Kamis, 18 Februari 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (3)


TIGA: ANARKISME

AJARAN RADIKAL LAIN yang berkembang dalam periode 1830-an adalah Anarkisme. Anarkisme sering dianggap sebagai pemikiran radikal yang benar-benar demokratik dan libertarian. Beberapa kalangan memuji Anarkisme sebagai satu-satunya filsafat politik yang sejati tentang kebebasan. Padahal, sejak lahirnya Anarkisme merupakan sebuah ajaran yang secara mendalam anti-demokratik. Dua pendirinya yang paling penting, yakni Pierre-Joseph Proudhon dan Michael Bakunin, mengembangkan teori-teori yang secara hakiki bersifat elitis dan otoritarian. Para Anarkis yang belakangan barangkali telah menolak beberapa ekses dari para bapak pendirinya. Tapi filsafat mereka tetap memusuhi idea-idea tentang demokrasi-massa dan kekuasaan kaum-pekerja.

Anarkisme memang berkembang sebagai perlawanan terhadap pertumbuhan masyarakat kapitalis. Perlawanan Anarkisme terhadap kapitalisme berpusat pada pembelaan kebebasan individual. Tapi kebebasan yang dibela oleh kaum Anarkis bukanlah kebebasan klas-pekerja untuk membangun suatu masyarakat yang baru secara kolektif. Alih-alih, Anarkisme membela kebebasan para pemilik properti-kecil ("burjuis-kecil": para pemilik toko, pengrajin, dan pedagang) terhadap gangguan-gangguan atau ancaman-ancaman berskala besar dari perusahaan-perusahaan kapitalis. Anarkisme merepresentasikan jeritan kesedihan dan penderitaan dari pemilik properti-kecil terhadap pencapaian kapitalisme yang tak terelakkan. Tidak mengherankan bila Anarkisme memegahkan nilai-nilai dari masa lalu: properti-individual, keluarga patriarkal, dan rasisme.

Pierre-Joseph Proudhon (1803-1865), yang dipandang sebagai Bapak Anarkisme, adalah salah satu contoh yang jelas. Bekerja dengan usaha percetakan, Proudhon gigih melawan kemunculan kapitalisme di Prancis. Tapi perlawanan Proudhon terhadap kapitalisme berwatak retrogresif. Ia tidak menatap ke depan, yakni kepada sebuah masyarakat baru yang didirikan berdasarkan properti-komunal yang akan memanfaatkan inovasi-inovasi besar dari Revolusi Industri. Alih-alih begitu, Proudhon malah menjadikan properti-kecil-dan-pribadi sebagai basis utopianya. Ajarannya tidak dirancang untuk klas-pekerja yang sedang tumbuh, tetapi untuk kaum burjuis-kecil (para pengrajin, pedagang kecil, dan kaum tani kaya) yang tergusur oleh perkembangan kapitalisme. Bahkan Proudhon sangat takut terhadap kekuatan klas-pekerja yang terorganisir, sampai-sampai ia menentang serikat-serikat buruh dan mendukung polisi membubarkan pemogokan.

Proudhon juga menentang demokrasi. “Semua demokrasi membuat saya jijik,” tulisnya. Catatan-catatannya tentang masyarakat yang ideal memuat penolakan terhadap pemilihan umum, kebebasan pers, dan pertemuan-pertemuan publik yang dihadiri lebih dari 20 orang. Ia membayangkan bahwa pada masa yang akan datang akan berlaku sebuah “inkwisisi umum” dan hukuman kerja-paksa bagi “beberapa juta orang”. Massa-rakyat, tulisnya, “hanyalah orang-orang biadab … yang wajib kita buat beradab … tanpa membuat mereka menjadi pemerintah atas kita.”

Konsisten dengan cara-pandangnya, Proudhon mendukung hampir setiap hal yang berwatak retrogresif. Ia seorang rasis fanatik yang menyimpan kebencian yang sangat besar kepada orang-orang Yahudi. Bahkan ia menganjurkan agar mereka dilenyapkan dari muka bumi. Ia menentang pembebasan bagi orang-orang kulit hitam Amerika dan mendukung para pemilik budak di wilayah selatan selama Perang Sipil Amerika. Sejalan dengan itu, ia mencela pembebasan kaum wanita. Tulisnya, “Bagi kaum wanita kebebasan dan keadaan yang baik hanya ada dalam perkawinan, keibuan, kewajiban-kewajiban rumah tangga …”

Dalam bukunya, The Origins of Socialism, George Lichtheim menulis dengan sangat tepat:

"Sukar untuk menyebutkan seorang penulis, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, yang darinya Proudhon pernah menemukan sesuatu yang baik untuk dikatakan. Tenunan-tenunannya yang lain meliputi antisemitisme, Anglofobia, toleransi terhadap perbudakan (ia secara terbuka berpihak pada Selatan selama Perang Sipil Amerika), ketidaksukaan kepada orang Jerman, Italia, Polandia – semua yang bukan orang Prancis – dan ngotot dengan pandangan patriarkal tentang kehidupan keluarga … Karena itu tidak mengejutkan bila ia mempercayai adanya ketidaksetaraan yang inheren di antara ras-ras umat manusia, atau bila ia mengangap kaum wanita sebagai makhluk yang lebih rendah.”
Bapak Anarkisme Rusia, Michael Bakunin (1814-1876), mengikuti sebagian besar pandangan Proudhon. Bakunin senang menyatakan kepada sesama kaum Anarkis bahwa “Proudhon adalah guru besar kita semua.” Bakunin sama-sama antisemitik seperti guru besarnya. Bahkan ia yakin bahwa orang Yahudi telah menyusun sebuah komplotan internasional yang mengikutsertakan Karl Marx dan keluarga Rothschild yang kaya-raya. Ia adalah seorang chauvinis Rusia yang yakin bahwa bangsa Rusia ditakdirkan untuk memimpin umat manusia menuju Utopia Anakis. Macam mana kelak utopia tersebut terlihat dalam metode-metode organisasional Bakunin: sama sekali elitis dan otoriter. Dalam kata-kata seorang sejarawan:

"'Persaudaraan Internasional' (International Brotherhood) yang didirikannya di Naples pada tahun-tahun 1865-66 berwatak konspiratorial dan diktatorial... sebab libertarianisme Bakunin berhenti pada keyakinan yang tidak mengizinkan siapa pun untuk berbeda pendapat dengannya. 'Persaudaraan' dipahamai menurut model Masonik, dengan ritual-ritual yang rumit, hirarki, dan direktorat bikinan sendiri yang terdiri dari Bakunin dan sejumlah kecil rekan."

Elitisme dan otoritarianisme Proudhon-Bakunin, serta dukungan mereka terhadap hal-hal yang berwatak retrogresif dan berpikiran-sempit nampaknya berakar dalam natur dari ajaran Anarkis itu sendiri.

Berasal-muasal dari pemberontakan para pemilik properti-kecil terhadap tren sentralisasi dan kolektivikasi dalam kapitalisme (= kecenderungan untuk mengonsentrasikan produksi pada semakin sedikit tempat-tempat kerja yang besar), Anarkisme berakar dalam permusuhan terhadap praktik-praktik demokratik dan kolektivis. Kaum Anarkis yang mula-mula takut terhadap kekuasaan yang klas-pekerja modern yang terorganisir. Sampai saat ini kebanyakan Anarkis membela “kebebasan” individual terhadap keputusan-keputusan yang secara demokratik dibuat oleh kelompok-kelompok kolektif. Kaum Anarkis menentang bahkan bentuk-bentuk yang paling demokratik dari organisasi kehidupan sosial. Dalam kata-kata seorang Anarkis Kanada, George Woodcock:

“Bahkan bila demokrasi itu dimungkinkan, si Anarkis masih tidak akan mendukungnya … Kaum Anarkis tidak menganjurkan kebebasan politis. Apa yang mereka anjurkan adalah kebebasan dari politik …”
Maksud Woodcok, kaum Anarkis menolak proses pengambilan-keputusan apa pun yang di dalamnya mayoritas rakyat secara demokratik menentukan kebijakan-kebijakan yang akan mereka dukung.

Ada faham radikal lain yang kadang-kadang dihubungkan dengan Anarkisme. Faham itu adalah Sindikalisme. Kaum Sindikalis mempercayai aksi kolektif klas-pekerja untuk mengubah masyarakat. Mereka bersandar pada aksi serikat buruh (misalnya pemogokan umum) untuk menggulingkan kapitalisme. Kendati beberapa titik-pandang Sindikalis nampak mirip dengan Anarkisme (secara khusus permusuhannya terhadap politik dan aksi politik) Sindikalisme bukanlah suatu bentuk dari Anarkisme. Dengan menerima pentingnya massa, aksi kolektif, dan pengambilan-keputusan secara kolektif, Sindikalisme jauh lebih memadai daripada Anarkisme. Tapi Sindikalisme menolak aksi politik klas-pekerja. Karena itu Sindikalisme tidak pernah mampu untuk memberikan arahan yang riil bagi upaya-upaya klas-pekerja untuk mengubah masyarakat. (Bersambung...)

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm  

Tidak ada komentar: