Nats: Yesaya 2.1-5
Oleh: Rudolfus
Antonius
iniceritainspiratif.blogspot.com |
Yesaya
putera Amos adalah seorang nabi. Kita mafhum, ia seorang “penyambung lidah
Yahweh, ilah Israel.” Seorang nabi mengamati wolak-waliking jaman, bahkan tak jarang terlibat sebagai pelaku
aktif di dalamnya. Dari pengamatan dan keterlibatannya, ia “membaca” kehendak
Allah atas umat dan dunia mereka. Kemudian, atas nama Allah, ia menyampaikannya
kepada umat.
Syahdan
Yesaya telah “melihat” firman tentang Yehuda dan Yerusalem. Dalam firman itu
terkandung visi Yahweh, ilah Israel. Sebuah visi tentang perdamaian dunia –
yang akan terwujud “pada hari-hari terakhir” (bǝʼakharît hayyâmîm).
Visi
tersebut, bisa dimaklumi, menggunakan gambaran mitis yang lazim di zaman kuno
Asia Barat Daya: gunung atau bukit tertinggi sebagai pusat semesta, yang
menghubungkan bumi dan langit tempat kediaman ilah (-ilah). Gunung tertinggi
yang dimaksud adalah Gunung Sion. Secara harafiah, bila dibandingkan dengan
gunung-gunung yang lain, Gunung Sion bukan gunung tertinggi. Keberadaan rumah
Allah atau Baitullah di sanalah yang membuatnya menjadi “pusat semesta,
penghubung bumi dan langit tempat kediaman Yahweh, ilah Israel.”
Mengetahui
(atau menyadari) keberadaan dan fungsi gunung itu, segala bangsa (kâl haggôyîm) akan berduyun-duyun ke
sana. Banyak suku bangsa (ʽammîm rabîm)
akan pergi ke sana. Mereka berkata satu sama lain: “mari kita naik ke gunung
Yahweh, ke rumah Allah Yakub” (lǝkû
wǝnaʽaleh ʼel-har-yǝhwâh ʼel-beyth ʼelohei yaʽakov). Sangat antusias. Mengapa?
Rupanya
“segala bangsa” atau “banyak bangsa” merasa butuh pengajaran (tôrâh) atau firman Yahweh (dǝbar Yǝhwâh). Mereka yakin bahwa dari
Sion atau Yerusalem, “kota di atas bukit” itu, terbit pengajaran atau firman
itu. Di sana, yakni di rumah-Nya, Yahweh akan mengajarkan jalan-jalan-Nya
kepada mereka. Mereka sendiri telah bertekad untuk hidup atau berjalan sesuai
dengan langkah-langkah-Nya.
Di
samping mengajarkan Taurat atau firman atau jalan-jalan-Nya, Yahweh ilah Israel
akan mengadili dan memutuskan perkara di antara bangsa-bangsa atau banyak suku
bangsa. Penghakiman-Nya adil, keputusan-Nya benar. Walhasil, bangsa-bangsa atau banyak suku bangsa yang sudah
bertekad untuk hidup sesuai dengan firman-Nya mengamini penghakiman Yahweh dan
menerima keputusan-Nya.
Pertama, mereka
mengubah alat-alat peperangan (yang telah mendatangkan bencana kemanusiaan)
menjadi perkakas-perkakas kerja (yang akan mendatangkan kesejahteraan bersama).
Kedua, mereka menghapuskan perang
bahkan meniadakan sarana yang melatih orang untuk berperang.
mereka akan
menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak
dan
tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas;
bangsa tidak
akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa,
dan mereka tidak
akan lagi belajar perang.
Dengan
jalan itu, terwujudlah perdamaian dunia!
Perdamaian
terdamba di bumi manusia. Allah, Dialah yang mula-mula mendambakan-Nya. Dalam
visi-Nya, itu akan terwujud ketika segala bangsa atau banyak suku bangsa
berpaling kepada-Nya melalui “pusat semesta, penghubung bumi dan sorga” untuk
belajar firman-Nya…
Tiba-tiba
Yesaya tersentak. Bagaimana caranya agar segala bangsa atau banyak suku bangsa
berpaling kepada Allah, belajar firman-Nya, dan hidup dalam perdamaian? Yesaya
segera menyadari: umat yang berilahkan Yahweh harus menjadi teladan, menjadi role model… Umat Yahweh, yang disebutnya
“kaum keluarga Yakub” (beîth yaʽakov)
harus terlebih dulu menjadi umat pembelajar firman dan hidup dalam perdamaian.
Untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa, mereka sendiri harus berjalan dalam
terang Yahweh, ilah mereka. Maka Yesaya pun berseru: beyth yaʽakov lekû wǝnelkâh bǝʼôr yǝhwâh (hak kaum keluarga Yakub,
mari kita hidup/berjalan dalam terang Yahweh).
Intinya:
manakala umat Allah belajar firman Allah dan hidup dalam perdamaian, mereka
akan menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa untuk belajar firman Allah dan hidup
dalam perdamaian. Dalam artian tertentu, umat Allah itulah pusat semesta, yang
menghubungkan bumi dengan langit. Dalam artian tertentu, mereka itulah yang
menjembatani bangsa-bangsa dengan Allah.
Dalam
rangka Minggu Adven I ini, bolehlah kita bertanya: apa implikasinya bagi
Gereja, sebagai komunitas pengikut Gusti Yesus, yang hidup di Indonesia
sekarang ini?
Apa
artinya menjadi komunitas pembelajar firman Allah di tengah gencarnya upaya
pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi salah satu pemain utama dalam
kapitalisme dunia – dengan mengorbankan rakyat pekerja via upah politik upah
murah, pelanggaran HAM (berat!) terhadap saudara-saudara Papua, penafikan hak-hak ulayat, dan
penggusuran di mana-mana?
Bagaimana
kita bisa hidup dalam perdamaian bila rezim investasi, yang berkaitkelindan
dengan oligarki dan militerisme, terus merusak alam via konsesi-konsesi
pertambangan, perkebunan, dan industri pariwisata yang tidak mempedulikan
keselamatan alam?
Visi
Yahweh ilah Israel, menjadi kenyataan melalui umat-Nya. Bekerja untuk visi itu,
para pengikut Gusti Yesus mencandra denyut nadi revolusioner dari “belajar
firman Allah” dan “hidup dalam perdamaian.” Menaati firman Allah berarti
melawan Satan yang bekerja melalui struktur-struktur ekopol yang menghisap,
menindas, dan memarjinalkan sesama manusia dan alam. Hidup dalam perdamaian
berarti berlawan terhadap ketidakadilan.
Selamat
memasuki Minggu-minggu Adven!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar