Senin, 24 September 2018

TRAGEDI NABOT, TRAGEDI KAUM TANI

courtesy of https://www.jw.org 
Refleksi Biblika Menyambut Hari Tani Nasional: 
24 Oktober 2018 

1Raja-raja 21.1-29

Rudolfus Antonius

Ahab ingin bertanam sayur-mayur. Dalam rangka agrobisnis? Entahlah. Pastinya, ia butuh tanah. Syahdan, di sebelah rumahnya ada sebidang tanah. Kebun anggur milik Nabot, tetangganya. Ahab berminat, sangat berminat. Lalu ia mengajukan penawaran kepada Nabot. Tanah ditukar tanah: kebun anggur Nabot ditukar dengan kebun anggur yang (konon) lebih baik. Atau, tanah ditukar uang.

Nabot menolak tawaran Ahab. Ia tidak bersedia “melepas” tanahnya. Ditukar dengan tanah yang lebih baikkah, ditukar dengan uang yang sangat banyak banyakkah, ia tidak bersedia. Bukan kok ia tidak tertarik dengan kebun anggur yang lebih baik. Bukan kok ia sudah tidak senang dengan uang. Ada soal lain. Tanah yang sekarang ada padanya adalah tanah pusaka, warisan leluhur mulia. Gusti Allah telah menitipkan tanah itu kepada para leluhur dan keturunan mereka. Di tanah itu mereka hidup. Dari tanah itu mereka hidup. Di tanah itu mereka memuja Allah. Di tanah itu mereka mati dan dikuburkan. Pendeknya, bagi Nabot itu mendefinisikan diri dan kaum keluarganya. Mereka adalah tanah itu. Tanah itu adalah mereka. Kehilangan tanah itu berarti kehilangan diri mereka sendiri. Maka tanah itu wingit, keramat. Sadumuk bathuk sanyari bumi, pecahing dada wutahing ludira.

Dalam pada itu, Ahab dan Nabot ada  dalam relasi kekuasaan yang tidak setara. Ahab itu ratu, raja Israel. Nabot itu rakyat. Ahab memiliki akses terhadap kekuasaan yang sangat besar – untuk digunakannya. Nabot tidak. Tentu ada implikasinya, wabil chusus dalam soal kepemilikan tanah.
Izebel sang permaisuri tahu persis tentang hal itu. “Bukankah engkau sekarang yang memegang kuasa raja atas Israel?” tanyanya kepada Ahab, retoris. Ahab tentu juga tahu, tapi agaknya ia masih segan melanggar adat dan kepercayaan tentang tanah yang hidup dalam masyarakat Israel.

Izebel tahu kesulitan Ahab. Ia tahu cara mengatasinya. Ia tahu bagaimana cara mendapatkan tanah tersebut secara sah tanpa melanggar kepercayaan dan adat Israel. Untuk itu ia memadukan kekuasaan besar yang dimiliki suaminya dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat Israel. Penuh rasa percaya diri ia berkata kepada suaminya yang sedang galau itu, “Bangunlah, makanlah, dan biarlah hatimu gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu.”   

Hukum harus independen, politik tidak boleh mengintervensinya. Tegakkan supremasi hukum. Jadikanlah hukum itu panglima. Itulah jargon-jargon yang kita imani dan amini sebagai warga masyarakat dari sebuah Negara demokratis. Tapi mungkin kita lupa, yang kita imani dan amini itu barulah sebatas yang ideal, Das Sollen, bukan Das Sein. Meski tidak selalu, toh sering kenyataannya jauh panggang dari api.

Izebel merekayasa sebuah kasus untuk melawan Nabot. Petani tersebut akan diseret ke pengadilan dengan dakwaan: mengutuk Allah dan raja. Dakwaan yang sangat serius, yang secara langsung menyangkut agama dan mengusik martabat sebuah bangsa. Bila terbukti, vonisnya jelas: hukuman mati. Pelaksanaannya: dirajam batu sampai mati. Nabot akan mati sebagai orang terkutuk, sebagai noda yang harus dibersihkan dari antara orang Israel. Tanahnya akan disita, dikembalikan kepada Sang Empunya, yakni Gusti Allah, di bawah tanggung jawab raja.

Untuk memastikan agar Nabot terbukti bersalah dan dihukum rajam sampai mati, Izebel melakukan persiapan yang cermat. Ia memberi instruksi kepada para tua-tua dan pemuka kota Yizreel. Mereka memaklumkan kepada penduduk kota Yizreel supaya mereka berkabung karena nama Allah dan raja telah dinistakan. Kemudian mereka semua berhimpun untuk menggelar pengadilan. Si terdakwa, penista Allah dan raja, sudah ditahan dan sekarang diperhadapkan ke muka pengadilan. Tak lain tak bukan, terdakwa itu adalah Nabot. Para tua-tua dan pemuka kota, yang tak lain dari tokoh-tokoh masyarakat, termasuk alim-ulama, menyampaikan kepada jamaah bahwa Nabot didakwa telah mengutuk Allah dan raja. Nabot yang malang sekarang duduk di kursi pesakitan.

Sebagaimana sudah diatur, ada dua orang saksi (sesuai dengan minimal requirement) atas dakwaan tersebut. Kedua saksi itu orang-orang dursila (= bǝney-bǝliyyalal, anak-anak dari yang tidak ada harganya, orang-orang yang bermoral rendah, mungkin sekelas benggol entah bernampilan santun mriyayeni entah brangasan), yang siap berdusta – kendati di bawah sumpah – demi oportunisme maju tak gentar membela yang bayar. Singkat kata singkat cerita, pengadilan yang dipimpin oleh para tua-tua dan pemuka kota memutuskan bahwa Nabot terbukti secara amat-sangat meyakinkan telah mengutuk Allah dan raja. Untuk itu, Nabot harus dirajam batu sampai mati.

Jelas, Izebel memainkan tiga kartu dalam “kasus melawan petani Nabot.” Pertama, ia menggunakan kekuasaan politik untuk menggerakkan para tua-tua dan pemuka kota mengerahkan penduduk Yizreel dan mengajukan Nabot ke pengadilan. Kedua, ia memanfaatkan dan memanipulasi sentimen religius rakyat sehingga Nabot petani anggur itu menjadi makhluk paling jahat yang sudah seharusnya dilenyapkan dari muka bumi. Ketiga, ia menggunakan orang-orang yang bermoral rendah yang akan bersedia melakukan apa saja, termasuk yang paling hina sekalipun, karena uang. Kita lihat, kekuatan politik, agama, dan kekuatan ekonomi bersatupadu untuk melayani kezaliman dan menumpahkan darah petani “yang tak tahu diuntung” itu. Kenyataannya, Izebel menang. Nabot mati. Ahab mendapatkan tanahnya. 

Yahweh, Allah, yang sejak awal seolah memosisikan diri sebagai penonton drama berdarah itu, akhirnya gerah juga. Jelas, rekayasa berujung maut dan perampasan itu membuat-Nya sangat geram. Ia mengutus Nabi Elia untuk menempelak Ahab dan mengumumkan pembalasan-Nya atas Ahab dan seluruh kaum keluarganya. Kita jadi ingat kasus Daud yang merekayasa kematian Uria demi menyelamatkan muka sesudah menzinahi Batsheba, istrinya. Yahweh, Allah, baru bertindak belakangan, dengan mengutus Nabi Natan kepada Daud. Padahal korban penindasan dan kesewenang-wenangan – dalam kedua kasus tersebut – sudah kadung berjatuhan! ***

Kini, atas nama pembangunan infrastruktur kaum tani digusur di mana-mana di negeri ini!

Tragedi Nabot, tragedi kaum tani!


Lemah Abang, 24 September 2018


Tidak ada komentar: