Sumber: journeyswiththemessiah.org |
21-27 Februari 2016
MENEMPUH JALAN PENDERITAAN
Markus 8.27-38
Rudolfus Antonius
Rudolfus Antonius
Petrus
tak habis pikir, apa maunya Yesus. Dengan gaya-Nya yang khas, baru saja Yesus
mengiyakan pernyataan Petrus bahwa Ia adalah Mesias (Markus 8.29-30). Sungguh,
tanggapan itu menjawab teka-teki besar yang menggelayuti pikiran mereka pasca
peristiwa “taufan di tengah telaga”: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin
dan danau pun taat kepada-Nya?” (Markus 4.41).
Bahwa
Yesus adalah Mesias, itu melambungkan harapan mereka. Betapa tidak. Bukankah
Mesias adalah Raja orang Yahudi, yang akan memulihkan Israel? Bukankah sebagai
pengikut-pengikut Mesias, Petrus dan kawan-kawannya akan beroleh bagian dalam
kemuliaan-Nya kelak?
Tapi
dengar. Baru saja harapan itu tinggi membumbung, seketika itu juga jatuh
terhempas. Tidak saja Yesus tegas meminta mereka untuk tidak memberitahukan
jati diri mesianis-Nya kepada siapapun; dengan terus terang Ia malah mengatakan
bahwa Anak Manusia – sebutan Yesus untuk diri-Nya sendiri – “harus menanggung
banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli
Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Markus 8. 31).
Menanggung
banyak penderitaan? Suatu keharusan? Berhadapan dengan elit politik dan
keagamaan? Tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat? Ditolak dan
dibunuh? Mesias macam mana? Lantas, “bangkit sesudah tiga hari”? Bah, apa
bedanya? Bukankah semua orang mati akan dibangkitkan “sesudah tiga hari”, yakni
saat Kiamat alias Akhir Zaman? Masih lama! Begitukah nasib Mesias?
Petrus
tidak terima. Ia menarik Yesus ke samping dan menegor-Nya. Mosok omong begitu! Baru saja harapan mulai bersemi, seketika itu
juga me-layu lagi. Primen sih!
Dalam
beberapa jurus waktu, Petrus dan kawan-kawannya dibuat kaget berkali-kali.
Tengok reaksi Yesus. Menoleh dan memandang mereka, Yesus memarahi Petrus,
“Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah,
melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Markus 8.33).
Bukan
main. Petrus disebut “Iblis”, Satan (bahasa Yunani: satan). Miris! Sepanjang kebersamaannya dengan Yesus, dua kali ia
mendengar Yesus berkata-kata tentang Satan. Pertama, saat dituding mengusir
roh-roh jahat dengan kuasa Beelzebul penghulu roh-roh jahat, Yesus menangkis
dengan pertanyaan, “Bagaimana Satan mengusir Satan?” (Markus 3.23) dan
pernyataan, “... kalau Satan berontak melawan dirinya sendiri, ia tidak dapat
bertahan” (Markus 3.25). Kedua, saat menjelaskan perumpamaan tentang benih yang
ditaburkan, Yesus menyebutkan bahwa Satan datang dan “mengambil firman yang
baru ditaburkan” (Markus 4.15). Dalam kedua kasus itu, Satan adalah sosok yang
jahat!
Lantas,
apakah sekarang Yesus memandang Petrus sebagai Iblis, si sosok jahat. Tidak
juga. Pengertian dasar “Satan” adalah “merintangi” atau “berdiri sebagai
lawan.” Ingat cerita tentang Malaikat TUHAN yang menjumpai Bileam yang
menunggang seekor keledai guna menemui Balak, raja Moab. Murka karena Bileam
memenuhi undangan Balak untuk mengutuki bangsa Israel, “berdirilah Malaikat TUHAN di jalan sebagai lawannya” (Bilangan 22.22, lihat juga ayat 32). Dalam
bahasa Ibrani, kata kerja satan
berarti berdiri sebagai lawan!
Sekarang,
dengan “menarik Yesus ke samping dan
menegor-Nya,” sesungguhnya Petrus “memikirkan apa yang dipikirkan manusia”,
bukan “memikirkan apa yang dipikirkan Allah” (Markus 8.33). Apa yang dipikirkan
manusia: Mesias yang jaya, tanpa penderitaan, demikian pula para pengikut-Nya.
Itulah yang ada dalam benak Petrus dan kawan-kawannya. Apa yang dipikirkan
Allah: Mesias yang dimuliakan (bangkit) sesudah menempuh jalan penderitaan.
Itulah yang tidak ada dalam benak Petrus dan kawan-kawannya.
Tindakan
Petrus terhadap Yesus seturut dengan apa yang ada dalam benaknya (apa yang
dipikirkan manusia) dan apa yang tidak ada dalam benaknya (apa yang dipikirkan
Allah). Dengan jalan itu, ia “berdiri di hadapan Yesus sebagai lawan.” Petrus
menginginkan Yesus sebagai Mesias yang jaya tanpa penderitaan, demikian pula
para pengikut-Nya. Petrus tidak menginginkan Yesus sebagai Mesias yang
dimuliakan setelah penderitaan. Ia menolak “apa yang dipikirkan Allah” dan
berupaya mewujudkan “apa yang dipikirkan manusia.” Dalam arti inilah sebutan
Iblis bagi Petrus.
“Enyahlah,”
kata Yesus kepada Petrus yang berdiri di hadapannya sebagai lawan. Dalam teks
Yunaninya, kita menemukan kata-kata hupage
opisô mou, yang bila diterjemahkan secara harafiah berbunyi, “Pergilah ke
belakangku!” Perhatikanlah kontras ini: “berdiri sebagai lawan” dan “pergilah
ke belakangku.” Jelas bagi kita maksud Yesus. Seakan Ia berkata kepada Petrus,
“Hai Petrus, daripada berdiri di hadapan-Ku sebagai lawan, merintangi jalan-Ku
untuk memenuhi apa yang dipikirkan Allah, sebaiknya engkau pergi ke
belakang-Ku, mengikut Aku.”
Yesus
adalah Mesias yang harus menempuh jalan penderitaan sebelum dimuliakan. Orang
yang telah menjadi pengikut-Nya hendaknya tidak merintangi perjalanan-Nya.
Alih-alih, mereka diajak untuk mengikut-Nya. Sebagaimana Mesias menempuh jalan
penderitaan sebelum dimuliakan, begitulah kiranya para pengikut-Nya. Tak ada
salib, tak ada kebangkitan. Tak ada penderitaan, tak ada kemuliaan. Jalan
penderitaan adalah jalan kemuliaan. Itulah “apa yang dipikirkan Allah.”
Tandas
Yesus bersabda, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Markus 8.34).
Mengikut
Dia?
Ya! Tidak saja “mempersilakan” Yesus melaksanakan “apa yang dipikirkan
Allah”, yakni menempuh jalan penderitaan, tetapi juga mengikut Yesus menempuh
jalan itu! Simaklah sabda-Nya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mrk 8.34). Sebagaimana
Mesias menempuh jalan penderitaan karena taat-setia kepada Allah, demikianlah
para pengikut Mesias menempuh jalan penderitaan karena taat-setia kepada-Nya.
Menyangkal
diri: bukan lagi kehendakku, melainkan kehendak Mesias, Junjunganku. Memikul
salib: membayar harga demi melakukan kehendak Mesias. Mengikut Aku: mengiring
Mesias di mana saja dan kapan saja – termasuk dalam api penderitaan dan di depan
gerbang kematian.
Yesus
setia kepada Allah. Ia bertekad melaksanakan kehendak Allah. Ia bersiteguh mengesampingkan
“apa yang dipikirkan manusia” dan mewujudnyatakan “apa yang dipikirkan Allah.”
Ia taat. Itu berarti menempuh jalan salib sebagai jalan kemuliaan.
Terpujilah Allah!
1 komentar:
Minta ijin berbagi Pak Rudy
Posting Komentar