Senin, 15 Februari 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (2)


DUA: SOSIALISME-UTOPIS

ISTILAH “SOSIALISME” muncul pertama kali di Inggris pada tahun 1827. Lima tahun kemudian istilah itu digunakan untuk pertama kalinya dalam sebuah penerbitan Prancis. Sebenarnya bukan kebetulan bila idea – dan gerakan – sosialis pertama-tama muncul di Inggris dan Prancis. Pasalnya, dalam artian ketat sosialisme merupakan produk dari dua revolusi besar dalam sejarah umat manusia: Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Burjuis-demokratik di Prancis.

Revolusi Prancis, yang terjadi pada tahun-tahun 1789-1799, melibatkan perjuangan rakyat yang sangat paling masif. Berakar dalam kebencian rakyat terhadap Monarki yang menindas, revolusi berdiri di atas punggung massa-rakyat kaum miskin di Paris yang bersatu di bawah panji “kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan”. Berawal sebagai pemberontakan melawan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Monarki, revolusi tumbuh-menjelma menjadi tantangan yang masif terhadap segala bentuk otoritas yang menindas – entah para tuan, imam, atau pemilik pabrik. Pada mulanya, pertempuran melawan Monarki menyatukan bagian-bagian besar dalam masyarakat. Tapi ketika revolusi berjaya, sekelompok penguasa yang baru berupaya untuk menghentikan proses tersebut untuk mempertahankan sistem-properti dan kekuasaan mereka yang sarat dengan ketidaksetaraan. Akibatnya, gerakan rakyat terbagi ke dalam kubu konservatif (“Kanan”) dan kubu revolusioner (“Kiri”).

Menurut kubu konservatif, kebebasan semata merupakan kebebasan untuk memiliki properti. Menurut kubu revolusioner, yang merepresentasikan kaum miskin Paris, kebebasan adalah mustahil tanpa kesetaraan. Bagi kaum Kiri itu, sia-sialah berkata-kata tentang kebebasan bila secara riil kebebasan itu justru menjerumuskan sekian banyak orang ke dalam jurang kelaparan, sementara segelintir orang lainnya tumbuh menjadi kaya berdasarkan penghisapan atas kerja sebagian besar orang. Sebagaimana dikatakan oleh pemimpin radikal Jacques Roux pada puncak Revolusi Prancis pada tahun 1793,

"Kebebasan itu tidak lebih dari sekadar sebuah cangkang kerang yang kosong ketika satu klas manusia diizinkan untuk menghukum yang lain dalam kelaparan tanpa satu tindakan pun diambil terhadap mereka. Dan kesetaraan juga merupakan cangkang kerang kosong ketika kaum-kaya, dengan menggunakan monopoli-monopoli ekonomik mereka, memiliki kekuasaan atas kehidupan atau kematian terhadap anggota-anggota lainnya dari komunitas."

Karena itu, dari Revolusi Prancis muncullah idea sosialis yang hakiki: demokrasi dan kebebasan membutuhkan sebuah masyarakat-yang-setara. A society of equality. Para radikal Prancis memahami bahwa kebebasan yang sejati memprasuposisikan kebebasan semua orang yang berpartisipasi secara setara dalam berproduksi dan berbagi kekayaan masyarakat. Mereka mengerti bahwa bila beberapa orang memiliki hak yang tak setara untuk memiliki dan memonopoli tanah, kekayaan, atau pabrik-pabrik, maka yang lain secara tidak setara akan terhukum dalam perbudakan, kesengsaraan, dan kemiskinan.

Tetapi masyarakat-yang-setara menuntut kondisi berkelimpahan. Selama kehidupan ekonomik tetap terbelakang, kesetaraan hanya berarti “sama-sama melarat” (common hardship of shared poverty). Sebuah demokrasi yang sehat dan tumbuh subur menuntut suatu kondisi kemakmuran yang di dalamnya semua kebutuhan dasariah manusia dapat dipenuhi. Jadi, tanpa suatu tingkat perkembangan ekonomik tuntutan kaum revolusioner Prancis, tetap tinggal bersifat utopia semata. Hanya dengan perkembangan ekonomik yang sangat hebat yang dimungkinkan oleh Revolusi Industri di Inggris-lah sebuah masyarakat yang berdasarkan kesetaraan dan kelimpahan menjadi kemungkinan yang realistis.

Revolusi Industri Inggris menampilkan gambar-gambar tentang pabrik-pabrik tekstil yang gelap dan kotor, anak-anak berumur sepuluh tahun yang bekerja di tambang-tambang batubara, pria dan wanita yang bekerja 12 dan 14 jam per-hari. Pendeknya, gambar-gambar tentang penderitaan dan kesengsaraan. Secara keseluruhan, gambar-gambar ini benar. Revolusi Industri, yang dimulai pada perempatan terakhir Abad XVIII, adalah sebuah dislokasi yang masif dalam kehidupan sosial. Komunitas-komunitas yang lama hancur, orang-orang tercerabut-paksa dari tanah mereka dan tergiring ke dalam tirani pabrik-pabrik, penyakit-penyakit industrial berlipatganda: kelaparan, kemisinan, dan wabah penyakit meluas. Tingkat harapan hidup bagi sebagian besar orang pun jatuh. Tapi pada saat yang sama, beberapa ramuan Revolusi Industri menyediakan kemungkinan untuk mengakhiri penyakit-penyakit ini. Mesin-mesisn produksi baru yang berkembang, khususnya di sepanjang awal tahun 1800-an, menawarkan kemungkinan untuk secara tajam mereduksi kerja yang menjemukan dan menyengsarakan, dan untuk secara masif memperbesar produksi kekayaan sehingga dapat mengeliminir kemiskinan selamanya.

Dalam kenyataannya, Revolusi Industri tidak melakukannya. Alih-alih mendatangkan perbaikan dalam kondisi-kondisi kerja, industri baru digunakan untuk memperbesar keberuntungan segelintir orang: kaum kapitalis industrial. Meski demikian, sejumlah penulis melihat dalam Revolusi Industri suatu potensi yang luar biasa untuk memperbaiki kondisi hidup manusia. Bahkan beberapa bankir dan pemilik pabrik yang berniat baik tiba pada keyakinan bahwa kekuatan Revolusi Industrial harus dimanfaatkan untuk melayani tujuan-tujuan yang manusiawi. Banyak di antara mereka menjadi penganjur-penganjur pertama dari apa yang dikenal sebagai “sosialisme-utopis”.

Sosialis-utopis Inggris yang paling terkenal adalah pabrikus kapas Robert Owen (1771-1851). Seperti kebanyakan sosialis awal yang berasal dari klas-kapitalis, Owen tidak menginginkan suatu restrukturisasi sosial massa-demokratik. Bagi Owen, klas-pekerja merupakan suatu kelompok yang menderita dan patut dikasihani. Sosialisme Owen bertumpu pada pendekatan kepada para pemimpin bisnis kaya dan pemerintah untuk meyakinkan mereka agar memperbaiki kondisi-kondisi buruk dari massa pekerja.

Dalam hal ini Owen mirip dengan dua sosialis Prancis yang mula-mula: Henri Saint-Simon dan Charles Fourier. Saint-Simon (1760-1825) adalah seorang bankir yang beralih menjadi spekulan real estate dan meraih kekayaan besar dalam dekade-dekade sesudah Revolusi Prancis. Terpesona oleh potensi luar biasa sains dan teknologi, Saint-Simon berargumen untuk mendukung sebuah masyarakat “sosialis” yang akan mengeliminir aspek-aspek yang tak tertata dari kapitalisme. “Sosialisme”-nya Saint-Simon jelas-jemelas anti-demokrasi. Ia tidak mempertimbangkan atau membayangkan perluasan dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan manusia. Alih-alih ia mengharapkan sebuah masyarakat industrial yang terencana dan termodernisir yang diperintah oleh satu komite internasional para bankir. Dalam banyak hal, Saint-Simon mengantisipasi perkembangan kapitalisme-negara. Ia melihat ke depan, yakni pada sebuah sistem kapitalis yang di dalamnya industri akan dimiliki dan diatur oleh satu pemerintahan yang terdiri dari para ilmuwan, manajer, dan pengelola keuangan.

Charles Fourier (1772-1837) mengembangkan beberapa idea yang orisinil. Tapi cara-pandang Fourier memiliki dua cacat utama. Pertama, ia menolak potensi industri modern untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang berkelimpahan; ia justru mengharapkan kembalinya kondisi-kondisi kehidupan pra-industrial. Kedua, Fourier tidak mengarahkan perhatiannya kepada massa-rakyat pekerja, tetapi kepada para penguasa yang mengalami pencerahan hati dan pikiran. Mereka, para penguasa itulah, yang seharusnya memegang tampuk kepemimpinan menuju masyarakat sosialis. Sehubungan daengan itu Fourier menggunakan banyak waktu untuk membuat cetak-biru yang sangat rinci bagi penciptaan sebuah masyarakat baru. Selanjutnya ia menggandakan cetak-birunya bagi para penguasa seperti Tsar Rusia dan Presiden Amerika Serikat.

Inilah benang merah yang menjelujur dalam cara pandang semua sosialis-utopis yang mula-mula. Tiap-tiap pengajur sosialis-utopis mencari orang-orang yang berniat baik dari klas-penguasa untuk mendatangkan sebuah transformasi sosialis. Mereka tidak berpandangan bahwa sosialisme hanya bisa dicapai secara demokratis, yakni melalui aksi-massa dari klas-pekerja. Karena alasan ini, pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan sebagai varian-varian dari “Sosialisme-dari-Atas”, suatu pandangan yang di dalamnya massa-rakyat pekerja hanya sekadar alat dari kaum elite yang tercerahkan. Massa-rakyat bukan subyek-sejarah. Bukan mereka, tetapi kaum elit, yang akan mengubah masyarakat menurut kepentingan-kepentingan massa-rakyat pekerja. Tentu saja ini sangat meragukan. Seorang pakar sejarah sosialisme, George Lichtheim, mengemukakannya sebagai berikut:

“Sosialisme Prancis, pada awalnya, adalah karya orang-orang yang berpikir untuk tidak menjungkirbalikkan masyarakat, tetapi ingin memperbaharuinya, dengan penataan yang tercerahkan bila memungkinkan. Inilah mata-rantai antara Robert Owen, Charles Fourier, dan Henri de Saint-Simon.”

Di samping sosialisme-utopis, dalam periode itu ada versi sosialisme yang terkesan revolusioner. Itulah komunisme-konspiratorial. Dari kekalahan perjuangan-perjuangan rakyat dalam Revolusi Prancis, muncul sekelompok orang di bawah pimpinan Gracchus Babeuf. Mereka coba mengembangkan sebuah perspektif komunis. Babeuf dan para pengikutnya percaya bahwa demokrasi sejati hanya dapat dibangun berdasarkan kepemilikan bersama atas kekayaan. Tapi mereka tidak melihat cara untuk memenangkan mayoritas masyarakat agar mendukung program komunis mereka. Massa-rakyat Prancis dibiarkan sedikit saja berupaya, yakni melindungi properti pribadi mereka: sebidang tanah atau bengkel kerja mereka. Babeuf cs sedikit saja berminat kepada transformasi sosialis. Karena itu, Babeuf – dan pengikutnya yang kemudian, Adolphe Blanqui – hanya dapat memahami sebuah revolusi yang dibuat oleh suatu minoritas, elit komunis. Akibatnya, demokrasi asing bagi program sosialis mereka. (Bersambung...) ***

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm  

Tidak ada komentar: