Selasa, 26 Februari 2013

MEMBACA ARTIKEL "WARIA ISTIMEWA"

Oleh: Rudolfus Antonius


“Waria Istimewa”, (18 Februari 2013)

Sempat saya tertegun membaca tulisan ini. Perihal keberadaan pesantren waria ini saya sudah mengetahui sejak beberapa waktu yang lalu. Tapi sharing dari penulis laporan ini, meski singkat, membuat saya termenung. Ini mengusik penghayatan saya tentang Yesus Kristus, Junjungan saya. Lama saya tidak bisa menuangkan apa yang menggelisahkan hati dan pikiran dalam permenungan saya. Baru dua hari ini saya bisa – dengan tertatih-tatih – melakukannya. Moga sharing refleksi saya ini ada manfaatnya.

Pesantren Waria Senin Kamis “Al Fatah” adalah sebuah “tanda”. Yang ditandakan setidaknya dua sisi realitas. Kedua sisi itu bertentangan, namun yang satu mengandaikan yang lain.

Sisi yang pertama menyangkut agama arus utama, yang ortodoks, yang konvensional. Agama ini memiliki “kawasan roh” yang memproyeksikan kecurigaan bahkan kebencian patriarkis terhadap yang berbeda. “Kawasan roh” itu adalah Tuhan/Allah yang maskulin. Terhadap kaum perempuan, Tuhan yang satu ini seksis, tak jarang misoginis – suatu rekaman kegelisahan laki-laki untuk “mempertahankan” supremasi atas perempuan. Terhadap kaum yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, Allah yang satu ini sarat dengan kutuk dan murka – suatu rasa terhina patriarkis terhadap “laki-laki” yang merendahkan “kelelakian” di satu sisi, dan merasa terancam terhadap “perempuan” yang dipandang menyangkal “keperempuanan” dan mengambil peran “kelelakian.” Perasaan terhina dan perasaan terancam ini berakar sangat dalam di rawa-rawa bawah sadar kolektif laki-laki sejak manusia mulai mengenal modus produksi yang menempatkan laki-laki di pusat proses produksi dan meminggirkan perempuan menjadi konco wingking. Tuhan/Allah adalah Laki-laki pemarah, tidak bisa menerima yang berbeda (karena itu berarti menghina dan/atau mengancam), pencemburu, dan seringkali haus darah.

Manusia menciptakan Tuhan/Allah menurut gambar dan rupanya. Tuhan/Allah adalah konstruksi sosial, yang mencerminkan pihak yang dominan dalam masyarakat. Tidak hanya itu, Tuhan/Allah diciptakan sebagai pencipta tatanan yang membuat dominasi pihak tertentu tampil sebagai sesuatu yang alami bahkan ilahi. Lebih-lebih, Tuhan/Allah diciptakan untuk mempertahankan sistem dominasi tersebut. Itulah sebabnya Tuhan/Allah tidak pernah bisa adil, sejauh keadilan itu didefinisikan oleh pihak yang dominan dalam masyarakat. Pihak-pihak yang tertindas pun, di antaranya kaum perempuan, waria, gay, dan lesbian, berhadapan dengan keadilan yang menempatkan mereka di nomor sekian dan sekian bahkan tak masuk hitungan. Code of holiness, yang tak lain dari seperangkat tabu yang menjabarkan persepsi para lelaki saleh tentang Tuhan/Allah dan laki-laki menjauhkan kaum perempuan, waria, gay, dan lesbian dari Sang Tuhan atau Sang Allah.

Agama monoteistik seperti Islam dan Kristen, adalah agama patriarkis, agama para lelaki saleh yang berusaha mengukuhkan dan mempertahankan dominasinya dengan menciptakan kawasan roh yang angker yang dilindungi dengan Code of Holiness yang sarat dengan tabu. Dilaksanakan dengan konsekuen, Agama Islam ortodoks dan Agama Kristen ortodoks tidak memiliki tempat utama bagi perempuan, bahkan tidak ada ruang di dalamnya bagi waria, gay, dan lesbian. Dengan menggunakan perspektif ini, kita memahami keberadaan Pesantren Waria Senin Kamis “Al Fatah” sebagai tanda: tidak ada tempat bagi para waria dalam ortodoksi dan agama konvensional. Jika di sana ada ruang, sulit membayangkan adanya Pesantren “Waria.” Jika ada ruang, para waria akan nyantri atau setidaknya beribadah bersama dengan manusia-manusia yang “normal.”

Sisi yang kedua adalah praksis pembebasan. Tidak beroleh tempat dalam ortodoksi dan agama konvensional tidak menghambat kerinduan para waria akan Tuhan atau Allah. Memang kita bisa bertanya, apakah Tuhan/Allah ini tetap sosok Laki-laki? Boleh jadi. Tapi toh Dia bukan lagi Laki-laki pemarah dan pencemburu. Laki-laki ini bisa menerima yang berbeda. Laki-laki ini tidak haus darah. Mungkin juga, dalam kawasan roh para waria ini, Tuhan/Allah adalah seorang Waria – karena Tuhan/Allah toh proyeksi manusia – yang dengan compassion-Nya bisa menerima mereka apa adanya. Atau tidak berjenis kelamin? Secara formal, semua agama monoteistik mengatakan hal yang sama. Tapi itu abstrak, dan yang abstrak terlalu sukar untuk menjadi sasaran devosi – karena devosi toh ekspresi konkret personal dan manusia yang konkret personal. Andaipun abstrak secara konseptual, toh harus konkret secara devosional. Dalam konteks ini, bahasa menjadi kendaraan proyeksi dan menjadi alat untuk menciptakan Tuhan/Allah yang konkret personal. Teoretis, tanpa manusia tidak ada Tuhan/Allah; tanpa bahasa Dia tidak ada. Tuhan/Allah ada sejauh manusia membahasakannya – tidak hanya dalam teologi tapi juga dalam devosi.

Pesantren Waria Senin Kamis “Al Fatah” adalah suatu tanda pembebasan. Kaum Waria telah memilih Tuhan/Allah mereka. Mereka mengalami penerimaan sebagai manusia. Mereka berdevosi kepada-Nya, Laki-laki Luhur atau Waria Agung yang tidak mengasingkan mereka karena keberbedaan mereka. Ini menolong mereka dalam mengisi dan memaknai hidup mereka. Keberlainan telah menciptakan Transendensi. Transendensi telah memberikan makna kepada keberlainan. Dengan jalan itu, Transendensi menjadi Imanensi. Tuhan/Allah hidup dalam hidup para waria.

Andaikata Yesus dari Nazaret hidup di sini dan kini, bagaimanakah sikap-Nya terhadap para waria? Seperti FPI yang dengan paksa membubarkan seminar HAM para waria beberapa tahun yang lalu? (Depok, 30 April 2010, lihat Dewi Safitri, "FPI Serbu Seminar Waria", http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/04/100430_wariaseminar.shtml). Atau seperti alm. KH Hamroeli Harun yang justru berlaku laksana Orang Samaria yang Berbelarasa? Mungkin kita hanya bisa menduga-duga. Tapi dugaan kita kiranya tidak meleset bila kita mempertimbangkan “kawasan roh” Yesus dari Nazaret.

Sepintas, “kawasan roh” Yesus dari Nazaret tidak beda dengan orang-orang sezaman, termasuk para Farisi dan kaum alim-ulama Yahudi. Sama-sama memuja Yahweh, Allah Israel. Tapi Yahweh-Nya Yesus beda radikal dengan Yahweh-nya para alim-ulama. Kita mahfum, bahwa Yahweh-nya para alim ulama menyisihkan begitu banyak orang (am-haarets alias abangan, perempuan, orang berdosa [termasuk pelacur, pemungut cukai, gembala, dsb], orang yang kerasukan setan, orang yang mengidap penyakit akibat dikutukmurkai-Nya) dari sisi-Nya, dan hanya menerima segelintir orang (yang saleh karena setia melaksanakan syariah sampai ke titik-komanya dan setia dengan aneka ritus dari yang gratis sampai yang berbiaya mahal). Laki-laki ini punya dua pintu rahasia, di balik benteng Code of Holiness-nya: neraka bagi kaum yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan, dan sorga bagi para lelaki saleh yang sanggup memabukkan diri dengan syariah.

Yahweh-Nya Yesus persis kebalikannya. Revitalisasi dari Yahweh-nya kaum eks budak dan tani Kanaan yang membebaskan diri dari dominasi Mesir dan raja-raja negara-kota Kanaan penganut Modus Produksi Asiatik (yang supereksploitatif itu), Yahweh-nya Yesus adalah Sang Belarasa dan Pembebas. Yahweh-Nya Yesus berbelarasa, memilih untuk mengutamakan kaum yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Dia memerdekakan (= membebaskan) mereka dengan mengaruniakan kepada mereka Kerajaan-Nya. Ya, Kerajaan Allah, pemerintahan Allah yang menyelamatkan, yang dengan belarasa dan keadilan-Nya mengaruniakan shalom kepada orang-orang berdosa yang sekaligus juga para korban dari struktur-struktur sosial yang berdosa.

Terhubung akrab dengan “kawasan roh” itu, Yesus terserap ke dalam jiwa dan semangat Yahweh-Nya. Premis nilai Yahweh-Nya menjadi premis nilai-Nya sendiri. Kerajaan Allah Yahweh-Nya menjadi summum bonum-Nya sendiri. Pilihan Yahweh-Nya untuk mendahulukan kaum yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan menjadi pilihan-Nya pula. Ia mewartakan Kabar Baik kepada kaum berdosa yang sekaligus juga korban dari struktur-struktur sosial yang berdosa, dalam sikap, ajaran, maupun mukjizat-mukjizat-Nya (yang tidak sekadar bertemakan keajaiban, tetapi pemanusiawian [memulihkan harkat dan martabat manusia] dan dengan demikian berdimensi sosial). Ia menerima mereka dan mencita-citakan sebuah komunitas alternatif, di mana Allah adalah Bapa (ungkapan patriarkis yang masih “tersisa” dalam bahasa Yesus, namun kerap dimaknai-Nya secara feminin: memelihara, merawat, mengasuh) bagi semua dan semua adalah saudara-saudari seorang dengan yang lain.

Kerajaan itu ditujukan terutama bagi mereka yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Tapi kaum kaya dan berkuasa juga diberi kesempatan untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah – yakni bila mereka bersedia bertobat: (1) mengakhiri penindasan, penghisapan, dan kesewenang-wenangan mereka; (2) menggunakan kekayaan dan kekuasaan mereka untuk melayani yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan; serta (3) turut serta dalam praksis keadilan dan pemerdekaan kaum yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Meminjam ungkapan Almilcar Cabral: melakukan bunuh diri kelas.

Bila benar begitulah kawasan roh, summum bonum, dan praksis Yesus dari Nazaret, agaknya sama sekali tidak berlebihan bila kita menduga bahwa bila Dia hidup di sini dan kini, Yesus dari Nazaret tidak akan mengambil posisi ortodoksi atau agama konvensional atau agama arus utama perihal para waria. Kalau begitu, tak sulit pula mencandra bahwa Yesus dari Nazaret akan menempuh jalan seperti yang ditempuh oleh alm. KH. Hamroeli Harun. Bukan tidak mungkin Yesus dari Nazaret akan mendirikan pesantren atau padepokan yang di dalamnya kaum waria diterima dengan tangan terbuka, bersama-sama dengan kaum yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan lainnya.

Gereja, sebagai wujud sosiologis Kekristenan, perlu “meluangkan” waktu untuk menggumuli para liyan ini. Masalahnya, sementara ortodoksi semakin kental dan formalisme semakin membatasi dinamika Jiwa dan Semangat Yesus dari Nazaret (yang coba dikomunikasikan kepada Gereja dan orang Kristen melalui Roh Kudus) dan kesibukan untuk asyik dengan diri sendiri semakin padat (kegiatan gerejawi dari Minggu ketemu Minggu tiada putus-putusnya, yang sebagian terbesar berorientasi memelihara monumen-monumen perjuangan masa silam), jangan-jangan Gereja semakin kerasan di zona nyamannya. Sejauh Code of Holiness dan Laki-laki pemarah (yang tidak bisa menerima yang berbeda, pencemburu, dan seringkali haus darah) tidak diganggu-gugat, sepertinya semua baik-baik saja. Agaknya, suara-suara kenabian, kendati seperti seruan di padang belantara, harus terus dikumandangkan. ***