Nats: Roma 15.4-13
Oleh: Rudolfus
Antonius
http://jogja-training.com |
Kita
telah menjalani Minggu Adven I. Kita merenungkan pesan Yesaya 2.1-5. Di
dalamnya kita mendapati dua hal. Pertama, visi Allah tentang dunia, yakni
perdamaian. Perdamaian terwujud manakala bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa
datang kepada Yahweh, ilah Israel, untuk mendengarkan dan melakukan pengajaran
atau firman-Nya. Maka mereka akan mengubah alat-alat penebar kematian
(=perkakas-perkakas perang) menjadi alat-alat kesejahteraan (=perkakas-perkakas
kerja). Mereka akan berhenti berperang. Mereka juga akan menutup pusat-pusat
latihan tempur yang menyiapkan orang untuk berperang dengan dalih bela negara
atau kejayaan bangsa. Dalam kata-kata Yesaya,
maka mereka akan
menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak
dan
tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas;
bangsa tidak
akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa,
dan mereka tidak
akan lagi belajar perang (Yesaya 2.4).
Kedua,
seruan kepada umat untuk berpartisipasi dalam visi Allah. Umat, yang disebutnya
“kaum keluarga Yakub” (beyth yaʽaqov,
TB-LAI: “kaum keturunan Yakub”), diajak untuk berjalan atau hidup (hâlak) “dalam terang Yahweh” atau
“sesuai dengan terang Yahweh” (bǝʼôr
yǝhwâh). Terang Yahweh merujuk pada pengajaran atau firman Allah. Umat
diajak untuk hidup sesuai dengan pengajaran atau firman Allah. Itu berarti
mereka diminta untuk hidup dalam perdamaian.
Tersirat
namun jelas, mereka harus menjadi teladan dan model bagi bangsa-bangsa dan
suku-suku bangsa. Ketika umat Allah hidup sesuai dengan pengajaran Allah,
mereka menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa untuk berbalik kepada Allah guna
mendengarkan dan melakukan pengajaran-Nya. Ketika umat Allah hidup dalam
perdamaian, mereka menjadi daya tarik bagi suku-suku bangsa untuk hidup dalam
perdamaian. Cekak aos, umat Allah
berpartisipasi dalam visi Allah tentang perdamaian dunia dengan jalan menjadi
teladan dan model hidup dalam perdamaian.
***
Bacaan
di Minggu Adven II ini (Roma 15.4-13) berbicara tentang jemaat atau gereja
sebagai sebuah proyek teologis-sosial. Berdasarkan Kabar Baik bahwa Yesus
adalah Kristus alias Mesias, proyek tersebut bertujuan membangun komunitas iman
yang inklusif, yang belajar ikhlas menerima dan menghargai perbedaan serta
gembira merayakannya.
Faktanya,
dalam Roma 15.7a, Rasul Paulus berseru: Terimalah satu sama lain. Teks
Yunaninya (proslambanesthe allêlous)
menyiratkan ajakan agar anggota-anggota jemaat melanjutkan tanpa henti apa yang
sudah dilakukan (imperative present).
Ada apa?
Jemaat
atau gereja di Roma, pembaca mula-mula Surat ini, terdiri dari orang-orang dari
kalangan Yahudi dan dari kalangan bangsa-bangsa lain. Orang-orang Yahudi lazim
memandang diri mereka terhisab dalam ho
laos atau laos tou theou (umat
Allah), yakni bangsa Israel. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Mesias, yang
dinubuatkan para Nabi untuk menyelamatkan bangsa Israel dan menjadikannya
terang bagi bangsa-bangsa. Penerimaan mereka terhadap Mesias Yesus mengukuhkan
mereka sebagai umat Allah dalam arti Israel yang Baru. Dalam pada itu, mereka
tetap mempraktikkan Taurat, yang berintikan Sunat, pembedaan antara makanan
yang halal dan makanan yang haram, serta pengudusan atas Hari Sabat. Dalam kaca
mata kita, mereka adalah Jewish Christian,
Kristen Yahudi.
Umat
Kristen Yahudi ini percaya bahwa Kabar Baik tentang Mesias Yesus pertama-tama
diperuntukkan bagi mereka. Selanjutnya, sehubungan dengan tugas mereka sebagai
terang bagi bangsa-bangsa, mereka juga percaya bahwa Kabar Baik tersebut juga
ditujukan kepada bangsa-bangsa lain. Mereka memang menganggap bangsa-bangsa
lain sebagai kaum kafir (ethnê).
Tetapi melalui missi sebagai terang bagi bangsa-bangsa, umat Kristen Yahudi
dapat menjangkau orang-orang dari kalangan kafir itu dan menjadikan mereka
bagian dari umat Allah.
Sampai
di sini tidak ada persoalan. Pertanyaannya, bagaimana caranya supaya
orang-orang kafir itu menjadi bagian dari umat Allah? Tentu saja mereka harus
percaya kepada Mesias Yesus. Tapi itu tidak cukup. Sebab pertama-tama Yesus
adalah adalah Mesias Yahudi, kegenapan janji kepada para Leluhur dan nubuat
para Nabi. Karena itu, orang-orang kafir yang sudah percaya kepada Mesias Yesus
itu juga harus menjadi Yahudi. Caranya: disunat bagi yang laki-laki, serta
makan yang halal dan menguduskan hari Sabat. Dengan percaya kepada Mesias Yesus
dan
menjadi Yahudi, orang-orang kafir itu diterima menjadi bagian dari umat Allah.
Jemaat
di Roma, yang terdiri dari para pengikut Gusti Yesus dari kalangan Yahudi dan
dari kalangan bangsa-bangsa lain, bergumul tentang hal ini. Demi Nama Mesias
Yesus, Kristen Yahudi berusaha menerima Kristen dari bangsa-bangsa lain. Tapi
hati nurani mereka, yang berpaut kepada Taurat, sukar menerima Kristen dari
bangsa-bangsa lain apa adanya. Menurut desakan nurani, mereka harus membuat orang
Kristen dari bangsa-bangsa lain sama dengan mereka: disunat bagi yang laki-laki
dan membedakan makanan yang halal dan makanan yang haram serta menguduskan hari
Sabat. Dengan kata lain: menjalankan Taurat, menjadi Yahudi.
Di pihak lain,
Kristen dari bangsa-bangsa lain juga berusaha menerima Kristen Yahudi. Tapi
tidak mudah. Sebab mereka merasa aneh dengan kebiasaan dan tuntutan Kristen
Yahudi itu. Bukankah Kristus sudah
memerdekakan mereka? Ketika usaha saling menerima diganduli oleh keberatan hati
nurani dan prasangka negatif, friksi-friksi pun kerap terjadi. Bila tak
ditangani dengan baik, friksi-friksi bakal bermuara pada perpecahan jemaat.
Jika itu terjadi, proyek teologis-sosial komunitas inklusif terancam gagal.
Mengetahui
situasi tersebut, Rasul Paulus merasa perlu memotivasi Jemaat Roma. Ia ingin
agar mereka terus berusaha untuk saling menerima. Untuk itu mereka perlu
memahami dengan jelas hakikat keselamatan dalam Kristus. Oleh karena itulah ia merasa
perlu bicara panjang lebar tentang hal itu. Kita bisa menyimaknya dalam Roma
1-11.
Bagi
Rasul Paulus, iman kepada Mesias Yesus sudah cukup bagi siapa
pun untuk diterima menjadi bagian dari umat Allah. Sebab bukankah semua
orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah? Orang Yahudi berdosa dengan
Taurat. Orang bukan Yahudi berdosa tanpa Taurat. Di hadapan Allah semua
sama berdosanya, tidak ada yang benar. Tapi
berdasarkan Yesus Kristus, yang mati tersalib karena kesetiaan-Nya kepada
Allah, pintu pengampunan terbuka lebar bagi semua orang tanpa kecuali. Allah membenarkan
(= mengaruniakan hubungan yang baru kepada) siapa saja yang percaya
kepada Yesus Kristus. Allah mengaruniakan Roh Kudus dan mengangkat mereka semua
menjadi anak-anak-Nya. Allah mempersatukan mereka semua dengan Kristus. Intinya:
Kristus telah menerima kita! Tanpa kecuali. Karena itu, tiada alasan untuk
saling menolak, tidak saling menerima. Tidak boleh ada yang ditolak, tidak
diterima.
Kita
saling menerima bukan karena kita serba sama. Yahudi dan bangsa-bangsa lain
berbeda. Laki-laki dan perempuan juga berbeda. Orang merdeka dan budak juga
berbeda. Ada perbedaan warna kulit dan ras, ada perbedaan jenis kelamin, ada
perbedaan gender, ada perbedaan kelas…!
Kita
belajar saling menerima meski kita berbeda-beda. Kemudian
kita perlu bersedia untuk belajar memahami dan mengapresiasi perbedaan: melihat
bahwa perbedaan ada dalam rancangan Allah dan mengungkapkan hikmat dan
kebesaran-Nya. Selanjutnya dengan gembira kita merayakan perbedaan sambil
mengagumi hikmat dan kebesaran Allah. Sebab, bukankah Dialah yang telah
menyelenggarakan perbedaan itu untuk memperkaya kemanusiaan kita?
Kristen
Yahudi dipersilakan mempraktikkan Taurat, sebab itulah adat-istiadat mereka.
Tapi jangan mengharuskan atau memaksa orang dari kalangan bangsa-bangsa lain
untuk mengikuti mereka! Kristen dari bangsa-bangsa lain tidak perlu menjadi
Yahudi. Tapi janganlah mereka menghina Kristen Yahudi yang masih mempraktikkan
Taurat. Dalam semuanya itu, kepekaan harus terus diasah agar kita tidak menjadi
batu sandungan bagi saudara seiman kita.
Dalam
Kristus, kita semua bersaudara, anak-anak Allah. Dalam Kristus, kita belajar
saling mengasihi mereka yang berbeda dengan kita. Dalam Kristus, kita membangun
jemaat atau gereja menjadi komunitas yang inklusif, yang menerima,
mengapresiasi, dan merayakan perbedaan sebagai kekayaan hikmat Allah. Inilah
proyek teologis-sosial yang menjadi kesaksian di tengah masyarakat luas – dulu
maupun sekarang.
Di
Minggu Adven II kita diajak untuk mengkonkretkan partisipasi umat dalam visi
Allah. Perdamaian dunia melibatkan teladan umat Allah yang hidup dalam
perdamaian. Salah satunya itu berarti: membangun gereja menjadi komunitas yang
inklusif.
Selamat
bergulir dengan Minggu Adven II!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar