Catatan-catatan
Studi
Tahun
ini kita memperingati 70 tahun Peristiwa Madiun. Pihak anti-PKI menyebutnya
sebagai Pemberontakan PKI Madiun, sedangkan PKI menyebutnya Provokasi Madiun.
Berikut adalah catatan-catatan studi saya, sebagai seorang yang menaruh
perhatian serius kepada perjuangan rakyat dan kaum tertindas, atas Peristiwa
Madiun 1948. Catatan-catatan studi ini perlu dikembangkan, lewat penelitian dan
penalaran lebih lanjut, juga kritik, koreksi, dan konfirmasi. Semangatnya
adalah belajar dari perjuangan, dan berjuang dari pelajaran.
Pertama, zig-zag politik Stalinis: dari front
internasional anti-fasis (dalam Perang Dunia II) ke demokrasi baru vs
imperialisme (Perang Dingin). Menyusul Marshall Plan AS yang berintikan
restorasi Eropa Barat pasca PD II, Uni Soviet mendirikan Cominform. Pada Juli
1947, Zhdanov menyatakan bahwa dunia sekarang terbelah di antara kubu demokrasi
baru yang dipimpin oleh Uni Soviet dan kubu imperialis yang dipimpin oleh
Amerika Serikat. Zhdnov mencakupkan Indonesia ke dalam kubu demokrasi baru.
Kedua, zig-zag politik PKI: dari partai
pro-diplomasi dengan Belanda (Sajap Kiri) ke partai anti-diplomasi dengan
Belanda (Front Nasional); jatuh pasca Renville, berusaha come back via tekanan-tekanan kepada pemerintahan Hatta (via FDR), akhirnya menolak pemerintahan
Hatta (via Front Nasional). Kejatuhan
kabinet Amir Sjarifuddin (awal Februari 1948) dan kedatangan Pak Musso (awal
Agustus 1948) dengan “Koreksi Besar”-nya, meradikalisasi PKI. Dari moderasi ke
radikalisasi.
Ketiga, Program Re-Ra
(Reorganisasi dan Rasionalisasi) yang digelar oleh pemerintahan Hatta dengan
arsitek Kolonel Nasution membangkitkan protes unit-unit pasukan yang “menjadi
korban” kebijakan tersebut. Protes tersebut diperkeras, dan pecah menjadi
perlawanan bersenjata, oleh konflik-konflik di antara Divisi IV Senopati dan
Siliwangi (yang hijrah dari Jawa Barat) di Solo. Terjadi penculikan,
pembunuhan, dan saling serang di antara mereka. Dari Senopati, yang cenderung
populis, terdapat unit-unit pasukan yang pro FDR.
Keempat, kaum Komunis
Indonesia terbelah di antara kaum Stalinis dan “Trotskis” (istilah yang kurang
tepat; Tan Malakist, mungkin lebih pas: Tan Malaka dan para pengikutnya).
Semasa pemerintahan Sajap Kiri (kabinet Sjahrir dan kabinet Amir Sjarifuddin),
kaum Stalinis mendukung jalan diplomasi dengan Belanda, sementara kaum Tan
Malakist menolak perundingan dengan Belanda jika tidak didasarkan pengakuan
Belanda atas kedaulatan Indonesia. Merdeka 100% adalah semboyan kaum Tan
Malakist ini. Mereka membentuk semacam front rakyat bernama Persatuan
Perjuangan. Semasa pemerintahan Hatta, utamanya sejak kembalinya Pak Musso,
kaum Stalinis mengambil posisi yang sejalan dengan kaum Tan Malakist.
Sebermula,
kaum Tan Malakist, yang gembira mengetahui bahwa berkat “Koreksi Besar” Pak
Musso, PKI beralih ke posisi tersebut. Kaum Tan Malakist berharap dapat bersatu
dengan kaum Stalinis. Akan tetapi mereka menjadi kecewa karena kaum Stalinis
yang saat itu sudah dipimpin oleh Pak Musso, menolak karena “dendam lama” dan
justru tetap mengikutsertakan para penempuh jalan diplomasi di dalam jajaran
kepemimpinan PKI. Perseteruan kaum Tan Malakist dan kaum Stalinis pecah menjadi
pertempuran karena terpicu oleh penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh Tan
Malakist, dr. Muwardi.
Kelima, konflik dalam
poin tiga dan poin empat tumpah-ruah dalam pertempuran di Solo jelang
pertengahan September 1948: GRR yang Tan Malakist mendukung Siliwangi dan
Hizbullah melawan unit-unit pasukan Senopati yang pro FDR, termasuk Pesindo.
Unit-unit pasukan Senopati yang pro FDR terpukul mundur dari Solo ke Madiun.
Keenam, kaum Stalinis
berupaya mentransformasi FDR menjadi PKI-legal melalui fusi PKI-ilegal, Partai
Buruh, dan Partai Sosialis, dan membangun Front Nasional di bawah pimpinan PKI.
Tujuannya: menuntaskan revolusi nasional anti-imperialisme di bawah pimpinan
PKI. Proses fusi berlangsung. Para pemimpin FDR melakukan turne di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk mengkampanyekan Front
Nasional – sebagai alternatif terhadap pemerintahan Hatta yang dipandang berkompromi
dengan Belanda karena tekanan imperialis Amerika.
Ketujuh, kekalahan
unit-unit pasukan Senopati yang pro FDR meradikalisasi FDR di Madiun.
Menjadikan Madiun sebagai kubu pertahanan yang utama, pada 18 September 1948
FDR merebut kekuasaan di Madiun dan memproklamirkan pemerintahan Front
Nasional. Sebagai respons, pada 19
September malam, pemerintahan Hatta, melalui Bung Karno, menuding bahwa PKI
Musso telah melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah dan menikam Republik
dari belakang. Bung Karno menyerukan untuk merebut kembali Madiun dari tangan
PKI Musso. Dua jam kemudian Pak Musso membalas dengan keras, yang intinya
menuding Bung Karno dan Bung Hatta sebagai penjual bangsa dan menyatakan siap
melakukan perlawanan.
Kedelapan, sementara
transformasi FDR menjadi PKI-legal dan Front Nasional belum tercapai, pecah
perang antara pasukan pemerintah, yang bertulangpunggungkan Siliwangi, dan
pasukan FDR. Dalam hal ini, FDR ada dalam keadaan yang kurang menguntungkan. Secara
militer, FDR tidak siap, termasuk dalam menggelar perang gerilya. Sementara
itu, pasukan Sungkono (dari Senopati) yang besar dan kuat, justru berbalik
melawan FDR, setelah yang bersangkutan ditunjuk oleh Pangsar Sudirman untuk
menjadi panglima Jawa Timur.
Di
samping itu, FDR tidak mendapat dukungan yang memadai dari rakyat. Pertama,
dengan menghina Sukarno-Hatta FDR justru membangkitkan antipati rakyat.
Kharisma Dwitunggal, khususnya Bung Karno, masih begitu besar. Kedua, apa yang
dinamakan sebagai ekses-ekses revolusi berupa pembunuhan-pembunuhan terhadap
para ulama dan orang-orang yang menolak FDR di Madiun dan sekitarnya, membangkitkan
kebencian di kalangan rakyat kepada FDR. Ketiga, agitasi dan propaganda
intensif yang dilakukan pemerintah bahwa PKI Musso khianat dan biadab, efektif
untuk membangun antipati masyarakat luas terhadap FDR/PKI.
Pada
akhir September, pasukan-pasukan pemerintah berhasil menguasai kembali Madiun.
Kemudian mereka memenangkan pertempuran-pertempuran melawan pasukan-pasukan FDR
di tempat-tempat lain. Pada akhir November 1948, “pemberontakan” PKI Musso berakhir.
Akhir Oktober Pak Musso gugur. Akhir November Djokosujono, Maruto Darusman, dan
Sarjono, lalu Amir Syarifuddin dan Suripno, tertangkap. Mereka, bersama dengan
lima orang lainnya, dieksekusi di Solo atas perintah Gubernur Militer Gatot
Subroto pada 19 Desember 1948.
Kesembilan, dengan
keberhasilan menumpas “pemberontakan” PKI Musso, pemerintah Hatta meraih
“keuntungan” politis: Amerika Serikat, yang berseteru dengan Uni Soviet dan
kuatir kaum Komunis berjaya di Indonesia, menggeser sedikit posisi politisnya.
Sekutu Belanda tersebut melihat keuntungan dalam mendukung Indonesia. Agresi
Militer II Belanda ke wilayah Republik pada akhir 1948 kemudian menjadi blunder
bagi Belanda, karena membuat sekutu sekaligus donaturnya itu berbalik
menekannya.
Kesepuluh, sebagaimana
dikatakan Lenin, revolusi adalah pestanya rakyat. Akan tetapi, Lenin juga
mengajarkan bahwa dalam pesta tersebut rakyat memerlukan pimpinan yang tepat.
Sebuah partai pelopor revolusioner sangat dibutuhkan. Pembacaan yang akurat
atas kondisi objektif dan faktor subjektif yang memprasyaratkan kemenangan
rakyat dalam revolusi adalah mutlak penting. Berdasarkan pembacaan itulah
partai pelopor revolusioner menyalurkan enerji rakyat dalam Aksi Massa, yang
secara hakiki tak lain dari tampilnya rakyat sebagai Subjek atau Penentu dari
nasib mereka sendiri. Jika tidak, partai pelopor revolusioner terjebak dalam
oportunisme (kanan) atau avonturisme (ultra kiri). Dalam kedua kasus, rakyat,
yakni kaum buruh, tani, dan kaum miskin lainnya, akan menuai bencana.
Perjuangan
yang bermuara dalam kekalahan, kata Ali Archam, bukanlah perjuangan yang salah.
Saya sependapat. Tentu, bukan berarti segala sesuatu dalam perjuangan yang
kalah itu benar. Selain musuh lebih kuat, sangat mungkin terdapat
kesalahan-kesalahan serius dalam perjuangan tersebut. Kita perlu menyimak
pelajaran-pelajaran dari kekalahan tersebut. ***
Lemah
Abang, 20 September 2018
KEPUSTAKAAN
Anderson,
David Charles, Peristiwa Madiun 1948:
Kudeta atau Konflik Internal Tentara? Yogyakarta: Media Pressindo, 2003.
Gie,
Soe Hok, Orang-orang di Persimpangan Kiri
Jalan. Yogyakarta: Bentang, 1997.
Latif,
Busjarie (Lembaga Sejarah PKI), Manuskrip
Sejarah 45 Tahun PKI. Bandung: Ultimus, 2014.
Onghokam,
“Pemberontakan Madiun 1948: Drama Manusia dalam Revolusi,” dalam Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965.
Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
Poeze,
Harry A., Madiun 1948: PKI Bergerak.
Jakarta: KITLV-Jakarta & Yayasan Obor Indonesia, 2011.
Setiawan,
Hersri, Negara Madiun? Kesaksian
Soemarsono Pelaku Perjuangan. FuSPAD, 2003.
Van Klinken, Gerry, “Amir
Sjarifoeddin dan Kharisma Nasionalis,” dalam Lima Penggerak Bangsa yang Terlupa: Nasionalisme Minoritas Kristen.
Yogyakarta: LKiS, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar