Selasa, 12 Mei 2020

GEMBALAKANLAH DOMBA-DOMBAKU

Yohanes 21.15-19

Rudolfus Antonius


Dalam perjumpaan yang ketiga setelah Gusti Yesus bangkit dari antara orang mati (Yoh 21.14), Simon Petrus mendengar Beliau bertanya kepadanya: “Simon [putera] Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (agapas me) lebih dari mereka ini [mengasihi Aku]?” Simon Petrus berkata kepada-Nya, “Benar, Gusti. Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (21.15b).

Agaknya Simon menjawab spontan, tanpa pikir panjang. Tak sempat ia bertanya-tanya di dalam hatinya, mengapa Gusti Yesus menyebutnya “Simon [putera] Yohanes,” bukan Petrus? Bukankah dengan sebutan itulah Gusti Yesus menyapanya manakala untuk pertama kali Simon bertumpa dengan-Nya?

Kala itu Simon menemui Gusti Yesus atas ajakan Andreas, saudaranya. Andreas mula-mula meguru kepada Yohanes Pembaptis. Setelah mendengar Sang Pembaptis menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret adalah “Domba Allah yang menghapuskan dosa dunia” (ho amnos tou Theou ho airôn tên hamartian tou kosmou, 1.29), ia dan seorang rekan santri Sang Pembaptis menjumpai Yesus dan kemudian menjadi murid-Nya. Andreas inilah yang mengabari Simon bahwa ia telah menemukan Sang Mesias (1.41). Atas dasar itu, Simon bersedia diajak Andreas untuk menemui Gusti Yesus. Dalam perjumpaan yang pertama itulah Gusti Yesus berkata kepada-Nya: “Engkau adalah Simon putera Yohanes. Engkau akan dijuluki [klêthêsê] Kefas [alias Petrus, 1.42].” Sejak saat itu, Simon menyusul Andreas menjadi pengikut Gusti Yesus.

Sekarang, Gusti Yesus menyapanya lagi sebagai “Simon [anak] Yohanes.” Dengan jalan itu, Gusti Yesus sedang mengingatkan Simon tentang peristiwa “kali pertama jumpa Sang Mesias,” alias momen saat Simon menjadi murid-Nya. Termasuk: kasih yang mula-mula, semangat yang mula-mula. Meski pernah gagal lantaran menyangkal Beliau sampai tiga kali, Simon tetap murid Gusti Yesus, dan diajak untuk memiliki kembali kasih dan semangat yang mula-mula.

Mari kita kembali kepada jawaban Simon. “Benar, Gusti (nai, kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se), katanya. Menanggapi jawaban Simon, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau: Berilah makan domba-domba-Ku, boske ta arnia mou). Sang Gembala yang Baik (10.11, 15) memberi Simon amanat sehubungan dengan domba-domba-Nya. Berdasarkan jawaban Simon, Dia yang memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya, mengamanatinya untuk menggembalakan mereka. Suatu kepercayaan yang mengandung tanggung jawab yang sangat besar, tentunya.

Untuk kedua kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [anak] Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (agapas me)?” Jawaban kedua Simon sama persis, seperti mengulang saja jawaban pertama: “Benar, Gusti (nai, kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se).  Menanggapi jawaban itu, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-dombaku” (atau: Pimpinlah domba-domba-Ku, poimane ta probata mou). Jelas: Bila engkau mengasihi Aku, gembalakanlah domba-domba-Ku.

Untuk ketiga kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [putera] Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (phileis me)?” Mendengar itu Simon terhenyak. Bukan karena kali ini Gusti Yesus menggunakan kata phileô untuk mengasihi, setelah sebelumnya menggunakan kata agapaô dalam dua pertanyaan pertama. Memang ada sejumlah orang yang berpandangan bahwa karena Simon hanya bisa menjawab dua pertanyaan agapas me dengan philô se, maka dalam pertanyaan ketiga Gusti Yesus “menurunkan standard” dengan phileis me. Dengan kata lain, karena Simon hanya bisa mengasihi Gusti Yesus dengan kasih seorang sahabat, bukan kasih tanpa syarat, maka Beliau “menurunkan tuntutan-Nya” dari semula agapaô menjadi phileô.

Tidak demikian. Sebab dalam Injil Yohanes, agapaô dan phileô digunakan bergantian. Simak, misalnya:

§  Bahwa Bapa mengasihi Yesus, kata agapaô (3.36; 10.17; 15.9; 17.23, 24) phileô (5.20) digunakan.
§  Bahwa Yesus mengasihi Lazarus, kata agapaô (11.5) dan phileô (11.3, 36) digunakan.
§  Bahwa Bapa mengasihi murid-murid Gusti Yesus, kata agapaô (14.21) dan phileô (16.27) digunakan.
§  Bahwa murid-murid Gusti Yesus mengasihi Beliau, kata agapaô (14.15, 21, 23, 28) dan phileô (16.27) juga digunakan.
§  Demikian pula halnya dengan julukan “murid yang dikasihi Yesus.” Kata agapaô (13.23; 19.26; 21.7, 20) dan phileô (20.2) digunakan.


Alih-alih soal “menurunkan tuntutan,” beginilah duduk perkaranya. Dua kali sudah Simon, dengan perkataan yang persis sama, menjawab pertanyaan Gusti Yesus. Tanpa pikir panjang! Sampai-sampai Gusti Yesus “harus” bertanya untuk ketiga kalinya. Mengutip Wak Haji Oma Irama, “sungguh terlalu.” Pertanyaan ketiga membuatnya terhenyak dan berpikir panjang. Ia tersadarkan bahwa sebenarnya ia telah gagal dalam mengasihi Gusti Yesus.

Simon ingat, bahwa ia pernah kecewa kepada Gusti Yesus. Pada malam sebelum Gusti Yesus ditangkap untuk disalibkan, Beliau mengatakan akan meninggalkan para murid, pergi ke tempat yang tidak dapat mereka datangi. Simon pun bertanya kepada-Nya, “Ke mana Engkau akan pergi?” Tentu masih segar dalam ingatan Simon bagaimana ia mewakili kawan-kawannya di Kelompok-12 menanggapi pertanyaan getir Gusti Yesus apakah mereka tidak mau berpaling dan meninggalkan Dia, menyusul sekian banyak murid lainnya (6.67). Dengan tegas Simon menandaskan ia dan kawan-kawannya tidak akan berpaling dan meninggalkan Dia. Sebab: “Gusti … Engkau memiliki perkataan-perkataan hidup yang kekal, dan kami telah percaya dan mengetahui bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (kurie, … rhêmata zoês aiôniou echeis, kai hêmeis pepisteukamen kai egnôkamen hoti su ei ho hagios tou Theou, 6.68-69). Cekak aos, di balik pertanyaan Simon kepada Gusti Yesus terdapat gugatan: “Di momen genting ketika sekian banyak murid telah berpaling dan meninggalkan-Mu (6.66), kami tetap bersama-Mu. Dan sekarang Kau akan meninggalkan kami, pergi ke tempat yang tidak dapat kami datangi?”

Simon juga ingat pernah gusar kepada Gusti Yesus. Ia merasa Beliau meremehkan pertanyaan itu dengan jawaban, “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku” (13.36). Sekarang (nun) dan kelak/nanti (husteron). Sekarang ia tidak bisa mengikuti Gusti Yesus ke tempat kemana Beliau pergi. Kelak baru bisa. Ada apa dengan sekarang? Mengapa harus nanti?

Tanpa berpikir panjang, Simon Petrus pun berkata sengit: “Gusti, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang?” katanya, “aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” [tên psuchên mou huper sou thêsô] (13.36). Agaknya Simon tidak menyadari bahwa ia telah membalikkan perkataan Gusti Yesus, “Akulah Gembala yang Baik … Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku” (tên psuchên mou tithêmi huper tôn probatôn, 10.11, 15). Kedengaran heroik … saking emosionalnya!  

Menanggapi perkataan itu, jawaban Gusti Yesus menggarisbawahi bahwa Simon Petrus sama sekali belum siap untuk mengikuti Dia. “Kau akan memberikan nyawamu untuk-Ku?” (13.38a). Nggak salah, nih? Demi mengikut Aku? Ah yang bener! Kemudian Gusti Yesus menjelaskan bahwa sesaat lagi Ia akan pergi ke Rumah Bapa (14.2). Tempat itulah yang sekarang ini belum bisa didatangi oleh para murid. Sekarang ini, para murid belum bisa mengikuti Gusti Yesus pergi ke Rumah Bapa. Apa pasal? Mengikuti Gusti Yesus ke Rumah Bapa berarti menempuh jalan penderitaan hingga kematian. Simon Petrus, juga kawan-kawannya, masih jauh dari siap. Nanti iya, tapi bukan sekarang. Titeni, “ayam jantan pasti tidak akan berkokok, sampai engkau menyangkal Aku tiga kali” (13.38b).

Dapat dibayangkan perasaan Simon mendengar tanggapan Gusti Yesus seperti itu. Ia merasa sudah siap! Siapa bilang dia tidak atau belum siap. Karena itu ia ingin membuktikan bahwa “ramalan” Gusti Yesus salah. Ia ingin membuktikan bahwa dirinyalah yang benar. Dan itu hampir menjadi kenyataan. Simaklah insiden penangkapan Yesus. Pasukan Romawi berkekuatan 600 orang (speira) dikerahkan bersama-sama dengan para pengawal Bait Suci suruhan para imam kepala dan orang-orang Farisi. Mereka nggrudug Gusti Yesus lengkap dengan lentera, suluh, dan senjata. Simon menghunus pedang dan menebas telinga kanan Malkus, seorang budak imam besar (18.10). Sebuah tindakan yang heroik membela Gusti Yesus, yang justru membiarkan diri-Nya ditangkap dan meminta agar murid-murid-Nya, termasuk Petrus, dibiarkan pergi (18.8).

Simon masih penasaran untuk membuktikan dirinya. Ia mengikuti rombongan yang menggiring Gusti Yesus yang terbelenggu itu. Kemudian ia sampai dekat gerbang istana Imam Besar. Di situlah seorang hamba perempuan (18.17), orang-orang yang ada di situ (18.25), dan kerabat si Malkus (18.26) mengenalinya sebagai pengikut Gusti Yesus. Simon, yang sebelumnya begitu heroik, menyangkal tudingan mereka sampai tiga kali. Setelah itu berkokoklah ayam jantan (18.27). “Ramalan” Yesus benar, terbukti. Upaya Petrus untuk membuktikan hal yang sebaliknya gagal. Ia memang belum siap untuk mengikuti Yesus, dengan menempuh jalan penderitaan dan kematian, ke Rumah Bapa.

Ingatan akan rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut membuat Simon benar-benar menyadari bahwa ia telah gagal dalam mengasihi Gusti Yesus. Ia pun menjadi sedih, berduka (elupêthê, dari lupeô; bdk 21.17 dan 16.20). Ia merasa bahwa ia mengasihi Gusti Yesus, tapi ia sadar bahwa ia tidak cukup mampu mengasihi Beliau hingga “memberikan nyawa” untuk-Nya, sampai tetes darah terakhir, sampai titik darah yang penghabisan. Pikiran pendeknya telah dipatahkan, kesombongannya telah dihancurkan. Ia pun berkata kepada Gusti Yesus, “Gusti, Engkau tahu segala sesuatu (kurie, panta su oidas).” Ya segala sesuatu, termasuk Simon apa adanya. “Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (su ginôskeis hoti philô se).
    
Gusti Yesus tahu, murid-Nya yang satu ini telah tiba pada kesadaran dan pengenalan diri yang benar. Itulah tujuan Beliau menanyakan hal yang sama tiga kali kepadanya. Ia membimbing Simon untuk tiba pada kesadaran dan pengenalan diri yang sejati. Kesadaran dan pengenalan diri itu membuat orang menjadi terbuka terhadap anugerah Allah yang memulihkan! Bahkan, berdasarkan kesadaran dan pengenalan diri itulah, amanat ilahi dikukuhkan. Sebab kemudian Gusti Yesus berkata kepada Simon, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau: Berilah makan domba-domba-Ku, boske ta probate mou). 

Amanat itu segera disusul-Nya dengan sebuah maklumat:

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.

Pencerita kita menjelaskan kepada kita maksud perkataan itu: “… hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah.” Ya, dulu Simon (“ketika engkau masih muda”), meski sudah menjadi murid Gusti Yesus sekalipun, masih semau gue. Itu membuatnya tidak kunjung siap untuk “mati dan memuliakan Allah.” Tapi mulai sekarang (“jika engkau sudah menjadi tua”), ia disiapkan untuk “mati dan memuliakan Allah.” Itu berarti: ia disiapkan untuk mengikuti Gusti Yesus, Junjungan dan Guru yang dikasihinya.

Sesudah mengatakan demikian Gusti Yesus berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku." Jelaslah sudah, Simon Petrus telah dipulihkan dan diberi amanat untuk mengikuti jejak Gusti Yesus, yakni menggembalakan domba-domba-Nya. Dalam menggembalakan domba-domba Gusti Yesus itulah ia akan menempuh jalan penderitaan dan kematian. Mengikut Gusti Yesus secara purna hingga ke Rumah Bapa. Dengan jalan itulah Allah dimuliakan melalui Simon Petrus.

Apa yang dapat kita pelajari dari kisah ini?

Pertama, murid atau pengikut Gusti Yesus, seperti Simon Petrus, adalah manusia biasa, dengan antusiasme, semangat, keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi Beliau, tetapi memiliki kelemahan juga. Demikian pula kita.

Kedua, Gusti Yesus tidak membuang siapapun di antara murid atau pengikut-Nya yang pernah gagal. Ia mengingatkan Simon akan kasih dan semangatnya yang mula-mula. Bagi Gusti Yesus, murid tetap murid, meski pernah gagal. Pengikut tetap pengikut, meski tak selalu berhasil. Terpenting, dalam kegagalan atau keberhasilan, tetap membuka diri kepada anugerah Allah, bukan malah membuang diri dari hadapan-Nya.

Ketiga, Gusti Yesus membimbing kita kepada kesadaran dan pengenalan diri. Ia ingin kita bisa mengatasi kesombongan kita, melampaui kedangkalan kita. Dalam kesadaran dan pengenalan diri, kita akan belajar rendah hati. Kita pun dimungkinkan untuk mengalami kekuatan anugerah Allah bekerja di dalam dan melalui kita.

Keempat, Gusti Yesus meneguhkan kita untuk menerima dan melaksanakan amanat-Nya. Untuk Petrus: menggembalakan domba-domba-Nya. Untuk kita, sesuai dengan karunia dan panggilan kita masing-masing. Dibutuhkan totalitas untuk mengemban amanat tersebut.

Kelima, melalui itu semua, kita belajar mengikut Gusti Yesus selama kita hidup, sampai akhirnya kita datang ke Rumah Bapa untuk tinggal bersama dengan Dia selama-lamanya. ***


Lemah Abang, 10-12 Mei 2020

Tidak ada komentar: