www.pinterest.com |
Matius 8.23-27
Rudolfus Antonius
Para
murid merasa heran, benar-benar heran. Mereka terperangah. Hati mereka takjub.
Pikiran mereka bingung. Betapa tidak! Mereka baru saja mengalami
peristiwa-peristiwa yang sangat dahsyat.
Ceritanya
begini. Perahu yang mereka tumpangi “diliputi oleh ombak-gelombang” (kaluptesthai hupo tôn kumatôn, 8.24b).
Sebab-musababnya: “gempa bumi yang dahsyat telah terjadi di dalam danau” (seismos megas egeneto en tê thalassê,
24a). Ya, ombak-gelombang itu disebabkan oleh gempa di bawah danau. Dengan kata
lain: TSUNAMI!
Murid-murid itu segera menyadari: maut sedang mendatangi mereka.
Perahu akan hancur, dan mereka akan tenggelam. Siapakah yang sanggup menghadapi
ganasnya alam yang sedang “murka”? Kita binasa! (apollumetha, ay 25). Saat itu nyali mereka menjadi ciut. Mereka
ketakutan (deiloi, ay 26).
Sementara
itu, Yesus justru sedang tidur (ekatheuden,
dari katheudô). Dalam keadaan segawat
itu, saat maut bukan saja sedang mengintai melainkan tengah memburu mangsanya!
Sepertinya ironis. Mungkin kita jadi ingat kepada Yunus, yang tidur dengan
nyenyak di “ruang kapal yang paling bawah” (Yunus 1.5) ketika para awak kapal
sedang berjuang menyelamatkan kapal dari badai besar (ay 4-5). Seolah tidak
peduli!
Tapi
mungkin juga kita teringat kepada orang-orang saleh yang bisa tidur dengan
nyenyak di tengah prahara karena benar-benar mengimani perlindungan Allah (Ayub
11.18-19; Mazmur 3.6-7; Amsal 3.24-26). Atau, boleh jadi kita ingat
bagian-bagian Alkitab yang mengungkapkan kesan umat bahwa sepertinya Allah
tertidur dan melupakan mereka pada saat-saat yang mahagawat (Mazmur 35.23;
44:23-24; 59:6; Yesaya 51:9).
Entah
apa yang ada dalam benak murid-murid saat mendapati Yesus sedang tidur di
tengah situasi seperti itu. Yang jelas, mereka membangunkan Dia seraya berkata,
“Tu[h]an, selamatkanlah …!” (Kurie, sôson,
TB-LAI: Tuhan, tolonglah, Matius 8.25). Jelas, mereka meminta Yesus untuk
bertindak. Permintaan itu bukan tanpa dasar. Sebab mereka telah menyaksikan Dia
menyembuhkan orang yang mengidap penyakit kusta (8.3), ibu mertua Simon
(8.14-15), dan orang-orang lainnya yang menderita sakit (8.16), bahkan mengusir
roh-roh jahat yang merasuki banyak orang (8.16).
Yesus
tahu bahwa para murid mulai percaya
kepada-Nya. Indikasinya: mereka berseru minta diri-Nya bertindak menyelamatkan.
Pada saat yang sama, Ia juga tahu bahwa mereka baru mulai percaya. Wajar saja bila kepercayaan atau iman mereka masih
jauh dari matang apalagi sempurna. Indikasinya: mereka masih dikuasai ketakutan.
Paradoks, begitu mungkin kita menggumam. Karena
baru beriman, murid-murid masih dikuasai oleh ketakutan. Pada saat yang sama, meski baru beriman, mereka berseru,
minta Gusti Yesus bertindak menyelamatkan. Paradoks yang wajar: “baru beriman” membuat kita masih
dikuasai ketakutan sekaligus
mendorong kita untuk berseru minta
pertolongan Tuhan.
Yesus
tahu persis paradoks itu. Karena itu, pertama, Ia menyebut mereka oligopistoi (orang-orang yang memiliki
iman yang kecil, 8.26; bdk. 6.30; 14.31; 16.8). Dengan sebutan itu, Ia tidak
sedang menghina atau menyalahkan mereka. Ia “hanya” menunjukkan kepada mereka
bahwa mereka telah memiliki suatu permulaan yang baik, sekaligus harus terus
ditingkatkan: mereka mulai percaya
kepada-Nya, dan hendaknya semakin
percaya kepada-Nya.
Kedua,
Ia menanggapi seruan mereka dengan bertanya, “Mengapa kamu takut?” Sebuah
pertanyaan retorik, tentu. Sebab, jawabannya sudah tersirat dalam pertanyaan
itu. Bagi para murid, secara spontan jawabannya jelas: kami takut karena sedang
diburu oleh maut. Bagi Yesus (sebagaimana dikesankan Sang Pencerita kepada
kita), secara reflektif jawabannya juga jelas: karena kamu baru beriman kepada-Ku. Seandainya kamu sudah matang beriman
kepada-Ku, (1) kamu tidak akan dikuasai ketakutan saat maut memburumu; (2) kamu
akan memasrahkan hidup dan matimu kepadaku, termasuk
saat maut sedang memburumu.
Kemudian,
sambil bangkit-berdiri Yesus “menghardik angin yang menderu dan danau itu” (epetimêsen tois anemois kai tê talassê, 8.26b).
Akibatnya, sebagai ganti tsunami, “terjadilah suasana yang luar biasa tenangnya”
(egeneto galênê megalê, 8.26c).
Kontras!
Murid-murid, yang mendapati bahwa diri mereka baru
saja lolos dari maut, terperangah, takjub, dan bingung sekaligus (8.27a). Sebab
sosok yang barusan mereka panggil Kurios, yang barusan mereka minta
untuk menyelamatkan, telah mengubah tsunami di danau itu menjadi suasana yang luar
biasa tenangnya hanya dengan menegor angin yang menderu-deru dan danau itu! Ya,
itu berarti, angin yang menderu-deru dan danau itu“taat kepada-Nya”(8.27c). Terperangah, takjub,
dan bingung, mereka pun bertanya-tanya: Orang macam manakah Dia? (potapos estin houtos; 8.27b).
Kita,
para pembaca, boleh jadi teringat kepada bagian-bagian Alkitab yang menyatakan bahwa
Yahweh, Allah Israel, sanggup meredakan badai dan gelombang lautan (Yunus 1-2; Mazmur 65.8; 89:10;
104:7; 107:23-30). Kita pun bertanya: manakah yang lebih tepat dalam cerita
ini, Yesus ditampilkan serupa Yunus (yang tidak peduli), sebagai orang saleh
(yang percaya penuh kepada perlindungan Allah), atau sebagai kehadiran ilahi yang
sekilas tidak nyata namun ada di tengah prahara yang sedang melanda umat-Nya?
Jalan kemuridan tidak menjanjikan kenyamanan apalagi
kemapanan (8.20). Jalan kemuridan juga tidak mengizinkan seorang pun yang telah
menempuhnya untuk berpaling apalagi berbalik ke jalan hidup yang lama (8.22).
Sebelum memutuskan untuk ikut, orang harus menimbang masak-masak. Setelah memutuskan,
pantang mundur tak berkisar walau sejari. Memasrahkan hidup dan mati kepada
Gusti Yesus Sang Junjungan, kita ber-vivere
pericolusso!
Kyrie, sôson! Ada iman, kendati baru-mula,
yang niscaya diapresiasi-Nya. Ada ketakutan, yang tidak pernah diremehkan-Nya.
Ada seruan minta pertolongan, yang akan dijawab-Nya dengan cara yang tak
disangka-sangka. Tetap percaya di tengah badai!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar