Oleh: Rudolfus Antonius
Sempat
saya tertegun membaca tulisan ini. Perihal keberadaan pesantren waria ini saya
sudah mengetahui sejak beberapa waktu yang lalu. Tapi sharing dari penulis
laporan ini, meski singkat, membuat saya termenung. Ini mengusik penghayatan
saya tentang Yesus Kristus, Junjungan saya. Lama saya tidak bisa menuangkan apa
yang menggelisahkan hati dan pikiran dalam permenungan saya. Baru dua hari ini
saya bisa – dengan tertatih-tatih – melakukannya. Moga sharing refleksi saya
ini ada manfaatnya.
Pesantren
Waria Senin Kamis “Al Fatah” adalah sebuah “tanda”. Yang ditandakan setidaknya
dua sisi realitas. Kedua sisi itu bertentangan, namun yang satu mengandaikan
yang lain.
Sisi
yang pertama menyangkut agama arus utama, yang ortodoks, yang konvensional.
Agama ini memiliki “kawasan roh” yang memproyeksikan kecurigaan bahkan
kebencian patriarkis terhadap yang berbeda. “Kawasan roh” itu adalah
Tuhan/Allah yang maskulin. Terhadap kaum perempuan, Tuhan yang satu ini seksis,
tak jarang misoginis – suatu rekaman kegelisahan laki-laki untuk
“mempertahankan” supremasi atas perempuan. Terhadap kaum yang memiliki
orientasi seksual yang berbeda, Allah yang satu ini sarat dengan kutuk dan
murka – suatu rasa terhina patriarkis terhadap “laki-laki” yang merendahkan
“kelelakian” di satu sisi, dan merasa terancam terhadap “perempuan” yang
dipandang menyangkal “keperempuanan” dan mengambil peran “kelelakian.” Perasaan
terhina dan perasaan terancam ini berakar sangat dalam di rawa-rawa bawah sadar
kolektif laki-laki sejak manusia mulai mengenal modus produksi yang menempatkan
laki-laki di pusat proses produksi dan meminggirkan perempuan menjadi konco
wingking. Tuhan/Allah adalah Laki-laki pemarah, tidak bisa menerima yang
berbeda (karena itu berarti menghina dan/atau mengancam), pencemburu, dan
seringkali haus darah.
Manusia
menciptakan Tuhan/Allah menurut gambar dan rupanya. Tuhan/Allah adalah
konstruksi sosial, yang mencerminkan pihak yang dominan dalam masyarakat. Tidak
hanya itu, Tuhan/Allah diciptakan sebagai pencipta tatanan yang membuat
dominasi pihak tertentu tampil sebagai sesuatu yang alami bahkan ilahi.
Lebih-lebih, Tuhan/Allah diciptakan untuk mempertahankan sistem dominasi
tersebut. Itulah sebabnya Tuhan/Allah tidak pernah bisa adil, sejauh keadilan
itu didefinisikan oleh pihak yang dominan dalam masyarakat. Pihak-pihak yang
tertindas pun, di antaranya kaum perempuan, waria, gay, dan lesbian, berhadapan
dengan keadilan yang menempatkan mereka di nomor sekian dan sekian bahkan tak
masuk hitungan. Code of holiness,
yang tak lain dari seperangkat tabu yang menjabarkan persepsi para lelaki saleh
tentang Tuhan/Allah dan laki-laki menjauhkan kaum perempuan, waria, gay, dan
lesbian dari Sang Tuhan atau Sang Allah.
Agama
monoteistik seperti Islam dan Kristen, adalah agama patriarkis, agama para
lelaki saleh yang berusaha mengukuhkan dan mempertahankan dominasinya dengan
menciptakan kawasan roh yang angker yang dilindungi dengan Code of Holiness
yang sarat dengan tabu. Dilaksanakan dengan konsekuen, Agama Islam ortodoks dan
Agama Kristen ortodoks tidak memiliki tempat utama bagi perempuan, bahkan tidak
ada ruang di dalamnya bagi waria, gay, dan lesbian. Dengan menggunakan
perspektif ini, kita memahami keberadaan Pesantren Waria Senin Kamis “Al Fatah”
sebagai tanda: tidak ada tempat bagi para waria dalam ortodoksi dan agama konvensional.
Jika di sana ada ruang, sulit membayangkan adanya Pesantren “Waria.” Jika ada
ruang, para waria akan nyantri atau setidaknya beribadah bersama dengan
manusia-manusia yang “normal.”
Sisi
yang kedua adalah praksis pembebasan. Tidak beroleh tempat dalam ortodoksi dan
agama konvensional tidak menghambat kerinduan para waria akan Tuhan atau Allah.
Memang kita bisa bertanya, apakah Tuhan/Allah ini tetap sosok Laki-laki? Boleh
jadi. Tapi toh Dia bukan lagi Laki-laki pemarah dan pencemburu. Laki-laki ini
bisa menerima yang berbeda. Laki-laki ini tidak haus darah. Mungkin juga, dalam
kawasan roh para waria ini, Tuhan/Allah adalah seorang Waria – karena
Tuhan/Allah toh proyeksi manusia – yang dengan compassion-Nya bisa menerima
mereka apa adanya. Atau tidak berjenis kelamin? Secara formal, semua agama
monoteistik mengatakan hal yang sama. Tapi itu abstrak, dan yang abstrak
terlalu sukar untuk menjadi sasaran devosi – karena devosi toh ekspresi konkret
personal dan manusia yang konkret personal. Andaipun abstrak secara konseptual,
toh harus konkret secara devosional. Dalam konteks ini, bahasa menjadi
kendaraan proyeksi dan menjadi alat untuk menciptakan Tuhan/Allah yang konkret
personal. Teoretis, tanpa manusia tidak ada Tuhan/Allah; tanpa bahasa Dia tidak
ada. Tuhan/Allah ada sejauh manusia membahasakannya – tidak hanya dalam teologi
tapi juga dalam devosi.
Pesantren
Waria Senin Kamis “Al Fatah” adalah suatu tanda pembebasan. Kaum Waria telah
memilih Tuhan/Allah mereka. Mereka mengalami penerimaan sebagai manusia. Mereka
berdevosi kepada-Nya, Laki-laki Luhur atau Waria Agung yang tidak mengasingkan
mereka karena keberbedaan mereka. Ini menolong mereka dalam mengisi dan
memaknai hidup mereka. Keberlainan telah menciptakan Transendensi. Transendensi
telah memberikan makna kepada keberlainan. Dengan jalan itu, Transendensi
menjadi Imanensi. Tuhan/Allah hidup dalam hidup para waria.
Andaikata
Yesus dari Nazaret hidup di sini dan kini, bagaimanakah sikap-Nya terhadap para
waria? Seperti FPI yang dengan paksa membubarkan seminar HAM para waria beberapa tahun yang lalu? (Depok, 30 April 2010, lihat Dewi Safitri, "FPI Serbu Seminar Waria", http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/04/100430_wariaseminar.shtml). Atau seperti alm. KH Hamroeli Harun yang justru berlaku
laksana Orang Samaria yang Berbelarasa? Mungkin kita hanya bisa menduga-duga.
Tapi dugaan kita kiranya tidak meleset bila kita mempertimbangkan “kawasan roh”
Yesus dari Nazaret.
Sepintas,
“kawasan roh” Yesus dari Nazaret tidak beda dengan orang-orang sezaman,
termasuk para Farisi dan kaum alim-ulama Yahudi. Sama-sama memuja Yahweh, Allah
Israel. Tapi Yahweh-Nya Yesus beda radikal dengan Yahweh-nya para alim-ulama.
Kita mahfum, bahwa Yahweh-nya para alim ulama menyisihkan begitu banyak orang
(am-haarets alias abangan, perempuan, orang berdosa [termasuk pelacur, pemungut
cukai, gembala, dsb], orang yang kerasukan setan, orang yang mengidap penyakit
akibat dikutukmurkai-Nya) dari sisi-Nya, dan hanya menerima segelintir orang
(yang saleh karena setia melaksanakan syariah sampai ke titik-komanya dan setia
dengan aneka ritus dari yang gratis sampai yang berbiaya mahal). Laki-laki ini
punya dua pintu rahasia, di balik benteng Code of Holiness-nya: neraka bagi kaum
yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan, dan sorga bagi para lelaki saleh
yang sanggup memabukkan diri dengan syariah.
Yahweh-Nya
Yesus persis kebalikannya. Revitalisasi dari Yahweh-nya kaum eks budak dan tani
Kanaan yang membebaskan diri dari dominasi Mesir dan raja-raja negara-kota
Kanaan penganut Modus Produksi Asiatik (yang supereksploitatif itu), Yahweh-nya
Yesus adalah Sang Belarasa dan Pembebas. Yahweh-Nya Yesus berbelarasa, memilih
untuk mengutamakan kaum yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Dia
memerdekakan (= membebaskan) mereka dengan mengaruniakan kepada mereka
Kerajaan-Nya. Ya, Kerajaan Allah, pemerintahan Allah yang menyelamatkan, yang
dengan belarasa dan keadilan-Nya mengaruniakan shalom kepada orang-orang
berdosa yang sekaligus juga para korban dari struktur-struktur sosial yang
berdosa.
Terhubung
akrab dengan “kawasan roh” itu, Yesus terserap ke dalam jiwa dan semangat
Yahweh-Nya. Premis nilai Yahweh-Nya menjadi premis nilai-Nya sendiri. Kerajaan
Allah Yahweh-Nya menjadi summum bonum-Nya sendiri. Pilihan Yahweh-Nya untuk
mendahulukan kaum yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan menjadi pilihan-Nya
pula. Ia mewartakan Kabar Baik kepada kaum berdosa yang sekaligus juga korban
dari struktur-struktur sosial yang berdosa, dalam sikap, ajaran, maupun
mukjizat-mukjizat-Nya (yang tidak sekadar bertemakan keajaiban, tetapi
pemanusiawian [memulihkan harkat dan martabat manusia] dan dengan demikian
berdimensi sosial). Ia menerima mereka dan mencita-citakan sebuah komunitas
alternatif, di mana Allah adalah Bapa (ungkapan patriarkis yang masih “tersisa”
dalam bahasa Yesus, namun kerap dimaknai-Nya secara feminin: memelihara,
merawat, mengasuh) bagi semua dan semua adalah saudara-saudari seorang dengan
yang lain.
Kerajaan
itu ditujukan terutama bagi mereka yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan.
Tapi kaum kaya dan berkuasa juga diberi kesempatan untuk masuk ke dalam
Kerajaan Allah – yakni bila mereka bersedia bertobat: (1) mengakhiri penindasan,
penghisapan, dan kesewenang-wenangan mereka; (2) menggunakan kekayaan dan
kekuasaan mereka untuk melayani yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan;
serta (3) turut serta dalam praksis keadilan dan pemerdekaan kaum yang miskin,
tertindas, dan terpinggirkan. Meminjam ungkapan Almilcar Cabral: melakukan
bunuh diri kelas.
Bila
benar begitulah kawasan roh, summum bonum, dan praksis Yesus dari Nazaret,
agaknya sama sekali tidak berlebihan bila kita menduga bahwa bila Dia hidup di
sini dan kini, Yesus dari Nazaret tidak akan mengambil posisi ortodoksi atau
agama konvensional atau agama arus utama perihal para waria. Kalau begitu, tak
sulit pula mencandra bahwa Yesus dari Nazaret akan menempuh jalan seperti yang
ditempuh oleh alm. KH. Hamroeli Harun. Bukan tidak mungkin Yesus dari Nazaret
akan mendirikan pesantren atau padepokan yang di dalamnya kaum waria diterima
dengan tangan terbuka, bersama-sama dengan kaum yang miskin, tertindas, dan
terpinggirkan lainnya.
Gereja, sebagai wujud
sosiologis Kekristenan, perlu “meluangkan” waktu untuk menggumuli para liyan
ini. Masalahnya, sementara ortodoksi semakin kental dan formalisme semakin
membatasi dinamika Jiwa dan Semangat Yesus dari Nazaret (yang coba
dikomunikasikan kepada Gereja dan orang Kristen melalui Roh Kudus) dan
kesibukan untuk asyik dengan diri sendiri semakin padat (kegiatan gerejawi dari
Minggu ketemu Minggu tiada putus-putusnya, yang sebagian terbesar berorientasi
memelihara monumen-monumen perjuangan masa silam), jangan-jangan Gereja semakin
kerasan di zona nyamannya. Sejauh Code of
Holiness dan Laki-laki pemarah (yang tidak bisa menerima yang berbeda,
pencemburu, dan seringkali haus darah) tidak diganggu-gugat, sepertinya semua
baik-baik saja. Agaknya, suara-suara kenabian, kendati seperti seruan di padang
belantara, harus terus dikumandangkan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar