Kamis, 12 Desember 2019

MINGGU ADVEN II 2019: TERIMALAH SEORANG DENGAN YANG LAIN !

Nats: Roma 15.4-13

Oleh: Rudolfus Antonius


http://jogja-training.com
Kita telah menjalani Minggu Adven I. Kita merenungkan pesan Yesaya 2.1-5. Di dalamnya kita mendapati dua hal. Pertama, visi Allah tentang dunia, yakni perdamaian. Perdamaian terwujud manakala bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa datang kepada Yahweh, ilah Israel, untuk mendengarkan dan melakukan pengajaran atau firman-Nya. Maka mereka akan mengubah alat-alat penebar kematian (=perkakas-perkakas perang) menjadi alat-alat kesejahteraan (=perkakas-perkakas kerja). Mereka akan berhenti berperang. Mereka juga akan menutup pusat-pusat latihan tempur yang menyiapkan orang untuk berperang dengan dalih bela negara atau kejayaan bangsa. Dalam kata-kata Yesaya,

maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak
dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas;

bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa,
dan mereka tidak akan lagi belajar perang (Yesaya 2.4).


Kedua, seruan kepada umat untuk berpartisipasi dalam visi Allah. Umat, yang disebutnya “kaum keluarga Yakub” (beyth yaʽaqov, TB-LAI: “kaum keturunan Yakub”), diajak untuk berjalan atau hidup (hâlak) “dalam terang Yahweh” atau “sesuai dengan terang Yahweh” (bǝʼôr yǝhwâh). Terang Yahweh merujuk pada pengajaran atau firman Allah. Umat diajak untuk hidup sesuai dengan pengajaran atau firman Allah. Itu berarti mereka diminta untuk hidup dalam perdamaian.

Tersirat namun jelas, mereka harus menjadi teladan dan model bagi bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa. Ketika umat Allah hidup sesuai dengan pengajaran Allah, mereka menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa untuk berbalik kepada Allah guna mendengarkan dan melakukan pengajaran-Nya. Ketika umat Allah hidup dalam perdamaian, mereka menjadi daya tarik bagi suku-suku bangsa untuk hidup dalam perdamaian. Cekak aos, umat Allah berpartisipasi dalam visi Allah tentang perdamaian dunia dengan jalan menjadi teladan dan model hidup dalam perdamaian.

***

Bacaan di Minggu Adven II ini (Roma 15.4-13) berbicara tentang jemaat atau gereja sebagai sebuah proyek teologis-sosial. Berdasarkan Kabar Baik bahwa Yesus adalah Kristus alias Mesias, proyek tersebut bertujuan membangun komunitas iman yang inklusif, yang belajar ikhlas menerima dan menghargai perbedaan serta gembira merayakannya.

Faktanya, dalam Roma 15.7a, Rasul Paulus berseru: Terimalah satu sama lain. Teks Yunaninya (proslambanesthe allêlous) menyiratkan ajakan agar anggota-anggota jemaat melanjutkan tanpa henti apa yang sudah dilakukan (imperative present). Ada apa?

Jemaat atau gereja di Roma, pembaca mula-mula Surat ini, terdiri dari orang-orang dari kalangan Yahudi dan dari kalangan bangsa-bangsa lain. Orang-orang Yahudi lazim memandang diri mereka terhisab dalam ho laos atau laos tou theou (umat Allah), yakni bangsa Israel. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias, yang dinubuatkan para Nabi untuk menyelamatkan bangsa Israel dan menjadikannya terang bagi bangsa-bangsa. Penerimaan mereka terhadap Mesias Yesus mengukuhkan mereka sebagai umat Allah dalam arti Israel yang Baru. Dalam pada itu, mereka tetap mempraktikkan Taurat, yang berintikan Sunat, pembedaan antara makanan yang halal dan makanan yang haram, serta pengudusan atas Hari Sabat. Dalam kaca mata kita, mereka adalah Jewish Christian, Kristen Yahudi.

Umat Kristen Yahudi ini percaya bahwa Kabar Baik tentang Mesias Yesus pertama-tama diperuntukkan bagi mereka. Selanjutnya, sehubungan dengan tugas mereka sebagai terang bagi bangsa-bangsa, mereka juga percaya bahwa Kabar Baik tersebut juga ditujukan kepada bangsa-bangsa lain. Mereka memang menganggap bangsa-bangsa lain sebagai kaum kafir (ethnê). Tetapi melalui missi sebagai terang bagi bangsa-bangsa, umat Kristen Yahudi dapat menjangkau orang-orang dari kalangan kafir itu dan menjadikan mereka bagian dari umat Allah.

Sampai di sini tidak ada persoalan. Pertanyaannya, bagaimana caranya supaya orang-orang kafir itu menjadi bagian dari umat Allah? Tentu saja mereka harus percaya kepada Mesias Yesus. Tapi itu tidak cukup. Sebab pertama-tama Yesus adalah adalah Mesias Yahudi, kegenapan janji kepada para Leluhur dan nubuat para Nabi. Karena itu, orang-orang kafir yang sudah percaya kepada Mesias Yesus itu juga harus menjadi Yahudi. Caranya: disunat bagi yang laki-laki, serta makan yang halal dan menguduskan hari Sabat. Dengan percaya kepada Mesias Yesus dan menjadi Yahudi, orang-orang kafir itu diterima menjadi bagian dari umat Allah.

Jemaat di Roma, yang terdiri dari para pengikut Gusti Yesus dari kalangan Yahudi dan dari kalangan bangsa-bangsa lain, bergumul tentang hal ini. Demi Nama Mesias Yesus, Kristen Yahudi berusaha menerima Kristen dari bangsa-bangsa lain. Tapi hati nurani mereka, yang berpaut kepada Taurat, sukar menerima Kristen dari bangsa-bangsa lain apa adanya. Menurut desakan nurani, mereka harus membuat orang Kristen dari bangsa-bangsa lain sama dengan mereka: disunat bagi yang laki-laki dan membedakan makanan yang halal dan makanan yang haram serta menguduskan hari Sabat. Dengan kata lain: menjalankan Taurat, menjadi Yahudi. 

Di pihak lain, Kristen dari bangsa-bangsa lain juga berusaha menerima Kristen Yahudi. Tapi tidak mudah. Sebab mereka merasa aneh dengan kebiasaan dan tuntutan Kristen Yahudi itu. Bukankah  Kristus sudah memerdekakan mereka? Ketika usaha saling menerima diganduli oleh keberatan hati nurani dan prasangka negatif, friksi-friksi pun kerap terjadi. Bila tak ditangani dengan baik, friksi-friksi bakal bermuara pada perpecahan jemaat. Jika itu terjadi, proyek teologis-sosial komunitas inklusif terancam gagal. 

Mengetahui situasi tersebut, Rasul Paulus merasa perlu memotivasi Jemaat Roma. Ia ingin agar mereka terus berusaha untuk saling menerima. Untuk itu mereka perlu memahami dengan jelas hakikat keselamatan dalam Kristus. Oleh karena itulah ia merasa perlu bicara panjang lebar tentang hal itu. Kita bisa menyimaknya dalam Roma 1-11.    

Bagi Rasul Paulus, iman kepada Mesias Yesus sudah cukup bagi siapa pun untuk diterima menjadi bagian dari umat Allah. Sebab bukankah semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah? Orang Yahudi berdosa dengan Taurat. Orang bukan Yahudi berdosa tanpa Taurat. Di hadapan Allah semua sama berdosanya, tidak ada yang benar.  Tapi berdasarkan Yesus Kristus, yang mati tersalib karena kesetiaan-Nya kepada Allah, pintu pengampunan terbuka lebar bagi semua orang tanpa kecuali. Allah membenarkan (= mengaruniakan hubungan yang baru kepada) siapa saja yang percaya kepada Yesus Kristus. Allah mengaruniakan Roh Kudus dan mengangkat mereka semua menjadi anak-anak-Nya. Allah mempersatukan mereka semua dengan Kristus. Intinya: Kristus telah menerima kita! Tanpa kecuali. Karena itu, tiada alasan untuk saling menolak, tidak saling menerima. Tidak boleh ada yang ditolak, tidak diterima.

Kita saling menerima bukan karena kita serba sama. Yahudi dan bangsa-bangsa lain berbeda. Laki-laki dan perempuan juga berbeda. Orang merdeka dan budak juga berbeda. Ada perbedaan warna kulit dan ras, ada perbedaan jenis kelamin, ada perbedaan gender, ada perbedaan kelas…!

Kita belajar saling menerima meski kita berbeda-beda. Kemudian kita perlu bersedia untuk belajar memahami dan mengapresiasi perbedaan: melihat bahwa perbedaan ada dalam rancangan Allah dan mengungkapkan hikmat dan kebesaran-Nya. Selanjutnya dengan gembira kita merayakan perbedaan sambil mengagumi hikmat dan kebesaran Allah. Sebab, bukankah Dialah yang telah menyelenggarakan perbedaan itu untuk memperkaya kemanusiaan kita?

Kristen Yahudi dipersilakan mempraktikkan Taurat, sebab itulah adat-istiadat mereka. Tapi jangan mengharuskan atau memaksa orang dari kalangan bangsa-bangsa lain untuk mengikuti mereka! Kristen dari bangsa-bangsa lain tidak perlu menjadi Yahudi. Tapi janganlah mereka menghina Kristen Yahudi yang masih mempraktikkan Taurat. Dalam semuanya itu, kepekaan harus terus diasah agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi saudara seiman kita.

Dalam Kristus, kita semua bersaudara, anak-anak Allah. Dalam Kristus, kita belajar saling mengasihi mereka yang berbeda dengan kita. Dalam Kristus, kita membangun jemaat atau gereja menjadi komunitas yang inklusif, yang menerima, mengapresiasi, dan merayakan perbedaan sebagai kekayaan hikmat Allah. Inilah proyek teologis-sosial yang menjadi kesaksian di tengah masyarakat luas – dulu maupun sekarang.    

Di Minggu Adven II kita diajak untuk mengkonkretkan partisipasi umat dalam visi Allah. Perdamaian dunia melibatkan teladan umat Allah yang hidup dalam perdamaian. Salah satunya itu berarti: membangun gereja menjadi komunitas yang inklusif.

Selamat bergulir dengan Minggu Adven II!



Perbatasan, 9-11 Desember 2019

Tidak ada komentar: