Yohanes 21.15-19
Rudolfus
Antonius
Dalam
perjumpaan yang ketiga setelah Gusti Yesus bangkit dari antara orang mati (Yoh
21.14), Simon Petrus mendengar Beliau bertanya kepadanya: “Simon [putera]
Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (agapas me) lebih dari mereka ini
[mengasihi Aku]?” Simon Petrus berkata kepada-Nya, “Benar, Gusti. Engkau tahu
bahwa aku mengasihi-Mu” (21.15b).
Agaknya
Simon menjawab spontan, tanpa pikir panjang. Tak sempat ia bertanya-tanya di
dalam hatinya, mengapa Gusti Yesus menyebutnya “Simon [putera] Yohanes,” bukan
Petrus? Bukankah dengan sebutan itulah Gusti Yesus menyapanya manakala untuk
pertama kali Simon bertumpa dengan-Nya?
Kala
itu Simon menemui Gusti Yesus atas ajakan Andreas, saudaranya. Andreas
mula-mula meguru kepada Yohanes
Pembaptis. Setelah mendengar Sang Pembaptis menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret
adalah “Domba Allah yang menghapuskan dosa dunia” (ho amnos tou Theou ho airôn tên hamartian tou kosmou, 1.29), ia dan
seorang rekan santri Sang Pembaptis menjumpai Yesus dan kemudian menjadi
murid-Nya. Andreas inilah yang mengabari Simon bahwa ia telah menemukan Sang
Mesias (1.41). Atas dasar itu, Simon bersedia diajak Andreas untuk menemui
Gusti Yesus. Dalam perjumpaan yang pertama itulah Gusti Yesus berkata
kepada-Nya: “Engkau adalah Simon putera Yohanes. Engkau akan dijuluki [klêthêsê] Kefas [alias Petrus, 1.42].”
Sejak saat itu, Simon menyusul Andreas menjadi pengikut Gusti Yesus.
Sekarang,
Gusti Yesus menyapanya lagi sebagai “Simon [anak] Yohanes.” Dengan jalan itu, Gusti
Yesus sedang mengingatkan Simon tentang peristiwa “kali pertama jumpa Sang
Mesias,” alias momen saat Simon menjadi murid-Nya. Termasuk: kasih yang
mula-mula, semangat yang mula-mula. Meski pernah gagal lantaran menyangkal Beliau
sampai tiga kali, Simon tetap murid Gusti Yesus, dan diajak untuk memiliki
kembali kasih dan semangat yang mula-mula.
Mari
kita kembali kepada jawaban Simon. “Benar, Gusti (nai, kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se), katanya. Menanggapi
jawaban Simon, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau:
Berilah makan domba-domba-Ku, boske ta
arnia mou). Sang Gembala yang Baik (10.11, 15) memberi Simon amanat
sehubungan dengan domba-domba-Nya. Berdasarkan jawaban Simon, Dia yang
memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya, mengamanatinya untuk menggembalakan
mereka. Suatu kepercayaan yang mengandung tanggung jawab yang sangat besar,
tentunya.
Untuk
kedua kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [anak] Yohanes, apakah engkau
mengasihi Aku (agapas me)?” Jawaban kedua Simon sama persis, seperti mengulang
saja jawaban pertama: “Benar, Gusti (nai,
kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se). Menanggapi
jawaban itu, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-dombaku”
(atau: Pimpinlah domba-domba-Ku, poimane
ta probata mou). Jelas: Bila engkau mengasihi Aku, gembalakanlah
domba-domba-Ku.
Untuk
ketiga kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [putera] Yohanes, apakah engkau
mengasihi Aku (phileis me)?” Mendengar itu Simon terhenyak. Bukan karena kali
ini Gusti Yesus menggunakan kata phileô untuk
mengasihi, setelah sebelumnya menggunakan kata agapaô dalam dua pertanyaan pertama. Memang ada sejumlah orang yang berpandangan bahwa karena Simon
hanya bisa menjawab dua pertanyaan agapas
me dengan philô se, maka dalam
pertanyaan ketiga Gusti Yesus “menurunkan standard” dengan phileis me. Dengan kata lain, karena Simon hanya bisa mengasihi
Gusti Yesus dengan kasih seorang sahabat, bukan kasih tanpa syarat, maka Beliau
“menurunkan tuntutan-Nya” dari semula agapaô
menjadi phileô.
Tidak
demikian. Sebab dalam Injil Yohanes, agapaô
dan phileô digunakan bergantian.
Simak, misalnya:
§ Bahwa Bapa
mengasihi Yesus, kata agapaô (3.36;
10.17; 15.9; 17.23, 24) phileô (5.20)
digunakan.
§ Bahwa Yesus
mengasihi Lazarus, kata agapaô (11.5)
dan phileô (11.3, 36) digunakan.
§ Bahwa Bapa
mengasihi murid-murid Gusti Yesus, kata agapaô
(14.21) dan phileô (16.27) digunakan.
§ Bahwa murid-murid
Gusti Yesus mengasihi Beliau, kata agapaô
(14.15, 21, 23, 28) dan phileô
(16.27) juga digunakan.
§ Demikian pula
halnya dengan julukan “murid yang dikasihi Yesus.” Kata agapaô (13.23; 19.26; 21.7, 20) dan phileô (20.2) digunakan.
Alih-alih soal “menurunkan tuntutan,” beginilah duduk perkaranya. Dua kali sudah Simon,
dengan perkataan yang persis sama, menjawab pertanyaan Gusti Yesus. Tanpa pikir
panjang! Sampai-sampai Gusti Yesus “harus” bertanya untuk ketiga kalinya.
Mengutip Wak Haji Oma Irama, “sungguh terlalu.” Pertanyaan ketiga membuatnya
terhenyak dan berpikir panjang. Ia tersadarkan bahwa sebenarnya ia telah gagal
dalam mengasihi Gusti Yesus.
Simon
ingat, bahwa ia pernah kecewa kepada Gusti Yesus. Pada malam sebelum Gusti
Yesus ditangkap untuk disalibkan, Beliau mengatakan akan meninggalkan para
murid, pergi ke tempat yang tidak dapat mereka datangi. Simon pun bertanya
kepada-Nya, “Ke mana Engkau akan pergi?” Tentu masih segar dalam ingatan Simon
bagaimana ia mewakili kawan-kawannya di Kelompok-12 menanggapi pertanyaan getir
Gusti Yesus apakah mereka tidak mau berpaling dan meninggalkan Dia, menyusul
sekian banyak murid lainnya (6.67). Dengan tegas Simon menandaskan ia dan
kawan-kawannya tidak akan berpaling dan meninggalkan Dia. Sebab: “Gusti …
Engkau memiliki perkataan-perkataan hidup yang kekal, dan kami telah percaya
dan mengetahui bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (kurie, … rhêmata zoês aiôniou echeis, kai hêmeis pepisteukamen kai egnôkamen hoti su ei ho hagios tou Theou,
6.68-69). Cekak aos, di balik
pertanyaan Simon kepada Gusti Yesus terdapat gugatan: “Di momen genting ketika
sekian banyak murid telah berpaling dan meninggalkan-Mu (6.66), kami tetap
bersama-Mu. Dan sekarang Kau akan meninggalkan kami, pergi ke tempat yang tidak
dapat kami datangi?”
Simon
juga ingat pernah gusar kepada Gusti Yesus. Ia merasa Beliau meremehkan
pertanyaan itu dengan jawaban, “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat
mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku” (13.36).
Sekarang (nun) dan kelak/nanti (husteron). Sekarang ia tidak bisa
mengikuti Gusti Yesus ke tempat kemana Beliau pergi. Kelak baru bisa. Ada apa
dengan sekarang? Mengapa harus nanti?
Tanpa
berpikir panjang, Simon Petrus pun berkata sengit: “Gusti, mengapa aku tidak
dapat mengikuti Engkau sekarang?” katanya, “aku akan memberikan nyawaku
bagi-Mu!” [tên psuchên mou huper sou
thêsô] (13.36). Agaknya Simon tidak menyadari bahwa ia telah membalikkan
perkataan Gusti Yesus, “Akulah Gembala yang Baik … Aku memberikan nyawa-Ku bagi
domba-domba-Ku” (tên psuchên mou tithêmi
huper tôn probatôn, 10.11, 15). Kedengaran heroik … saking emosionalnya!
Menanggapi
perkataan itu, jawaban Gusti Yesus menggarisbawahi bahwa Simon Petrus sama
sekali belum siap untuk mengikuti Dia. “Kau akan memberikan nyawamu untuk-Ku?”
(13.38a). Nggak salah, nih? Demi mengikut Aku? Ah yang bener! Kemudian Gusti Yesus menjelaskan
bahwa sesaat lagi Ia akan pergi ke Rumah Bapa (14.2). Tempat itulah yang
sekarang ini belum bisa didatangi oleh para murid. Sekarang ini, para murid
belum bisa mengikuti Gusti Yesus pergi ke Rumah Bapa. Apa pasal? Mengikuti
Gusti Yesus ke Rumah Bapa berarti menempuh jalan penderitaan hingga kematian.
Simon Petrus, juga kawan-kawannya, masih jauh dari siap. Nanti iya, tapi bukan
sekarang. Titeni, “ayam jantan pasti
tidak akan berkokok, sampai engkau menyangkal Aku tiga kali” (13.38b).
Dapat
dibayangkan perasaan Simon mendengar tanggapan Gusti Yesus seperti itu. Ia merasa
sudah siap! Siapa bilang dia tidak atau belum siap. Karena itu ia ingin membuktikan
bahwa “ramalan” Gusti Yesus salah. Ia ingin membuktikan bahwa dirinyalah yang
benar. Dan itu hampir menjadi kenyataan. Simaklah insiden penangkapan Yesus. Pasukan
Romawi berkekuatan 600 orang (speira)
dikerahkan bersama-sama dengan para pengawal Bait Suci suruhan para imam kepala
dan orang-orang Farisi. Mereka nggrudug
Gusti Yesus lengkap dengan lentera, suluh, dan senjata. Simon menghunus pedang
dan menebas telinga kanan Malkus, seorang budak imam besar (18.10). Sebuah
tindakan yang heroik membela Gusti Yesus, yang justru membiarkan diri-Nya
ditangkap dan meminta agar murid-murid-Nya, termasuk Petrus, dibiarkan pergi (18.8).
Simon
masih penasaran untuk membuktikan dirinya. Ia mengikuti rombongan yang
menggiring Gusti Yesus yang terbelenggu itu. Kemudian ia sampai dekat gerbang
istana Imam Besar. Di situlah seorang hamba perempuan (18.17), orang-orang yang
ada di situ (18.25), dan kerabat si Malkus (18.26) mengenalinya sebagai
pengikut Gusti Yesus. Simon, yang sebelumnya begitu heroik, menyangkal tudingan
mereka sampai tiga kali. Setelah itu berkokoklah ayam jantan (18.27). “Ramalan”
Yesus benar, terbukti. Upaya Petrus untuk membuktikan hal yang sebaliknya
gagal. Ia memang belum siap untuk mengikuti Yesus, dengan menempuh jalan
penderitaan dan kematian, ke Rumah Bapa.
Ingatan
akan rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut membuat Simon benar-benar menyadari
bahwa ia telah gagal dalam mengasihi Gusti Yesus. Ia pun menjadi sedih, berduka
(elupêthê, dari lupeô; bdk 21.17 dan 16.20).
Ia merasa bahwa ia mengasihi Gusti Yesus, tapi ia sadar bahwa ia tidak cukup
mampu mengasihi Beliau hingga “memberikan nyawa” untuk-Nya, sampai tetes darah
terakhir, sampai titik darah yang penghabisan. Pikiran pendeknya telah
dipatahkan, kesombongannya telah dihancurkan. Ia pun berkata kepada Gusti Yesus,
“Gusti, Engkau tahu segala sesuatu (kurie,
panta su oidas).” Ya segala sesuatu, termasuk Simon apa adanya. “Engkau
tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (su
ginôskeis hoti philô se).
Gusti
Yesus tahu, murid-Nya yang satu ini telah tiba pada kesadaran dan pengenalan
diri yang benar. Itulah tujuan Beliau menanyakan hal yang sama tiga kali
kepadanya. Ia membimbing Simon untuk tiba pada kesadaran dan pengenalan diri
yang sejati. Kesadaran dan pengenalan diri itu membuat orang menjadi terbuka
terhadap anugerah Allah yang memulihkan! Bahkan, berdasarkan kesadaran dan
pengenalan diri itulah, amanat ilahi dikukuhkan. Sebab kemudian Gusti Yesus
berkata kepada Simon, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau: Berilah makan
domba-domba-Ku, boske ta probate mou).
Amanat
itu segera disusul-Nya dengan sebuah maklumat:
Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu
sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah
menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat
engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.
Pencerita
kita menjelaskan kepada kita maksud perkataan itu: “… hal ini dikatakan-Nya
untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah.” Ya, dulu
Simon (“ketika engkau masih muda”), meski sudah menjadi murid Gusti Yesus
sekalipun, masih semau gue. Itu
membuatnya tidak kunjung siap untuk “mati dan memuliakan Allah.” Tapi mulai
sekarang (“jika engkau sudah menjadi tua”), ia disiapkan untuk “mati dan
memuliakan Allah.” Itu berarti: ia disiapkan untuk mengikuti Gusti Yesus,
Junjungan dan Guru yang dikasihinya.
Sesudah
mengatakan demikian Gusti Yesus berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku."
Jelaslah sudah, Simon Petrus telah dipulihkan dan diberi amanat untuk mengikuti
jejak Gusti Yesus, yakni menggembalakan domba-domba-Nya. Dalam menggembalakan
domba-domba Gusti Yesus itulah ia akan menempuh jalan penderitaan dan kematian.
Mengikut Gusti Yesus secara purna hingga ke Rumah Bapa. Dengan jalan itulah
Allah dimuliakan melalui Simon Petrus.
Apa yang dapat kita pelajari dari kisah ini?
Pertama, murid atau pengikut Gusti Yesus, seperti Simon Petrus,
adalah manusia biasa, dengan antusiasme, semangat, keinginan untuk melakukan
yang terbaik bagi Beliau, tetapi memiliki kelemahan juga. Demikian pula kita.
Kedua, Gusti Yesus tidak membuang siapapun di antara murid
atau pengikut-Nya yang pernah gagal. Ia mengingatkan Simon akan kasih dan
semangatnya yang mula-mula. Bagi Gusti Yesus, murid tetap murid, meski pernah
gagal. Pengikut tetap pengikut, meski tak selalu berhasil. Terpenting, dalam
kegagalan atau keberhasilan, tetap membuka diri kepada anugerah Allah, bukan
malah membuang diri dari hadapan-Nya.
Ketiga, Gusti Yesus membimbing kita kepada kesadaran dan
pengenalan diri. Ia ingin kita bisa mengatasi kesombongan kita, melampaui
kedangkalan kita. Dalam kesadaran dan pengenalan diri, kita akan belajar rendah
hati. Kita pun dimungkinkan untuk mengalami kekuatan anugerah Allah bekerja di
dalam dan melalui kita.
Keempat, Gusti Yesus meneguhkan kita untuk menerima dan
melaksanakan amanat-Nya. Untuk Petrus: menggembalakan domba-domba-Nya. Untuk
kita, sesuai dengan karunia dan panggilan kita masing-masing. Dibutuhkan
totalitas untuk mengemban amanat tersebut.
Kelima, melalui itu semua, kita belajar mengikut Gusti Yesus
selama kita hidup, sampai akhirnya kita datang ke Rumah Bapa untuk tinggal
bersama dengan Dia selama-lamanya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar