Sabtu, 27 Februari 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (5)


LIMA: DARI MARX KE LENIN

DARI interaksi dan konflik di antara berbagai cara-pandang radikal yang muncul sebagai respons terhadap dampak Revolusi Prancis dan Revolusi Industri di Inggris, hanya satu cara-pandang yang memadukan (i) komitmen terhadap demokrasi-populer dan perekonomian sosialis dengan (ii) pemahaman bahwa hanya klas buruhlah yang dapat mewujudkan suatu masyarakat baru yang bebas dan berkelimpahan. Cara-pandang tersebut, yakni Sosialisme dari Bawah, dicetuskan oleh Karl Marx. Akan tetapi, dalam kurun waktu setengah abad setelah kematiannya (1883), cara pandang Marxis mengalami perubahan-perubahan dan pertentangan-pertentangan yang sangat hebat.

Sepanjang dekade 1890-an dunia kapitalis memasuki masa ekspansi ekonomik selama 20 tahun. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, sebagian besar kaum buruh mengalami perbaikan-perbaikan yang riil dalam standard-standard hidup mereka. Dalam jumlah yang sangat besar, kaum buruh ikut dalam serikat-serikat buruh dan partai-partai sosialis. Banyak di antara serikat-serikat buruh dan partai-partai sosialis itu dipengaruhi oleh idea-idea Marxis. Misalnya di Jerman. Partai Sosial-Demokratik Jerman beranggotakan satu juta orang pada tahun 1912. Bahkan dalam pemilihan umum yang digelar pada tahun yang sama, partai tersebut berhasil meraih 4 juta suara.

Dalam kurun waktu manakala nasib kaum buruh kelihatan membaik tanpa harus melakukan perjuangan yang militan atau revolusioner, timbul dan berkembanglah pandangan bahwa kehidupan secara pasti terus berkembang semakin baik. Kaum Sosialis tidak kebal terhadap pandangan tersebut. Bahkan kebanyakan kaum Sosialis di Benua Eropa tiba pada pandangan bahwa secara perlahan namun pasti Sosialisme akan tercapai. Artinya, melalui perubahan yang berangsur-angsur kapitalisme akan menjelma menjadi sejenis kapitalisme-kesejahteraan (welfare capitalism). Di dalam kapitalisme-kesejahteraan itulah kaum buruh akan menikmati kemakmuran. Karena itu, mereka menganggap pandangan Marx (bahwa sosialisme hanya dapat diwujudkan melalui transformasi revolusioner dari bawah) tidak relevan lagi. Supaya Marxisme tetap relevan, perlu diadakan revisi. Hasilnya adalah pandangan bahwa kapitalisme berangsur-angsur akan berubah menjadi sosialisme (!). Inilah revisionisme.

Eduard Bernstein (1850-1932), seorang Sosialis Jerman, adalah teoretikus revisionisme yang terkemuka. Revisionisme menginginkan sosialisme yang bercorak reformis dan top-down. Artinya, revisi terhadap Marxisme dan reformasi terhadap kapitalisme. Semua partai sosial-demokrasi Eropa yang besar pada waktu itu terpengaruh cara-pandang yang sama. Demikianlah tren yang dominan dalam pemikiran sosialis pada waktu itu adalah suatu varian dari “Sosialisme dari Atas”. Perjuangan klas buruh dalam mewujudkan masyarakat sosialis dipandang remeh. Para pejabat pemerintah dan anggota-anggota perlemen yang berasal dari partai-partai sosial-demokrasi-lah yang dipercaya. Para elit pengibar panji revisionisme itu harus mengawal peralihan yang mulus dari kapitalisme menuju sosialisme.

Tetapi Marxisme, yang berkomitmen pada Sosialisme dari Bawah, belum tamat. Meskipun cara-pandang revisionis/reformis berpengaruh luas, beberapa Marxis tetap berkomitmen pada idea tentang “Sosialisme dari Bawah.” Di antara mereka, kita perlu mencatat seorang wanita revolusioner asal Polandia: Rosa Luxemburg.

Rosa Luxemburg (1871-1919) menjadi seorang Sosialis yang revolusioner di tanah airnya Polandia pada umur 16 tahun. Dua tahun kemudian ia pergi ke Swiss untuk menghindari penangkapan oleh polisi Polandia. Setelah menempuh studi selama beberapa tahun, ia pergi ke Jerman. Di sana ia menjadi seorang pemimpin faksi sayap kiri dari Partai Sosial-Demokrasi Jerman. Dalam usia dua puluhan Luxemburg menulis beberapa karya penting yang mengeritik upaya-upaya kaum revisionis/reformis untuk menanggalkan esensi demokratik dan revolusioner Marxisme. Luxemburg berargumen bahwa kapitalisme tidak akan bisa terus berkembang untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Kapitalisme tidak dapat menghindarkan diri dari krisis periodik karena anarki-produksi yang bermuara pada over-produksi. Meski suatu ketika berhasil keluar dari krisis yang satu atau krisis yang lain, cepat atau lambat kapitalisme akan jatuh lagi ke dalam krisis yang lebih besar dan terjerumus ke dalam militerisme. Karena itu, pilihan bagi umat manusia hanyalah antara Sosialisme dan barbarism.

Prognosis atau prediksi Luxemburg menjadi kenyataan dengan pecahnya Perang Dunia pada tahun 1914. Hampir seluruh sayap revisionis dari Sosialisme Eropa menolak prinsip yang telah lama ditegakkan, yakni menentang semua perang yang berkobar di antara bangsa-bangsa kapitalis. Alih-alih, kaum revisionis/reformis itu malah berkanjang pada patriotisme dungu: setiap partai sosial-demokrasi mendukung pemerintah nasional mereka masing-masing. Bersama-sama dengan kaum revolusioner Rusia, yakni V.I. Lenin dan Leon Trotsky, Rosa Luxemburg tampil memimpin sayap internasionalis dari gerakan sosialis Eropa. Sayap internasionalis ini menentang semua Negara yang terjun dalam Perang Dunia. Sayap internasionalis juga menyerukan agar kaum buruh di Negara-negara tersebut menolak Perang Dunia dan menggulingkan pemerintahan-pemerintahan di sana. Pada akhir Perang Dunia, revolusi-revolusi klas buruh terjadi. Pertama di Rusia, kemudian di Jerman, dan belakangan di Hungaria, Austria, dan Italia.

Rosa Luxemburg memainkan peran sentral dalam Revolusi Jerman pada tahun-tahun 1918-19. Dalam perjuangan itu, dengan penuh semangat dan tegas ia mengukuhkan prinsip-prinsip fundamental dari “Sosialisme dari Bawah”. Lagi dan lagi ia berargumen bahwa klas buruh harus membangun sebuah dunia baru dari puing reruntuhan berasap, dari sebuah Eropa yang dilalap habis oleh perang, kelaparan, dan kemiskinan. Perjuangan bagi Sosialisme, katanya, bergantung pada pertarungan melawan penghisapan dan penindasan di setiap pabrik dan tempat kerja. Masyarakat-baru hanya dapat diciptakan oleh aksi-massa klas buruh. Tidak seorang pun dapat memberikan kebebasan kepada klas buruh. Sebagaimana dikatakannya saat Revolusi Jerman mencapai puncaknya:

“Perjuangan demi Sosialisme harus dilaksanakan oleh massa-rakyat, oleh massa-rakyat semata, dada dengan dada terhadap kapitalisme, di setiap pabrik, oleh setiap proletarian terhadap bosnya. Hanya dengan demikian [perjuangan, RA] itu akan menjadi sebuah Revolusi Sosialis.

... Sosialisme tidak akan dan tidak dapat diciptakan oleh dekrit-dekrit; tidak pula ia dapat didirikan oleh suatu pemerintahan, betapapun sosialisnya pemerintahan itu. Sosialisme harus diciptakan oleh massa, oleh setiap proletarian. Di mana rantai-rantai kapitalisme terbentuk, di sanalah rantai-rantai tersebut harus dipatahkan. Hanya dengan itulah Sosialisme, dan hanya jalan itulah Sosialisme dapat diciptakan.”

Tragisnya, perjuangan kaum buruh Jerman dihancurkan oleh sebuah rezim yang terdiri dari kaum revisionis/reformis. Dalam proses menindas perjuangan kaum buruh Jerman, pemerintahan “sosialis” ini mengorganisir pembunuhan terhadap Rosa Luxemburg dan kawan seperjuangannya, Karl Liebknecht (1871-1919). Sesungguhnya, “Sosialisme dari Atas” yang birokratik dan reformis itu memang tidak ada tali-temalinya dengan self-mobilization massa rakyat-pekerja, dengan perjuangan “Sosialisme dari Bawah”.

Revolusi kaum buruh kalah di Jerman. Tapi tidak di Rusia. Di sana, massa rakyat-pekerja telah berhasil merebut kekuasaan. Sejak tahun 1902 Lenin berjuang untuk membangun sebuah partai buruh revolusioner yang sejati di tengah gelombang permusuhan dari pihak para pendukung Tsar Rusia. Berbeda dengan kaum Sosialis di Eropa Barat, kaum Marxis Rusia tidak mempunyai syarat-syarat kemakmuran ekonomik dan demokrasi politik yang cukup kuat untuk meninabobokan mereka ke dalam ilusi-ilusi revisionis-reformis. Alih-alih, kaum Bolshevik memelihara cara-pandang yang revolusioner.

Krisis yang terjadi dalam gerakan Sosialis yang disebabkan oleh Perang Dunia mendorong V.I. Lenin (1870-1924) untuk mengoreksi dan mengembangkan cara-pandang kaum Bolshevik pada dua butir yang mahapenting. Pertama, ia kembali pada tulisan-tulisan Marx dan Engels tentang Komune Paris. Dari situ ia tiba pada kesimpulan (sebagaimana Rosa Luxemburg sebelumnya) bahwa para revisionis/reformis telah mendistorsi pandangan Marxis tentang Negara dan revolusi kaum buruh. Dalam risalahnya, State and Revolution, Lenin menegaskan kembali pandangan Marxis bahwa klas buruh harus menggulingkan Negara birokratik dan elitis yang dibangun oleh kapitalisme dan menggantikannya dengan Negara-buruh demokratiknya sendiri. Pembebasan klas tertindas adalah mustahil, kata Lenin, “tanpa penghancuran aparatus kekuasaan Negara yang diciptakan oleh klas penguasa.” Negara-buruh yang baru akan merupakan sebuah “negara transisional”, yang berdasarkan pada perluasan demokrasi kepada mayoritas-massif penduduk sampai “kebutuhan akan sebuah mesin-penindasan-yang-khusus [baca: Negara, RA] mulai lenyap.”

Kedua, pada tahun 1917 Lenin beralih ke pandangan-pandangan Trotsky tentang watak revolusi yang berlangsung di Rusia. Selama bertahun-tahun, semua arus utama di kalangan kaum Sosialis Rusia mempercayai bahwa sebuah revolusi burjuis-demokratik (revolusi melawan kekuasaan Tsar, bukan revolusi untuk mendirikan Sosialisme, tetapi sekadar kapitalisme-liberal) harus mendahului revolusi buruh di Rusia. Tapi pada tahun 1906, Leon Trotsky (1879-1940) mengembangkan pandangan yang sangat berbeda. Menurut Trotsky, hanya klas buruh Rusia yang bakal bersedia dan sanggup melancarkan perjuangan untuk merealisasikan pembaruan-pembaruan demokratik dan sebuah republik demokratik. Tapi mengapa, tanya Trotsky, kaum buruh diharapkan berhenti pada titik itu? Mengapa mereka tidak boleh memperluas perjuangan hak-hak demokratik mereka kepada perjuangan untuk merealisasikan kontrol buruh dan demokrasi sosialis? Menurut Trotsky, faktanya demokrasi di Rusia hanya dapat diwujudkan melalui sebuah revolusi buruh. Kalau begitu, perjuangan demi hak-hak demokratik cenderung akan beralih menjadi perjuangan bagi kekuasaan buruh.

Menjawab pandangan bahwa Rusia masih terlalu terbelakang untuk mampu membangun sebuah masyarakat sosialis (yang sebagaimana kita ketahui mengisyaratkan kondisi berkelimpahan) Trotsky berargumen bahwa meskipun Rusia masih terbelakang, Eropa secara keseluruhan tidak. Revolusi Rusia akan menjadi bagian dari sebuah konflik yang skalanya seluas Eropa. Didukung oleh gerakan-gerakan buruh progresif-revolusioner dari Eropa Tengah dan Eropa Barat, Rusia dapat melewati tahap kapitalisme-liberal dan bergerak langsung menuju pembangunan masyarakat sosialis. Trotsky menggambarkan proses ini sebagai Revolusi Permanen. Revolusi akan menjadi permanen dalam dua pengertian. Pertama, perjuangan untuk merealisasikan demokrasi akan beralih menjadi revolusi untuk merealisasikan kekuasaan buruh. Kedua, Revolusi Rusia akan menyebar dan akan menjadi bagian dari Revolusi Eropa, bahkan Revolusi Dunia.

Ketika pada bulan Maret 1917 kaum buruh perempuan di St Petersburg turun ke jalan menuntut roti dan perdamaian, sedikit saja yang menyadari bahwa Revolusi Rusia telah dimulai. Ketika demonstrasi kaum buruh perempuan tersebut memicu suatu gelombang perjuangan revolusioner terhadap kekuasaan Tsar, Lenin segera menganut perspektif Trotsky dan mengumumkan bahwa revolusi buruh merupakan panggilan yang mendesak. Pada saat yang sama, Trotsky menyadari bahwa tanpa sebuah partai politik yang terorganisir, tidak ada revolusi yang akan berhasil. Karena itu ia bergabung dengan Partai Bolshevik. Kedua orang itu barhu-membahu mendorong Partai Bolshevik untuk mengorganisir dan memimpin pemberontakan kaum buruh pada bulan November (Oktober menurut kalender Ortodoks Rusia) 1917.

Revolusi Rusia didasarkan pada sejenis organisasi sosial yang sama sekali baru: dewan-buruh atau soviet. Dewan-dewan ini, yang terdiri dari delegasi-delegasi yang dipilih dari tempat-tempat kerja dan komunitas-komunitas, menjadi badan-badan pembuatan keputusan yang baru di Rusia. Mereka adalah organ-organ demokrasi langsung yang delegasi-delegasinya (seperti dalam Komune Paris) dapat di-recall oleh para pemilihnya. Soviet-soviet merepresentasikan bentuk baru dari demokrasi-massa. Atas dasar inilah Lenin dan Trotsky mengajukan tuntutan “Semua kekuasaan untuk soviet-soviet!” Inilah semboyan sentral Revolusi Rusia. Soviet-soviet akan menjadi basis dari Negara-buruh yang baru; soviet-soviet itu akan merepresentasikan penubuhan demokrasi-buruh. Setelah pemberontakan yang dipimpin kaum Bolshevik pada bulan Oktober 1917, soviet-soviet memang menjadi fondasi Negara-buruh Rusia. Jurnalis Amerika, John Reed (1887-1920), yang berada di Rusia pada waktu itu, dengan saksama menggambarkan organisasi dari negara baru ini:

Setidaknya dua kali setahun delegasi-delegasi dipilih dari seluruh Rusia untuk Kongres Soviet-soviet Seluruh Rusia (All-Russian Congress of Soviets) ... Badan ini, yang terdiri dari sekitar dua ribu anggota, berhimpun di ibukota dalam bentuk sebuah soviet yang besar, dan merundingkan hal-hal esensial dari kebijakan nasional. Badan ini memilih suatu Komite Eksekutif Sentral, seperti Komite Sentral Soviet Petrograd, yang mengundang delegasi-delegasi dari komite sentral dari semua organisasi demokratik.

Komite Eksekutif Sentral dari Soviet-soviet Seluruh Rusia yang diperbesar ini adalah parlemen dari Republik Rusia.


Soviet-soviet, catat Reed, adalah organisasi yang luar biasa bersemangat dan aktif. Mereka mencurahkan perhatian mereka pada semua aspek kebijakan sosial. “Sebelumnya tidak pernah ada sebuah badan politik yang begitu peka dan cepat-tanggap terhadap aspirasi rakyat,” kata Reed.

Selama tahun-tahun 1917 dan 1918, soviet-soviet Rusia penuh dengan inisiatif dan antusiasme revolusioner. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jutaan buruh dan tani mendapati diri mereka mampu berpartisipasi dalam keputusan-keputusan besar yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kontrol terhadap pabrik-pabrik diambil-alih oleh kaum buruh, tanah diambil-alih oleh kaum tani miskin. Janin dari suatu bentuk masyarakat yang baru telah terbentuk.

Sayangnya, hanya sebuah janin. Karena untuk dapat bertumbuh benih sosialisme membutuhkan beberapa syarat yang mahapenting. Syarat mahapenting pertama adalah perdamaian. Negara-buruh yang baru lahir tidak dapat mendirikan sebuah demokrasi yang tumbuh-pesat apabila ia dipaksa untuk mengerahkan pasukan dan membeayai perang guna mempertahankan dirinya. Syarat mahapenting kedua adalah kelimpahan. Kecuali kebutuhan-kebutuhan material-dasariah semua orang dapat dipenuhi, adalah mustahil untuk mempertahankan hidup sebuah demokrasi-langsung-dan-aktif. Ramuan ketiga adalah penyebaran revolusi. Hanya revolusi-revolusi buruh yang berhasil di Eropa-lah yang dapat menyingkirkan ancaman perang dan menyediakan bantuan ekonomik yang sangat dibutuhkan oleh massa-rakyat Rusia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, empat bulan setelah Revolusi Buruh di Rusia, Lenin menyatakan, “Kebenaran yang mutlak adalah: tanpa sebuah revolusi di Jerman kita akan binasa.” *** (Bersambung...)

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm

Jumat, 26 Februari 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (4)

EMPAT: MARXISME

KITA SUDAH MELIHAT bahwa pemikiran radikal pada periode 1820-an dan 1830-an secara mendalam berkarakter elitis dan anti-demokratis. Sosialisme-utopis adalah bikinan kaum reformis klas-atas. Anarkisme bermula dari protes anti-demokratik kaum burjuis-kecil. Komunisme-konspiratorial meyakini bahwa transformasi sosial akan terjadi melalui aksi suatu kelompok rahasia yang terdiri dari orang-orang pilihan. Proram-program perubahan sosial yang dianjurkan oleh para pemikir dari aliran-aliran sosialis ini tidak melihat ke depan, yakni pada penataan-ulang masyarakat yang dilakukan secara kolektif oleh massa-rakyat kaum tertindas. Idea bahwa sebuah tatanan baru yang demokratik akan diciptakan oleh aksi-kolektif rakyat jelata merupakan sesuatu yang asing bagi semua aliran sosialis ini.

Pada tahun 1840-an, sebuah tren baru dalam pemikiran sosialis mulai muncul. Revolusi Industri di Inggris dan Prancis telah menciptakan sebuah kekuatan sosial yang baru. Kekuatan baru ini sedang menggeliat menuntut perubahan yang luas dalam masyarakat. Kekuatan ini adalah klas pekerja-industrial: klas para buruh-upahan yang terkonsentrasi di pabrik-pabrik dan tempat-tempat kerja besar. Mereka memiliki kecenderungan yang semakin kuat untuk menempuh jalan aksi-kolektif. Melancarkan pemogokan-pemogokan, misalnya. Mereka juga berorganisasi, yakni membentuk serikat-serikat buruh. Dalam kurun waktu 1830 dan 1848, klas pekerja-industrial mulai menggegerkan kancah politik Eropa.

Di Inggris, gelombang-gelombang besar pemberontakan terjadi pada pertengahan 1820-an. Pada tahun 1834, kaum buruh mendirikan Grand National Consolidated Trades Union. Pemogokan-pemogokan terjadi pada tahun 1842. Pada tahun 1847, agitasi terus-menerus yang dilancarkan kaum buruh memaksa Pemerintah untuk mengeluarkan Ten Hour Bill, dan dengan demikian membatasi panjangnya hari kerja. Di Prancis, pada 1831 dan 1834 terjadi pemogokan-pemogokan dan pemberontakan-pemberontakan di kalangan penenun sutra di Lyons. Pada 1832 dan 1834 terjadi pemberontakan-pemberontakan kaum buruh Paris.

Pemberontakan klas buruh yang militan ini sangat mempengaruhi beberapa penulis dan organisator radikal. Tatkala aktivitas-aktivitas kolektif kaum buruh semakin meningkat, beberapa orang sosialis mulai berpikir tentang klas buruh sebagai kelompok yang dapat mengubah masyarakat. Mereka mulai berbicara tentang klas buruh yang membebaskan diri melalui aksi-kolektifnya. Patut dicatat seorang wanita revolusioner Prancis yang bernama Flora Tristan. Ia mengaitkan idea-idea tentang pembebasan klas buruh dan pembebasan kaum wanita dengan proposal untuk mendirikan sebuah organisasi buruh berskala dunia. Tapi baru dalam tulisan-tulisan dan kerja-kerja organisasi seorang sosialis Jerman yang bernama Karl Marx-lah klas buruh beroleh tempat dalam pusat pemikiran sosialis. Terilhami oleh kemunculan klas buruh, Marx mengembangkan sebuah cara-pandang sosialis yang sama sekali baru. Inilah cara pandang Sosialisme dari Bawah.

Karl Marx (1818-1883) adalah pemikir sosialis terkemuka pertama yang tiba pada gagasan bahwa sosialisme harus dicapai melalui perjuangan untuk mendapatkan hak-hak demokratik. Sebagai seorang muda yang hidup di Jerman pada awal 1840-an, Marx menyunting sebuah surat kabar yang mendukung perluasan kebebasan-kebebasan demokratik. Marx tiba pada pandangan bahwa pembatasan-pembatasan politik pada demokrasi merupakan akibat dari struktur ekonomik masyarakat. Ketika Pemerintah membredel korannya pada 1843, Marx pindah ke Paris. Di sana ia menjumpai klas buruh dengan gerakan sosialisnya yang penuh semangat. Beberapa tahun kemudian Marx pindah ke Inggris. Di sana ia melakukan studi yang sangat luas dan mendalam tentang perekonomian kapitalis. Dari pengalamannya di Prancis dan Inggris, Marx mengembangkan sebuah cara-pandang sosialis yang secara konsisten demokratik dan revolusioner.

Marx muda semakin yakin bahwa masyarakat yang terbagi ke dalam klas-klas yang bertentangan (klas majikan/yang menghisap vis-à-vis klas pekerja/yang terhisap) tidak akan dapat mencapai demokrasi yang seutuhnya. Selama kaum kapitalis memegang dan mengendalikan bagian terbesar kekuasaan ekonomik dalam masyarakat, mereka akan terus mendominasi kehidupan politik. Menurut Marx, demokrasi yang utuh menuntut supaya pembagian klas dalam masyarakat diatasi. Hanya dengan jalan itulah individu-individu dapat dengan sepenuhnya dan secara setara berpartisipasi dalam urusan-urusan sosial dan politik. Tidak seperti kaum Sosialis-utopian, Marx menegaskan bahwa Sosialisme harus merepresentasikan tahap demokrasi yang lebih tinggi daripada yang pernah ada sebelumnya. Ia menentang semua pandangan sosialis dan “komunis” yang menginginkan pemasungan atau pemenjaraan demokrasi. Sebagaimana ditulisnya dalam sebuah pampflet (1847) yang memberikan garis besar pandangan sebuah kelompok sosialis yang di dalamnya ia aktif-terlibat:

"Kami tidak tergolong sebagai kaum komunis yang ingin menghancurkan kebebasan individual, yang ingin mengubah dunia menjadi sebuah barak raksasa atau menjadikannya sebuah tempat kerja raksasa. Memang ada beberapa orang komunis yang dengan gampang menolak untuk menyetujui kebebasan individual dan menyingkirkannya dari dunia, karena mereka berpikir bahwa itu merupakan penghalang bagi kesetaraan yang seutuhnya. Tapi kami tidak memiliki keinginan untuk menukar kebebasan dengan kesetaraan. Kami yakin bahwa tidak ada tatanan sosial di mana kebebasan lebih terjamin daripada di dalam sebuah masyarakat yang berdasarkan kepemilikan-komunal."


Sama pentingnya, bila ingin mewujudkan suatu masyarakat-bebas yang baru, Sosialisme harus dicapai melalui sebuah proses yang di dalamnya rakyat membebaskan dirinya sendiri. Berbeda dengan kaum Sosialis-utopian yang bersandar pada sekelompok elit untuk mengadakan perubahan bagi massa rakyat-pekerja, Marx berargumen bahwa massa rakyat-pekerja harus membebaskan dirinya sendiri. Kebebasan tidak boleh dimenangkan bagi atau dianugerahkan kepada massa-rakyat pekerja. Massa rakyat-pekerja adalah Subyek Sejarah. Sosialisme hanya bisa terwujud melalui aksi demokratik massa kaum-tertindas.

Marx adalah pemikir Sosialis yang meletakkan prinsip self-emancipation – prinsip yang menyatakan bahwa Sosialisme hanya dapat diwujudkan melalui self-mobilization dan self-organization klas-buruh. Sebagaimana ditulisnya dalam Pernyataan tentang Tujuan First International Workingmen's Association (=Perhimpunan Kaum-Pekerja Internasional yang Pertama alias Internasionale I): “Pembebasan klas-buruh harus dimenangkan oleh klas-buruh itu sendiri.”

Berbeda dengan kaum Komunis-konspiratorial, Marx memperlihatkan dengan jelas keberadaan sebuah kekuatan yang sangat besar yang akan mewujudkan Sosialisme. Kekuatan itu adalah massa-rakyat pekerja yang mempunyai kesadaran klas. Ia berargumen bahwa klas buruh harus disadarkan, diorganisir, dan dimobilisir untuk berjuang guna mewujudkan masyarakat-sosialis. Melalui studi ekonominya, khususnya tentang perekonomian Inggris, Marx melihat bahwa kapitalisme telah menciptakan suatu klas tertindas yang bekerja secara kolektif di tempat kerja. Pembebasan klas tertindas akan tercapai jika dan hanya jika klas tersebut sadar, bersatu, dan memperjuangkan pembebasan itu bersama-sama. Basis ekonomik masyarakat akan terorganisir jika dan hanya jika dilakukan secara kolektif: yakni jika dan hanya jika pabrik-pabrik, tambang-tambang, bengkel-bengkel, dan kantor-kantor berada dalam kontrol orang-orang yang mengerjakannya. Ini menuntut aksi yang terkoordinir dari massa-rakyat pekerja. Karena itu, sebuah revolusi klas buruh secara niscaya akan tiba pada suatu bentuk perekonomian sosial-kolektif, yang di dalamnya alat-alat untuk memproduksi kekayaan (pabrik-pabrik, tambang-tambang, bengkel-bengkel, dan kantor-kantor) dimiliki dan dikelola bersama oleh seluruh klas buruh.

Masyarakat demokratik dan kolektif ini harus didasarkan pada demokrasi-politik yang seutuhnya. Marx memperjelas poin ini sejak tulisan-tulisannya yang mula-mula. Dalam revolusi klas buruh di Paris pada tahun 1871, yakni revolusi yang melahirkan Komune Paris, Marx menyaksikan prinsip-prinsip “Sosialisme dari Bawah” diwujudkan. Itulah Sosialisme yang bersendikan demokrasi-buruh atau demokrasi-pekerja.

Pada bulan Maret 1871 pasukan Prancis menyerah-kalah kepada pasukan Prusia (= Jerman). Memperhitungkan kemungkinan bahwa Prusia akan menduduki dan menguasai Prancis, kaum buruh bangkit dan mengambilalih kekuasaan atas kota Paris. Selama sekitar dua bulan kaum buruh memerintah Paris sebelum pemberontakan mereka dibenamkan ke dalam lautan darah. Untuk menjamin pemerintahan mereka, kaum buruh Paris mengambil serangkaian tindakan demokratik-populer. Mereka menggantikan pasukan professional (militer) dengan lascar-rakyat. Mereka mengukuhkan hak rakyat-pekerja untuk me-recall dan mengganti wakil-wakil mereka. Mereka menetapkan bahwa wakil-wakil yang telah dipilih rakyat-pekerja tidak akan memperoleh penghasilan yang lebih besar daripada upah rata-rata seorang pekerja. Mereka juga melembagakan hak suara yang universal dan pendidikan bagi semua kaum pria kota Paris.

Marx segera menghimpun dukungan bagi Komune Paris. Ia memuji aksi “para penggempur sorga” Paris. Paling penting, ia memetik pelajaran-pelajaran yang luar biasa dari pengalaman revolusi klas buruh itu. Sebelum Komune Paris, ia mencurahkan sedikit saja pemikiran tentang bentuk yang seharusnya digunakan oleh sebuah revolusi klas buruh. Sekarang ia menarik kesimpulan yang teramat penting: Klas buruh tidak bisa “hanya sekadar mengambilalih sebuah mesin negara [burjuis, RA] yang sudah jadi dan menggunakannya untuk tujuan-tujuannya sendiri; alih-alih, klas buruh harus menciptakan bentuk negara yang sepenuhnya baru untuk mengamankan kekuasaan buruh dan demokrasi pekerja.

Marx menegaskan: penghapusan tentara-professional, pengadaan pendidikan yang bebas dan universal, pemilu yang universal, hak untuk me-recall wakil-wakil rakyat-pekerja, dan pembatasan gaji setiap pejabat pilihan rakyat merupakan unsur-unsur yang hakiki dari sebuah negara buruh. Komune Paris, kata Marx, adalah

“sebuah pemerintahan klas buruh yang hakiki … bentuk politik yang akhirnya ditemukan, yang di dalamnya emansipasi-ekonomik dikerjakan.”
Emansipasi-ekonomik (yang bersendikan penghapusan pembagian klas dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi kekayaan) hanya bisa terjadi di dalam Negara-buruh, yang dikemudikan secara langsung dan demokratik oleh klas buruh sendiri.

Perspektif sosialis Marx merepresentasikan sebuah kombinasi yang menyeluruh dari idea tentang demokrasi-massa dan idea tentang sebuah perekonomian yang dimiliki dan dikelola bersama. Ini memberikan suatu arah yang sama sekali baru dalam pemikiran dan politik sosialis. Sentral bagi sosialisme ala Marx adalah dua prinsip dasariah. Pertama, klas buruh harus membebaskan dirinya sendiri melalui aksi-kolektifnya. Kebebasan tidak akan diberikan kepada klas buruh; kebebasan harus dimenangkan oleh kaum tertindas itu sendiri. Kedua, dalam rangka mewujudkan sebuah transformasi sosialis, klas buruh harus menggulingkan negara yang lama dan menciptakan sebuah negara yang baru; Negara yang baru tersebut sepenuhnya demokratis, sebuah negara bagi klas buruh itu sendiri. Dua prinsip ini – tentang self-emancipation dan Negara-buruh yang demokratis – menjadi esensi Marxisme. Inilah Sosialisme dari Bawah. (Bersambung...)***

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm 

Kamis, 18 Februari 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (3)


TIGA: ANARKISME

AJARAN RADIKAL LAIN yang berkembang dalam periode 1830-an adalah Anarkisme. Anarkisme sering dianggap sebagai pemikiran radikal yang benar-benar demokratik dan libertarian. Beberapa kalangan memuji Anarkisme sebagai satu-satunya filsafat politik yang sejati tentang kebebasan. Padahal, sejak lahirnya Anarkisme merupakan sebuah ajaran yang secara mendalam anti-demokratik. Dua pendirinya yang paling penting, yakni Pierre-Joseph Proudhon dan Michael Bakunin, mengembangkan teori-teori yang secara hakiki bersifat elitis dan otoritarian. Para Anarkis yang belakangan barangkali telah menolak beberapa ekses dari para bapak pendirinya. Tapi filsafat mereka tetap memusuhi idea-idea tentang demokrasi-massa dan kekuasaan kaum-pekerja.

Anarkisme memang berkembang sebagai perlawanan terhadap pertumbuhan masyarakat kapitalis. Perlawanan Anarkisme terhadap kapitalisme berpusat pada pembelaan kebebasan individual. Tapi kebebasan yang dibela oleh kaum Anarkis bukanlah kebebasan klas-pekerja untuk membangun suatu masyarakat yang baru secara kolektif. Alih-alih, Anarkisme membela kebebasan para pemilik properti-kecil ("burjuis-kecil": para pemilik toko, pengrajin, dan pedagang) terhadap gangguan-gangguan atau ancaman-ancaman berskala besar dari perusahaan-perusahaan kapitalis. Anarkisme merepresentasikan jeritan kesedihan dan penderitaan dari pemilik properti-kecil terhadap pencapaian kapitalisme yang tak terelakkan. Tidak mengherankan bila Anarkisme memegahkan nilai-nilai dari masa lalu: properti-individual, keluarga patriarkal, dan rasisme.

Pierre-Joseph Proudhon (1803-1865), yang dipandang sebagai Bapak Anarkisme, adalah salah satu contoh yang jelas. Bekerja dengan usaha percetakan, Proudhon gigih melawan kemunculan kapitalisme di Prancis. Tapi perlawanan Proudhon terhadap kapitalisme berwatak retrogresif. Ia tidak menatap ke depan, yakni kepada sebuah masyarakat baru yang didirikan berdasarkan properti-komunal yang akan memanfaatkan inovasi-inovasi besar dari Revolusi Industri. Alih-alih begitu, Proudhon malah menjadikan properti-kecil-dan-pribadi sebagai basis utopianya. Ajarannya tidak dirancang untuk klas-pekerja yang sedang tumbuh, tetapi untuk kaum burjuis-kecil (para pengrajin, pedagang kecil, dan kaum tani kaya) yang tergusur oleh perkembangan kapitalisme. Bahkan Proudhon sangat takut terhadap kekuatan klas-pekerja yang terorganisir, sampai-sampai ia menentang serikat-serikat buruh dan mendukung polisi membubarkan pemogokan.

Proudhon juga menentang demokrasi. “Semua demokrasi membuat saya jijik,” tulisnya. Catatan-catatannya tentang masyarakat yang ideal memuat penolakan terhadap pemilihan umum, kebebasan pers, dan pertemuan-pertemuan publik yang dihadiri lebih dari 20 orang. Ia membayangkan bahwa pada masa yang akan datang akan berlaku sebuah “inkwisisi umum” dan hukuman kerja-paksa bagi “beberapa juta orang”. Massa-rakyat, tulisnya, “hanyalah orang-orang biadab … yang wajib kita buat beradab … tanpa membuat mereka menjadi pemerintah atas kita.”

Konsisten dengan cara-pandangnya, Proudhon mendukung hampir setiap hal yang berwatak retrogresif. Ia seorang rasis fanatik yang menyimpan kebencian yang sangat besar kepada orang-orang Yahudi. Bahkan ia menganjurkan agar mereka dilenyapkan dari muka bumi. Ia menentang pembebasan bagi orang-orang kulit hitam Amerika dan mendukung para pemilik budak di wilayah selatan selama Perang Sipil Amerika. Sejalan dengan itu, ia mencela pembebasan kaum wanita. Tulisnya, “Bagi kaum wanita kebebasan dan keadaan yang baik hanya ada dalam perkawinan, keibuan, kewajiban-kewajiban rumah tangga …”

Dalam bukunya, The Origins of Socialism, George Lichtheim menulis dengan sangat tepat:

"Sukar untuk menyebutkan seorang penulis, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, yang darinya Proudhon pernah menemukan sesuatu yang baik untuk dikatakan. Tenunan-tenunannya yang lain meliputi antisemitisme, Anglofobia, toleransi terhadap perbudakan (ia secara terbuka berpihak pada Selatan selama Perang Sipil Amerika), ketidaksukaan kepada orang Jerman, Italia, Polandia – semua yang bukan orang Prancis – dan ngotot dengan pandangan patriarkal tentang kehidupan keluarga … Karena itu tidak mengejutkan bila ia mempercayai adanya ketidaksetaraan yang inheren di antara ras-ras umat manusia, atau bila ia mengangap kaum wanita sebagai makhluk yang lebih rendah.”
Bapak Anarkisme Rusia, Michael Bakunin (1814-1876), mengikuti sebagian besar pandangan Proudhon. Bakunin senang menyatakan kepada sesama kaum Anarkis bahwa “Proudhon adalah guru besar kita semua.” Bakunin sama-sama antisemitik seperti guru besarnya. Bahkan ia yakin bahwa orang Yahudi telah menyusun sebuah komplotan internasional yang mengikutsertakan Karl Marx dan keluarga Rothschild yang kaya-raya. Ia adalah seorang chauvinis Rusia yang yakin bahwa bangsa Rusia ditakdirkan untuk memimpin umat manusia menuju Utopia Anakis. Macam mana kelak utopia tersebut terlihat dalam metode-metode organisasional Bakunin: sama sekali elitis dan otoriter. Dalam kata-kata seorang sejarawan:

"'Persaudaraan Internasional' (International Brotherhood) yang didirikannya di Naples pada tahun-tahun 1865-66 berwatak konspiratorial dan diktatorial... sebab libertarianisme Bakunin berhenti pada keyakinan yang tidak mengizinkan siapa pun untuk berbeda pendapat dengannya. 'Persaudaraan' dipahamai menurut model Masonik, dengan ritual-ritual yang rumit, hirarki, dan direktorat bikinan sendiri yang terdiri dari Bakunin dan sejumlah kecil rekan."

Elitisme dan otoritarianisme Proudhon-Bakunin, serta dukungan mereka terhadap hal-hal yang berwatak retrogresif dan berpikiran-sempit nampaknya berakar dalam natur dari ajaran Anarkis itu sendiri.

Berasal-muasal dari pemberontakan para pemilik properti-kecil terhadap tren sentralisasi dan kolektivikasi dalam kapitalisme (= kecenderungan untuk mengonsentrasikan produksi pada semakin sedikit tempat-tempat kerja yang besar), Anarkisme berakar dalam permusuhan terhadap praktik-praktik demokratik dan kolektivis. Kaum Anarkis yang mula-mula takut terhadap kekuasaan yang klas-pekerja modern yang terorganisir. Sampai saat ini kebanyakan Anarkis membela “kebebasan” individual terhadap keputusan-keputusan yang secara demokratik dibuat oleh kelompok-kelompok kolektif. Kaum Anarkis menentang bahkan bentuk-bentuk yang paling demokratik dari organisasi kehidupan sosial. Dalam kata-kata seorang Anarkis Kanada, George Woodcock:

“Bahkan bila demokrasi itu dimungkinkan, si Anarkis masih tidak akan mendukungnya … Kaum Anarkis tidak menganjurkan kebebasan politis. Apa yang mereka anjurkan adalah kebebasan dari politik …”
Maksud Woodcok, kaum Anarkis menolak proses pengambilan-keputusan apa pun yang di dalamnya mayoritas rakyat secara demokratik menentukan kebijakan-kebijakan yang akan mereka dukung.

Ada faham radikal lain yang kadang-kadang dihubungkan dengan Anarkisme. Faham itu adalah Sindikalisme. Kaum Sindikalis mempercayai aksi kolektif klas-pekerja untuk mengubah masyarakat. Mereka bersandar pada aksi serikat buruh (misalnya pemogokan umum) untuk menggulingkan kapitalisme. Kendati beberapa titik-pandang Sindikalis nampak mirip dengan Anarkisme (secara khusus permusuhannya terhadap politik dan aksi politik) Sindikalisme bukanlah suatu bentuk dari Anarkisme. Dengan menerima pentingnya massa, aksi kolektif, dan pengambilan-keputusan secara kolektif, Sindikalisme jauh lebih memadai daripada Anarkisme. Tapi Sindikalisme menolak aksi politik klas-pekerja. Karena itu Sindikalisme tidak pernah mampu untuk memberikan arahan yang riil bagi upaya-upaya klas-pekerja untuk mengubah masyarakat. (Bersambung...)

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm  

Senin, 15 Februari 2010

Serial "Sosialisme dari Bawah" (2)


DUA: SOSIALISME-UTOPIS

ISTILAH “SOSIALISME” muncul pertama kali di Inggris pada tahun 1827. Lima tahun kemudian istilah itu digunakan untuk pertama kalinya dalam sebuah penerbitan Prancis. Sebenarnya bukan kebetulan bila idea – dan gerakan – sosialis pertama-tama muncul di Inggris dan Prancis. Pasalnya, dalam artian ketat sosialisme merupakan produk dari dua revolusi besar dalam sejarah umat manusia: Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Burjuis-demokratik di Prancis.

Revolusi Prancis, yang terjadi pada tahun-tahun 1789-1799, melibatkan perjuangan rakyat yang sangat paling masif. Berakar dalam kebencian rakyat terhadap Monarki yang menindas, revolusi berdiri di atas punggung massa-rakyat kaum miskin di Paris yang bersatu di bawah panji “kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan”. Berawal sebagai pemberontakan melawan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Monarki, revolusi tumbuh-menjelma menjadi tantangan yang masif terhadap segala bentuk otoritas yang menindas – entah para tuan, imam, atau pemilik pabrik. Pada mulanya, pertempuran melawan Monarki menyatukan bagian-bagian besar dalam masyarakat. Tapi ketika revolusi berjaya, sekelompok penguasa yang baru berupaya untuk menghentikan proses tersebut untuk mempertahankan sistem-properti dan kekuasaan mereka yang sarat dengan ketidaksetaraan. Akibatnya, gerakan rakyat terbagi ke dalam kubu konservatif (“Kanan”) dan kubu revolusioner (“Kiri”).

Menurut kubu konservatif, kebebasan semata merupakan kebebasan untuk memiliki properti. Menurut kubu revolusioner, yang merepresentasikan kaum miskin Paris, kebebasan adalah mustahil tanpa kesetaraan. Bagi kaum Kiri itu, sia-sialah berkata-kata tentang kebebasan bila secara riil kebebasan itu justru menjerumuskan sekian banyak orang ke dalam jurang kelaparan, sementara segelintir orang lainnya tumbuh menjadi kaya berdasarkan penghisapan atas kerja sebagian besar orang. Sebagaimana dikatakan oleh pemimpin radikal Jacques Roux pada puncak Revolusi Prancis pada tahun 1793,

"Kebebasan itu tidak lebih dari sekadar sebuah cangkang kerang yang kosong ketika satu klas manusia diizinkan untuk menghukum yang lain dalam kelaparan tanpa satu tindakan pun diambil terhadap mereka. Dan kesetaraan juga merupakan cangkang kerang kosong ketika kaum-kaya, dengan menggunakan monopoli-monopoli ekonomik mereka, memiliki kekuasaan atas kehidupan atau kematian terhadap anggota-anggota lainnya dari komunitas."

Karena itu, dari Revolusi Prancis muncullah idea sosialis yang hakiki: demokrasi dan kebebasan membutuhkan sebuah masyarakat-yang-setara. A society of equality. Para radikal Prancis memahami bahwa kebebasan yang sejati memprasuposisikan kebebasan semua orang yang berpartisipasi secara setara dalam berproduksi dan berbagi kekayaan masyarakat. Mereka mengerti bahwa bila beberapa orang memiliki hak yang tak setara untuk memiliki dan memonopoli tanah, kekayaan, atau pabrik-pabrik, maka yang lain secara tidak setara akan terhukum dalam perbudakan, kesengsaraan, dan kemiskinan.

Tetapi masyarakat-yang-setara menuntut kondisi berkelimpahan. Selama kehidupan ekonomik tetap terbelakang, kesetaraan hanya berarti “sama-sama melarat” (common hardship of shared poverty). Sebuah demokrasi yang sehat dan tumbuh subur menuntut suatu kondisi kemakmuran yang di dalamnya semua kebutuhan dasariah manusia dapat dipenuhi. Jadi, tanpa suatu tingkat perkembangan ekonomik tuntutan kaum revolusioner Prancis, tetap tinggal bersifat utopia semata. Hanya dengan perkembangan ekonomik yang sangat hebat yang dimungkinkan oleh Revolusi Industri di Inggris-lah sebuah masyarakat yang berdasarkan kesetaraan dan kelimpahan menjadi kemungkinan yang realistis.

Revolusi Industri Inggris menampilkan gambar-gambar tentang pabrik-pabrik tekstil yang gelap dan kotor, anak-anak berumur sepuluh tahun yang bekerja di tambang-tambang batubara, pria dan wanita yang bekerja 12 dan 14 jam per-hari. Pendeknya, gambar-gambar tentang penderitaan dan kesengsaraan. Secara keseluruhan, gambar-gambar ini benar. Revolusi Industri, yang dimulai pada perempatan terakhir Abad XVIII, adalah sebuah dislokasi yang masif dalam kehidupan sosial. Komunitas-komunitas yang lama hancur, orang-orang tercerabut-paksa dari tanah mereka dan tergiring ke dalam tirani pabrik-pabrik, penyakit-penyakit industrial berlipatganda: kelaparan, kemisinan, dan wabah penyakit meluas. Tingkat harapan hidup bagi sebagian besar orang pun jatuh. Tapi pada saat yang sama, beberapa ramuan Revolusi Industri menyediakan kemungkinan untuk mengakhiri penyakit-penyakit ini. Mesin-mesisn produksi baru yang berkembang, khususnya di sepanjang awal tahun 1800-an, menawarkan kemungkinan untuk secara tajam mereduksi kerja yang menjemukan dan menyengsarakan, dan untuk secara masif memperbesar produksi kekayaan sehingga dapat mengeliminir kemiskinan selamanya.

Dalam kenyataannya, Revolusi Industri tidak melakukannya. Alih-alih mendatangkan perbaikan dalam kondisi-kondisi kerja, industri baru digunakan untuk memperbesar keberuntungan segelintir orang: kaum kapitalis industrial. Meski demikian, sejumlah penulis melihat dalam Revolusi Industri suatu potensi yang luar biasa untuk memperbaiki kondisi hidup manusia. Bahkan beberapa bankir dan pemilik pabrik yang berniat baik tiba pada keyakinan bahwa kekuatan Revolusi Industrial harus dimanfaatkan untuk melayani tujuan-tujuan yang manusiawi. Banyak di antara mereka menjadi penganjur-penganjur pertama dari apa yang dikenal sebagai “sosialisme-utopis”.

Sosialis-utopis Inggris yang paling terkenal adalah pabrikus kapas Robert Owen (1771-1851). Seperti kebanyakan sosialis awal yang berasal dari klas-kapitalis, Owen tidak menginginkan suatu restrukturisasi sosial massa-demokratik. Bagi Owen, klas-pekerja merupakan suatu kelompok yang menderita dan patut dikasihani. Sosialisme Owen bertumpu pada pendekatan kepada para pemimpin bisnis kaya dan pemerintah untuk meyakinkan mereka agar memperbaiki kondisi-kondisi buruk dari massa pekerja.

Dalam hal ini Owen mirip dengan dua sosialis Prancis yang mula-mula: Henri Saint-Simon dan Charles Fourier. Saint-Simon (1760-1825) adalah seorang bankir yang beralih menjadi spekulan real estate dan meraih kekayaan besar dalam dekade-dekade sesudah Revolusi Prancis. Terpesona oleh potensi luar biasa sains dan teknologi, Saint-Simon berargumen untuk mendukung sebuah masyarakat “sosialis” yang akan mengeliminir aspek-aspek yang tak tertata dari kapitalisme. “Sosialisme”-nya Saint-Simon jelas-jemelas anti-demokrasi. Ia tidak mempertimbangkan atau membayangkan perluasan dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan manusia. Alih-alih ia mengharapkan sebuah masyarakat industrial yang terencana dan termodernisir yang diperintah oleh satu komite internasional para bankir. Dalam banyak hal, Saint-Simon mengantisipasi perkembangan kapitalisme-negara. Ia melihat ke depan, yakni pada sebuah sistem kapitalis yang di dalamnya industri akan dimiliki dan diatur oleh satu pemerintahan yang terdiri dari para ilmuwan, manajer, dan pengelola keuangan.

Charles Fourier (1772-1837) mengembangkan beberapa idea yang orisinil. Tapi cara-pandang Fourier memiliki dua cacat utama. Pertama, ia menolak potensi industri modern untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang berkelimpahan; ia justru mengharapkan kembalinya kondisi-kondisi kehidupan pra-industrial. Kedua, Fourier tidak mengarahkan perhatiannya kepada massa-rakyat pekerja, tetapi kepada para penguasa yang mengalami pencerahan hati dan pikiran. Mereka, para penguasa itulah, yang seharusnya memegang tampuk kepemimpinan menuju masyarakat sosialis. Sehubungan daengan itu Fourier menggunakan banyak waktu untuk membuat cetak-biru yang sangat rinci bagi penciptaan sebuah masyarakat baru. Selanjutnya ia menggandakan cetak-birunya bagi para penguasa seperti Tsar Rusia dan Presiden Amerika Serikat.

Inilah benang merah yang menjelujur dalam cara pandang semua sosialis-utopis yang mula-mula. Tiap-tiap pengajur sosialis-utopis mencari orang-orang yang berniat baik dari klas-penguasa untuk mendatangkan sebuah transformasi sosialis. Mereka tidak berpandangan bahwa sosialisme hanya bisa dicapai secara demokratis, yakni melalui aksi-massa dari klas-pekerja. Karena alasan ini, pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan sebagai varian-varian dari “Sosialisme-dari-Atas”, suatu pandangan yang di dalamnya massa-rakyat pekerja hanya sekadar alat dari kaum elite yang tercerahkan. Massa-rakyat bukan subyek-sejarah. Bukan mereka, tetapi kaum elit, yang akan mengubah masyarakat menurut kepentingan-kepentingan massa-rakyat pekerja. Tentu saja ini sangat meragukan. Seorang pakar sejarah sosialisme, George Lichtheim, mengemukakannya sebagai berikut:

“Sosialisme Prancis, pada awalnya, adalah karya orang-orang yang berpikir untuk tidak menjungkirbalikkan masyarakat, tetapi ingin memperbaharuinya, dengan penataan yang tercerahkan bila memungkinkan. Inilah mata-rantai antara Robert Owen, Charles Fourier, dan Henri de Saint-Simon.”

Di samping sosialisme-utopis, dalam periode itu ada versi sosialisme yang terkesan revolusioner. Itulah komunisme-konspiratorial. Dari kekalahan perjuangan-perjuangan rakyat dalam Revolusi Prancis, muncul sekelompok orang di bawah pimpinan Gracchus Babeuf. Mereka coba mengembangkan sebuah perspektif komunis. Babeuf dan para pengikutnya percaya bahwa demokrasi sejati hanya dapat dibangun berdasarkan kepemilikan bersama atas kekayaan. Tapi mereka tidak melihat cara untuk memenangkan mayoritas masyarakat agar mendukung program komunis mereka. Massa-rakyat Prancis dibiarkan sedikit saja berupaya, yakni melindungi properti pribadi mereka: sebidang tanah atau bengkel kerja mereka. Babeuf cs sedikit saja berminat kepada transformasi sosialis. Karena itu, Babeuf – dan pengikutnya yang kemudian, Adolphe Blanqui – hanya dapat memahami sebuah revolusi yang dibuat oleh suatu minoritas, elit komunis. Akibatnya, demokrasi asing bagi program sosialis mereka. (Bersambung...) ***

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page, http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm  

Serial "Sosialisme dari Bawah" (1)

SATU: IMPIAN TENTANG KEBEBASAN

IMPIAN tentang kebebasan sama tuanya dengan keberadaan masyarakat-klas. Selama satu bagian dari masyarakat ditindas dan dihisap oleh bagian yang lain, sekian banyak orang, baik pria maupun wanita, terus bermimpi, berbicara, dan menulis tentang tatanan kehidupan yang baru. Di antara mereka ada yang berusaha membuat impian itu menjadi kenyataan: mereka berjuang untuk mematahkan rantai-rantai dominasi yang telah membelenggu mereka pada kehidupan yang menjemukan dan menyengsarakan. Kita dapat menemukan jejak-jejak impian ini dalam dokumen-dokumen sejarawi yang paling tua. Alkitab Perjanjian Pertama, misalnya, menjanjikan kedatangan Sang Mesias yang akan menumbangkan kaum kaya-berkuasa dan membebaskan kaum miskin. Ambillah sebuah pasase dari Kitab Yesaya, yang memproklamirkan bahwa Mesias akan datang

“untuk untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara,
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara…” (Yes 61.1).

Dengan jiwa-semangat yang sama, Alkitab Perjanjian Kedua mengumumkan bahwa Yesus adalah mesias yang dimaksud. Dialah yang telah datang untuk membebaskan kaum miskin dan tertindas.

Di sepanjang Abad Pertengahan di Eropa, ada sebuah legenda yang terus hidup. Menurut legenda tersebut, suatu hari seorang pembebas akan datang untuk membunuh kaum kaya-pendosa dan membebaskan kaum miskin. Ketika kaum tani bangkit memberontak melawan tuan-tuan dan majikan-majikan mereka, khususnya dalam Abad-abad XIV, XV, dan XVI, mereka terilhami oleh penantian yang terus hidup tentang kedatangan seorang pemimpin agung yang ditunjuk Allah, yang akan memimpin mereka menuju sebuah “Tanah Terjanji” yang baru.

Semua gerakan atau pemberontakan populer itu bercorak religius. Para pelakunya tidak memandang diri mereka sebagai orang-orang yang memiliki kapasitas bersama untuk menggulingkan para penguasa dan untuk mendirikan sebuah masyarakat baru berdasarkan upaya-upaya mereka sendiri. Mereka menyandarkan diri pada keyakinan bahwa masyarakat akan mengalami transformasi “dari atas”. Transformasi tersebut datang dari Allah, dengan perantaraan manusia-manusia istimewa, yang akan membersihkan dunia dari kejahatan, kekerasan, dan penindasan.

Cara-pandang yang secara esensial bercorak “mistis” ini terus hidup bahkan sampai pada masa perjuangan hebat melawan monarki selama Revolusi Inggris pada tahun-tahun 1640-an. Dalam perjuangan-perjuangan itu, muncullah sejenis ajaran komunis yang kuat yang berdasarkan keyakinan bahwa semua orang seharusnya memiliki dan mengerjakan tanah bersama. Penulis radikal Inggris, Gerard Winstanley, menulis: “Kebebasan sejati terletak dalam penikmatan yang bebas terhadap bumi.” Pada saat yang sama, Winstanley dan para pengikut radikalnya menganut sebuah pandangan religius: kelahiran suatu masyarakat baru adalah karya Allah, bukan karya manusia biasa.

Baru pada awal Abad XIX lahir sebuah idea bahwa manusia-manusia biasa dapat membentuk-ulang masyarakat. Dengan terjadinya Revolusi Industri dan munculnya klas-pekerja modern, para kritikus masyarakat mulai berpikir tentang sebuah transformasi kehidupan sosial yang dikerjakan oleh manusia-manusia biasa. Dari sinilah idea tentang “sosialisme-dari-bawah” lahir. Meski begitu, pada awalnya sosialisme mempunyai karakter yang sangat elitis dan anti-demokratik. Setelah beberapa dekade perjuangan klas-pekerja, barulah sosialisme tampil dalam bentuk sebuah gerakan yang di dalamnya kaum tertindas yakin bahwa mereka dapat membebaskan diri mereka sendiri. Inilah “Sosialisme dari Bawah”: self-liberation of the poor and the oppressed. (Bersambung...)

Disadur oleh Rudolfus Antonius dari David McNally, Socialism from Below (Chicago: International Socialist Organization, c.u. 1986) Marxism Page,  http://www.anu.edu.au/polsci/marx/contemp/pamsetc/socfrombel/sfb_main.htm