IMPIAN tentang kebebasan sama tuanya dengan keberadaan masyarakat-klas. Selama satu bagian dari masyarakat ditindas dan dihisap oleh bagian yang lain, sekian banyak orang, baik pria maupun wanita, terus bermimpi, berbicara, dan menulis tentang tatanan kehidupan yang baru. Di antara mereka ada yang berusaha membuat impian itu menjadi kenyataan: mereka berjuang untuk mematahkan rantai-rantai dominasi yang telah membelenggu mereka pada kehidupan yang menjemukan dan menyengsarakan. Kita dapat menemukan jejak-jejak impian ini dalam dokumen-dokumen sejarawi yang paling tua. Alkitab Perjanjian Pertama, misalnya, menjanjikan kedatangan Sang Mesias yang akan menumbangkan kaum kaya-berkuasa dan membebaskan kaum miskin. Ambillah sebuah pasase dari Kitab Yesaya, yang memproklamirkan bahwa Mesias akan datang
“untuk untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara,
…
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara…” (Yes 61.1).
Dengan jiwa-semangat yang sama, Alkitab Perjanjian Kedua mengumumkan bahwa Yesus adalah mesias yang dimaksud. Dialah yang telah datang untuk membebaskan kaum miskin dan tertindas.
Di sepanjang Abad Pertengahan di Eropa, ada sebuah legenda yang terus hidup. Menurut legenda tersebut, suatu hari seorang pembebas akan datang untuk membunuh kaum kaya-pendosa dan membebaskan kaum miskin. Ketika kaum tani bangkit memberontak melawan tuan-tuan dan majikan-majikan mereka, khususnya dalam Abad-abad XIV, XV, dan XVI, mereka terilhami oleh penantian yang terus hidup tentang kedatangan seorang pemimpin agung yang ditunjuk Allah, yang akan memimpin mereka menuju sebuah “Tanah Terjanji” yang baru.
Semua gerakan atau pemberontakan populer itu bercorak religius. Para pelakunya tidak memandang diri mereka sebagai orang-orang yang memiliki kapasitas bersama untuk menggulingkan para penguasa dan untuk mendirikan sebuah masyarakat baru berdasarkan upaya-upaya mereka sendiri. Mereka menyandarkan diri pada keyakinan bahwa masyarakat akan mengalami transformasi “dari atas”. Transformasi tersebut datang dari Allah, dengan perantaraan manusia-manusia istimewa, yang akan membersihkan dunia dari kejahatan, kekerasan, dan penindasan.
Cara-pandang yang secara esensial bercorak “mistis” ini terus hidup bahkan sampai pada masa perjuangan hebat melawan monarki selama Revolusi Inggris pada tahun-tahun 1640-an. Dalam perjuangan-perjuangan itu, muncullah sejenis ajaran komunis yang kuat yang berdasarkan keyakinan bahwa semua orang seharusnya memiliki dan mengerjakan tanah bersama. Penulis radikal Inggris, Gerard Winstanley, menulis: “Kebebasan sejati terletak dalam penikmatan yang bebas terhadap bumi.” Pada saat yang sama, Winstanley dan para pengikut radikalnya menganut sebuah pandangan religius: kelahiran suatu masyarakat baru adalah karya Allah, bukan karya manusia biasa.
Baru pada awal Abad XIX lahir sebuah idea bahwa manusia-manusia biasa dapat membentuk-ulang masyarakat. Dengan terjadinya Revolusi Industri dan munculnya klas-pekerja modern, para kritikus masyarakat mulai berpikir tentang sebuah transformasi kehidupan sosial yang dikerjakan oleh manusia-manusia biasa. Dari sinilah idea tentang “sosialisme-dari-bawah” lahir. Meski begitu, pada awalnya sosialisme mempunyai karakter yang sangat elitis dan anti-demokratik. Setelah beberapa dekade perjuangan klas-pekerja, barulah sosialisme tampil dalam bentuk sebuah gerakan yang di dalamnya kaum tertindas yakin bahwa mereka dapat membebaskan diri mereka sendiri. Inilah “Sosialisme dari Bawah”: self-liberation of the poor and the oppressed. (Bersambung...)
Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar