sexinfo.soc.ucsb.edu |
Rudolfus Antonius
Seorang pendeta ternama ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencabulan atas seorang perempuan belia (7 Maret 2020). Mula-mula dikabarkan bahwa sang perempuan telah menjadi korban pencabulan selama 17 tahun, sejak ia berumur 9 tahun. Belakangan pihak kepolisian, berdasarkan pengakuan si pendeta, mengatakan bahwa pencabulan itu berlangsung selama 6 tahun, sejak korban berumur 12 tahun. Gadis yang dititipkan orangtuanya kepada si pendeta agar dibina secara rohani malah dijadikannya budak seks selama bertahun-tahun.
Kasus
ini bukan kasus satu-satunya. Kita dapat menyebutkan sederetan panjang kasus
serupa. Kasus-kasus tersebut memiliki pola relasi yang sama: pelaku memiliki
posisi yang lebih tinggi daripada korban. Pelaku adalah budayawan terkemuka,
korban adalah mahasiswi yang sedang mengerjakan skripsi. Pelaku adalah dosen,
korban adalah mahasiswi. Pelaku adalah pengasuh ponpes atau putera pengasuh
ponpes, korban adalah (para) santriwati. Pelaku adalah guru ngaji, korban
adalah murid-muridnya. Pelaku adalah para pastor, korban adalah anak-anak
kecil.
Di
mana ada relasi antarmanusia, di situ terdapat kebutuhan akan tatanan.
Kebutuhan tersebut mengharuskan adanya kuasa. Bentuknya dua: otoritas (exousia) dan daya (dunamis). Otoritas adalah proyeksi dari kesadaran manusia akan
perlunya tatanan. Ia mengandaikan integritas, kapasitas, dan kredibiltas di
satu sisi, serta kepercayaan, rasa hormat, tunduk, bahkan takut di lain sisi.
Daya adalah kemampuan yang penggunaannya disahkan oleh otoritas. Dengan kuasa,
tatanan dimungkinkan. Idealnya, tentu, kuasa digunakan untuk mengadakan tatanan
guna mendatangkan kesejahteraan bersama.
Dalam
relasi yang tidak sepadan (atas-bawah, tinggi-rendah), kuasa rentan
disalahgunakan. Berdasarkan otoritas yang ada padanya, orang bisa menggunakan
daya untuk memenangkan kepentingan atau hasratnya sendiri dengan mengorbankan
pihak yang berposisi lebih rendah atau lebih lemah. Jenis-jenisnya: eksploitasi
dan manipulasi, penindasan dan rudapaksa, marjinalisasi dan diskriminasi.
Dalam
kasus "pendeta ternama" dan sederetan kasus lainnya yang serupa, si
pendeta (juga budayawan, pastor, ustad, kiyai, putera kiyai, dsb.) ada dalam
posisi berkuasa (powerful). Komunitas
Kristen yang dipimpinnya percaya bahwa si pendeta adalah "orang suci,"
yang menghubungkan alam-atas (Tuhan) dan alam-tengah (manusia) melalui doa-doa
dan pengajaran yang penuh kuasa. Komunitas meyakini bahwa si pendeta adalah
"hamba Tuhan yang diurapi." Kesuksesannya menghimpun pengikut dalam
jumlah besar, bahkan kekayaan material dan gaya hidupnya yang mewah, yang oleh
komunitas diyakini sebagai tanda-tanda bahwa ia diberkati Tuhan, mengukuhkan otoritasnya
sebagai "orang suci" yang sangat istimewa: hamba Tuhan yang diurapi.
Jelas, ia memiliki otoritas "rohani" yang sangat besar.
Di
lain pihak, gadis yang dititipkan orangtuanya kepada si pendeta ada dalam
posisi tidak berkuasa (powerless).
Orangtuanya percaya penuh kepada si pendeta. Mereka telah menyerahkannya ke
dalam "perwalian" si pendeta. Mereka percaya bahwa dengan dibina oleh
si pendeta, ia akan tumbuh sebagai perempuan saleh, perempuan yang mengasihi
dan melayani Tuhan. Dalam pada itu, bagi orang yang benar-benar mempercayainya,
kuasa rohani memberi dampak psikologis yang sangat besar: yang tak-berkuasa
cenderung tunduk, submissive.
Kepercayaan
orangtua, posisi sebagai yang dibina, dan kecenderungan submissive telah membuat sang gadis menjadi benar-benar tak
berdaya. Sementara itu, posisi otoritatif yang dimilikinya di satu sisi dan
posisi tak-berkuasa dan kecenderungan submissive
sang gadis di sisi lain, cenderung memperbesar rasa percaya diri si pendeta,
bahkan ketika ia menyalahgunakan kuasa. Rayuan, ancaman, bujukan, kata-kata
suci, rujukan kepada nama Tuhan, tindakan kesalehan (doa dsb.), misalnya, yang
dilakukan untuk membenarkan perbuatan kejinya, memperbesar dominasi si pendeta
atas sang gadis dan membuat sang gadis menjadi semakin submissive. Ini bukan berarti sang gadis menyetujui perbuatan si
pendeta terhadap dirinya. Si gadis tidak setuju, tapi ia tidak berdaya.
Perbuatan abusive si pelaku
ditanggapi dengan sikap submissive korban.
Jelas,
dalam kasus si "pendeta ternama," si pendeta adalah pelaku, sang
gadis atau sang perempuan adalah korban. Si pendeta telah melakukan abuse of power, sedangkan sang gadis
terjebak ke dalam sikap submissive to
power. Dalam posisi sebagai penguasa si pendeta telah berbuat kezaliman (adikia), alih-alih menguatkan relasi yang
benar-adil (dikaiosunê), dan
mendatangkan kesejahteraan bersama. Harkat dan martabat sang gadis/perempuan
harus dipulihkan. Si pendeta harus menjalani konsekuensi atas kezalimannya.
Kuasa
itu bisa berguna, sangat berguna. Tapi kuasa juga bisa berbahaya, sangat
berbahaya. Power tends to corrupt,
absolute power tends to absolute corrupt, kata Lord Acton. Karena itu,
kuasa harus dibatasi: didistribusikan di dalam komunitas, dan dikontrol oleh
komunitas. Meski tidak sempurna, demokrasi adalah sebaik-baiknya cara manusia
mengelola kuasa. Termasuk kuasa "hamba Tuhan yang diurapi." Komunitas
iman, termasuk gereja, butuh demokrasi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar