Oleh: Rudolfus Antonius
Why do You Believe What You Believe? Singkat sederhananya, Mengapa Beriman? Itulah tema persekutuan Pemuda di sebuah gereja di Semarang, Sabtu 15 November lalu.
Pertanyaan “mengapa” menginginkan jawaban karena. Tersirat, perihal percaya atau beriman mengandaikan alasan, landasan, atau dasar. Reason to Believe, sekadar menyitir judul buku apologetik R.C. Sproul, seorang teolog Calvinis berorientasi Evangelikal.
Karena ber-alasan, ber-landasan, atau ber-dasar, perihal percaya atau beriman memiliki rasionalitas tertentu. Karena memiliki rasionalitas tertentu, perihal percaya atau beriman mengandaikan kebenaran tertentu pula. Saya beriman tentang dan/atau kepada A, karena A benar. Tentu tidak bisa dikatakan A an sich, melainkan A dalam persepsi saya. Kiranya jelas, “kebenaran” (=kebenaran tertentu) saya mengerti, saya yakini, saya inginkan, dan saya sandari atau andalkan.
Fase I: Menjadi Percaya atau Beriman
Beriman itu sendiri, bila kita mempertimbangkan frase Yunani dalam Perjanjian Baru, yakni pisteuein eis (dilanjutkan dengan kasus akusatif) selalu berarti “beriman kepada” atau “mempercayakan diri kepada.” Tergambar, saya masuk ke dalam suatu hubungan, dan selanjutnya saya hidup di dalam hubungan tersebut. Saya beriman kepada Yesus Kristus, berarti saya mempercayakan diri kepada-Nya (sebagai Tuhan dan Juruselamat saya, lazimnya), memasuki hubungan personal dengan Dia, dan menghidupi hubungan tersebut (insya Allah di sepanjang sisa hidup saya). “Mekanisme”-nya sama. Saya mengerti Yesus Kristus itu benar: Tuhan dan Juruselamat. Saya yakin Dia benar. Saya ingin Dia menjadi Tuhan dan Juruselamat saya. Saya mempercayakan diri saya kepada-Nya (dalam kata-kata Katekismus Heidelberg: “badan dan jiwa saya, baik semasa hidup maupun mati”). Saya bersandar kepada-Nya, mengandalkan Dia.
Tanpa menyangkali keotentikan perihal percaya atau beriman kepada Yesus Kristus, tentu kita mafhum bahwa rangkaian tanggapan akal budi (mengerti), perasaan (yakin), kehendak (menginginkan), dan tindakan (mempercayakan diri dan bersandar kepada-Nya) adalah suatu kompleks persepsi seseorang (sebutlah saya) tentang Yesus Kristus. Dalam persepsi saya, Yesus Kristus benar, bahkan benar-benar benar. Dia adalah kebenaran (boleh ditulis Kebenaran).
Pengalaman saya dengan Yesus Kristus pun tidak terjadi di luar persepsi saya. Saya mengalami dan karena itu bisa mengatakan bersama Ursinus dan Olevianus (para pengarang Katekismus Heidelberg) bahwa Yesus Kristus adalah “Juruselamatku yang setia.” Tapi pengalaman itu terjadi, dimengerti, dan dibahasakan di dalam persepsi saya. Tidak di luarnya. Moga kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa suatu pengalaman iman yang terjadi di luar persepsi saya, dimengerti di luar persepsi saya, dan dibahasakan di luar persepsi saya, adalah suatu kemustahilan. Moga juga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keotentikan iman saya justru terletak dalam keterkaitan antara kebenaran tertentu dan persepsi saya.
Persepsi saya terbentuk dari perspektif atau sudut pandang saya. Dengan perspektif, saya mengerti, meyakini, menginginkan, dan bertindak. Dengan perspektif saya menyikapi realitas. Tanpa perspektif, realitas tertutup bagi saya (dan begitulah saya juga tertutup bagi realitas). Berbicara fenomenologis, tanpa perspektif tidak ada realitas. Betapa pentingnya perspektif. Dalam pada itu, perlu juga disadari bahwa dengan perspektif, saya tidak bisa mempersepsi realitas secara tuntas. Perspektif selalu perspektif tertentu. Sudut pandang selalu menyangkut “pengambilan” angle tertentu. Ada sisi atau segi realitas yang “tertangkap” oleh persepsi saya, sementara sisi-sisi atau segi-segi lainnya tidak. Sekali lagi, hal ini tidak menganulir keotentikan iman dan persepsi kita, tapi justru meneguhkannya. Namun, peneguhan ini sekaligus mengingatkan kita tentang keterbatasan kita – dan oleh karena itu mengajak kita untuk bersikap rendah hati dalam kebenaran tertentu yang kita “miliki.”
Perspektif itu sendiri bukanlah sesuatu yang “jatuh dari langit” (meminjam sebagian dari judul pidato Bung Karno saat para durno mengangkatnya menjadi presiden, Mei 1963: “Sosialisme Bukan Barang yang Jatuh dari Langit”). Perspektif adalah bentukan situasi. Komunitas dan tradisi iman, misalnya. Juga lingkungan pergaulan (dan pendidikan). Pula situasi-situasi eksistensial (=situasi-situasi tertentu di mana seseorang mendapati dirinya harus membuat keputusan yang mengakibatkan perubahan orientasi dan cara memaknai hidupnya). Meskipun pada akhirnya saya harus membuat keputusan bagi diriku sendiri, misalnya membuat keputusan iman, keputusan tersebut adalah penyimpulan dari hasil kerja perspektif yang pada gilirannya terbentuk oleh banyak hal yang terkait dengan diri saya.
Bentukan situasi, perspektif, dan persepsi. Bolehlah kita menyebut semua itu sebagai dimensi kodrati dari hal percaya atau beriman. Bahwa saya percaya atau beriman, sebutlah kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tidak lepas dari situasi, perspektif, dan persepsi.
Tapi sebagai orang beriman, tentulah kita tidak mengasalmuasalkan hal percaya atau beriman kita pada faktor-faktor yang terhisab dalam dimensi kodrati semata. Kita juga meyakini adanya dimensi lain, yang adikodrati sifatnya, yang bekerja di dalam dan melalui faktor-faktor yang terhisab dalam dimensi kodrati. Dalam tradisi Calvinis kita menyebutnya “karya Roh Kudus yang melahirbarukan.” Artinya, Roh Kudus membuat “kebenaran” yang terpapar dalam (pemberitaan) firman Tuhan efektif dalam diri kita dengan menata situasi dan menggarap perspektif dan persepsi kita. Alhasil, kita percaya atau beriman kepada Yesus Kristus. Kiranya ini sejalan dengan sabda Yesus dalam Yohanes 6.44: “Tidak seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku...”
Fase II: Kukenal Dia yang Kupercaya
Fides quaraens intellectum. Iman yang mencari pengertian. Dictum agung Anselmus Canterbury dari Abad XI. Bahwa saya beriman atau percaya adalah suatu kenyataan. Sekarang, dalam posisi sebagai orang beriman, saya ingin mengenal dengan lebih mendalam dan mengerti dengan lebih baik Siapa dan apa yang saya percaya. “Aku mengetahui kepada Siapa aku percaya...,” kata “Rasul Paulus” (2Timotius 1.12). Bagaimana caranya?
Di hadapan saya ada Alkitab. Komunitas dan tradisi iman kami (Kristen) telah mewariskan Alkitab kepada saya (kami) dengan keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah. Ya, kami meyakini bahwa sumber asasi Alkitab, “perpustakaan mini” yang memuat tulisan-tulisan keagamaan yang terbentuk dalam kurun waktu 11 abad itu, adalah Allah sendiri. “Segenap Tulisan [suci] adalah dinafaskan Allah...” (pasa graphe theopneustos, 2Timotius 3.16). Allah menafaskan atau mengilhamkan Alkitab. Inspiratio, kata dogmatika.
Sebagai firman Allah, begitulah komunitas iman kami percaya, Alkitab “bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang di dalam kebenaran, sehingga tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi dengan setiap perbuatan baik” (2Timotius 3.16-17).
Dalam pada itu, meski diakui keyakinan dan pengakuan komunitas iman kami (termasuk saya) bahwa Alkitab adalah firman Allah dan dengan demikian bermanfaat (untuk mengajar, menyatakan kesalahan, dst.) kena-mengena dengan keyakinan kami bahwa Alkitab memberi kesaksian tentang Yesus Kristus. Alkitab adalah firman Allah, dalam arti ia adalah firman (perkataan) tentang Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Di luar keyakinan dan pengakuan akan kena-mengenanya Alkitab dengan Yesus Kristus, kita tidak bisa memperlakukan Alkitab sebagai firman Allah.
Ada “Peristiwa Yesus”, yang dimaknai dan diwartakan dengan warna-warni yang khas para penulis Perjanjian Baru dan komunitas-komunitas iman yang mereka wakili. Dalam memaknai dan mewartakan Peristiwa Yesus, mereka membaca Kitab Suci orang Yahudi, yang kemudian menjadi bagian pertama dari Kitab Suci Kristen, Perjanjian Lama. Jadilah: Perjanjian Lama telah memberi sasmita tentang Yesus Kristus, dan Perjanjian Baru menjabarkan penggenapan sasmita itu. Jadilah, Alkitab, PL dan PB itu, memberi kesaksian tentang Yesus Kristus.
Sementara Alkitab memberi kesaksian tentang Yesus Kristus, Alkitab juga mengatakan bahwa Yesus Kristus menyatakan Allah. Sangat menarik kata-kata dalam Yohanes 1.18: “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah, yang berada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” Allah menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Oke. Tapi itu dalam artian bahwa Yesus, “Anak Tunggal Allah” itu, menyatakan (kata Yunani yang dipakai: eksegeomai, mengeksegesis; menggali dan mengungkap; atau menyingkapkan) Allah kepada manusia.
Allah tidak terlihat, Yesus (selaku figur konkret sosio-historis) terlihat, berdarah daging, “anak manusia” – dalam arti salah seorang di antara kita. Incarnatio ([Filii] Dei), kata dogmatika. Bagaimana Yesus yang terlihat menyatakan Allah yang tidak terlihat kepada manusia?
Secara praktis, kita bisa menjabarkan begini. Pertama, Yesus memiliki dan mengusung idea tertentu tentang Allah. Allah yang bagaimana? Allah memilih untuk mengutamakan kaum miskin (anawim, ptokhoi). Miskin dalam arti ekonomik: kaum terhisap, yang hasil kerjanya diambil oleh pihak lain dalam tatanan (-tatanan) ekonomi-politik yang tidak adil. Miskin dalam arti politik: kaum tertindas, yang dijajah, diperlakukan sewenang-wenang, dibungkam suaranya, pendeknya, diabaikan hak-haknya sebagai manusia. Miskin dalam arti kultural: kaum marjinal, yang secara “masif, sistematis, dan struktural” (meminjam istilah Wowo & the gang) dipinggirkan dari akses kepada Allah dan komunitas iman (dalam bidang keagamaan) dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Dalam “Manifesto Nazaret” (Lukas 4.18-19), Yesus mencanangkan misi-Nya, yang secara hakiki menampilkan Allah yang berpihak kepada kaum miskin.
Kedua, Yesus menghidupi idea-Nya tentang Allah. Menindaklanjuti Manifesto-Nya, Yesus mengorientasikan diri-Nya kepada kaum miskin. Ia mewartakan Kerajaan Allah, yang secara khusus (tapi tidak eksklusif) diperuntukkan bagi mereka. Berbahagialah orang miskin, kata Yesus, oleh karena orang miskin adalah pemilik Kerajaan Allah (Lukas 6.20-21). Ia menerima kaum perempuan untuk menjadi bagian dari murid-murid-Nya. Ia menyambut anak-anak kecil dan memberkati mereka. Ia bersahabat dengan para pemungut cukai, orang berdosa, dan para perempuan yang bekerja sebagai pelacur sebagai sahabat. Ia menyembuhkan orang-orang yang karena mengidap sakit-penyakit tertentu dipandang oleh agama resmi sebagai kaum yang telah dibuang oleh Allah dan dengan demikian dibuang oleh masyarakat.
Dalam pada itu, menghidupi idea tentang Allah yang berpihak kepada kaum miskin tidak membuat Yesus membenci kaum kaya dan kuasa an sich. Kuasa-kuasa atau tatanan-tatanan yang menghisap, menindas, dan memarjinalkan-lah yang dilawan-Nya: trinitas keji Mamon-Kaisar-Kenisah. Bila ada kaum kaya, penguasa, dan terhormat bertobat dari penghisapan, penindasan, dan marjinalisasi serta menggunakan kekayaan, kekuasaan, dan posisi terhormat mereka untuk melayani kaum miskin (yang disebut-Nya “saudara-saudara-Ku yang paling hina ini”, Matius 25.39, 45), pintu Kerajaan Allah dibuka-Nya bagi mereka.
Zakheus, bos pemungut cukai yang bertobat dengan mengganti empat kali lipat orang-orang yang telah dirugikannya serta membaktikan setengah dari harta kekayaannya untuk melayani kaum miskin, disebut-Nya “anak Abraham” (Lukas 19.9). Nikodemus, seorang “pemimpin agama Yahudi” (Yohanes 3.1), tidak dikecualikan. Demikian juga seorang kaya yang datang kepada-Nya untuk menanyakan syarat untuk memperoleh hidup yang kekal (Markus 10.17). Sayangnya, hatinya begitu terikat pada hartanya yang sangat banyak itu, sehingga ia pergi meninggalkan Yesus.
Ketiga, Yesus mati karena idea-Nya tentang Allah. Yesus konsisten dengan idea-Nya tentang Allah. Praksis Kerajaan Allah atau praksis keadilan, itulah yang telah dihidupi-Nya. Praksis tersebut memiliki dua sisi: berpihak pada kaum miskin dan menantang trinitas keji Mamon-Kaisar-Kenisah yang tak lain dari tatanan-tatanan yang menghisap, menindas, dan memarjinalkan sebagian terbesar manusia (=kaum miskin).
Konsisten dengan praksis itu berarti mengambil posisi subversif. Kuasa-kuasa alias trinitas keji Mamon-Kaisar-Kenisah bereaksi keras. Mereka menangkap, mengadili, dan menghukum mati Yesus dengan dalih subversif: Raja Orang Yahudi. Kelak Gereja Awali mengutip Mazmur 2 untuk menafsirkan murka trinitas keji kepada Yesus: “Mengapa rusuh bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia? Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat bersama-sama melawan TUHAN yang diurapi-Nya” (Mzm 2.1-2; Kisah Para Rasul 2.23; 4.25-26).
Dalam arti ini kiranya tidak berlebihan menyebut Yesus sebagai seorang revolusioner: Ia mengusung suatu idea, menghidupi idea itu dengan konsisten, dan mati demi idea itu.
Keempat, melalui Peristiwa Paska, Allah memvidikasi Yesus dan idea-Nya tentang Allah. Pada hari ketiga, Yesus bangkit dari antara orang mati. Murid-murid-Nya, dimulai dari kaum perempuan, mendapati kubur kosong dan mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang Bangkit. Dengan matriks teologi tentang kemartiran orang saleh, Gereja Awali memahami pengalaman-pengalaman perjumpaan dengan Tuhan yang Bangkit sebagai tindakan Allah yang membenarkan Yesus. Dia yang disalahkan manusia (=kaum penguasa), dibenarkan Allah. Dia yang dihinadinakan manusia (=kaum penguasa), dimuliakan Allah. Dengan membangkitkan Yesus dari antara orang mati, Allah mengukuhkan Yesus sebagai Tuhan dan Kristus (Kisah Para Rasul 2.36). Itu berarti Yesus benar, demikian juga idea-Nya tentang Allah yang berbelarasa dan berpihak kepada kaum miskin.
Lazimnya, kebangkitan pada hari ketiga menunjuk pada kebangkitan semua orang mati pada hari kiamat. Tapi Yesus bangkit mendahului peristiwa itu.
Mengapa Percaya/Beriman?
Mengapa percaya atau beriman? Melalui fase pertama dan kedua, kita mendapati bahwa ada sesuatu tentang Yesus Kristus. Dia adalah Tuhan dan Juruselamat, begitu persepsi kita pada fase pertama. Saya percaya kepada Yesus Kristus karena – menurut persepsi saya – Dia adalah Tuhan dan Juruselamat.
Melalui fase kedua, saya percaya bahwa Yesus Kristus adalah adalah “Allah,” dalam arti di dalam Yesus Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia; atau, Yesus menyatakan Allah kepada manusia, dengan jalan mengusung idea tentang Allah yang berpihak kepada kaum miskin, menghidupi idea itu dengan konsisten, mati karena idea itu, dan bangkit dari antara orang mati sebagai pengukuhan Allah bahwa Yesus dan idea-Nya tentang Allah benar – dan karena layak dipercaya. Itulah yang bisa saya simpulkan dari persepsi saya terhadap kesaksian Alkitab tentang Yesus Kristus.
Yesus Kristus, Dialah Junjungan saya. Saya rindu mengikut Dia, menyatupadu dengan Allah, Bapa-Nya, dalam keberpihakan kepada kaum miskin – yakni mereka yang terhisap, tertindas, dan termarjinalkan karena sistem ekonomi-politik yang tidak adil, kekuasaan politik yang korup, dan sistem religio-kultural yang mendehumanisasikan manusia.
Terpujilah Allah!
Rudolfus Antonius-Bumi Mataram, 16 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar