Minggu, 18 Januari 2009

BUKAN FUNDAMENTALIS ISLAM, BUKAN ZIONIS KRISTEN

BUKAN FUNDAMENTALIS ISLAM, BUKAN ZIONIS KRISTEN
Oleh: Rudolfus Antonius


Kebencian Endemik

Mengecam, memprotes, dan mengutuk agresi Israel ke Gaza sama sekali tidak sama dengan menyetujui apalagi mendukung kebencian kaum fundamentalis Islam terhadap bangsa Yahudi. Mengapa? Ini menyangkut isu pokok. Kita berbeda dengan kaum fundamentalis Islam perihal isu pokok yang mendasari reaksi terhadap agresi Isrel ke Gaza.

Sebagai manusia yang berhatinurani kita sama sekali tidak dapat membenarkan perlakuan sewenang-wenang dari satu pihak, yang lebih kuat, terhadap pihak lain, yang lebih lemah. Perlakuan sewenang-wenang bisa terjadi dalam semua lapisan hubungan sosial. Itu bisa melibatkan individu, golongan, bahkan Negara atau Negara-negara. Dalam agresi Israel ke Gaza, Israel yang lebih kuat berlaku sewenang-wenang terhadap Palestina yang lebih lemah. Apalagi tindak kesewenang-wenangan itu menelan korban nyawa dari kalangan sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Sangat jelas, hati nurani kita menolak hukum rimba dan setiap praktik yang didasarkan padanya.

Di lain pihak, apakah isu pokok kaum fundamentalis Islam dalam menyatakan sikap mereka terhadap Israel? Paling sedikit kita bisa menimbang kebencian kaum fundamentalis Islam terhadap orang Yahudi.

Kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Kebencian ini berkarakter agamawi: berdasarkan pernyataan-pernyataan tertentu di dalam pustaka-pustaka suci mereka, baik Al-Quran maupun Al-Hadis. Secara historis tentu pernyataan-pernyataan itu tidak lahir di ruang hampa. Pernyataan-pernyataan itu lahir dalam konteks hubungan yang tidak sedap yang terjalin antara Nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi. Di sini saya tidak ingin memasuki telaah tentang persoalan-persoalan yang pernah terjadi di antara mereka. Meski demikian, segeralah kita dapat meraba bahwa pernyataan-pernyataan yang berkonteks sosio-historis itu kemudian menyandang status sebagai pernyataan-pernyataan normatif. Selanjutnya pernyataan-pernyataan tersebut diturunalihkan kepada generasi-generasi selanjutnya dan membentuk roh kebencian kepada orang Yahudi.

Kaum fundamentalis Islam tentu saja tidak mengkritisi pernyataan-pernyataan tersebut. Ini sesuai dengan premis nilai yang dianut. Mereka justru menghidupi dan menghidupkan kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Sebagaimana kita lihat sendiri dalam sebuah acara debat di TV One baru-baru ini, salah satu kelompok dari dua pihak yang berdebat (yang sebenarnya sama-sama menentang agresi Israel ke Gaza), terus merujuk pernyataan-pernyataan pustaka-pustaka suci tentang orang Yahudi. Dari situ mereka menyimpulkan tentang watak orang Yahudi: buruk di zaman Nabi Muhammad, buruk pula untuk seterusnya.

Penilaian yang bernafaskan kebencian endemik ini tentu saja terdengar rasis. Kedengarannya mengejutkan, meski tidak harus demikian, bila pustaka-pustaka suci keagamaan menjadi sumber yang menginspirasikan sikap rasis. Tidak mengherankan juga bila kebencian endemik berbasis pustaka-pustaka agamawi itu tidak membedakan antara orang Yahudi dengan Negara Israel. Padahal, tidak semua orang Yahudi merupakan warga Negara Israel. Tidak semua orang Yahudi pula mendukung agresi Negara Israel ke Gaza, bahkan mereka yang menyandang status sebagai warga Negara Israel. Dalam kenyataannya, di Negara Israel sendiri berlangsung demo-demo warga Negara Israel sendiri menentang agresi Israel ke Gaza. Contoh lain adalah Dekel Avshalom, seorang jurnalis Yahudi berhaluan sosio-demokratik, yang menulis dari Israel untuk situs In Defence of Marxism. Dia seorang Yahudi, warga Negara Israel pula. Tapi ia sangat menentang agresi Israel ke Gaza. Apakah kaum fundamentalis Islam peduli tentang hal ini sehingga tidak gebyah uyah karena prasangka rasial-religiusnya? Dalam kata-kata Ulil Abshar Abdalla:

“… masalah Israel di mata umat Islam bukan sekedar masalah geografi dan perluasan wilayah. Masalah sebenarnya ada di luar itu, yakni konstruksi keyahudian di benak umat Islam sendiri yang dibentuk melalui ajaran agama dan tafsirnya yang sudah berkembang sejak berabad-abad.”[1]

Anti-Semitisme

Dalam pada itu, patut pula kita, sebagai orang Kristen, menimbang sikap orang Kristen terhadap orang Yahudi dan agresi Israel ke Palestina.

Kita tentu mafhum Dunia Kristen (Christendom, corpus christianum) pernah terjangkiti kebencian yang sangat mendalam terhadap orang Yahudi. Kebencian ini juga beroleh pendasaran pada pustaka suci Kristen, Perjanjian Baru. Membaca Perjanjian Baru dengan sadar konteks, yakni mempertimbangkan dengan serius konteks sosio-historis yang melatarbelakangi peristiwa Yesus-historis dan pergumulan Jemaat-jemaat Perdana, kita dapat melacak adanya kepahitan dalam hubungan antara Kekristenan dengan Yudaisme di dalam teks-teks Perjanjian Baru. Kepahitan tersebut terbentuk melalui hubungan dialektis antara peristiwa Yesus-historis dengan hubungan antara Jemaat-jemaat perdana (yang terdiri dari orang-orang percaya yang berlakang Yahudi dan non-Yahudi) dengan penguasa Romawi di satu sisi dan orang-orang Yahudi (yang tidak percaya kepada Yesus).

Peristiwa penderitaan dan kematian Yesus-historis sendiri tidak (atau belum) mengandung isu kepahitan Kekristenan terhadap Yudaisme. Peristiwa itu parallel dengan peristiwa Nabi Yeremia yang hidup sekitar enam abad sebelumnya. Menyampaikan firman Allah yang kedengaran sangat minor kepada rakyat Yehuda dan para pemimpinnya, sang nabi dimusuhi para pemimpin politik dan agama serta mengalami berbagai penderitaan. Kesejajaran ini memperlihatkan isu yang sebenarnya: bukan Yesus versus orang Yahudi, tetapi hamba Allah versus para pemimpin yang tidak mau mendengarkan suara Tuhan.

Ketika Jemaat-jemaat Perdana merenungkan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus-historis, mereka menemukan beragam makna teologis dari peristiwa itu. Misalnya, Yesus adalah Anak Manusia dan Hamba Yahweh par excellence. Allah bukan hanya memvindikasi Yesus melalui kebangkitan-Nya, tetapi juga menjadikan penderitaan dan kematian-Nya sebagai pokok keselamatan segenap umat-Nya. Dia adalah Sang Mesias, yang masuk ke dalam kemuliaan-Nya setelah melalui penderitaan dan kematian. Juga, Dia adalah Pengantara Perjanjian yang Baru, yang dengan penderitaan dan kematian-Nya memperdamaikan dan mempersekutukan kembali Allah dan umat-Nya. Kita melihat bahwa dalam refleksi-refleksi ini kepahitan tidak menjadi isu pokok. Isu pokoknya adalah makna penderitaan dan kematian Yesus bagi keberadaan paguyuban-paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang menjadi pengikut-pengikut-Nya.

Ketika hubungan antara Jemaat-jemat Perdana dengan penguasa Romawi dan para pemuka Yahudi memburuk, mereka menjadikan penderitaan dan kematian Yesus sebagai naratif untuk memaknai kondisi mereka. Penguasa Romawi mulai menghambat Jemaat-jemaat Perdana, sementara para pemuka Yahudi memusuhi bahkan memicu kebencian terhadap mereka. Jemaat-jemaat Perdana ini kemudian memahami kondisi mereka dalam paradigma penderitaan dan kematian Yesus: mereka menderita sebagaimana halnya Junjungan mereka di tangan para pemuka Yahudi dan penguasa Romawi. Mereka merefleksikannya dalam Kisah Sengsara dalam Kitab-kitab Injil Sinoptik, misalnya.

Selanjutnya, sementara perpisahan “sekte” para pengikut Yesus dengan formative Judaism mengkristal menyusul kebijakan-kebijakan para rabbi pasca-Perang Yahudi (66-70 M), Jemaat-jemaat Perdana pun merenungkan peristiwa penderitaan dan kematian Yesus untuk memaknai posisi mereka selanjutnya. Di satu sisi keruntuhan Yerusalem dalam Perang Yahudi dipahami sebagai hukuman Allah kepada Bangsa Yahudi. Di sisi lain, otoritas formative Judaism pasca Perang Yahudi, dalam rangka mengkonsolidasi Bangsa Yahudi yang terserak-serak, menempatkan orang-orang Yahudi pengikut Yesus di luar Yudaisme. Pada gilirannya orang-orang ini membentuk paguyuban-paguyuban yang terpisah. Misalnya paguyuban yang melahirkan Injil Yohanes. Jemaat-jemaat Perdana pun sekarang memandang diri mereka dan Bangsa Yahudi sebagai dua entitas yang terpisah. Sikap para pemuka Yahudi terhadap para pengikut Yesus pun dipahami sebagai sikap bangsa Yahudi. Orang-orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus, yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada orang-orang non-Yahudi yang percaya, enggan pula menyebut diri mereka Yahudi. Mereka adalah Kristen, seperti halnya orang-orang non Yahudi yang menjadi pengikut Yesus. Di pihak lain, di kalangan orang Yahudi pun muncul legenda-legenda yang menampilkan Yesus sebagai seorang tukang sihir jahat dan seorang anak “haram” dari seorang perempuan zinah.

Kepahitan hubungan antara Jemaat-jemaat Perdana dengan otoritas Yahudi sebagaimana terekam dalam Perjanjian Baru, pada gilirannya bertranformasi menjadi benih-benih Anti-Semitik, yakni prasangka dan kebencian kepada orang Yahudi secara keseluruhan.

Buah-buahnya mulai bermunculan ketika Kekristenan menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi dan Gereja mempunyai kekuasaan politik. Dunia Kristen pun menzalimi orang Yahudi selama berabad-abad lamanya, baik dari pihak Gereja maupun dari pihak pemerintah Kristen. Karl Marx adalah salah seorang yang mengalaminya. Puncaknya adalah holocaust yang dilakukan Nazi pada masa Perang Dunia II. Dalam kata-kata almarhum Rama Raymond Brown, pakar Alkitab Katolik yang termashyur itu,

Manakala Kaisar Konstantinus menjadi Kristen pada awal Abad IV, dan orang-orang Kristen mulai beroleh kekuasaan politik, efek dari sentiment-sentimen permusuhan menjadi berat sebelah. Inilah awal dari sebuah sejarah yang tragis yang akan menyaksikan penindasan dan penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi berlanjut selama berabad-abad, yang mencapai puncaknya yang sangat mengerikan dalam abad kita sendiri.

Bahkan meski Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Reformasi arus utama telah mengaku bersalah dan berupaya membangun hubungan yang baik dengan orang Yahudi, masih ada bagian-bagian dari Dunia Kristen yang menganut Anti-Semitisme. Sebutlah misalnya orang-orang dari kelompok Christian Identity, yang memandang diri Ras Arya sebagai “Israel yang Sejati”.

Zionisme Kristen

Di pihak lain ada juga orang-orang Kristen yang menamakan diri mereka Zionis Kristen. yang sekarang ini mendukung Zionisme dan kebijakan-kebijakan Negara Israel.[2] Mendefinisikan Zionisme Kristen sebagai “sebuah posisi teologis yang melihat suatu keniscayaan masa depan bagi Israel di tanah bapa-bapa leluhur mereka”[3], para penganutnya “bersiap dengan cara doa, penghiburan, dan keterlibatan praktis untuk menjamin kelanggengan dan kejayaan Israel.”[4]

Mempostulasikan pergulatan kosmik antara terang dan kegelapan, Pdt. Malcolm Hedding, salah seorang tokoh Zionis Kristen, menandaskan bahwa Israel akan berada di pusat pergulatan itu. Sebab, Allah akan mendirikan pemerintahan keadilan-Nya atas seluruh dunia dari Israel.[5] Karena itu tidak mengherankan bila “kekuatan-kekuatan kegelapan akan selalu menentang pemerintahan itu dan mereka akan melakukannya terutama dengan berupaya menghancurkan Israel.”[6] Para Zionis Kristen “pasti akan berada di garis depan dari pergulatan ini.[7] Merujuk pada ribuan orang yang akhir-akhir ini menggabungkan diri dengan Zionisme Kristen, Pdt. Hedding menganggapnya sebagai bukti “bahwa Allah sedang mempersiapkan suatu pasukan rohani bagi ‘showdown’ (konfrontasi terakhir) yang akan datang ini.”

Suatu pasukan rohani! Apakah itu berarti mereka tidak akan mengangkat senjata untuk membantu Israel? Anggaplah mereka memang tidak melakukannya. Tapi apa artinya “keterlibatan praktis” di samping doa dan penghiburan?

Kaum Zionis Kristen, melalui kerja sukarela, dukungan politis, dan dukungan finansial mereka kepada Israel dan kausa-kausa Yahudi, telah memperlihatkan bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Israel yang terpercaya. Mereka telah mendonasikan sejumlah besar uang untuk mendukung Israel, termasuk amalan-amalan yang untuk membeayai upaya membawa orang-orang Yahudi dari bekas Uni Soviet dan Ethiopia ke Israel. Sebagai contoh, Pastor John Hagee telah menghimpun lebih dari 4,7 juta dollar untuk United Jewish Communities. Christian Broadcasting Network-nya Pat Robertson telah mendonasikan ratusan ribu dollar untuk menolong orang-orang miskin Yahudi di seluruh dunia untuk pindah ke Israel.[8]

Bahkan,

Manakala industri wisata Israel mencapai suatu titik rendah antara tahun 2000 dan 2003 karena Perang Palestina dan terorisme, para wisatawan Kristen mengunjungi Israel dalam jumlah yang kadang-kadang lebih besar daripada jumlah komunitas Yahudi. Para penginjil televisi seperti Pat Robertson dan Benny Hinn telah mengunjungi Israel dalam kurun waktu ini dan menggunakan siaran-siaran mereka untuk memberitahukan kepada jutaan pemirsa mereka bahwa amanlah untuk mengunjungi Israel. Kelompok pro-Israel lainnya, yakni Christians’ Israel Public Action Campaign, mensponsori empat misi ke Israel. Orang-orang Kristen juga menolong industri wisata dan perekonomian Israel dengan mendatangi pekan “Shop Israel” di mana para pedagang Israel datang ke Amerika dan menjual produk-produk mereka.[9]

Tentu saja tindakan filantropis adalah tindakan yang sangat terpuji. Tetapi membela orang Yahudi dan Negara Israel sembari mengabaikan kesewenang-wenangan Israel bahkan menafikan penderitaan rakyat Palestina adalah suatu kekonyolan tragis yang sama buruknya dengan Anti-Semitisme. Dalam kata-kata Pdt. Alex Awad,

Tidak seperti nabi-nabi Perjanjian Lama, kaum Zionis Kristen tidak mempunyai kata-kata nubuatan untuk menempelak Negara Israel manakala Negara Yahudi itu dengan sewenang-wenang melakukan penindasan. Para Zionis Kristen tidak menyerukan Negara Israel untuk melakukan keadilan. Israel mengambilalih tanah Palestina, menggusur rumah-rumah orang miskin, menghancurkan tanah pertanian mereka dan mengalihkan aliran sumber-sumber air m ereka, sementara banyak orang Kristen Zionis terus memberkati Israel dan mengidungkan puji-pujian mereka.[10]

Tak heran bila Charles E. Colson dari We Hold These Truths mengeluhkan:

Kaum Zionis Kristen, bukan para politisi yang korup, adalah penghalang terbesar bagi perdamaian di AS. Amerika mempunyai jumlah gereja-gereja yang nyaris tak terhitung yang berhimpun secara teratur, tetapi kebanyakan tidak memenuhi peran yang telah diberikan Kristus kepada mereka, yakni untuk berdiri demi moralitas.[11]

Lalu Bagaimana?

Kaum fundamentalis Islam bukanlah sahabat sejati rakyat Palestina. Makian, kutukan, dan ancaman mereka terhadap Israel lahir dari kebencian endemik terhadap orang Yahudi. Bukan karena solidaritas kepada rakyat Palestina. Bahkan, sementara media massa di Indonesia (terutama televisi) sama sekali tidak menaruh tanda tanya kepada Hamas, perlu juga kita mempertanyakan apakah Hamas benar-benar sahabat sejati rakyat Palestina. Pasalnya, sebagaimana dikemukakan Pandu Jakasurya, aksi-aksi terorisme individual khas fundamentalis Islam yang dilakukan Hamas terhadap Israel sama sekali tidak berguna. Aksi-aksi itu malah membuat warga Israel, termasuk mereka yang terhisab dalam klas pekerja, mendukung pemerintah Israel guna mendapatkan perlindungan. Dalam pada itu, rakyat Palestina kian menderita karena serangan balasan Israel. Patut pula kita menaruh tanda tanya besar perihal motivasi Hamas di balik perlawanan “Daud vs Goliat” terhadap Israel, sementara di depan mata mereka sendiri rakyat Palestina menjadi korban. Israel sewenang-wenang, tapi Hamas mungkin juga patut dituntut pertanggungjawaban bila menjadikan korban warga sipil sebagai strategi memenangkan perang secara politis terhadap Israel.

Kaum Zionisme-Kristen pun bukan sobat sejati rakyat Israel. Dukungan yang mereka berikan dengan berbagai cara justru makin mendorong pemerintah Israel untuk bertingkah adigang-adigung-adiguna terhadap Palestina. Pada gilirannya, rakyat Israel sendirilah yang menderita – serangan-serangan terorisme individual orang-orang Palestina. Dengan jalan itu klas yang berkuasa di Israel pun merasa beroleh pembenaran untuk terus mengganyang Palestina. Demikian seterusnya spiral kesewenang-wenangan berlanjut.

Kalau begitu siapkah sahabat sejati rakyat Palestina dan rakyat Israel? Gereja-gereja Kristen yang berkomitmen pada kasih, kebenaran dan keadilan, serta perdamaian? Itu betul. Tapi, dalam pada itu, Gereja-gereja harus berhati-hati agar kiprah mereka tidak terkooptasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan di dalam tata-dunia yang terkungkung imperialisme ini. Gereja-gereja tetap harus mendampingi rakyat Palestina dan menggugah nurani rakyat Israel. Gereja-gereja harus terus menyerukan perdamaian yang berkeadilan dan keadilan yang memperdamaikan baik kepada Hamas maupun kepada Israel.

Dalam pada itu perlu juga Gereja-gereja melirik mereka yang sebenarnya bisa menjadi rekan seperjuangan demi menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian. Mereka adalah kaum sosio-demokratik yang bekerja mendampingi, mencerahkan, mengorganisir, dan memobilisir massa rakyat pekerja untuk memerdekakan diri dari tatanan yang represif dan eksploitatif – baik di Palestina maupun di Israel, bahkan Mesir, Yordania, Syria, Lebanon, dan Iran. Bila massa rakyat pekerja di negeri-negeri itu bisa mengadakan aksi-massa untuk mendemokratiskan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik di negeri mereka masing-masing, serta dengan semangat Internasionale mendirikan Federasi Sosio-Demokratik di kawasan itu, maka akan selamatlah Palestina dan Israel baik dari ancaman fundamentalisme Islam maupun Zionisme Kristen. Alangkah baiknya bila para pengikut Yesus Kristus yang dititahkan-Nya untuk memperjuangan perdamaian turut serta dalam perjuangan yang bermuara pada pemerdekaan seluruh umat manusia ini!




RA_180109
[1] Ulil Abshar Abdalla, “Sejumlah Pertanyaan Sederhana Sekitar Masalah Palestina-Israel”

[2] Menganut pandangan eskatologis yang dikenal dengan nama Dispensasionalisme, kaum Kristen Zionis meyakini bahwa Yesus Kristus akan mendirikan Kerajaan Seribu Tahun dalam kedatangan-Nya kembali kelak. Kerajaan itu diperuntukkan-Nya bagi Bangsa Yahudi. Adapun Kerajaan itu sedianya sudah berdiri dalam kedatangan-Nya yang pertama, tapi batal karena Bangsa Yahudi menolak Dia. Dalam Kerajaan Seribu Tahun kelak, Bangsa Yahudi percaya kepada Yesus Kristus. Kok bisa? Begini, eskalasi suhu politik di Timur Tengah pada akhirnya akan memuncak dalam terbentuknya koalisi seluruh dunia untuk melawan Negara Israel. Namun Negara Israel tertolong karena bantuan Antikristus yang konon datang dari Uni Eropa. Sesudah itu Antikristus berbalik akan menganiaya orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang setengah-setengah imannya. Pada saat itu orang-orang Kristen yang saleh sudah diangkat. Mereka telah mengalami “pertemuan di udara” dengan Yesus. Dalam masa penganiayaan itu, Bangsa Yahudi bertobat, percaya kepada Yesus Kristus. Kemudian Yesus Kristus pun turun ke muka bumi. Ia membinasakan Antikristus dan mendirikan Kerajaan Seribu Tahun bagi Bangsa Israel. Berdasarkan konsepsi eskatologis mereka, kaum Kristen Zionis mendukung Negara Israel dan membela orang Yahudi – betapapun kejinya kebijakan Negara Israel.

[3] Rebecca Brimmer, Ray Sanders, & Malcolm Hedding, “Joint Response to ‘The Jerusalem Declaration of Christian Zionism’”, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[4] Malcolm Hedding, “The Christian Zionist Movement”, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] David Krusch, “Christian Zionism – Defined”, Jewish Virtual Library, dalam Christian Zionism: The True Story, 10 January 2006, http://www.christian-zionism.org/

[9] Ibid.
[10] Alex Awad, “Christian Zionism: Their Theology, Our Nightmare!”, dalam Christian Zionism and Peace in the Holy Land, Peace Office Newsletter, Mennonite Central Committee (July–September 2005) Vol 35, No 3, http://mcc.org/peace/pon/PON_2005-03.pdf

[11] Charles E. Carlson, “The Lie That Justifies Mass Murder: ‘Hamas Hit Us First’”, We Hold These Truths, 1 Jan 2008, http://www.whtt.org/

1 komentar:

ahmed shahi kusuma mengatakan...

Romo tulisan anda mencerahkan Kita bisa saling kontak. Boleh saya meminta imel anda ?
Danke !