The Storm on the Sea of Galilee (Rembrandt, 1632) Sumber: Wikipedia |
Lent I
14-20 Februari 2016
SIAPAKAH
GERANGAN ORANG INI?
Markus 4.35-41
Rudolfus Antonius
Rudolfus Antonius
Situasi
benar-benar genting. Taufan yang sangat dahsyat mengamuk. Ombak menyembur masuk
ke dalam perahu. Perahu itu, yang ditumpangi Yesus dan murid-murid-Nya itu,
mulai penuh dengan air. Mereka semua akan tenggelam!
Murid-murid
tahu persis: kita akan binasa! (Markus 4.38b). Bisa dibayangkan betapa mereka
tercekam kengerian. Maut sudah berdiri di hadapan mereka.
Ironisnya,
bila kita boleh menggunakan istilah ini, Yesus justru “sedang tidur di buritan
di sebuah tilam” (ay 38a). Begitu nyenyak tidurnya, sehingga keadaan genting
itu tidak mengusiknya.
Mendapati
Yesus sedang tidur di tengah situasi yang sedemikian genting, terbersit rasa
jengkel di benak murid-murid. Kok bisa-bisanya tidur pulas sementara semua
orang menyabung nyawa! Opo tumon?
Mereka membangunkan Yesus seraya berkata, “Guru, tidakkah kau peduli bahwa kita
binasa?” (Menarik, kata kerja untuk binasa, apollumi,
disajikan dalam bentuk indicative present
orang pertama jamak, apollumetha,
yang mencerminkan “penilaian” murid-murid bahwa mereka semua, tak terkecuali
Yesus, ada dalam situasi yang tidak bisa diatasi lagi, nyawa mereka terancam
tanpa bisa ditolong lagi. Kita sedang binasa!).
Rupanya,
bukan amukan angin taufan atau semburan ombak yang masuk ke dalam perahu yang
membuat Yesus terbangun, melainkan gugahan murid-murid-Nya. Ia bangun. Ia
peduli. Tapi bila situasinya sudah tidak bisa diatasi lagi, masih adakah
gunanya kepedulian itu?
Yesus
menghardik angin itu, Ia berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!”
Seakan-akan taufan dan danau itu sedang rewel, ribut, banyak bicara, Yesus
menyuruh mereka untuk berhenti berbicara.
Khususnya
kata yang kedua, “tenanglah”, fimoĆ“,
menggemakan maksud narator baik untuk menyindir murid-murid – setidak-tidaknya
Simon, Andreas, Yakobus, dan Yohanes – maupun untuk mengingatkan kita bahwa Yesus pernah menggunakannya untuk membungkam roh jahat yang menyatakan
jati diri Yesus sebagai Yang Kudus dari Allah (lihat Markus 1.34-35). Dulu roh
jahat taat kepada Yesus (Markus 1.36),
sekarang – “angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali” (Markus 4.39).
Sejurus
waktu kemudian, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Mengapa kamu begitu
takut? Mengapa kamu tidak percaya?” Dengan pertanyaan itu, terungkaplah
penilaian Yesus atas murid-murid-Nya. Dalam situasi yang sangat genting, mereka
takut, mereka tidak percaya. Ya, mereka takut karena tidak percaya. Bila mereka
percaya, mereka tidak takut menghadapi situasi yang tampak mengancam nyawa mereka
sekalipun. Percaya? Percaya apa atau siapa? Tidak percaya? Tidak percaya apa
atau siapa? Apa atau siapa yang dimaksud Yesus – yang seharusnya dipercaya
murid-murid sehingga mereka tidak takut menghadapi situasi yang sangat genting
yang mempermainkan nyawa mereka di bibir jurang kematian?
Murid-murid
tercekam, mereka “menjadi sangat takut” (Markus 4.41b). Mereka baru saja
mengalami kejadian-kejadian yang teramat dahsyat: situasi yang sangat genting,
kejengkelan yang luar biasa karena tak habis mengerti kepada Sang Guru,
perkataan Sang Guru yang penuh kuasa atas angin dan danau, serta pertanyaan
yang menohok: Mengapa kamu takut? Mengapa kamu tidak percaya?
Apakah
dalam peristiwa itu mereka “tersengat” oleh mysterium
tremendum – meminjam teori Rudolf Otto – suatu aspek dari Yang Kudus, yang
membangkitkan kegentaran di sekujur jiwa mereka? Boleh jadi. Yang jelas,
ketakutan itu terungkap dalam pertanyaan seorang kepada yang lain, “Siapakah
gerangan orang ini (atau: “Jadi, siapakah adanya Dia” [tis ara houtos estin], sehingga angin dan danau pun taat
kepada-Nya?” (Markus 4.41b).
Tidakkah mereka, sekurang-kurangnya Simon, Andreas, Yakobus, dan Yohanes, bahwa di
saat-saat permulaan mereka mengiring Yesus, roh jahat mengenali-Nya sebagai
“Yang Kudus dari Allah” (Markus 1.24; lihat juga Markus 1.34).
Bukankah
keempat murid yang paling awal itu tak asing dengan pengakuan roh-roh jahat
yang merasuki orang-orang yang dilepaskan Yesus, “Engkaulah Anak Allah” (
Markus 3.11).
Tidak
cukupkah pengakuan roh-roh jahat itu menolong mereka untuk menyadari jati diri
Orang ini?
Dalam
episode berikutnya, tatkala mereka berjumpa dengan orang yang kerasukan Legion,
mereka akan mendengar sendiri bahwa Legion mengenali Yesus sebagai “Anak Allah
yang Mahatinggi” (Markus 5.7). Dia yang ditakuti roh-roh jahat adalah Dia yang
sama, yang ditaati angin dan danau.
Tapi
sementara Yesus membimbing mereka untuk mengenali jati diri-Nya, hati
murid-murid masih diliputi kedegilan. Mereka tidak kunjung memahami:
(1)
Makna
perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan-Nya (Markus 4.11, 13);
(2)
Tindakan-tindakan
belarasa dan kuasa-Nya (Markus 6.34, 41-44; 6.51-52; 7.18; 8.17, 21); dan
(3)
Sasmita-sasmita
samsara-Nya
(lihat Markus 8.31-32; 9.31-34; 10.33-41).
Lagi,
kita mendapati ironi. Sementara roh-roh jahat mengenali jati diri Yesus, tidak
demikian murid-murid-Nya. Suatu kritik terhadap kita, yang meski mengaku
sebagai pengikut-Nya tapi tidak kunjung mengenal Dia?
Tapi
sisi baliknya perlu juga direnungkan: jangan-jangan kita (merasa) mengenali
jati diri Yesus tapi tidak menjadi pengikut-Nya – yang demi Injil rela
“menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia” (Markus 8.34-35).
Di
samping itu, bisa juga ironi ini dipahami sebagai ajakan untuk menyadari bahwa
mengenal Yesus tidak saja tak mudah (dalam hal ini kita diingatkan untuk tidak
mencemooh murid-murid Yesus), tetapi juga merupakan suatu proses yang tiada
henti. Pengenalan kita akan Yesus harus terus bertumbuh, semakin mendalam,
semakin kaya; dan seiring dengan itu, semakin teruji juga jalan hidup kita
mengikut atau mengiring Dia.
Minggu
Pertama Sengsara Tuhan mengajak saya untuk jujur bertanya kepada diri saya:
Siapakah gerangan Orang ini?
1 komentar:
Minta ijin berbagi Pak Rudy
Posting Komentar