Theologia Publica
Teologi Publik dengan Perspektif Kekristenan Liberatif
Sabtu, 04 Juli 2020
Selasa, 30 Juni 2020
Selasa, 23 Juni 2020
TERAWANG IBN SJAMSU: HANTU KOMUNISME
www.deviantart.com/qsy-and-acchan |
1.
Hantu Komunisme masih bergentayangan di benak sebagian orang di Pulau Melati.
2.
Hantu ini sengaja dibuat gentayangan oleh orang-orang licik, yang menemukan
titik hubung antara kepentingan ekonomi-politik mereka dan kepicikan sementara
orang dalam beragama, politik kebencian yang telah dipupuk sekitar 6 tahun
terakhir, dan kemalasan untuk membaca dan menalar kritis sejarah dan politik
tanah air.
3.
Walhasil, dalil "orang licik memanipulasi orang picik dan fanatik demi
kepentingan ekonomi-politik" terkonfirmasi berkali-kali. Saat ini,
orang-orang licik itu, yang tidak lain dari faksi2 kelas borjuis yang belum
puas dengan pembagian jatah dari jarahan singa atas "penguasaan atas
sejengkal tanah, kekayaan alam, dan penduduknya," memanfaatkan jasa
sejumlah "ulama" untuk membuat umat tercekam dengan hantu Komunisme
dan semakin membenci administrasi Jokowi, serta siap dikorbankan demi
kepentingan yang sejatinya tidak ada kaitannya dengan kepentingan umat itu
sendiri.
4.
Faksi2 borjuis yang bertikai tahu bahwa Komunisme sudah lama mati. Mungkin
sebagian dari "ulama" itu juga mengetahuinya. Tapi kenyataan bahwa
hantu Komunisme bergentayangan di benak sebagian orang (=umat) menunjukkan
perkawinan haram antara akal licik & culas di satu pihak dan kesadaran
palsu & kelumpuhan nalar kritis di pihak lain.
5.
Cekak aos, di balik bergentayangannya hantu Komunisme adalah perselisihan yang
belum kunjung berakhir di antara faksi2 borjuis atau kelas penguasa Pulau
Melati: mereka belum mencapai kata sepakat dalam pembagian kavling eksploitasi
& akumulasi kapitalis di Pulau Melati.
6.
Pertikaian ini tentu tidak lepas dari pengamatan dan campur tangan borjuasi
internasional, yang selamanya tergiur untuk turut menikmati bahkan mendominasi
kekayaan Pulau Melati. Bila perlu, sembari menggembar-gemborkan HAM &
demokrasi serta retorika tanggung jawab ekologis, mereka akan mengadudombakan
faksi2 borjuis lokal dan mengaduk-aduk masyarakat, tak peduli Pulau Melati
menjadi Afghanistan kedua, Irak kedua, Libya kedua, Suriah kedua, dst.
7.
Apakah Komunisme? Sangat boleh jadi sebagian dari "ulama" dan sekian
banyak umat bahkan rakyat Pulau Melati tidak mengerti apa yg dimaksud dengan
Komunisme. Yang ditanamkan dalam benak mereka selama ini adalah konotasi2
demagogis: Komunisme itu atheis, anti-Islam, pembantai ulama dan umat Islam,
pengkhianat negara & Pancasila, pembunuh jenderal2...
8.
Secara keseluruhan kelas borjuis Pulau Melati merasa perlu mempertahankan
hegemoni dari konotasi2 demagogis ini. Semua faksi memiliki senjata bersama
untuk menghantam gerakan2 progresif di kalangan rakyat manakala gerakan itu tiba
pada satu titik yang mengancam privilese
mereka. Saat gerakan2 progresif tersebut itu dipandang tidak atau belum
berbahaya, faksi2 borjuis akan menggunakan konotasi2 demagogis ini untuk saling
menghantam di antara mereka sendiri.
9.
Tap MPRS No XXV/1966 melarang Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dari sini mestinya
jelas, yang dimaksud dengan Komunisme oleh Tap tsb adalah Marxisme-Leninisme,
ideologi resmi Partai-partai Komunis sedunia yang berkiblat ke Moskow atau
Peking semasa Perang Dingin.
10.
Bila Komunisme, seturut dengan Tap MPRS No XXV/1966, diartikan sebagaimana poin
9, patutlah kita jujur bertanya: bukankah Komunisme sudah kadaluwarsa? Bukankah
kegaduhan tentang Komunisme semata mengada-ada tapi masih dipercaya oleh
sebagian orang yang terlalu picik sehingga tidak mampu memfilter racun demagogi
yang merusak nalar dan hati mereka?
11.
Dalam pada itu, kegilaan ini menginsyafkan kita: kaum progresif, yang
menjunjung demokrasi seutuhnya (baik politik maupun ekonomi) belum cukup mampu
menawarkan baik wacana tandingan yang efektif, maupun wadah & kanal untuk
menampung dan menyalurkan "jeritan kaum tertindas" (yg justru
dikooptasi oleh bentuk2 agama yang fundamentalistis dan reaksioner yg pada
glirannya menguntungkan kelas borjuis itu sendiri).
12.
Kita, kaum progresif, harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas lagi!
Sabtu, 30 Mei 2020
PERGUMULAN SEORANG NABI BESAR
www.biography.com |
Matius 11.2-6
Oleh: Rudolfus
Antonius
Yohanes
Pembaptis adalah seorang yang luar biasa. Massa rakyat (ho ochlos) menganggapnya nabi (Matius 14.5; 21.26). Gusti Yesus bahkan
mengatakan bahwa Yohanes lebih dari seorang nabi (perissoteron prophêtou, 11.9). Sebab laki-laki eksentrik itu telah
merintis jalan bagi Sang Mesias.
Mewartakan
bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat, Yohanes menyerukan umat untuk bertobat,
berbalik dari jalan hidup yang berdosa. Banyak orang dari Yerusalem, seluruh
Yudea, dan seluruh daerah di sekitar Yordan telah menyambut positif pewartaan
dan seruannya. Mengakui dosa-dosa, mereka dibaptisnya. Mereka bertobat.
Yohanes
berani menempelak orang-orang Farisi dan Saduki yang datang gara-gara
baptisannya. Ia tahu bahwa orang-orang itu tidak merasa perlu untuk bertobat.
Mereka yakin bahwa mereka adalah anak-anak Abraham. Mereka menyangka bahwa
mereka akan luput dari murka Allah. Melawan kecongkakan itu, Yohanes menyebut
mereka “keturunan ular berbisa” (gennêmata
echidnôn, TB-LAI: “keturunan ular beludak”, 3.7b). Ia menasihati mereka
untuk menghasilkan “buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (3.8). Situasinya
genting, sedikit saja waktu yang masih tersisa: “Kapak sudah tersedia pada akar
pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang
dan dibuang ke dalam api” (3.10).
Yohanes
juga tahu bahwa orang-orang Farisi dan Saduki mempersoalkan baptisannya (epi tou baptisma autou, 3.7a; TB-LAI:
“untuk dibaptis olehnya”). Maka ia menandaskan bahwa ia sekadar membaptis
dengan air sebagai tanda pertobatan. Tetapi, lanjutnya, Mesias (“Dia yang
datang,” ho erchomenos) akan
membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api (3.11). Dalam pemahaman Yohanes, baptisan
Mesias akan memisahkan orang benar dan orang fasik, yang masing-masing bermuara
dalam keselamatan dan kebinasaan: “Alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan
membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam
lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak
terpadamkan” (3.12). Dengan mengatakan semuanya itu, seolah Yohanes berkata:
berhadapan denganku, kamu masih memiliki kesempatan. Pilihlah kehidupan, jangan
kebinasaan. Bertobatlah, jangan keraskan hatimu. Kelak nanti, berhadapan dengan
Mesias, semua sudah terlambat.
Tak
lama kemudian, Yohanes Pembaptis berurusan dengan Herodes, si raja wilayah:
“Tidak halal bagimu untuk memiliki Herodias!” tegornya, keras (14.4). Pasalnya,
Herodias adalah isteri Filipus, saudara Herodes. Si raja wilayah merebutnya.
Bukannya bertobat, Herodes malah mengambil tindakan represif. Yohanes
ditangkap, dibelenggu, dan dipenjarakan (14.3; lihat 4.12).
Memahami Pekerjaan-pekerjaan
Kristus
Di
dalam penjara, Yohanes mendengar tentang “pekerjaan-pekerjaan Kristus” (ta erga tou Christou, 11.2). Sudah
barang tentu: pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Gusti Yesus, yang sambil njajah desa milang kori “mengajar dalam
rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan
segala penyakit dan kelemahan” (9.35).
Tentu
Yohanes teringat perjumpaannya dengan Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu.
Yesus datang dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes untuk dibaptis olehnya
(3.13). Yohanes, yang sebelumnya menempelak habis-habisan orang-orang Farisi
dan Saduki karena kecongkakan mereka, ternyata sangat menyegani “anak tukang
kayu” (13.55) itu. Ia berusaha menolak untuk membaptis Yesus (3.14). “Akulah
yang perlu dibaptis oleh-Mu,” kata Yohanes kepada-Nya, “dan Engkau yang datang
kepadaku?”
Menurut
anggapan Yohanes, Yesus tidak perlu bertobat, mengaku dosa, dan dibaptis
olehnya. Dirinyalah yang perlu bertobat, mengaku dosa, dibaptis oleh Yesus.
Tapi, kita semua tahu, bahwa Yesus ngeyel,
tetap meminta agar Yohanes membaptis-Nya. “Saat ini biarlah begitu (aphes arti),” kata-Nya, “karena dengan
cara inilah kita menggenapi seluruh kehendak Allah (atau: seluruh kebenaran, pasan dikaiosunên), dengan
sebaik-baiknya” (3.15a). Kita tidak tahu, apakah Yohanes mengerti maksud
perkataan Yesus. Yang jelas, akhirnya Yohanes membaptis Yesus.
Yohanes
juga teringat bahwa di hadapan orang-orang Farisi dan Saduki ia menyebut Sang
Mesias, “ho erchomenos,” Dia yang
akan datang. Ia tahu, Sang Mesias lebih perkasa daripada dirinya. Ia menyadari,
di hadapan Sang Mesias, dirinya lebih rendah dari seorang budak (“membuka tali
kasutnya pun aku tidak layak”). Ia yakin, bahwa Sang Mesias akan menegakkan
“seluruh kebenaran,” yakni mengukuhkan orang benar (membaptis dengan Roh Kudus)
dan membinasakan orang fasik (membaptis dengan api).
Lantas
adakah hubungan antara Sang Mesias dan Yesus dari Nazaret? Apakah Laki-laki
Bersandal dari Nazaret yang maksum
itu adalah ho erchomenos alias Sang
Mesias? Bukankah Dia berkata-kata tentang “menggenapi seluruh kebenaran”? Kalau
begitu, bukankah selaku Mesias Yesus akan “membaptis dengan Roh Kudus dan
dengan api,” yakni mengukuhkan orang benar dan membinasakan orang fasik? Tapi,
perhatikan apa yang telah dikerjakan oleh Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu!
Sepertinya kok tidak “menggenapi seluruh kebenaran” … Tidak mengukuhkan orang
benar, tidak juga membinasakan orang fasik. Salah satu “bukti”-nya: Yohanes
Pembaptis malah terbelenggu dalam penjara, sementara Herodes dan Herodias yang
maksiat kelihatan asyik-masyuk dan berjaya! Yohanes pun bergumul.
Kita
bisa menduga bahwa setelah membaptis Yesus, Yohanes melihat “langit terbuka” (êneôcthêsan hoi ouranoi, 3.16) dan
mendengar “suara dari langit” (phonê ek
tôn ouranôn) yang mengatakan “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah
Aku berkenan” (3.17). Jika demikian, Yohanes tahu bahwa Yesus bukan sekadar
seorang maksum, yang memberi isyarat yang
kabur bahwa Dialah Sang Mesias (yakni dengan kata-kata “seluruh kebenaran”).
Berdasarkan pernyataan eksplisit dari langit yang terbuka itu, sangat boleh
jadi Yohanes tahu dan percaya bahwa Yesus adalah Sang Mesias sekaligus Hamba
Yahweh. Akan tetapi situasi objektif sangat bisa mempengaruhi pikiran,
perasaan, bahkan iman seseorang.
Di
tengah pergumulannya, Yohanes tidak ingin terus bertanya-tanya. Ia menginginkan
ketegasan. Oleh karena itu ia mengutus murid-murid-Nya kepada Gusti Yesus,
untuk bertanya: “Engkaukah ‘Dia yang akan datang’ (ho erchomenos), atau kami masih harus menantikan orang lain?” (11.3).
Gusti Yesus tidak menjawab secara langsung. Ia berkata kepada murid-murid
Yohanes:
Pergilah dan
katakanlah kepada Yohanes
apa yang kamu
dengar dan kamu lihat:
orang buta
melihat,
orang lumpuh
berjalan,
orang kusta menjadi
tahir,
orang tuli
mendengar,
orang mati
dibangkitkan
dan kepada orang
miskin diberitakan kabar baik.
Dan
berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku." (1.4-6)
Gusti
Yesus ingin mengajak Yohanes untuk mengingat dua nubuatan dalam gulungan kitab
Nabi Yesaya (Yesaya 35.5-6 [jilid 1]; 61.1 [jilid 3]). Nubuatan yang pertama
berintikan kedatangan Allah dengan pembalasan dan ganjaran, yang menyelamatkan
umat-Nya (Yesaya 35.4). Walhasil, “mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan
telinga orang-orang tuli akan dibuka… orang lumpuh akan melompat seperti rusa,
dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai” (35.5-6). Nubuatan yang kedua
berintikan misi Hamba Yahweh, yang diurapi Yahweh dengan Roh-Nya “untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, merawat orang-orang yang
remuk hati, memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan…” (6.1-2). Pendeknya, zaman mesianis adalah zaman
tegaknya keadilan, zaman pembebasan bagi kaum miskin, tertindas, dan
terpinggirkan. Zaman sudah mulai terwujud melalui praksis Laki-laki Bersandal
dari Nazaret.
Di
sini kita menangkap suatu perbedaan penting. Bagi Yohanes, saat kedatangan-Nya,
Sang Mesias akan langsung menegakkan keadilan dan melakukan pembalasan kepada
orang benar dan orang fasik. Seketika Ia akan menyelamatkan orang benar dan
membinasakan orang fasik. Itulah “menggenapi seluruh kebenaran.” Tetapi menurut
Gusti Yesus, “menggenapi seluruh kebenaran” dimulai dengan mewartakan kabar
baik kepada kaum miskin dan mengulurkan tangan kepada mereka yang
terpinggirkan. Mengutamakan kaum miskin dan tertindas, yakni mewartakan kabar
baik dan mengulurkan tangan kepada mereka; itulah prioritas Sang Mesias saat
ini. Menyelamatkan orang benar dan menghukum orang fasik, akan dilakukan-Nya kelak,
yakni saat “Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya” (25.1). Penghakiman itu
pun akan didasarkan pada sikap terhadap kaum miskin, tertindas, dan
terpinggirkan, yang disebut-Nya “saudara-saudara-Ku yang paling hina” (hoi adelphoi hoi elachistoi, 25.40).
Gusti
Yesus bermaksud memberikan konfirmasi kepada Yohanes bahwa memang Dialah ho erchomenos alias Sang Mesias – tapi
dengan “priorias kerja” yang berbeda dengan yang dipikirkan Sang Pembaptis.
Atas dasar itu, Ia berusaha menghibur Yohanes dan meneguhkan imannya: “Dan
berbahagialah orang yang tidak jatuh tersandung karena Aku (hos ean mê
skandalisthê en emoi, 11.6; TB-LAI: “orang yang tidak menjadi kecewa dan
menolak Aku”).
Orang besar,
orang biasa
Yohanes
Pembaptis adalah orang besar, bahkan Gusti Yesus mengatakan “di antara mereka
yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar
dari pada Yohanes Pembaptis” (11.11a). Totalitas pengabdiannya kepada pewartaan
Kerajaan Allah dan perintiasan jalan bagi Sang Mesias luar biasa. Tapi toh ia
tetap manusia biasa, yang bisa bimbang dan memiliki pemahaman yang kurang utuh
tentang Sang Mesias. Syukurlah dalam kebimbangannya ia tak segan bertanya
kepada orang yang tepat, yakni Gusti Yesus sendiri.
Kita
beruntung memiliki pemahaman yang lebih lengkap tentang Sang Mesias. Dalam arti
inilah, “yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya” (11.11b).
Tapi kita pun manusia biasa, yang bisa bimbang meskipun memiliki pemahaman yang
lebih memadai tentang Junjungan kita. Kita mesti rendah hati sementara terus
belajar mengikut dan mengenal Sang Mesias.
Dalam
pada itu, “pekerjaan-pekerjaan Mesias,” yang mengungkapkan komitmen-Nya, yakni
“pilihan mengutamakan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan,” kiranya
menjadi agenda utama kita. Bukankah Injil atau kabar baik yang diwartakan Sang
Mesias adalah Injil yang Membebaskan? Sebagai para pengikut-Nya, mari kita
terus memasyhurkannya. ***
Kamis, 21 Mei 2020
MI'RAJ GUSTI YESUS: MEMAHAMI KEMBALI AMANAT AGUNG
Matius 28.19-20
Rudolfus Antonius
Dalam memperingati dan merayakan Kenaikan Gusti Yesus ke Sorga alias Mi'raj Gusti Yesus, ada baiknya kita mengkaji Matius 28.19-20, wabil chusus di bawah tajuk tema Memahami Kembali Amanat Agung. ***
Amanat Agung (great commission). Itulah istilah yang
kita gunakan untuk menyebut perintah Tuhan Yesus dalam Matius 28.19-20. Tidak
salah, tentu. Perintah itu dititahkan oleh Tuhan yang Mulia, yang melalui
kebangkitan-Nya “telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (Matius
28.18). Allah telah mengurapi Sang Mesias (3.16-17). Sekarang Ia telah
menobatkan-Nya (bdk 26.64). Lebih dari sekadar seorang Raja orang Yahudi (2.2;
27.37), melalui kebangkita-Nya, Yesus menjadi Yang Dipertuan atas sorga dan
dunia. Dalam kapasitas inilah Ia bertitah, Amanat Agung.
Tafsir (Naratif)
Amanat Agung
adalah suatu titah pengutusan. Benar. Sebagaimana Yesus pra-Kebangkitan
menghendaki murid-murid-Nya pergi kepada “domba-domba yang hilang dari umat
Israel,” (10.6), demikianlah Kristus pasca-Kebangkitan menghendaki
murid-murid-Nya pergi kepada “segala bangsa” (28.19).
Menurut Yesus
pra-Kebangkitan, kepergian murid-murid adalah dalam rangka mewartakan bahwa
Kerajaan Sorga sudah dekat. “Beritakanlah, dengan mengatakan bahwa Kerajaan
Sorga sudah dekat” (kêrussete
legontes hoti êngiken hê basileia tôn
ouranôn, 10.7). “Beritakanlah” berpadanan dengan
“sembuhkanlah orang-orang sakit, bangkitkanlah orang-orang mati, tahirkanlah
orang-orang kusta, usirlah setan-setan” (10.8a). Jiwa dan semangatnya: “kamu
telah menerima dengan cuma-cuma, berikanlah cuma-cuma” (dôrean elabete, dôrean dote,
ay 8b).
Saya menyebut “berpadanan,” karena semua kata
kerja-kata kerja yang digunakan mengambil bentuk present imperatif: kêrussete (beritakanlah), therapeuete
(sembuhkanlah), egeirete
(bangkitkanlah), katharizete
(tahirkanlah), ekballete
(usirlah/halaulah). Penyembuhan orang-orang sakit, pembangkitan orang-orang
mati, penahiran orang-orang kusta, dan pengusiran setan-setan adalah
tanda-tanda bahwa yang diberitakan, yakni bahwa Kerajaan Allah sudah dekat,
benar adanya.
Menurut
Kristus pasca-Kebangkitan, kepergian murid-murid adalah dalam rangka memuridkan
segala bangsa bagi-Nya. “Muridkanlah segala bangsa” (mathêteusate panta ta ethnê,
28.19). Mereka yang telah dipanggil menjadi murid (=yang mengikut) Yesus (4.19,
21 [bdk 8.22]; 10.1), sekarang diutus untuk menjadikan segala bangsa murid.
Mereka yang selama ini telah mengikut Yesus, kini dititahkan untuk memanggil
segala bangsa untuk mengikut Yesus.
Sebagaimana
dulu mereka menyambut panggilan Yesus dan menjadi murid-murid-Nya, kelak
orang-orang dari segala bangsa juga akan menyambut panggilan mereka dan menjadi
murid-murid Yesus. “Muridkanlah segala bangsa, dengan membaptiskan (baptizontes) mereka ke dalam
nama (eis to onoma) Bapa dan
Anak dan Roh Kudus, dan dengan mengajar (didaskontes) mereka untuk melakukan (=memelihara, têrein, dari têreo) semua, [yakni]
sebanyak yang telah Kuperintahkan kepadamu” (28.19-20a).
Menarik, kita mendapati kata kerja perintah mathêteusate (muridkanlah!) dan dua kata kerja partisipel: baptizontes (dengan membaptiskan) dan didaskontes (dengan mengajar). Dua kata
kerja partisipel menjelaskan kata kerja utamanya, yakni kata kerja perintah.
Memuridkan
segala bangsa, kesebelas murid itu (1) membaptiskan “murid-murid baru” ke
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Itu berarti “mempersatukan”
murid-murid baru itu dengan Bapa dan Anak dan Roh Kudus atau mempersekutukan
mereka dengan Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dengan demikian murid-murid baru itu
menjadi milik Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan hidup di bawah naungan-Nya.
Kesebelas
murid itu juga (2) mengajar murid-murid baru itu untuk melakukan semua, yakni
sebanyak yang telah diperintahkan Yesus Kristus kepada mereka. Sebagaimana
“kesebelasan” itu mengikut Yesus dan melakukan perintah-perintah Yesus,
demikian jugalah murid-murid baru yang berasal dari segala bangsa itu.
“Kesebelasan”, yakni murid-murid yang mula-mula, harus mengajarkan hal-hal yang
mereka hidupi kepada murid-murid yang baru.
Apakah yang
dimaksud dengan “semua, yakni sebanyak yang telah Kuperintahkan kepadamu”?
Dalam konteks Injil Matius, itu menyangkut ajaran-ajaran yang disampaikan Yesus
selaku “Musa yang Baru.” Sebagaimana secara tradisional diyakini oleh umat
Yahudi (dan umat Kristen), Musa telah memberikan Taurat dalam Lima Kitab:
Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam Injil Matius, Yesus,
yang datang bukan untuk menghapuskan Taurat melainkan untuk menggenapinya
(5.17), memberikan “taurat baru” dalam Lima Pengajaran: Khotbah di Bukit (5-7),
Khotbah Misi Israel (10), Perumpamaan Kerajaan Sorga (13), Pengajaran tentang
Gereja (18), dan Khotbah Akhir Zaman (24-25).
Murid-murid
yang mula-mula harus menghidupi ajaran-ajaran Yesus sebagaimana terpapar dalam
Lima Pengajaran. Sementara mereka menghidupinya, mereka harus mengajar
murid-murid baru untuk menghidupi Lima Pengajaran. Itu berarti:
Berkenaan dengan Pengajaran Pertama, para murid berupaya
“menjadi sempurna seperti Bapa” (5.48, fungsional “menampakkan” Allah yang
tidak kelihatan via suatu cara hidup alternatif (jalan ketiga, bukan legalisme,
bukan antinomianisme).
Berkenaan dengan Pengajaran Kedua, para murid belajar
untuk tidak menjadi takut dan khawatir namun tulus dan cerdik dalam
memberitakan bahwa Kerajaan Sorga sudah dekat (10.7, 17, 19, 26, 28, 30).
Berkenaan dengan Pengajaran Ketiga, para murid belajar
untuk hidup dalam keyakinan bahwa Kerajaan Sorga sangat berharga serta akan
tumbuh, berkembang, dan menang – sesuai dengan rencana Allah – sekalipun di
tengah berbagai tantangan (13.18-21,30, 32, 33, 41-43, 44-46, 49).
Berkenaan dengan Pengajaran Keempat, para murid belajar
untuk rendah hati, saling menjaga, dan saling mengampuni dalam paguyuban murid
Kristus (18.4, 21-22).
Berkenaan dengan Pengajaran Kelima, para murid belajar
untuk setia, tanggap terhadap tanda-tanda zaman, dan senantiasa berjaga-jaga
menantikan parousia (24.4, 6, 13,
42), termasuk berbelarasa dengan “saudara-saudara-Ku yang paling hina” – kaum
yang terhisap, tertindas, dan tersingkir/terpinggirkan dalam masyarakat
(25.37-40, 44-45).
Miskonsepsi dan Transformasi
Miskonsepsi
berarti salah paham. Perihal Amanat Agung, terjadi juga kesalahpahaman di
kalangan kita, orang Kristen. Lazimnya, kesalahpahaman itu berkisar pada (1) anggapan
bahwa Mat 28.19-20 merupakan perintah tentang “memenangkan jiwa”; dan,
berdasarkan anggapan pertama, (2) anggapan bahwa Mat 28.18-20 adalah perintah
yang paling penting dalam Perjanjian Baru, bahkan dalam seluruh Alkitab.
Kedua anggapan
ini didasarkan pada pandangan bahwa “jiwa” manusia lebih penting daripada
tubuhnya. Jiwa itu kekal, tubuh itu fana. Ketika mati, tubuh manusia akan berkalang
tanah, sedangkan jiwanya akan memasuki keabadian. Adapun keabadian itu berkisar
pada sorga dan neraka. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus, jiwanya
akan masuk ke dalam neraka. Orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, jiwanya akan
masuk ke dalam sorga. Lantas, bagaimana bisa percaya bila tidak pernah
mendengar Injil? Bagaimana bisa mendengar Injil bila tidak pernah diinjili?
(bdk Roma 10.14-15).
Implikasinya,
hal-hal yang terkait dengan kejasmanian manusia tidak atau kurang diperhatikan.
Paling banter, kebutuhan-kebutuhan jasmani dan sosial seseorang sekadar
dijadikan “batu loncatan” dalam memenangkan jiwa. Kita menolong orang,
misalnya, supaya kita bisa memenangkan jiwanya. Kita mengerjakan pelayanan
sosial, misalnya, supaya bisa memenangkan jiwa sebanyak mungkin orang.
Tentu saja
jiwa manusia penting, bahkan sangat penting. Tetapi Allah menciptakan manusia
sebagai makhluk yang utuh: jasmani-rohani dan individual-sosial. Injil meliputi
semua dimensi. Keselamatan tidak hanya menyangkut yang rohani, tetapi juga
jasmani. Bukankah Yesus (dan murid-murid-Nya, lihat Matius 4.23; 9.35; 10.1,
7-8), menyembuhkan orang-orang sakit, membangkitkan orang-orang mati,
mentahirkan orang-orang kusta, dan mengusir setan-setan? Bukankah penyempurnaan
keselamatan kita tidak semata soal jiwa masuk sorga, tapi kebangkitan orang
mati (lihat misalnya 1Korintus 15.52b-54)? Bukankah Allah tidak hanya
mempedulikan keselamatan orang perorang, tetapi juga transformasi masyarakat
seturut dengan nilai-nilai Kerajaan-Nya? (lihat misalnya Matius 5.13-16, di
mana Yesus menyebut murid-murid-Nya sebagai sebagai garam dan terang dunia)?
Di samping
itu, bila kita setia pada Matius 28.19-20, kita perlu membacanya secara utuh,
pula dalam keseluruhan Injil Matius. Sebagaimana telah dipaparkan di atas,
Matius 28.19-20 memuat titah tentang pemuridan: Muridkanlah segala bangsa.
Menjadi murid-murid Yesus, orang-orang dari segala bangsa dibaptis (=menjadi
milik Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan hidup dalam naungan-Nya) serta belajar
untuk memahami dan menghidupi perintah-perintah Yesus dalam Lima Pengajaran.
Jadi bukan semata memenangkan jiwa, melainkan transformasi hidup!
Menjadi murid
atau pengikut Yesus, hidup seseorang ditransformasi seturut dengan nilai-nilai
Kerajaan Allah, dan pada gilirannya turut serta dalam proyek transformasi
Kerajaan Allah atas orang lain dan masyarakat luas. Transformasi itu bergulir
melalui dua cara yang saling terkait: manjing
ajur-ajer seperti garam dalam membawa Injil ke dalam masyarakat (Matius
5.13) dan menjadi “kota di atas bukit” yang menerangi dunia (Matius 5.16).
Dengan manjing ajur-ajer seperti garam, kita
memperbarui masyarakat “dari dalam,” yakni dengan terlibat dalam dinamika
masyarakat, sehingga masyarakat diresapi dengan nilai-nilai Kerajaan Allah (sebagaimana
terpapar dalam ajaran dan hidup Yesus). Dengan menjadi “kota di atas bukit,”
kita menampilkan suatu cara hidup baru, yang dapat menjadi alternatif, baik di
tataran perorangan maupun komunitas (=gereja), yang di satu sisi terbuka untuk
dikritisi, namun pada saat yang sama otentik, menarik, dan menantang untuk
diikuti.
Transformasi, itulah
Misi Gereja, misi orang percaya, berdasarkan pembacaan kita atas Matius
28.19-20 dalam konteks keseluruhan Injil Matius. Ya, Amanat Agung adalah
deklarasi Misi Transformatif. Dalam mengemban Misi inilah kita boleh mengalami
janji Tuhan Yesus: “Dan lihatlah, aku ada bersama dengan kamu di sepanjang masa
hingga kesudahan zaman” (Matius 28.20b). Ia yang dijanjikan Allah sebagai
Imanuel (=Allah ada bersama dengan kita), hadir di dalam Gereja alias
persekutuan murid-murid-Nya (18-20), dan menyertai murid-murid-Nya dalam
mengemban Misi Transformatif-Nya.
Selamat memperingati dan merayakan Mi'raj Gusti Yesus!
Lemah Abang, 20-21 Mei 2020
Senin, 18 Mei 2020
TRILOGI ROH KUDUS
catholic-sf.org |
Kisah Para Rasul
1.1-11
Rudolfus
Antonius
Sebelum
terangkat ke sorga, Gusti Yesus berpesan kepada para murid agar mereka
menantikan Janji Bapa. “Yohanes membaptis dengan air,” sabda-Nya, “tetapi tidak
lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.”
Latar: Yohanes
Pembaptis
Murid-murid,
juga kita, teringat akan Yohanes Pembaptis. Karena firman Allah datang
kepadanya, Yohanes meninggalkan keheningan tapa-brata di padang gurun. Menjelajahi
seluruh Yudea, ia mengajak umat menyambut kedatangan Yahweh, Allah Israel, dan
keselamatan yang akan diwujudkan-Nya. “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis,”
serunya, “dan Allah akan mengampuni dosamu” (Lukas 3.2-6).
Massa
rakyat tergugah mendengar seruan itu. Mereka datang kepadanya untuk dibaptis. Tapi
mereka malah menegor mereka dengan keras. Tanpa tedeng aling-aling, Yohanes menyebut mereka sebagai keturunan ular
berbisa – secara spiritual. Tentu ia tahu bahwa mereka keturunan Abraham –
secara biologis. Tapi menjadi keturunan biologis Abraham tidak ada gunanya bila
mereka tidak sungguh-sungguh bertobat. “Kapak sudah tersedia pada akar pohon,”
tegasnya, “dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan
ditebang dan dibuang ke dalam api.” Lantas bagaimana caranya supaya seseorang
mengetahui bahwa ia telah sungguh-sungguh bertobat? Menurut Yohanes, batu uji
dari pertobatan yang sungguh-sungguh adalah buah-buah yang dihasilkannya
(3.7-9).
Massa
rakyat tidak tersinggung. Mereka tahu, mereka percaya bahwa Yohanes benar.
Mereka telah berniat untuk bertobat. Tekad mereka sudah bulat. Karena itu
mereka bertanya kepada Yohanes: Jika
demikian, apakah yang harus kami perbuat? (3.10).
Yohanes
menjawab dengan tegas:
Barangsiapa
mempunyai dua helai baju,
hendaklah ia membaginya
dengan yang tidak punya,
dan barangsiapa
mempunyai makanan,
hendaklah ia berbuat
juga demikian (3.11).
Maksudnya
jelas: Berbagi dengan yang tidak berpunya adalah buah pertobatan. Jelas,
pertobatan memiliki orientasi sosial.
Di
antara massa rakyat terdapat para pemungut cukai dan prajurit. Mereka juga
telah bertekad untuk bertobat. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama: apakah
yang harus kami perbuat? Kepada para pemungut cukai Yohanes berkata, “Jangan
menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan kepadamu.” Kepada
para prajurit ia berkata, “Jangan merampas dan jangan
memeras, dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (3.12-14).
Makin
jelas. Bertobat berarti meninggalkan penghisapan atau pemerasan terhadap
rakyat. Berhenti dari exploitation de
l’homme par l’homme adalah buah pertobatan. Sekali lagi, pertobatan
memiliki orientasi sosial. Menjadi manusiawi, menjadi sesama bagi orang lain,
itulah buah pertobatan.
Dalam
pada itu, massa rakyat “sedang menanti dan berharap.” Seperti Kiyai Simeon yang
benar dan saleh itu, mereka “menantikan penghiburan bagi Israel” (2.25).
Seperti Nyai Hana yang “… siang malam
beribadah dengan berpuasa dan berdoa” (2.37), mereka “menantikan kelepasan
untuk Yerusalem.” (38). Merasakan kharisma Yohanes, massa rakyat pun
bertanya-tanya dalam hati: apakah orang inilah Sang Mesias?
Yohanes
tanggap ing sasmita. Ia tahu betul
siapa dirinya. Ia juga tahu persis peran yang dipercayakan Allah kepadanya. Ia
sekadar “suara yang berseru-seru di padang gurun” (3.4). Ia bukan Sang Mesias.
Perannya adalah “sekadar” mengajak umat untuk “menggelar karpet merah” bagi
Yahweh, Allah Israel. Tidak lebih dari itu. Karena itu ia merasa wajib untuk
meluruskan.
Aku membaptis
kamu dengan air,
tetapi Ia yang
lebih berkuasa dari padaku akan datang
dan membuka tali
kasut-Nya pun aku tidak layak.
Ia akan
membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.
Alat penampi
sudah di tangan-Nya
untuk
membersihkan tempat pengirikan-Nya
dan untuk
mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung-Nya,
tetapi debu
jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan (3.16-17).
Sekurang-kurangnya
kita menangkap empat hal dalam jawaban Yohanes. Pertama, Yohanes mengaku
bahwa ia bukan Sang Mesias. Kedua, ia menyebut Sang Mesias
sebagai “Ia yang lebih berkuasa daripadaku” (ho
ischuroteros mou). Ketiga, ia bahkan merasa lebih
rendah daripada hamba Sang Mesias: apalagi membawa kasut Sang Mesias, membuka
tali kasut-Nya pun ia merasa tidak layak. Keempat, ia sekadar membaptis dengan
air, tetapi Sang Mesias akan membaptis “dengan Roh Kudus dan dengan api” (en pneumatic hagiô kai puri). Dengan
baptisan itu, Sang Mesias memisahkan orang benar dari orang fasik. Orang-orang
benar akan dibaptis-Nya dengan Roh Kudus: dihimpunkan-Nya untuk keselamatan
(bdk. Yesaya 44.3; Yehezkiel 39.29; Yoel 2.28). Orang-orang fasik akan
dibaptis-Nya dengan api: dihimpunkan-Nya untuk kebinasaan (Yesaya 26.11; 66.24;
Yeremia 4.4; 15.14).
Kembali
kepada perbincangan Gusti Yesus dengan murid-murid-Nya. “Kamu akan dibaptis
dengan Roh Kudus” (humeis … en pneumatic
baptisthêsthe hagiô): itulah janji Bapa. Itu akan terjadi tidak lama lagi (tidak
lama setelah hari ini, ou meta pollas
tautas hêmeras). Pelakunya: Sang Mesias. Dia tak lain dari Gusti Yesus
sendiri (lihat Lukas 24.26; Kisah 2.33).
Roh Kudus: Roh Sang
Mesias
Saat
penahbisan sebagai Mesias yang Menghamba melalui baptisan Yohanes, Roh Kudus turun
ke atas Yesus (Lukas 3.22). Dalam Manifesto Nazaret, Yesus mengutip Yesaya 61.1-2.
Pertama,
“Roh TUHAN ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku…” (Lukas 4.18a).
Gusti Yesus meyakini bahwa dengan Roh Kudus, Allah telah mengurapi-Nya sebagai
Mesias yang Menghamba. Pengurapan itu membuat-Nya memiliki otoritas dan daya
untuk melaksanakan misi-Nya sebagai Mesias yang Menghamba. Kedua, apa misi Sang
Mesias yang Menghamba? Allah mengutus Sang Mesias yang Menghamba untuk
mewartakan Injil alias Kabar Baik yang membebaskan kaum miskin dan
tertindas!
untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin
untuk
memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan
bagi orang-orang buta,
untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas,
untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Lukas 4.18b-19).
Jelas,
Roh Kudus adalah Roh Sang Mesias, yang memampukan Sang Mesias memberitakan Injil
yang Membebaskan.
Roh Kudus: Roh yang
Bersaksi tentang Mesias
Setelah
menempuh jalan penderitaan hingga kematian sebagai konsekuensi dari pewartaan
Kabar Baik yang memerdekakan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan, Sang
Mesias yang Menghamba “masuk ke dalam kemuliaan-Nya” (eiselthein eis tên doxan autou, Lukas 24.26). Dalam perkataan yang
lebih ringkas: “Mesias [harus] menderita dan bangkit dari antara orang mati
pada hari yang ketiga” (pathein ton
christon kai anastênai ek nekrôn tê tritê hemera, 24.46). Kelak, dalam
perkataan Rasul Petrus, “…Allah telah membuat-Nya Tuhan dan Kristus, yakni
Yesus yang telah kamu salibkan” (kurion
auton kai christon epoiêsen ho theos, touton ton Iesoun hon humeis estaurôsate,
Kisah 2.36). Inilah inti bagian pertama dari cerita tentang Yesus Sang Mesias.
Bahwa
Sang Mesias telah masuk ke dalam kemuliaan-Nya, implikasinya seluas dunia. Sang
Mesias memiliki otoritas atas segala bangsa (panta
ta ethnê). Dalam nama-Nya (=atas nama-Nya, berdasarkan otoritas-Nya, epi onomati), akan diberitakan “pertobatan
demi pengampunan dosa-dosa” (metanoia eis
aphesin hamartiôn, Lukas 24.47). Itu artinya, pertama, Sang Mesias
menilai segala bangsa sedang hidup dalam dosa-dosa; kedua Sang Mesias
menghendaki segala bangsa bertobat agar beroleh pengampunan atas dosa-dosa
mereka; dan ketiga, Sang Mesias menghendaki agar segala bangsa mendengar
pewartaan tentang pertobatan demi pengampunan dosa-dosa. Inilah inti bagian
kedua dari cerita tentang Yesus Sang Mesias.
Menurut
Gusti Yesus, para murid adalah “saksi-saksi dari semuanya ini” (martures toutôn, 24.48). Jelas maksud
beliau, para murid adalah saksi-saksi atas cerita tentang Yesus Sang Mesias,
baik bagian pertama maupun bagian kedua. Implikasinya, mereka harus bersaksi
atau memberi kesaksian tentang cerita tentang Gusti Yesus seutuhnya.
Kedengarannya
subversif. Di bawah bayang-bayang para penguasa dunia, yakni Kaisar dan
jaringan kaki-tangannya (Lukas 3.1-2), Yesus mewartakan Kabar Baik yang
Memerdekakan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan; dibunuh oleh
kaki-tangan penguasa dunia namun didudukkan Allah sebagai Yang Dipertuan;
sekarang mengklaim otoritas atas segala bangsa-bangsa – yang notabene ada di
bawah kekuasaan Kaisar – dan menyuruh mereka bertobat; dan mengutus
saksi-saksi-Nya ke seluruh dunia – dari
Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi (=Roma!). Baik dalam
bagian pertama dan bagian kedua dari kisah-Nya, maupun melalui kesaksian
murid-murid-Nya, sesungguhnya Gusti Yesus sedang menantang penguasa dunia dan
jaringan kaki-tangannya!
Untuk,
murid-murid membutuhkan Roh Kudus. Roh Kudus, yang dulu turun ke atas [katabainô epi] Yesus (Lukas 3.22), akan datang ke atas [eperchomai epi] murid-murid-Nya (Kisah
1.8). Dulu, Roh Kudus mengesahkan Yesus sebagai Mesias dan memberdayakan-Nya
untuk mewartakan Injil yang Membebaskan (Lukas 4.18-19). Tak lama lagi, melalui
Roh Kudus, para murid akan menerima kuasa (dunamis),
yang memampukan mereka untuk menjadi saksi-saksi Sang Mesias – dari Yerusalem,
Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi (Kisah 1.8).
Karena
daya kerja yang dahsyat dari Roh Kudus itulah murid-murid Gusti Yesus akan
menjadi “orang-orang “menjungkirbalikkan dunia-Romawi” (hoi tên oikumenên anastatôsantes, Kisah 17.6; TB-LAI: “orang-orang
yang mengacaukan seluruh dunia”). Bukan dengan kekerasan, tentunya. Tapi apa
jadinya Kekaisaran Romawi apabila segala bangsa yang ada di bawah kekuasaannya
bertobat dan menghidupi ajaran Gusti Yesus – yakni kasih dan pengampunan,
keadilan dan solidaritas dengan kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan,
serta pelayanan dan pengurbanan diri? Tanpa harus mengobarkan pemberontakan
bersenjata, kesaksian yang perkasa tentang Gusti Yesus akan menjelma menjadi
gerakan seluas dunia yang menawarkan alternatif dari jejaring raksasa kekuasaan
Romawi dan dengan demikian menyodorkan ancaman serius kepadanya! Roh Kudus
adalah Roh Kesaksian tentang Sang Mesias.
Roh Kudus: Roh
Umat Sang Mesias
Pada
hari Pentakosta, Janji Bapa digenapi. Sang Mesias mencurahkan Roh Kudus kepada
murid-murid-Nya (Kisah 2.33) yang berjumlah 120 orang itu (1.15). Penuh dengan
Roh Kudus, mereka berkata-kata “tentang perbuatan-perbuatan besar yang
dilakukan Allah” (ta megaleia tou theou,
2.11) dalam bahasa-bahasa yang lazim digunakan oleh orang-orang Yahudi
perantuan di kedua sisi Laut Tengah (2.8-11).
Dalam
khotbahnya, Rasul Petrus menegaskan bahwa Janji Bapa, yakni karunia Roh Kudus (hê dôrea tou hagiou pneumatos), juga
diperuntukkan bagi semua orang yang bertobat dan dibaptis “atas nama Yesus
Kristus” [epi tô onomati Iesou Christou]
demi pengampunan dosa (Kisah 2.38-39).
Sebagai
tanggapan atas seruan Rasul Petrus, kira-kira tiga ribu orang memberi diri
dibaptis (2.41). Roh Kudus pun dikaruniakan Sang Mesias kepada mereka. Roh
Kudus itulah yang kemudian memberdayakan mereka untuk hidup sebagai umat Sang
Mesias. Lihatlah, mereka bertekun “dalam pengajaran rasul-rasul dan
persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa” (2.42). Persekutuan (koinônia) itu didasarkan prinsip
“segala kepunyaan semua orang yang telah menjadi percaya adalah kepunyaan
bersama” (2.44b). Sebab, manakala seseorang bertobat dan dibaptis atas nama
Gusti Yesus, ia seutuhnya menjadi milik Gusti Yesus – termasuk “segala
kepunyaan”-nya. Dalam Gusti Yesus itulah seluruh komunitas saling berbagi
dengan “segala kepunyaan” yang ada pada mereka. Saling berbagi berarti saling
melayani dan berkurban. Roh Kuduslah tentunya yang telah menanamkan prinsip itu
di hati mereka semua. Aplikasinya, “selalu ada dari mereka
yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai
dengan keperluan masing-masing” (2.45). Dengan perkataan lain: “dari tiap-tiap
orang menurut kemampuannya, untuk tiap-tiap orang menurut kebutuhannya.” Roh
Kudus jugalah yang telah memampukan mereka semua untuk mengaplikasikan prinsip
tersebut.
Hidup
sebagai umat Sang Mesias adalah suatu bentuk kesaksian tentang Sang Mesias. Menjadi
komunitas yang “berani berbeda,” yang menghidupi nilai-nilai alternatif di
tengah dunia yang lelah dengan pementingan diri sendiri, keserakahan,
kesewenang-wenangan, serta ketidakadilan berupa penghisapan, penindasan, dan
diskriminasi, adalah suatu bentuk kesaksian tentang Sang Mesias. Roh Kuduslah
yang memampukan “orang-orang yang telah menjadi percaya” untuk hidup sebagai
umat Sang Mesias, untuk menghidupi nilai-nilai alternatif itu.
Di
samping menjadi ancaman bagi mereka yang diuntungkan oleh struktur-struktur
yang melayani dosa (baik ekonomi, politik, bahkan keagamaan!), alternatif itu
menarik hati banyak orang. Lebih-lebih orang-orang yang selama ini menjadi
korban-korban dosa: kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Tak heran bila
umat Sang Mesias itu “disukai semua
orang” (2.47b). Walhasil, “tiap-tiap
hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (2.47c). Roh
Kudus adalah Roh umat Sang Mesias.
Trilogi Roh
Kudus
Berbahagialah
kita, para pengikut Gusti Yesus, Sang Mesias.
Berbahagialah
kita karena Roh Sang Mesias ada di dalam tiap-tiap kita.
Berbahagialah
kita karena Roh Sang Mesias memberdayakan kita untuk bersaksi tentang Gusti
Yesus.
Berbahagialah
kita karena Roh Sang Mesias memampukan kita untuk hidup sebagai umat Sang
Mesias.
Mari
kita menghidupi nilai-nilai alternatif – kasih dan pengampunan, keadilan dan
solidaritas dengan mereka yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan, serta
pelayanan dan pengurbanan diri. ***
Selasa, 12 Mei 2020
GEMBALAKANLAH DOMBA-DOMBAKU
Yohanes 21.15-19
Rudolfus
Antonius
Dalam
perjumpaan yang ketiga setelah Gusti Yesus bangkit dari antara orang mati (Yoh
21.14), Simon Petrus mendengar Beliau bertanya kepadanya: “Simon [putera]
Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (agapas me) lebih dari mereka ini
[mengasihi Aku]?” Simon Petrus berkata kepada-Nya, “Benar, Gusti. Engkau tahu
bahwa aku mengasihi-Mu” (21.15b).
Agaknya
Simon menjawab spontan, tanpa pikir panjang. Tak sempat ia bertanya-tanya di
dalam hatinya, mengapa Gusti Yesus menyebutnya “Simon [putera] Yohanes,” bukan
Petrus? Bukankah dengan sebutan itulah Gusti Yesus menyapanya manakala untuk
pertama kali Simon bertumpa dengan-Nya?
Kala
itu Simon menemui Gusti Yesus atas ajakan Andreas, saudaranya. Andreas
mula-mula meguru kepada Yohanes
Pembaptis. Setelah mendengar Sang Pembaptis menyatakan bahwa Yesus dari Nazaret
adalah “Domba Allah yang menghapuskan dosa dunia” (ho amnos tou Theou ho airôn tên hamartian tou kosmou, 1.29), ia dan
seorang rekan santri Sang Pembaptis menjumpai Yesus dan kemudian menjadi
murid-Nya. Andreas inilah yang mengabari Simon bahwa ia telah menemukan Sang
Mesias (1.41). Atas dasar itu, Simon bersedia diajak Andreas untuk menemui
Gusti Yesus. Dalam perjumpaan yang pertama itulah Gusti Yesus berkata
kepada-Nya: “Engkau adalah Simon putera Yohanes. Engkau akan dijuluki [klêthêsê] Kefas [alias Petrus, 1.42].”
Sejak saat itu, Simon menyusul Andreas menjadi pengikut Gusti Yesus.
Sekarang,
Gusti Yesus menyapanya lagi sebagai “Simon [anak] Yohanes.” Dengan jalan itu, Gusti
Yesus sedang mengingatkan Simon tentang peristiwa “kali pertama jumpa Sang
Mesias,” alias momen saat Simon menjadi murid-Nya. Termasuk: kasih yang
mula-mula, semangat yang mula-mula. Meski pernah gagal lantaran menyangkal Beliau
sampai tiga kali, Simon tetap murid Gusti Yesus, dan diajak untuk memiliki
kembali kasih dan semangat yang mula-mula.
Mari
kita kembali kepada jawaban Simon. “Benar, Gusti (nai, kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se), katanya. Menanggapi
jawaban Simon, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau:
Berilah makan domba-domba-Ku, boske ta
arnia mou). Sang Gembala yang Baik (10.11, 15) memberi Simon amanat
sehubungan dengan domba-domba-Nya. Berdasarkan jawaban Simon, Dia yang
memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya, mengamanatinya untuk menggembalakan
mereka. Suatu kepercayaan yang mengandung tanggung jawab yang sangat besar,
tentunya.
Untuk
kedua kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [anak] Yohanes, apakah engkau
mengasihi Aku (agapas me)?” Jawaban kedua Simon sama persis, seperti mengulang
saja jawaban pertama: “Benar, Gusti (nai,
kurie). Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu” (su oidas hoti philô se). Menanggapi
jawaban itu, Gusti Yesus memberinya amanat: “Gembalakanlah domba-dombaku”
(atau: Pimpinlah domba-domba-Ku, poimane
ta probata mou). Jelas: Bila engkau mengasihi Aku, gembalakanlah
domba-domba-Ku.
Untuk
ketiga kalinya Gusti Yesus bertanya, “Simon [putera] Yohanes, apakah engkau
mengasihi Aku (phileis me)?” Mendengar itu Simon terhenyak. Bukan karena kali
ini Gusti Yesus menggunakan kata phileô untuk
mengasihi, setelah sebelumnya menggunakan kata agapaô dalam dua pertanyaan pertama. Memang ada sejumlah orang yang berpandangan bahwa karena Simon
hanya bisa menjawab dua pertanyaan agapas
me dengan philô se, maka dalam
pertanyaan ketiga Gusti Yesus “menurunkan standard” dengan phileis me. Dengan kata lain, karena Simon hanya bisa mengasihi
Gusti Yesus dengan kasih seorang sahabat, bukan kasih tanpa syarat, maka Beliau
“menurunkan tuntutan-Nya” dari semula agapaô
menjadi phileô.
Tidak
demikian. Sebab dalam Injil Yohanes, agapaô
dan phileô digunakan bergantian.
Simak, misalnya:
§ Bahwa Bapa
mengasihi Yesus, kata agapaô (3.36;
10.17; 15.9; 17.23, 24) phileô (5.20)
digunakan.
§ Bahwa Yesus
mengasihi Lazarus, kata agapaô (11.5)
dan phileô (11.3, 36) digunakan.
§ Bahwa Bapa
mengasihi murid-murid Gusti Yesus, kata agapaô
(14.21) dan phileô (16.27) digunakan.
§ Bahwa murid-murid
Gusti Yesus mengasihi Beliau, kata agapaô
(14.15, 21, 23, 28) dan phileô
(16.27) juga digunakan.
§ Demikian pula
halnya dengan julukan “murid yang dikasihi Yesus.” Kata agapaô (13.23; 19.26; 21.7, 20) dan phileô (20.2) digunakan.
Alih-alih soal “menurunkan tuntutan,” beginilah duduk perkaranya. Dua kali sudah Simon,
dengan perkataan yang persis sama, menjawab pertanyaan Gusti Yesus. Tanpa pikir
panjang! Sampai-sampai Gusti Yesus “harus” bertanya untuk ketiga kalinya.
Mengutip Wak Haji Oma Irama, “sungguh terlalu.” Pertanyaan ketiga membuatnya
terhenyak dan berpikir panjang. Ia tersadarkan bahwa sebenarnya ia telah gagal
dalam mengasihi Gusti Yesus.
Simon
ingat, bahwa ia pernah kecewa kepada Gusti Yesus. Pada malam sebelum Gusti
Yesus ditangkap untuk disalibkan, Beliau mengatakan akan meninggalkan para
murid, pergi ke tempat yang tidak dapat mereka datangi. Simon pun bertanya
kepada-Nya, “Ke mana Engkau akan pergi?” Tentu masih segar dalam ingatan Simon
bagaimana ia mewakili kawan-kawannya di Kelompok-12 menanggapi pertanyaan getir
Gusti Yesus apakah mereka tidak mau berpaling dan meninggalkan Dia, menyusul
sekian banyak murid lainnya (6.67). Dengan tegas Simon menandaskan ia dan
kawan-kawannya tidak akan berpaling dan meninggalkan Dia. Sebab: “Gusti …
Engkau memiliki perkataan-perkataan hidup yang kekal, dan kami telah percaya
dan mengetahui bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (kurie, … rhêmata zoês aiôniou echeis, kai hêmeis pepisteukamen kai egnôkamen hoti su ei ho hagios tou Theou,
6.68-69). Cekak aos, di balik
pertanyaan Simon kepada Gusti Yesus terdapat gugatan: “Di momen genting ketika
sekian banyak murid telah berpaling dan meninggalkan-Mu (6.66), kami tetap
bersama-Mu. Dan sekarang Kau akan meninggalkan kami, pergi ke tempat yang tidak
dapat kami datangi?”
Simon
juga ingat pernah gusar kepada Gusti Yesus. Ia merasa Beliau meremehkan
pertanyaan itu dengan jawaban, “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat
mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku” (13.36).
Sekarang (nun) dan kelak/nanti (husteron). Sekarang ia tidak bisa
mengikuti Gusti Yesus ke tempat kemana Beliau pergi. Kelak baru bisa. Ada apa
dengan sekarang? Mengapa harus nanti?
Tanpa
berpikir panjang, Simon Petrus pun berkata sengit: “Gusti, mengapa aku tidak
dapat mengikuti Engkau sekarang?” katanya, “aku akan memberikan nyawaku
bagi-Mu!” [tên psuchên mou huper sou
thêsô] (13.36). Agaknya Simon tidak menyadari bahwa ia telah membalikkan
perkataan Gusti Yesus, “Akulah Gembala yang Baik … Aku memberikan nyawa-Ku bagi
domba-domba-Ku” (tên psuchên mou tithêmi
huper tôn probatôn, 10.11, 15). Kedengaran heroik … saking emosionalnya!
Menanggapi
perkataan itu, jawaban Gusti Yesus menggarisbawahi bahwa Simon Petrus sama
sekali belum siap untuk mengikuti Dia. “Kau akan memberikan nyawamu untuk-Ku?”
(13.38a). Nggak salah, nih? Demi mengikut Aku? Ah yang bener! Kemudian Gusti Yesus menjelaskan
bahwa sesaat lagi Ia akan pergi ke Rumah Bapa (14.2). Tempat itulah yang
sekarang ini belum bisa didatangi oleh para murid. Sekarang ini, para murid
belum bisa mengikuti Gusti Yesus pergi ke Rumah Bapa. Apa pasal? Mengikuti
Gusti Yesus ke Rumah Bapa berarti menempuh jalan penderitaan hingga kematian.
Simon Petrus, juga kawan-kawannya, masih jauh dari siap. Nanti iya, tapi bukan
sekarang. Titeni, “ayam jantan pasti
tidak akan berkokok, sampai engkau menyangkal Aku tiga kali” (13.38b).
Dapat
dibayangkan perasaan Simon mendengar tanggapan Gusti Yesus seperti itu. Ia merasa
sudah siap! Siapa bilang dia tidak atau belum siap. Karena itu ia ingin membuktikan
bahwa “ramalan” Gusti Yesus salah. Ia ingin membuktikan bahwa dirinyalah yang
benar. Dan itu hampir menjadi kenyataan. Simaklah insiden penangkapan Yesus. Pasukan
Romawi berkekuatan 600 orang (speira)
dikerahkan bersama-sama dengan para pengawal Bait Suci suruhan para imam kepala
dan orang-orang Farisi. Mereka nggrudug
Gusti Yesus lengkap dengan lentera, suluh, dan senjata. Simon menghunus pedang
dan menebas telinga kanan Malkus, seorang budak imam besar (18.10). Sebuah
tindakan yang heroik membela Gusti Yesus, yang justru membiarkan diri-Nya
ditangkap dan meminta agar murid-murid-Nya, termasuk Petrus, dibiarkan pergi (18.8).
Simon
masih penasaran untuk membuktikan dirinya. Ia mengikuti rombongan yang
menggiring Gusti Yesus yang terbelenggu itu. Kemudian ia sampai dekat gerbang
istana Imam Besar. Di situlah seorang hamba perempuan (18.17), orang-orang yang
ada di situ (18.25), dan kerabat si Malkus (18.26) mengenalinya sebagai
pengikut Gusti Yesus. Simon, yang sebelumnya begitu heroik, menyangkal tudingan
mereka sampai tiga kali. Setelah itu berkokoklah ayam jantan (18.27). “Ramalan”
Yesus benar, terbukti. Upaya Petrus untuk membuktikan hal yang sebaliknya
gagal. Ia memang belum siap untuk mengikuti Yesus, dengan menempuh jalan
penderitaan dan kematian, ke Rumah Bapa.
Ingatan
akan rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut membuat Simon benar-benar menyadari
bahwa ia telah gagal dalam mengasihi Gusti Yesus. Ia pun menjadi sedih, berduka
(elupêthê, dari lupeô; bdk 21.17 dan 16.20).
Ia merasa bahwa ia mengasihi Gusti Yesus, tapi ia sadar bahwa ia tidak cukup
mampu mengasihi Beliau hingga “memberikan nyawa” untuk-Nya, sampai tetes darah
terakhir, sampai titik darah yang penghabisan. Pikiran pendeknya telah
dipatahkan, kesombongannya telah dihancurkan. Ia pun berkata kepada Gusti Yesus,
“Gusti, Engkau tahu segala sesuatu (kurie,
panta su oidas).” Ya segala sesuatu, termasuk Simon apa adanya. “Engkau
tahu, bahwa aku mengasihi Engkau” (su
ginôskeis hoti philô se).
Gusti
Yesus tahu, murid-Nya yang satu ini telah tiba pada kesadaran dan pengenalan
diri yang benar. Itulah tujuan Beliau menanyakan hal yang sama tiga kali
kepadanya. Ia membimbing Simon untuk tiba pada kesadaran dan pengenalan diri
yang sejati. Kesadaran dan pengenalan diri itu membuat orang menjadi terbuka
terhadap anugerah Allah yang memulihkan! Bahkan, berdasarkan kesadaran dan
pengenalan diri itulah, amanat ilahi dikukuhkan. Sebab kemudian Gusti Yesus
berkata kepada Simon, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (atau: Berilah makan
domba-domba-Ku, boske ta probate mou).
Amanat
itu segera disusul-Nya dengan sebuah maklumat:
Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu
sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah
menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat
engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.
Pencerita
kita menjelaskan kepada kita maksud perkataan itu: “… hal ini dikatakan-Nya
untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah.” Ya, dulu
Simon (“ketika engkau masih muda”), meski sudah menjadi murid Gusti Yesus
sekalipun, masih semau gue. Itu
membuatnya tidak kunjung siap untuk “mati dan memuliakan Allah.” Tapi mulai
sekarang (“jika engkau sudah menjadi tua”), ia disiapkan untuk “mati dan
memuliakan Allah.” Itu berarti: ia disiapkan untuk mengikuti Gusti Yesus,
Junjungan dan Guru yang dikasihinya.
Sesudah
mengatakan demikian Gusti Yesus berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku."
Jelaslah sudah, Simon Petrus telah dipulihkan dan diberi amanat untuk mengikuti
jejak Gusti Yesus, yakni menggembalakan domba-domba-Nya. Dalam menggembalakan
domba-domba Gusti Yesus itulah ia akan menempuh jalan penderitaan dan kematian.
Mengikut Gusti Yesus secara purna hingga ke Rumah Bapa. Dengan jalan itulah
Allah dimuliakan melalui Simon Petrus.
Apa yang dapat kita pelajari dari kisah ini?
Pertama, murid atau pengikut Gusti Yesus, seperti Simon Petrus,
adalah manusia biasa, dengan antusiasme, semangat, keinginan untuk melakukan
yang terbaik bagi Beliau, tetapi memiliki kelemahan juga. Demikian pula kita.
Kedua, Gusti Yesus tidak membuang siapapun di antara murid
atau pengikut-Nya yang pernah gagal. Ia mengingatkan Simon akan kasih dan
semangatnya yang mula-mula. Bagi Gusti Yesus, murid tetap murid, meski pernah
gagal. Pengikut tetap pengikut, meski tak selalu berhasil. Terpenting, dalam
kegagalan atau keberhasilan, tetap membuka diri kepada anugerah Allah, bukan
malah membuang diri dari hadapan-Nya.
Ketiga, Gusti Yesus membimbing kita kepada kesadaran dan
pengenalan diri. Ia ingin kita bisa mengatasi kesombongan kita, melampaui
kedangkalan kita. Dalam kesadaran dan pengenalan diri, kita akan belajar rendah
hati. Kita pun dimungkinkan untuk mengalami kekuatan anugerah Allah bekerja di
dalam dan melalui kita.
Keempat, Gusti Yesus meneguhkan kita untuk menerima dan
melaksanakan amanat-Nya. Untuk Petrus: menggembalakan domba-domba-Nya. Untuk
kita, sesuai dengan karunia dan panggilan kita masing-masing. Dibutuhkan
totalitas untuk mengemban amanat tersebut.
Kelima, melalui itu semua, kita belajar mengikut Gusti Yesus
selama kita hidup, sampai akhirnya kita datang ke Rumah Bapa untuk tinggal
bersama dengan Dia selama-lamanya. ***
Langganan:
Postingan (Atom)
-
“Biasanya,” kata temanku, “para pendeta lebih dekat dengan anggota jemaatnya yang kaya daripada dengan yang miskin.” Aku mengerutkan dahi. ...
-
BUKAN FUNDAMENTALIS ISLAM, BUKAN ZIONIS KRISTEN Oleh: Rudolfus Antonius Kebencian Endemik Mengecam, memprotes, dan mengutuk agresi Israel ke...
-
Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-N...