James & John with Jesus http://www.4catholiceducators.com |
LENT IV:
6-12 Maret 2016
KEMULIAAN SALIB
Markus 10.35-45
Rudolfus Antonius
Tiga
kali sudah Yesus menuturkan sasmita samsara (Markus 8.31; 9.31; 10.33-34).
Makin lama makin jelas. Intinya: Ia harus menempuh jalan salib sebelum
dimuliakan dalam kebangkitan. Jalan salib, jalan kemuliaan.
Tiga
kali Yesus bersasmita, tiga kali pula para murid menanggapinya. Sayang,
tanggapan-tanggapan itu ibarat jauh panggang dari api. Sasmita pertama
ditanggapi Petrus dengan “menarik Yesus ke samping dan menegor Dia” (Markus
8.32). Sasmita kedua ditanggapi dengan pertengkaran murid-murid tentang siapa
yang terbesar di antara mereka (Markus 9.34). Sasmita ketiga ditanggapi oleh Yakobus
dan Yohanes, yang meminta Yesus untuk memberi mereka dua tempat utama di dalam
kemuliaan-Nya (Markus 10.37). Gagal tanggap
ing sasmita, murid-murid sibuk dengan “apa yang dipikirkan manusia” (Markus
8.33).
Mengetahui
lobby pribadi Yakobus dan Yohanes,
bangkitlah kemarahan kawan-kawannya (Markus 10.41). Sepertinya itu bukan karena
mereka lebih tanggap ing sasmita.
Mereka memiliki ambisi yang sama dengan keduanya, meski takut atau sungkan
unnntuk mengemukakannya. Mereka semua marah kepada Yakobus dan Yohanes karena
mendapat saingan berat, yang bahkan lebih dulu menggelar lobby untuk meraih kekuasaan. Sebelas-duabelas, setali tiga
uang.
Membaca
situasi itu, Yesus memanggil mereka. Kata-Nya,
Kamu tahu bahwa
mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan
besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kekuasaannya dengan keras atas
mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang
terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Markus
10.42-44).
Yesus
tahu, semua murid ingin menjadi besar dan terkemuka. Ya, semuanya ingin
berkuasa. “Kehendak untuk berkuasa” membuncah di hati mereka. Yesus tidak
menentang hal itu. Tapi Ia berusaha memberi jiwa dan arah yang baru.
Yesus
mengajak murid-murid-Nya mengamati bagaimana pemerintah bangsa-bangsa dan
pembesar-pembesarnya berkuasa. Bukankah mereka memerintah rakyat dengan tangan
besi? Bukankah mereka menjalankan kekuasaan dengan keras atas rakyat? Kekuasaan
mereka adalah kekuasaan dengan pemaksaan, kekuasaan dengan kekerasan. Kekuasaan
yang semena-mena! Berkuasa dengan “membawahkan” orang lain, itukah yang
diinginkan Yakobus, Yohanes, dan kawan-kawan mereka?
“Tidaklah
demikian di antara kamu,” kata Yesus. Maksud-Nya jelas: kekuasaan yang berlaku
di antara murid-murid Yesus memiliki watak yang sangat berbeda dengan kekuasaan
yang berlaku di antara bangsa-bangsa. Ingin menjadi besar, orang harus menjadi
pelayan (diakonos). Ingin menjadi
yang terkemuka, orang harus menjadi hamba (doulos).
Menjadi besar dengan melayani, menjadi terkemuka dengan menghamba. Berkuasa
karena mengutamakan kepentingan umat
ketimbang kepentingan sendiri, sangatlah berbeda dengan “memerintah
rakyat dengan tangan besi.” Berkuasa karena dengan rendah hati menempatkan diri
sebagai hamba umat, sangatlah berlainan dengan “menjalankan kekuasaan dengan
keras atas rakyat.” Kekuasaan yang melayani kepentingan umat dan menghamba
kepada umat, itulah yang seharusnya yang diinginkan Yakobus, Yohanes, dan
kawan-kawan mereka.
Yesus
sendiri rupanya menghayati “filosofi kekuasaan” itu. Ia sudah dan sedang
menghidupinya. Kata-Nya,
Karena Anak
Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Markus 10.45).
Bukan
dilayani, melainkan melayani. Sejak baptisan yang menahbiskan diri-Nya sebagai
Raja dan Hamba (Markus 1.11), jalan hidup sebagai Pelayan dan Hamba-lah yang ditempuh
Yesus. Melalui Injil yang diberitakan-Nya dengan perkataan dan perbuatan, Yesus
melayani dan menghamba. Puncak dari jalan hidup itu adalah “menyerahkan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Dengan jalan itulah Ia menjadi
Raja.
Pada
titik ini Yesus tidak saja memberi diri sebagai Teladan bagi murid-murid-Nya
mengenai “kehendak untuk berkuasa.” Ia juga memberi bingkai bagi tiga sasmita samsara-Nya. Penderitaan dan
kematian-Nya adalah puncak atau mahkota dari jalan hidup-Nya sebagai Pelayan dan
Hamba, yang mendatangkan keselamatan bagi banyak (=semua) orang dan
mengantar-Nya kepada kemuliaan yang sesungguhnya.
Terpujilah Allah!
2 komentar:
Keren....
Sangat menyentuh. Minta ijin berbagi Pak Rudy
Posting Komentar