Kamis, 12 Desember 2019

MINGGU ADVEN I 2019: DAMAI TERDAMBA DI BUMI MANUSIA

Nats: Yesaya 2.1-5

Oleh: Rudolfus Antonius


iniceritainspiratif.blogspot.com
Yesaya putera Amos adalah seorang nabi. Kita mafhum, ia seorang “penyambung lidah Yahweh, ilah Israel.” Seorang nabi mengamati wolak-waliking jaman, bahkan tak jarang terlibat sebagai pelaku aktif di dalamnya. Dari pengamatan dan keterlibatannya, ia “membaca” kehendak Allah atas umat dan dunia mereka. Kemudian, atas nama Allah, ia menyampaikannya kepada umat.

Syahdan Yesaya telah “melihat” firman tentang Yehuda dan Yerusalem. Dalam firman itu terkandung visi Yahweh, ilah Israel. Sebuah visi tentang perdamaian dunia – yang akan terwujud “pada hari-hari terakhir” (bǝʼakharît hayyâmîm).  

Visi tersebut, bisa dimaklumi, menggunakan gambaran mitis yang lazim di zaman kuno Asia Barat Daya: gunung atau bukit tertinggi sebagai pusat semesta, yang menghubungkan bumi dan langit tempat kediaman ilah (-ilah). Gunung tertinggi yang dimaksud adalah Gunung Sion. Secara harafiah, bila dibandingkan dengan gunung-gunung yang lain, Gunung Sion bukan gunung tertinggi. Keberadaan rumah Allah atau Baitullah di sanalah yang membuatnya menjadi “pusat semesta, penghubung bumi dan langit tempat kediaman Yahweh, ilah Israel.”

Mengetahui (atau menyadari) keberadaan dan fungsi gunung itu, segala bangsa (kâl haggôyîm) akan berduyun-duyun ke sana. Banyak suku bangsa (ʽammîm rabîm) akan pergi ke sana. Mereka berkata satu sama lain: “mari kita naik ke gunung Yahweh, ke rumah Allah Yakub” (lǝkû wǝnaʽaleh ʼel-har-yǝhwâh ʼel-beyth ʼelohei yaʽakov). Sangat antusias. Mengapa?

Rupanya “segala bangsa” atau “banyak bangsa” merasa butuh pengajaran (tôrâh) atau firman Yahweh (dǝbar Yǝhwâh). Mereka yakin bahwa dari Sion atau Yerusalem, “kota di atas bukit” itu, terbit pengajaran atau firman itu. Di sana, yakni di rumah-Nya, Yahweh akan mengajarkan jalan-jalan-Nya kepada mereka. Mereka sendiri telah bertekad untuk hidup atau berjalan sesuai dengan langkah-langkah-Nya. 

Di samping mengajarkan Taurat atau firman atau jalan-jalan-Nya, Yahweh ilah Israel akan mengadili dan memutuskan perkara di antara bangsa-bangsa atau banyak suku bangsa. Penghakiman-Nya adil, keputusan-Nya benar. Walhasil, bangsa-bangsa atau banyak suku bangsa yang sudah bertekad untuk hidup sesuai dengan firman-Nya mengamini penghakiman Yahweh dan menerima keputusan-Nya.

Pertama, mereka mengubah alat-alat peperangan (yang telah mendatangkan bencana kemanusiaan) menjadi perkakas-perkakas kerja (yang akan mendatangkan kesejahteraan bersama). Kedua, mereka menghapuskan perang bahkan meniadakan sarana yang melatih orang untuk berperang.

mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak
dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas;
bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa,
dan mereka tidak akan lagi belajar perang.

Dengan jalan itu, terwujudlah perdamaian dunia!

Perdamaian terdamba di bumi manusia. Allah, Dialah yang mula-mula mendambakan-Nya. Dalam visi-Nya, itu akan terwujud ketika segala bangsa atau banyak suku bangsa berpaling kepada-Nya melalui “pusat semesta, penghubung bumi dan sorga” untuk belajar firman-Nya…

Tiba-tiba Yesaya tersentak. Bagaimana caranya agar segala bangsa atau banyak suku bangsa berpaling kepada Allah, belajar firman-Nya, dan hidup dalam perdamaian? Yesaya segera menyadari: umat yang berilahkan Yahweh harus menjadi teladan, menjadi role model… Umat Yahweh, yang disebutnya “kaum keluarga Yakub” (beîth yaʽakov) harus terlebih dulu menjadi umat pembelajar firman dan hidup dalam perdamaian. Untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa, mereka sendiri harus berjalan dalam terang Yahweh, ilah mereka. Maka Yesaya pun berseru: beyth yaʽakov lekû wǝnelkâh bǝʼôr yǝhwâh (hak kaum keluarga Yakub, mari kita hidup/berjalan dalam terang Yahweh).

Intinya: manakala umat Allah belajar firman Allah dan hidup dalam perdamaian, mereka akan menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa untuk belajar firman Allah dan hidup dalam perdamaian. Dalam artian tertentu, umat Allah itulah pusat semesta, yang menghubungkan bumi dengan langit. Dalam artian tertentu, mereka itulah yang menjembatani bangsa-bangsa dengan Allah.

Dalam rangka Minggu Adven I ini, bolehlah kita bertanya: apa implikasinya bagi Gereja, sebagai komunitas pengikut Gusti Yesus, yang hidup di Indonesia sekarang ini?

Apa artinya menjadi komunitas pembelajar firman Allah di tengah gencarnya upaya pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi salah satu pemain utama dalam kapitalisme dunia – dengan mengorbankan rakyat pekerja via upah politik upah murah, pelanggaran HAM (berat!) terhadap saudara-saudara  Papua, penafikan hak-hak ulayat, dan penggusuran di mana-mana?

Bagaimana kita bisa hidup dalam perdamaian bila rezim investasi, yang berkaitkelindan dengan oligarki dan militerisme, terus merusak alam via konsesi-konsesi pertambangan, perkebunan, dan industri pariwisata yang tidak mempedulikan keselamatan alam?

Visi Yahweh ilah Israel, menjadi kenyataan melalui umat-Nya. Bekerja untuk visi itu, para pengikut Gusti Yesus mencandra denyut nadi revolusioner dari “belajar firman Allah” dan “hidup dalam perdamaian.” Menaati firman Allah berarti melawan Satan yang bekerja melalui struktur-struktur ekopol yang menghisap, menindas, dan memarjinalkan sesama manusia dan alam. Hidup dalam perdamaian berarti berlawan terhadap ketidakadilan.

Selamat memasuki Minggu-minggu Adven!


Banyu Bening, 1 Desember 2019

Tidak ada komentar: