courtesy of https://www.jw.org |
Refleksi Biblika Menyambut Hari Tani Nasional:
24 Oktober 2018
24 Oktober 2018
1Raja-raja 21.1-29
Rudolfus Antonius
Ahab
ingin bertanam sayur-mayur. Dalam rangka agrobisnis? Entahlah. Pastinya, ia
butuh tanah. Syahdan, di sebelah rumahnya ada sebidang tanah. Kebun anggur
milik Nabot, tetangganya. Ahab berminat, sangat berminat. Lalu ia mengajukan
penawaran kepada Nabot. Tanah ditukar tanah: kebun anggur Nabot ditukar dengan
kebun anggur yang (konon) lebih baik. Atau, tanah ditukar uang.
Nabot
menolak tawaran Ahab. Ia tidak bersedia “melepas” tanahnya. Ditukar dengan
tanah yang lebih baikkah, ditukar dengan uang yang sangat banyak banyakkah, ia
tidak bersedia. Bukan kok ia tidak tertarik dengan kebun anggur yang lebih
baik. Bukan kok ia sudah tidak senang dengan uang. Ada soal lain. Tanah yang
sekarang ada padanya adalah tanah pusaka, warisan leluhur mulia. Gusti Allah telah menitipkan tanah itu
kepada para leluhur dan keturunan mereka. Di tanah itu mereka hidup. Dari tanah
itu mereka hidup. Di tanah itu mereka memuja Allah. Di tanah itu mereka mati
dan dikuburkan. Pendeknya, bagi Nabot itu mendefinisikan diri dan kaum
keluarganya. Mereka adalah tanah itu. Tanah itu adalah mereka. Kehilangan tanah
itu berarti kehilangan diri mereka sendiri. Maka tanah itu wingit, keramat. Sadumuk
bathuk sanyari bumi, pecahing dada wutahing ludira.
Dalam
pada itu, Ahab dan Nabot ada dalam
relasi kekuasaan yang tidak setara. Ahab itu ratu, raja Israel. Nabot itu rakyat. Ahab memiliki akses terhadap
kekuasaan yang sangat besar – untuk digunakannya. Nabot tidak. Tentu ada
implikasinya, wabil chusus dalam soal
kepemilikan tanah.
Izebel
sang permaisuri tahu persis tentang hal itu. “Bukankah engkau sekarang yang
memegang kuasa raja atas Israel?” tanyanya kepada Ahab, retoris. Ahab tentu
juga tahu, tapi agaknya ia masih segan melanggar adat dan kepercayaan tentang
tanah yang hidup dalam masyarakat Israel.
Izebel
tahu kesulitan Ahab. Ia tahu cara mengatasinya. Ia tahu bagaimana cara
mendapatkan tanah tersebut secara sah tanpa melanggar kepercayaan dan adat
Israel. Untuk itu ia memadukan kekuasaan besar yang dimiliki suaminya dengan
hukum yang berlaku dalam masyarakat Israel. Penuh rasa percaya diri ia berkata
kepada suaminya yang sedang galau itu, “Bangunlah, makanlah, dan biarlah hatimu
gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu.”
Hukum
harus independen, politik tidak boleh mengintervensinya. Tegakkan supremasi
hukum. Jadikanlah hukum itu panglima. Itulah jargon-jargon yang kita imani dan
amini sebagai warga masyarakat dari sebuah Negara demokratis. Tapi mungkin kita
lupa, yang kita imani dan amini itu barulah sebatas yang ideal, Das Sollen, bukan Das Sein. Meski tidak selalu, toh sering kenyataannya jauh panggang
dari api.
Izebel
merekayasa sebuah kasus untuk melawan Nabot. Petani tersebut akan diseret ke
pengadilan dengan dakwaan: mengutuk Allah dan raja. Dakwaan yang sangat serius,
yang secara langsung menyangkut agama dan mengusik martabat sebuah bangsa. Bila
terbukti, vonisnya jelas: hukuman mati. Pelaksanaannya: dirajam batu sampai
mati. Nabot akan mati sebagai orang terkutuk, sebagai noda yang harus
dibersihkan dari antara orang Israel. Tanahnya akan disita, dikembalikan kepada
Sang Empunya, yakni Gusti Allah, di bawah tanggung jawab raja.
Untuk
memastikan agar Nabot terbukti bersalah dan dihukum rajam sampai mati, Izebel
melakukan persiapan yang cermat. Ia memberi instruksi kepada para tua-tua dan
pemuka kota Yizreel. Mereka memaklumkan kepada penduduk kota Yizreel supaya
mereka berkabung karena nama Allah dan raja telah dinistakan. Kemudian mereka
semua berhimpun untuk menggelar pengadilan. Si terdakwa, penista Allah dan
raja, sudah ditahan dan sekarang diperhadapkan ke muka pengadilan. Tak lain tak
bukan, terdakwa itu adalah Nabot. Para tua-tua dan pemuka kota, yang tak lain
dari tokoh-tokoh masyarakat, termasuk alim-ulama, menyampaikan kepada jamaah
bahwa Nabot didakwa telah mengutuk Allah dan raja. Nabot yang malang sekarang
duduk di kursi pesakitan.
Sebagaimana
sudah diatur, ada dua orang saksi (sesuai dengan minimal requirement) atas dakwaan tersebut. Kedua saksi itu
orang-orang dursila (= bǝney-bǝliyyalal,
anak-anak dari yang tidak ada harganya, orang-orang yang bermoral rendah, mungkin
sekelas benggol entah bernampilan
santun mriyayeni entah brangasan), yang siap berdusta – kendati
di bawah sumpah – demi oportunisme maju tak gentar membela yang bayar. Singkat
kata singkat cerita, pengadilan yang dipimpin oleh para tua-tua dan pemuka kota
memutuskan bahwa Nabot terbukti secara amat-sangat meyakinkan telah mengutuk
Allah dan raja. Untuk itu, Nabot harus dirajam batu sampai mati.
Jelas,
Izebel memainkan tiga kartu dalam “kasus melawan petani Nabot.” Pertama, ia menggunakan kekuasaan
politik untuk menggerakkan para tua-tua dan pemuka kota mengerahkan penduduk
Yizreel dan mengajukan Nabot ke pengadilan. Kedua, ia memanfaatkan dan memanipulasi sentimen religius rakyat
sehingga Nabot petani anggur itu menjadi makhluk paling jahat yang sudah
seharusnya dilenyapkan dari muka bumi. Ketiga,
ia menggunakan orang-orang yang bermoral rendah yang akan bersedia melakukan
apa saja, termasuk yang paling hina sekalipun, karena uang. Kita lihat,
kekuatan politik, agama, dan kekuatan ekonomi bersatupadu untuk melayani
kezaliman dan menumpahkan darah petani “yang tak tahu diuntung” itu.
Kenyataannya, Izebel menang. Nabot mati. Ahab mendapatkan tanahnya.
Yahweh, Allah, yang
sejak awal seolah memosisikan diri sebagai penonton drama berdarah itu,
akhirnya gerah juga. Jelas, rekayasa berujung maut dan perampasan itu
membuat-Nya sangat geram. Ia mengutus Nabi Elia untuk menempelak Ahab dan
mengumumkan pembalasan-Nya atas Ahab dan seluruh kaum keluarganya. Kita jadi
ingat kasus Daud yang merekayasa kematian Uria demi menyelamatkan muka sesudah
menzinahi Batsheba, istrinya. Yahweh, Allah, baru bertindak belakangan, dengan
mengutus Nabi Natan kepada Daud. Padahal korban penindasan dan
kesewenang-wenangan – dalam kedua kasus tersebut – sudah kadung berjatuhan! ***
Kini, atas nama pembangunan infrastruktur kaum tani digusur di mana-mana di negeri ini!
Tragedi Nabot, tragedi kaum tani!
Lemah Abang, 24 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar