LIMA: DARI MARX KE LENIN
DARI interaksi dan konflik di antara berbagai cara-pandang radikal yang muncul sebagai respons terhadap dampak Revolusi Prancis dan Revolusi Industri di Inggris, hanya satu cara-pandang yang memadukan (i) komitmen terhadap demokrasi-populer dan perekonomian sosialis dengan (ii) pemahaman bahwa hanya klas buruhlah yang dapat mewujudkan suatu masyarakat baru yang bebas dan berkelimpahan. Cara-pandang tersebut, yakni Sosialisme dari Bawah, dicetuskan oleh Karl Marx. Akan tetapi, dalam kurun waktu setengah abad setelah kematiannya (1883), cara pandang Marxis mengalami perubahan-perubahan dan pertentangan-pertentangan yang sangat hebat.
Sepanjang dekade 1890-an dunia kapitalis memasuki masa ekspansi ekonomik selama 20 tahun. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, sebagian besar kaum buruh mengalami perbaikan-perbaikan yang riil dalam standard-standard hidup mereka. Dalam jumlah yang sangat besar, kaum buruh ikut dalam serikat-serikat buruh dan partai-partai sosialis. Banyak di antara serikat-serikat buruh dan partai-partai sosialis itu dipengaruhi oleh idea-idea Marxis. Misalnya di Jerman. Partai Sosial-Demokratik Jerman beranggotakan satu juta orang pada tahun 1912. Bahkan dalam pemilihan umum yang digelar pada tahun yang sama, partai tersebut berhasil meraih 4 juta suara.
Dalam kurun waktu manakala nasib kaum buruh kelihatan membaik tanpa harus melakukan perjuangan yang militan atau revolusioner, timbul dan berkembanglah pandangan bahwa kehidupan secara pasti terus berkembang semakin baik. Kaum Sosialis tidak kebal terhadap pandangan tersebut. Bahkan kebanyakan kaum Sosialis di Benua Eropa tiba pada pandangan bahwa secara perlahan namun pasti Sosialisme akan tercapai. Artinya, melalui perubahan yang berangsur-angsur kapitalisme akan menjelma menjadi sejenis kapitalisme-kesejahteraan (welfare capitalism). Di dalam kapitalisme-kesejahteraan itulah kaum buruh akan menikmati kemakmuran. Karena itu, mereka menganggap pandangan Marx (bahwa sosialisme hanya dapat diwujudkan melalui transformasi revolusioner dari bawah) tidak relevan lagi. Supaya Marxisme tetap relevan, perlu diadakan revisi. Hasilnya adalah pandangan bahwa kapitalisme berangsur-angsur akan berubah menjadi sosialisme (!). Inilah revisionisme.
Eduard Bernstein (1850-1932), seorang Sosialis Jerman, adalah teoretikus revisionisme yang terkemuka. Revisionisme menginginkan sosialisme yang bercorak reformis dan top-down. Artinya, revisi terhadap Marxisme dan reformasi terhadap kapitalisme. Semua partai sosial-demokrasi Eropa yang besar pada waktu itu terpengaruh cara-pandang yang sama. Demikianlah tren yang dominan dalam pemikiran sosialis pada waktu itu adalah suatu varian dari “Sosialisme dari Atas”. Perjuangan klas buruh dalam mewujudkan masyarakat sosialis dipandang remeh. Para pejabat pemerintah dan anggota-anggota perlemen yang berasal dari partai-partai sosial-demokrasi-lah yang dipercaya. Para elit pengibar panji revisionisme itu harus mengawal peralihan yang mulus dari kapitalisme menuju sosialisme.
Tetapi Marxisme, yang berkomitmen pada Sosialisme dari Bawah, belum tamat. Meskipun cara-pandang revisionis/reformis berpengaruh luas, beberapa Marxis tetap berkomitmen pada idea tentang “Sosialisme dari Bawah.” Di antara mereka, kita perlu mencatat seorang wanita revolusioner asal Polandia: Rosa Luxemburg.
Rosa Luxemburg (1871-1919) menjadi seorang Sosialis yang revolusioner di tanah airnya Polandia pada umur 16 tahun. Dua tahun kemudian ia pergi ke Swiss untuk menghindari penangkapan oleh polisi Polandia. Setelah menempuh studi selama beberapa tahun, ia pergi ke Jerman. Di sana ia menjadi seorang pemimpin faksi sayap kiri dari Partai Sosial-Demokrasi Jerman. Dalam usia dua puluhan Luxemburg menulis beberapa karya penting yang mengeritik upaya-upaya kaum revisionis/reformis untuk menanggalkan esensi demokratik dan revolusioner Marxisme. Luxemburg berargumen bahwa kapitalisme tidak akan bisa terus berkembang untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Kapitalisme tidak dapat menghindarkan diri dari krisis periodik karena anarki-produksi yang bermuara pada over-produksi. Meski suatu ketika berhasil keluar dari krisis yang satu atau krisis yang lain, cepat atau lambat kapitalisme akan jatuh lagi ke dalam krisis yang lebih besar dan terjerumus ke dalam militerisme. Karena itu, pilihan bagi umat manusia hanyalah antara Sosialisme dan barbarism.
Prognosis atau prediksi Luxemburg menjadi kenyataan dengan pecahnya Perang Dunia pada tahun 1914. Hampir seluruh sayap revisionis dari Sosialisme Eropa menolak prinsip yang telah lama ditegakkan, yakni menentang semua perang yang berkobar di antara bangsa-bangsa kapitalis. Alih-alih, kaum revisionis/reformis itu malah berkanjang pada patriotisme dungu: setiap partai sosial-demokrasi mendukung pemerintah nasional mereka masing-masing. Bersama-sama dengan kaum revolusioner Rusia, yakni V.I. Lenin dan Leon Trotsky, Rosa Luxemburg tampil memimpin sayap internasionalis dari gerakan sosialis Eropa. Sayap internasionalis ini menentang semua Negara yang terjun dalam Perang Dunia. Sayap internasionalis juga menyerukan agar kaum buruh di Negara-negara tersebut menolak Perang Dunia dan menggulingkan pemerintahan-pemerintahan di sana. Pada akhir Perang Dunia, revolusi-revolusi klas buruh terjadi. Pertama di Rusia, kemudian di Jerman, dan belakangan di Hungaria, Austria, dan Italia.
Rosa Luxemburg memainkan peran sentral dalam Revolusi Jerman pada tahun-tahun 1918-19. Dalam perjuangan itu, dengan penuh semangat dan tegas ia mengukuhkan prinsip-prinsip fundamental dari “Sosialisme dari Bawah”. Lagi dan lagi ia berargumen bahwa klas buruh harus membangun sebuah dunia baru dari puing reruntuhan berasap, dari sebuah Eropa yang dilalap habis oleh perang, kelaparan, dan kemiskinan. Perjuangan bagi Sosialisme, katanya, bergantung pada pertarungan melawan penghisapan dan penindasan di setiap pabrik dan tempat kerja. Masyarakat-baru hanya dapat diciptakan oleh aksi-massa klas buruh. Tidak seorang pun dapat memberikan kebebasan kepada klas buruh. Sebagaimana dikatakannya saat Revolusi Jerman mencapai puncaknya:
“Perjuangan demi Sosialisme harus dilaksanakan oleh massa-rakyat, oleh massa-rakyat semata, dada dengan dada terhadap kapitalisme, di setiap pabrik, oleh setiap proletarian terhadap bosnya. Hanya dengan demikian [perjuangan, RA] itu akan menjadi sebuah Revolusi Sosialis.... Sosialisme tidak akan dan tidak dapat diciptakan oleh dekrit-dekrit; tidak pula ia dapat didirikan oleh suatu pemerintahan, betapapun sosialisnya pemerintahan itu. Sosialisme harus diciptakan oleh massa, oleh setiap proletarian. Di mana rantai-rantai kapitalisme terbentuk, di sanalah rantai-rantai tersebut harus dipatahkan. Hanya dengan itulah Sosialisme, dan hanya jalan itulah Sosialisme dapat diciptakan.”
Tragisnya, perjuangan kaum buruh Jerman dihancurkan oleh sebuah rezim yang terdiri dari kaum revisionis/reformis. Dalam proses menindas perjuangan kaum buruh Jerman, pemerintahan “sosialis” ini mengorganisir pembunuhan terhadap Rosa Luxemburg dan kawan seperjuangannya, Karl Liebknecht (1871-1919). Sesungguhnya, “Sosialisme dari Atas” yang birokratik dan reformis itu memang tidak ada tali-temalinya dengan self-mobilization massa rakyat-pekerja, dengan perjuangan “Sosialisme dari Bawah”.
Revolusi kaum buruh kalah di Jerman. Tapi tidak di Rusia. Di sana, massa rakyat-pekerja telah berhasil merebut kekuasaan. Sejak tahun 1902 Lenin berjuang untuk membangun sebuah partai buruh revolusioner yang sejati di tengah gelombang permusuhan dari pihak para pendukung Tsar Rusia. Berbeda dengan kaum Sosialis di Eropa Barat, kaum Marxis Rusia tidak mempunyai syarat-syarat kemakmuran ekonomik dan demokrasi politik yang cukup kuat untuk meninabobokan mereka ke dalam ilusi-ilusi revisionis-reformis. Alih-alih, kaum Bolshevik memelihara cara-pandang yang revolusioner.
Krisis yang terjadi dalam gerakan Sosialis yang disebabkan oleh Perang Dunia mendorong V.I. Lenin (1870-1924) untuk mengoreksi dan mengembangkan cara-pandang kaum Bolshevik pada dua butir yang mahapenting. Pertama, ia kembali pada tulisan-tulisan Marx dan Engels tentang Komune Paris. Dari situ ia tiba pada kesimpulan (sebagaimana Rosa Luxemburg sebelumnya) bahwa para revisionis/reformis telah mendistorsi pandangan Marxis tentang Negara dan revolusi kaum buruh. Dalam risalahnya, State and Revolution, Lenin menegaskan kembali pandangan Marxis bahwa klas buruh harus menggulingkan Negara birokratik dan elitis yang dibangun oleh kapitalisme dan menggantikannya dengan Negara-buruh demokratiknya sendiri. Pembebasan klas tertindas adalah mustahil, kata Lenin, “tanpa penghancuran aparatus kekuasaan Negara yang diciptakan oleh klas penguasa.” Negara-buruh yang baru akan merupakan sebuah “negara transisional”, yang berdasarkan pada perluasan demokrasi kepada mayoritas-massif penduduk sampai “kebutuhan akan sebuah mesin-penindasan-yang-khusus [baca: Negara, RA] mulai lenyap.”
Kedua, pada tahun 1917 Lenin beralih ke pandangan-pandangan Trotsky tentang watak revolusi yang berlangsung di Rusia. Selama bertahun-tahun, semua arus utama di kalangan kaum Sosialis Rusia mempercayai bahwa sebuah revolusi burjuis-demokratik (revolusi melawan kekuasaan Tsar, bukan revolusi untuk mendirikan Sosialisme, tetapi sekadar kapitalisme-liberal) harus mendahului revolusi buruh di Rusia. Tapi pada tahun 1906, Leon Trotsky (1879-1940) mengembangkan pandangan yang sangat berbeda. Menurut Trotsky, hanya klas buruh Rusia yang bakal bersedia dan sanggup melancarkan perjuangan untuk merealisasikan pembaruan-pembaruan demokratik dan sebuah republik demokratik. Tapi mengapa, tanya Trotsky, kaum buruh diharapkan berhenti pada titik itu? Mengapa mereka tidak boleh memperluas perjuangan hak-hak demokratik mereka kepada perjuangan untuk merealisasikan kontrol buruh dan demokrasi sosialis? Menurut Trotsky, faktanya demokrasi di Rusia hanya dapat diwujudkan melalui sebuah revolusi buruh. Kalau begitu, perjuangan demi hak-hak demokratik cenderung akan beralih menjadi perjuangan bagi kekuasaan buruh.
Menjawab pandangan bahwa Rusia masih terlalu terbelakang untuk mampu membangun sebuah masyarakat sosialis (yang sebagaimana kita ketahui mengisyaratkan kondisi berkelimpahan) Trotsky berargumen bahwa meskipun Rusia masih terbelakang, Eropa secara keseluruhan tidak. Revolusi Rusia akan menjadi bagian dari sebuah konflik yang skalanya seluas Eropa. Didukung oleh gerakan-gerakan buruh progresif-revolusioner dari Eropa Tengah dan Eropa Barat, Rusia dapat melewati tahap kapitalisme-liberal dan bergerak langsung menuju pembangunan masyarakat sosialis. Trotsky menggambarkan proses ini sebagai Revolusi Permanen. Revolusi akan menjadi permanen dalam dua pengertian. Pertama, perjuangan untuk merealisasikan demokrasi akan beralih menjadi revolusi untuk merealisasikan kekuasaan buruh. Kedua, Revolusi Rusia akan menyebar dan akan menjadi bagian dari Revolusi Eropa, bahkan Revolusi Dunia.
Ketika pada bulan Maret 1917 kaum buruh perempuan di St Petersburg turun ke jalan menuntut roti dan perdamaian, sedikit saja yang menyadari bahwa Revolusi Rusia telah dimulai. Ketika demonstrasi kaum buruh perempuan tersebut memicu suatu gelombang perjuangan revolusioner terhadap kekuasaan Tsar, Lenin segera menganut perspektif Trotsky dan mengumumkan bahwa revolusi buruh merupakan panggilan yang mendesak. Pada saat yang sama, Trotsky menyadari bahwa tanpa sebuah partai politik yang terorganisir, tidak ada revolusi yang akan berhasil. Karena itu ia bergabung dengan Partai Bolshevik. Kedua orang itu barhu-membahu mendorong Partai Bolshevik untuk mengorganisir dan memimpin pemberontakan kaum buruh pada bulan November (Oktober menurut kalender Ortodoks Rusia) 1917.
Revolusi Rusia didasarkan pada sejenis organisasi sosial yang sama sekali baru: dewan-buruh atau soviet. Dewan-dewan ini, yang terdiri dari delegasi-delegasi yang dipilih dari tempat-tempat kerja dan komunitas-komunitas, menjadi badan-badan pembuatan keputusan yang baru di Rusia. Mereka adalah organ-organ demokrasi langsung yang delegasi-delegasinya (seperti dalam Komune Paris) dapat di-recall oleh para pemilihnya. Soviet-soviet merepresentasikan bentuk baru dari demokrasi-massa. Atas dasar inilah Lenin dan Trotsky mengajukan tuntutan “Semua kekuasaan untuk soviet-soviet!” Inilah semboyan sentral Revolusi Rusia. Soviet-soviet akan menjadi basis dari Negara-buruh yang baru; soviet-soviet itu akan merepresentasikan penubuhan demokrasi-buruh. Setelah pemberontakan yang dipimpin kaum Bolshevik pada bulan Oktober 1917, soviet-soviet memang menjadi fondasi Negara-buruh Rusia. Jurnalis Amerika, John Reed (1887-1920), yang berada di Rusia pada waktu itu, dengan saksama menggambarkan organisasi dari negara baru ini:
Setidaknya dua kali setahun delegasi-delegasi dipilih dari seluruh Rusia untuk Kongres Soviet-soviet Seluruh Rusia (All-Russian Congress of Soviets) ... Badan ini, yang terdiri dari sekitar dua ribu anggota, berhimpun di ibukota dalam bentuk sebuah soviet yang besar, dan merundingkan hal-hal esensial dari kebijakan nasional. Badan ini memilih suatu Komite Eksekutif Sentral, seperti Komite Sentral Soviet Petrograd, yang mengundang delegasi-delegasi dari komite sentral dari semua organisasi demokratik.Komite Eksekutif Sentral dari Soviet-soviet Seluruh Rusia yang diperbesar ini adalah parlemen dari Republik Rusia.
Soviet-soviet, catat Reed, adalah organisasi yang luar biasa bersemangat dan aktif. Mereka mencurahkan perhatian mereka pada semua aspek kebijakan sosial. “Sebelumnya tidak pernah ada sebuah badan politik yang begitu peka dan cepat-tanggap terhadap aspirasi rakyat,” kata Reed.
Selama tahun-tahun 1917 dan 1918, soviet-soviet Rusia penuh dengan inisiatif dan antusiasme revolusioner. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jutaan buruh dan tani mendapati diri mereka mampu berpartisipasi dalam keputusan-keputusan besar yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kontrol terhadap pabrik-pabrik diambil-alih oleh kaum buruh, tanah diambil-alih oleh kaum tani miskin. Janin dari suatu bentuk masyarakat yang baru telah terbentuk.
Sayangnya, hanya sebuah janin. Karena untuk dapat bertumbuh benih sosialisme membutuhkan beberapa syarat yang mahapenting. Syarat mahapenting pertama adalah perdamaian. Negara-buruh yang baru lahir tidak dapat mendirikan sebuah demokrasi yang tumbuh-pesat apabila ia dipaksa untuk mengerahkan pasukan dan membeayai perang guna mempertahankan dirinya. Syarat mahapenting kedua adalah kelimpahan. Kecuali kebutuhan-kebutuhan material-dasariah semua orang dapat dipenuhi, adalah mustahil untuk mempertahankan hidup sebuah demokrasi-langsung-dan-aktif. Ramuan ketiga adalah penyebaran revolusi. Hanya revolusi-revolusi buruh yang berhasil di Eropa-lah yang dapat menyingkirkan ancaman perang dan menyediakan bantuan ekonomik yang sangat dibutuhkan oleh massa-rakyat Rusia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, empat bulan setelah Revolusi Buruh di Rusia, Lenin menyatakan, “Kebenaran yang mutlak adalah: tanpa sebuah revolusi di Jerman kita akan binasa.” *** (Bersambung...)
Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar