pembohong, dan komprador, menurut wataknya, tidak mungkin bisa “diperbaharui”. Demikian pula rezim diktator monarkis. Jatah yang tepat untuk mereka adalah revolusi, bukan reformasi. Seperti dikatakan Kautsky, revolusi akan menggulingkan klas penguasa dan menggantikannya dengan klas yang semula tertindas, sedangkan reformasi sekadar mengadakan perubahan sana-sani sementara klas penguasa yang sama tetap bercokol. Ya, bercokol untuk terus melanjutkan penindasan dan penghisapan terhadap massa-rakyat! Sementara badai krisis-krisis dalam kapitalisme cepat atau lambat akan melanda rezim-rezim ini, kita siapkah faktor subyektif yang mahadahsyat menurut prinsip sosio-demokratik revolusioner: self-emancipation of the workers!


Hidup Ruyati!
Hidup kaum buruh migran perempuan Indonesia!
Kaum buruh sedunia, bersatulah!


21-22 Juni 2011





















Kamis, 03 Februari 2011

REVOLUSI DI TANAH ARAB

REVOLUSI DI TANAH ARAB
Sebuah Tinjauan Awal
Oleh: Pandu Jakasurya

Revolusi melanda Dunia Arab! Itulah yang memenuhi hati dan pikiran saya hari-hari ini. Api telah menyala. Kobarannya dimulai di Tunisia, dan terus menjalar ke Negara-negara Arab lainnya. Massa-rakyat, ya, kaum tertindas, telah bangkit. Mereka telah menggulingkan diktator Tunisia, Zine el Abidine Ben Ali. Mesir pun bergejolak. Massa-rakyat menuntut Hosni Mubarak turun, sementara sang diktator bersikukuh untuk bertahan dan menjawab tuntutan itu dengan represi. Massa-rakyat juga telah bangkit di Aljazair, Maroko, Mauritania, Yaman, Libya, Yordania, Syria, bahkan Saudi Arabia ....

Kita mafhum, Negara-negara Arab pada umumnya dikuasai oleh rezim komprador dengan kepemimpinan otokratik, korup, dan represif.

Komprador, karena rezim memposisikan diri sebagai “sahabat” (baca: “pelayan yang baik”) bagi kaum imperialis dengan kepentingan ekonomi-politiknya. Rezim-rezim komprador di Dunia Arab meliberalisasi perekenomian mereka sesuai dengan tata-ekonomi Neoliberal yang berkendaraan lembaga-lembaga keuangan internasional macam IMF dan Bank Dunia serta lembaga perdagangan dunia WTO. Dengan ramah mereka “membuka diri” terhadap tata-ekonomi Neoliberal, melakukan “market reforms” sebagaimana didiktekan oleh lembaga-lembaga tersebut. Dalam kasus Tunisia, perekonomiannya bergantung hampir 80% dari pemasukan dan investasi dari negeri-negeri dan perusahaan-perusahaan Uni Eropa. Faktnya, Tunisia adalah “sahabat” Prancis. Hasilnya “menakjubkan.” Sementara segelintir orang, yakni mereka yang terhisab dalam klas-penguasa (burjuasi, termasuk para kapitalis-kroni), menikmati kekayaan berlimpah-limpah, massa-rakyat mendapatkan “jatah” berupa kemiskinan yang parah, harga-harga barang kebutuhan pokok yang mencekik leher, dan tingkat pengangguran yang sangat tinggi. Di kota Sidi Bouzid, Tunisia, misalnya (tempat Mohamed Bouazizi membakar diri setelah dagangannya diobrak-abrik petugas dan dirinya dianiaya aparat ketika hendak menyampaikan aspirasinya kepada gubernur), 44 % lulusan perguruan tinggi tidak mempunyai pekerjaan (Bouazizi, juga lulusan perguruan tinggi, yang berniat mencari nafkah dengan membua kios kecil sayur-mayur dan buah-buahan malah diperlakukan semena-mena).

Kepemimpinan yang otokratik, karena rezim dipimpin oleh seorang diktator dengan legitimasi pseudo-konstitusional dengan kosmetik pemilu-pemilu yang sarat rekayasa. Ben Ali berkuasa selama 23 tahun, Mubarak, lebih dari 30 tahun. Sementara raja-raja Saudi Arabia, tentu saja, memerintah seumur hidup. Korup, karena kepemimpinan otokratik dan birokrasinya dijangkiti korupsi akut. Dalam kasus Tunisia, keluarga “Trabelsi”-nya Ben Ali mengeduk keuntungan besar dengan menguasai pemerintahan, institusi-institusi Negara, dan perekonomian. Belum lagi para birokratnya. Represif, karena kepemimpinan otokratik tidak mentolerir suara kritis apalagi oposisi. Sebagaimana dikemukakan Al Jazeera, kebanyakan masyarakat Arab dicirikan oleh kemiskinan, pengangguran, dan represi politik. Sedangkan menurut pakar ekonomi Samir Yousif, Saudi Arabia dikuasai oleh “sebuah rezim otoriter yang didasarkan pada ideologi agamawi dengan distribusi pendapatan yang paling buruk di dalam sejarah.” Kata Yousif, para pemimpin agama yang berpengaruh adalah pegawai-pegawai Negara. Kemiskinan, lanjutnya, meluas, dan gerakan-gerakan reforma politik dengan ketat dilarang.

Untuk beberapa tahun atau dekade lamanya, rezim-rezim komprador yang otokratik, korup, dan represif bisa bertahan. Piranti-piranti kekerasan (hukum dan perundang-undangan, lembaga peradilan, kepolisian, tentara, penjara, bahkan gang-gang dari lumpenproletariat) dan pembangun kesadaran palsu (ideologi nasionalisme, “hasil-hasil pembangunan”, juga legitimasi teologis dari ajaran-ajaran agama) adalah alat-alat dari klas yang berkuasa untuk melestarikannya. Massa-rakyat takut berhadapan dengan kekerasan rezim, dan pada saat yang sama mengakui keabsahan rezim dengan segala sesuatu yang diperbuatnya. Mereka pun tunduk kepada rezim.

Tetapi dialektika mengajarkan kepada kita “kesatuan dari hal-hal yang bertentangan.” Dalam sikap tunduk massa rakyat terhadap rezim, terdapat pula rasa tidak puas, kemarahan, bahkan kebencian terhadapnya. Selama bertahun-tahun atau berdekade-dekade, kedua hal yang saling bertentangan itu berakumulasi. Sementara itu krisis-krisis yang secara inheren menjangkiti kapitalisme (tidak terkecuali bahkan apalagi kapitalisme-kroni dan Neoliberalisme!) selalu terjadi dari waktu ke waktu. Krisis keuangan 2008 yang melanda Eropa, misalnya, tidak bisa tidak turut memukul Tunisia, karena sebagian terbesar perekonomiannya bergantung pada Uni Eropa. Krisis ini, yang termanifestasi sebagai tingginya angka pengangguran, semakin meluas dan parahnya kemiskinan, serta meroketnya harga-harga barang kebutuhan pokok, membuat “kesetimbangan” sikap tunduk di satu sisi dan ketidakpuasan di sisi lain bergeser. Rasa tidak puas menjadi lebih kuat daripada sikap tunduk. Dalam keadaan demikian, kehadiran suatu pemicu akan mengubah akumulasi ketidakpuasan, kekecewaan, dan kebencian massa-rakyat menjadi perlawanan. Peralihan kualitatif, yakni kuantitas menjadi kualitas tak terelakkan lagi. Dalam konteks Tunisia dan Dunia Arab, “kemartiran” Mohamed Bouazizi adalah pemicu perlawanan massa-rakyat. Sikap tunduk teratasi, ketidakpuasan, kekecewaan, dan kebencian kepada rezim bertransformasi menjadi perlawanan hidup dan mati terhadap Ben Ali dan rezimnya. Dengan kata lain, revolusi sosial.

Demikianlah, pada 14 Januari 2011 diktator Tunisia Zine el Abidine Ben Ali terguling dari tampuk kekuasaannya. Tapi tergulingnya Ben Ali (yang kemudian lari dan diterima oleh pemerintah Saudi Arabia, setelah “sahabat”-nya presiden Prancis Sarkozy menolak kedatangannya) tidak berarti berakhirnya rezim yang sekian lama telah menyengsarakan rakyat. Pemimpin otokratik-korup-dan-represif itu sudah pergi, tapi rezim komprador yang birokratik-korup-dan-represif masih berdiri utuh. Rezim bisa memilih pemimpin baru sembari melakukan “reformasi” (tambal-sulam) di mana perlu, yang pada galibnya merupakan trik-manipulatif atau upaya membajak aspirasi revolusioner massa-rakyat untuk mempertahankan kekuasaan klas alih-alih menyerahkan kekuasaan kepada massa-rakyat. Trik-manipulatif itu dilakukan misalnya dengan membubarkan kabinet yang sekarang dan membentuk kabinet baru dengan menaruh orang-orang yang diperhitungkan dapat bekerjasama demi kemaslahatan rezim (termasuk guna menarik dukungan dari “sahabat” imperialisnya).

Dalam kasus Mesir, Mubarak membentuk kabinet baru dengan menempatkan Racheed Mohamad Racheed sebagai perdana menteri. Perlu diketahui, Racheed adalah seorang milyuner dan eks menteri investasi, perdagangan, dan industry. Orang ini teridentifikasi dengan reformasi-reformasi Neoliberal yang telah menyusahkan rakyat dengan meroketnya harga-harga hingga mencekik leher, pengangguran, dan kemiskinan yang parah. Mubarak juga mengangkat Omar Suleiman menjadi wakil-presiden (sesuatu yang janggal karena selama ini Mubarak tidak ber-wapres). Mubarak mengabdi kepadanya selama 18 tahun sebagai kepala badan intelijen Negara, yang berlumuran darah massa-rakyat Mesir – namun disukai Amerika dan CIA karena keterlibatannya dalam proses “perdamaian” Israel-Palestina.

Atau, bisa juga dengan membentuk provisional government (pemerintahan sementara) dan mengumumkan penyelenggaraan pemilu dalam waktu dekat – sementara pada saat yang sama memberlakukan jam malam, meneruskan tindakan represif terhadap massa-rakyat, bahkan mengerahkan gang-gang lumpenproletariat untuk melakukan berbagai aksi-kriminal guna menimbulkan kesan di hati massa-rakyat bahwa rezim komprador yang birokratik, korup, dan represif itu masih sangat dibutuhkan. Di Tunisia, Mohammad Al-Ghannoushi, eks perdana menterinya Ben Ali, menduduki kursi kepresidenan, membubarkan kabinet yang lama, dan membentuk kabinet baru dengan mengikutsertakan sejumlah menteri dari kabinet yang lama – dan para reformis blandis...

Tapi, di Tunisia, massa-rakyat konsisten menolak provisional government yang diawaki oleh eks kaki-tangan Ben Ali. Tentu, Ghannousi dan konco-konconya. Karena itu, sementara provisional government berusaha berkonsolidasi, massa-rakyat mengorganisir komite-komite perjuangan. Perlawanan massa-rakyat terus berlanjut, sementara para blandis (“reformis”) di tataran elit mengambil langkah-langkah yang memadukan persuasi dan represi, serta membajak aspirasi massa-rakyat dengan mengangkat orang-orang yang sama sekali tidak dikehendaki rakyat untuk duduk dalam pemerintahan. Dual power (kekuasaan ganda): di satu sisi kekuasaan massa-rakyat dengan komite-komite perjuangannya, dan di sisi lain pembajakan kekuasaan oleh para blandis burjuis di tataran elit. Tunisia hari ini barangkali mirip dengan Rusia sejak Revolusi Februari 1917.

Kebangkitan massa-rakyat di Dunia Arab tidak ada kena-mengenanya dengan agama (Islam), tidak juga ada kait-mengaitnya dengan kaum fundamentalis Islam. Ini murni gerakan massa-rakyat yang tertindas. Tiada teriakan “Allahu Akbar”, tiada slogan-slogan islami. Di Tunisia, beberapa waktu setelah Ben Ali hengkang, Rashid Ghannoushi, seorang pemimpin fundamentalis, kembali dari pengasingan. Tampil di media Tunisia, ia coba mengadu peruntungannya. Tetapi massa-rakyat rupanya menginginkan tatanan yang demokratik dan menyejahterakan alih-alih pemerintahan dengan Shariah Islam. Banyak yang menandaskan: “Kita tidak menendang-keluar Ben Ali untuk mendapatkan para Islamis!” Di Suez, Mesir, massa-rakyat tidak mengindahkan seruan para imam untuk tidak berdemonstrasi. Kesan yang coba ditimbulkan rezim Mubarak dan media Barat tentang peran Ikhwan al-Muslimin dalam gelombang massa-rakyat anti-Mubarak juga merupakan sesuatu yang dicari-cari untuk menjadi pretext bagi kekuatan imperialis pimpinan AS untuk memberikan dukungan kepada Mubarak. Kenyataannya, Ikhwan al-Muslimin alias Muslim Brotherhood tidak mengorganisir massa-rakyat. Mayoritas aktivis atau demonstran adalah kaum muda, termasuk para pemuda tunakarya dari kawasan-kawasan kumuh di Kairo dan Aleksandria. Mereka tidak berjuang demi atau untuk pemberlakuan Sharia, tetapi kebebasan dan pekerjaan alias demokrasi dan keadilan sosial. Meski demikian, perlulah kiranya kaum revolusioner waspada supaya revolusi sosial ini tidak dibelokkan ke jurusan yang sama sekali berbeda. Revolusi Iran 1979 adalah pelajaran pahit yang perlu dicamkan. Rezim Shah Reza Pahlevi jatuh bukan karena kaum Islamis pimpinan Ayatollah Khomeini, melainkan karena aksi golongan-golongan Kiri. Namun Partai Tudeh, yang menganut Teori Dua Tahap Revolusi malah menyerahkan kepemimpinan kepada Khomeini setibanya sang imam pulang dari pengasingan. Rezim Shah tumbang, namun berganti dengan rezim para mullah yang tak kalah reaksioner dan represifnya.

Dalam pada itu, perlulah juga kaum revolusioner mewaspadai pihak militer. Militer adalah piranti kekerasan Negara burjuis. Dengan kata lain, mereka adalah “alat pemukul” di tangan klas-penguasa (burjuasi). Rezim komprador “demokratis” bisa berlalu, untuk kemudian digantikan dengan rezim komprador “militer”. Kedua rezim tersebut sama-sama melayani kepentingan klas-penguasa dan menjadi “sahabat” kaum imperialis. Di Tunisia mereka terlihat terpecah, di antara yang bersikap ramah terhadap rakyat, dan yang lain represif. Terutama pimpinan-pimpinan tinggi tentara, mereka menyadari betul kemungkinan untuk berkuasa dalam situasi revolusioner. Mereka adalah kekuatan kontra-revolusi. Tentu di kalangan militer, kaum revolusioner perlu melakukan pendekatan terhadap para prajurit rendahan. Pada umumnya para prajurit itu berasal dari keluarga buruh, tani, kaum miskin-kota... Perlu ada komite-komite buruh, tani, mahasiswa, kaum-miskin kota, dan prajurit rendahan untuk menuntaskan revolusi.

Sementara revolusi sosial terus bergulir, bergejolaklah kerinduan di hati saya bahwa revolusi tersebut akan menghantar Dunia Arab ke jurusan tertentu. Bukan sekadar berakhirnya pemerintahan otokratik, tapi berdirinya pemerintahan-pemerintahan rakyat yang melaluinya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi terwujudkan. Pemerintahan-pemerintahan rakyat yang bertulangpunggungkan dewan-dewan rakyat-pekerja atau komite-komite rakyat-pekerja, yang akan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan dan mendemokratiskan kepemilikan, akses, dan kontrol terhadapnya, serta membangun-kembali Dunia Arab melalui perencanaan ekonomik dan proses politik yang demokratis-partisipatoris. Dengan kata lain: terciptanya tatanan masyarakat sosialis sepenuhnya. Bukan hanya di Tunisia, bukan hanya di Mesir. Tapi di seluruh Dunia Arab: Federasi Sosialis Arab.

Tapi untuk itu, massa-rakyat membutuhkan kepemimpinan revolusioner. Massa-rakyat membutuhkan sebuah vanguard party yang dengan setia tanpa kompromi memimpin, mendampingi, dan mendorong massa-rakyat untuk menyelesaikan tugas-tugas demokratik dan mengembangkannya menjadi tugas-tugas sosialis. Tanpa kehadiran sebuah vanguard party, yang terdiri dari para revolusioner sejati yang diperlengkapi dengan teori, program, metode, dan tradisi revolusioner yang mantap, kebangkitan massa-rakyat akan mudah dibajak, diselewengkan, atau malah ditumpas oleh kaum kontra-revolusioner – baik para “reformis”, blandis, kaum fundamentalis agama, elit militer, maupun intervensi pihak imperialis.

Saya berharap, revolusi sosial yang sedang dimulai di Dunia Arab akan berkembang menjadi revolusi sosialis ... seperti yang pernah terjadi pada abad yang silam, Revolusi Rusia Februari dan Oktober 1917... !

  • Solidaritas saya untuk massa-rakyat Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Yaman, Libya, Yordania, Syria, Saudi Arabia, dan seluruh Dunia Arab!
  • Hidup massa-rakyat di seluruh Dunia Arab!
  • Gulingkan rezim-rezim komprador, otokratis, birokratis, korup, dan represif di seluruh Dunia Arab!
  • Kembangkanlah revolusi sosial menjadi Revolusi Sosialis, baik di masing-masing negeri maupun di seluruh Dunia Arab!
  • Demi tatanan-baru yang adil-manusiawi, tatanan masyarakat yang demokratik secara politik dan ekonomik!
  • Hidup Sosialisme!
  • Kaum buruh sedunia, bersatulah! ***


3 Februari 2011