LENT III:
27 Februari-5
Maret 2016
SYARAT HIDUP
YANG KEKAL
Markus 10.17-27
Rudolfus
Antonius
Orang
itu tampak begitu serius dengan ihwal keagamaan. Tergopoh-gopoh ia menemui
Yesus, orang Nazaret yang kontroversial itu. Lihat, ia sampai bertelut di
hadapan-Nya. Ia ingin bertanya kepada Yesus, dengan berharap orang Nazaret itu
memberikan jawaban yang sanggup meredakan kegalauan hatinya.
Kegalauan
hati?
Ya.
Ia mendambakan “hidup yang kekal.” Selama ini, “segala perintah Allah” telah
diturutinya, bahkan sejak masa mudanya. Namun masih juga gundah hatinya, apakah
ia sungguh-sungguh telah beroleh apa yang didamba.
“Guru
yang baik,” begitu sapanya. “apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup
yang kekal?” Kesantunan dan urgensi bergema dalam sikap dan pertanyaannya.
“Mengapa
kau katakan Aku baik?” Orang Nazaret itu ganti bertanya. “Tiada yang baik
kecuali Allah,” sambung-Nya, “Allah yang baik itu telah bertitah. Sudah barang
tentu engkau telah mengetahui semuanya:
Jangan membunuh
Jangan berzinah
Jangan mencuri
Jangan
mengucapkan saksi dusta
Jangan
mengurangi hak orang
Hormatilah
ayahmu dan ibumu.”
Sejurus
waktu orang itu terperangah. Pertama,
rasa-rasanya baru saja Yesus mengoreksi ungkapan yang ia gunakan untuk
menyapa-Nya: “Guru yang baik.” Tanggap
ing sasmita, ia meralat sapaannya: “Guru.” Tanpa “yang baik.”
Kedua, kedengarannya jawaban
Yesus sekadar merujuk pada titah-titah Allah yang sudah diketahuinya. Tidak ada
yang baru, “standard.” Manakah hal istimewa, yang diharapnya terungkap dari
orang Nazaret itu?
“Semuanya itu
telah kuturuti sejak masa mudaku,” sahutnya.
Yesus
memandang orang itu. Ia mengasihinya (êgapêsen
auton). Amboi, alangkah beruntungnya orang itu! Begitulah agaknya kesan yang
ingin diberikan Narator kepada kita. Betapa tidak! Bukankah di sepanjang
ceritanya hanya dalam “episode” inilah ia mengungkap secara eksplisit perihal
Yesus mengasihi seseorang? Lantas bagaimana kasih itu dijabarkan?
“Hanya satu lagi
kekuranganmu,” kata-Nya.
Ah!
Barusan Yesus berkata-kata tentang “segala
perintah Allah.” Sekarang, setelah mendengar bahwa aku telah menuruti semuanya itu sejak masa mudaku, Ia
menyatakan masih ada yang kurang! Opo
tumon? Begitulah mungkin orang itu bergumam.
Mari
perhatikan ungkapan “yang baik,” modifier
bagi sapaan “guru” (yang disematkan orang itu kepada Yesus, namun
dipertanyakan-Nya dengan menyebut Allah sebagai satu-satunya “yang baik”). Bukankah
Allah “yang baik” telah bertitah?
Simak, titah-titah-Nya menyangkut hubungan antarmanusia. Jangan begini, jangan
begitu, lakukan ini dan itu. Orang itu mengatakan bahwa ia telah menuruti semua
titah itu sejak mudanya. Kalau memang demikian, bukankah ia sudah berhak atas
hidup yang kekal!
Tapi
“guru” yang barusan mengkritisi sapaan “yang baik” itu sekarang tampil seolah-olah
Dialah Allah “yang baik” itu
sendiri. Ia bertitah! Bila memenuhi titah itu, lengkaplah sudah “penurutan”
orang itu pada seluruh titah Allah yang
baik!
Inilah
titah-Nya:
Pergilah,
juallah apa yang
kau miliki
dan berikanlah
itu kepada orang-orang miskin,
maka engkau akan
beroleh harta di sorga,
kemudian
datanglah ke mari,
dan ikutlah Aku.
“Kurang
ajar” betul Laki-laki Bersandal dari Nazaret ini. Mengkritisi sapaan “guru yang
baik,” sekarang Ia malah menempatkan diri dalam posisi “Allah yang baik” – yang
bertitah!
Orang
itu pun diperhadapkan pada “momen eksistensial.” Selama ini ia menuruti segala
titah Allah dengan tujuan beroleh hidup yang kekal. Kenyataannya, ia memang telah
menuruti segala titah itu, bahkan sejak masa mudanya. Tapi toh, ia masih gundah
apakah ia benar-benar terjamin akan memperoleh hidup yang kekal. Berjumpa
dengan Yesus, ia justru mendapati bahwa kegundahannya benar. Semua itu belum
cukup. Masih kurang!
Lantas
bagaimana cara membuatnya memadai? “Ikutlah Aku,” kata Yesus. Tapi syaratnya...
alangkah beratnya! Orang itu pun menjadi kecewa. Ia pergi, dengan sedih.
Lho,
kok begitu? Opo tumon? Kenapa? Ada
apa dengan titah Yesus? Atau... ada apa dengan orang itu?
Dalam
sejurus waktu, selaku pembaca atau pendengar kita pun mengalami penyingkapan
dari Sang Narator: orang itu adalah orang yang banyak hartanya (orang yang
memiliki banyak harta, ekhôn ktêmata
polla, ay 22).
Jelaslah
sudah. Orang kaya yang satu ini mendambakan hidup yang kekal. Karena itu, sejak
muda ia berusaha menuruti titah-titah Allah. Tapi ia merasa tidak pasti. Lalu
datanglah ia kepada Yesus, yang ternyata bisa memberikan kepastian tetapi
menuntut suatu harga yang baginya teramat-sangat mahal: menjual apa yang
dimilikinya dan memberikan hasilnya kepada orang-orang miskin.
BUNUH
DIRI KELAS! Ungkapan yang kita pinjam dari almarhum Almilcar Cabral (1924-1973),
revolusioner Guinea-Bissau, mungkin tetap untuk memberi nama pada titah
Laki-laki Bersandal dari Nazaret itu.
Ya,
BUNUH DIRI KELAS: orang yang berasal dari kelas yang lebih tinggi – kelas
penguasa – meninggalkan kelasnya berikut segala hak istimewa yang melekat
padanya, lalu menggabungkan diri dengan kelas yang lebih rendah – kelas kaum
yang miskin dan tertindas.
Beroleh
hidup yang kekal dengan jalan bunuh diri kelas!
Kecewa
dan pergi dengan sedih. Terungkaplah baginya, juga bagi sidang pembaca, mana
yang sesungguhnya paling berharga baginya. Antara hartanya yang banyak dan
hidup yang kekal, yang pertamalah yang paling berharga.
Maksud
hati ingin beroleh hidup yang kekal sebagai orang kaya, nyatanya Yesus
menitahkan bunuh diri kelas demi mengikut Dia. Titah yang terbit dari kasih,
yang sayang-disayang tak menyentuh hati sang hartawan. Ia pun memutuskan untuk “Balik
Kanan, Jalan Terus...”
“Sangat
sukar orang yang beruang, orang kaya, masuk ke dalam Kerajaan Allah,” ujar
Yesus di hadapan murid-murid-Nya. “Lebih mudah seekor unta melewati loban jarum
daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah,” sambungnya.
Murid-murid
tercengang. Mereka paham, sanepo itu
berkata-kata tentang kemusykilan orang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah,
termasuk orang kaya yang barusan datang dan pergi berlalu.
“Lantas,
siapakah yang dapat diselamatkan?” tanya mereka, gempar.
“Bagi
manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala
sesuatu adalah mungkin bagi Allah,” jawab Sang Guru, guru yang baik itu.
Maksud-Nya
jelas. Pada dirinya sediri, muskil orang kaya melakukan bunuh diri kelas agar
beroleh hidup yang kekal. Tapi apa yang muskil bagi manusia, tidaklah muskil bagi
Allah. Tentulah Allah bisa membuat orang (-orang) kaya melakukan bunuh diri
kelas – mempersembahkan kekayaannya untuk melayani mereka yang miskin dan
tertindas – dan beroleh hidup yang kekal!
TERPUJILAH
ALLAH!
1 komentar:
Minta ijin berbagi Pak Rudy
Posting Komentar