Sabtu, 14 Maret 2020

DI BALIK PENCABULAN, PEMERKOSAAN, DAN PERBUDAKAN SEKSUAL

sexinfo.soc.ucsb.edu
Rudolfus Antonius

Seorang pendeta ternama ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencabulan atas seorang perempuan belia (7 Maret 2020). Mula-mula dikabarkan bahwa sang perempuan telah menjadi korban pencabulan selama 17 tahun, sejak ia berumur 9 tahun. Belakangan pihak kepolisian, berdasarkan pengakuan si pendeta, mengatakan bahwa pencabulan itu berlangsung selama 6 tahun, sejak korban berumur 12 tahun. Gadis yang dititipkan orangtuanya kepada si pendeta agar dibina secara rohani malah dijadikannya budak seks selama bertahun-tahun.

Kasus ini bukan kasus satu-satunya. Kita dapat menyebutkan sederetan panjang kasus serupa. Kasus-kasus tersebut memiliki pola relasi yang sama: pelaku memiliki posisi yang lebih tinggi daripada korban. Pelaku adalah budayawan terkemuka, korban adalah mahasiswi yang sedang mengerjakan skripsi. Pelaku adalah dosen, korban adalah mahasiswi. Pelaku adalah pengasuh ponpes atau putera pengasuh ponpes, korban adalah (para) santriwati. Pelaku adalah guru ngaji, korban adalah murid-muridnya. Pelaku adalah para pastor, korban adalah anak-anak kecil.

Di mana ada relasi antarmanusia, di situ terdapat kebutuhan akan tatanan. Kebutuhan tersebut mengharuskan adanya kuasa. Bentuknya dua: otoritas (exousia) dan daya (dunamis). Otoritas adalah proyeksi dari kesadaran manusia akan perlunya tatanan. Ia mengandaikan integritas, kapasitas, dan kredibiltas di satu sisi, serta kepercayaan, rasa hormat, tunduk, bahkan takut di lain sisi. Daya adalah kemampuan yang penggunaannya disahkan oleh otoritas. Dengan kuasa, tatanan dimungkinkan. Idealnya, tentu, kuasa digunakan untuk mengadakan tatanan guna mendatangkan kesejahteraan bersama. 

Dalam relasi yang tidak sepadan (atas-bawah, tinggi-rendah), kuasa rentan disalahgunakan. Berdasarkan otoritas yang ada padanya, orang bisa menggunakan daya untuk memenangkan kepentingan atau hasratnya sendiri dengan mengorbankan pihak yang berposisi lebih rendah atau lebih lemah. Jenis-jenisnya: eksploitasi dan manipulasi, penindasan dan rudapaksa, marjinalisasi dan diskriminasi.

Dalam kasus "pendeta ternama" dan sederetan kasus lainnya yang serupa, si pendeta (juga budayawan, pastor, ustad, kiyai, putera kiyai, dsb.) ada dalam posisi berkuasa (powerful). Komunitas Kristen yang dipimpinnya percaya bahwa si pendeta adalah "orang suci," yang menghubungkan alam-atas (Tuhan) dan alam-tengah (manusia) melalui doa-doa dan pengajaran yang penuh kuasa. Komunitas meyakini bahwa si pendeta adalah "hamba Tuhan yang diurapi." Kesuksesannya menghimpun pengikut dalam jumlah besar, bahkan kekayaan material dan gaya hidupnya yang mewah, yang oleh komunitas diyakini sebagai tanda-tanda bahwa ia diberkati Tuhan, mengukuhkan otoritasnya sebagai "orang suci" yang sangat istimewa: hamba Tuhan yang diurapi. Jelas, ia memiliki otoritas "rohani" yang sangat besar.

Di lain pihak, gadis yang dititipkan orangtuanya kepada si pendeta ada dalam posisi tidak berkuasa (powerless). Orangtuanya percaya penuh kepada si pendeta. Mereka telah menyerahkannya ke dalam "perwalian" si pendeta. Mereka percaya bahwa dengan dibina oleh si pendeta, ia akan tumbuh sebagai perempuan saleh, perempuan yang mengasihi dan melayani Tuhan. Dalam pada itu, bagi orang yang benar-benar mempercayainya, kuasa rohani memberi dampak psikologis yang sangat besar: yang tak-berkuasa cenderung tunduk, submissive.

Kepercayaan orangtua, posisi sebagai yang dibina, dan kecenderungan submissive telah membuat sang gadis menjadi benar-benar tak berdaya. Sementara itu, posisi otoritatif yang dimilikinya di satu sisi dan posisi tak-berkuasa dan kecenderungan submissive sang gadis di sisi lain, cenderung memperbesar rasa percaya diri si pendeta, bahkan ketika ia menyalahgunakan kuasa. Rayuan, ancaman, bujukan, kata-kata suci, rujukan kepada nama Tuhan, tindakan kesalehan (doa dsb.), misalnya, yang dilakukan untuk membenarkan perbuatan kejinya, memperbesar dominasi si pendeta atas sang gadis dan membuat sang gadis menjadi semakin submissive. Ini bukan berarti sang gadis menyetujui perbuatan si pendeta terhadap dirinya. Si gadis tidak setuju, tapi ia tidak berdaya. Perbuatan abusive si pelaku ditanggapi dengan sikap submissive korban.

Jelas, dalam kasus si "pendeta ternama," si pendeta adalah pelaku, sang gadis atau sang perempuan adalah korban. Si pendeta telah melakukan abuse of power, sedangkan sang gadis terjebak ke dalam sikap submissive to power. Dalam posisi sebagai penguasa si pendeta telah berbuat kezaliman (adikia), alih-alih menguatkan relasi yang benar-adil (dikaiosunê), dan mendatangkan kesejahteraan bersama. Harkat dan martabat sang gadis/perempuan harus dipulihkan. Si pendeta harus menjalani konsekuensi atas kezalimannya.

Kuasa itu bisa berguna, sangat berguna. Tapi kuasa juga bisa berbahaya, sangat berbahaya. Power tends to corrupt, absolute power tends to absolute corrupt, kata Lord Acton. Karena itu, kuasa harus dibatasi: didistribusikan di dalam komunitas, dan dikontrol oleh komunitas. Meski tidak sempurna, demokrasi adalah sebaik-baiknya cara manusia mengelola kuasa. Termasuk kuasa "hamba Tuhan yang diurapi." Komunitas iman, termasuk gereja, butuh demokrasi. ***


Perjalanan, 13-14 Maret 2020

Tidak ada komentar: